Saat itu aku sedang mengutak-atik not di piano elektrik temanku yang ditaruh di studio latihan di rumahku. Tiba-tiba suara piano itu jadi keras sekali, bikin aku kaget setengah mati. Aku sempat merinding, habis kan setahuku di rumah nggak ada orang. Jadi siapa dong yang membesarkan volume piano di ruang mixer? Dengan segan aku mengintip ke ruang mixer. Ruangan itu gelap sekali, cuma kelihatan lampu-lampu mixer dan sound processor saja. Pelan-pelan kuperiksa mixer-nya, ternyata memang volumenya besar sekali.
“Aduh Leni, ngapain sih kamu ngagetin aku kayak gitu?” Sambil menahan tangisnya,
“Kamu ini bukannya nolongin malah nyalahin aku. Makanya liat-liat dulu, baru gebuk. Untung nggak kena ulu hati. Kalau kena, pasti deh kamu seneng kalau aku mati, kehabisan napas. Biar kamu bisa cari yang lain kan.” Busyet nih anak cantik, lagi kesakitan sempat juga bercanda.
Jelas saja dong aku tersenyum.
“Aduh maafin aku ya sayang. Kamu juga sih, datang nggak ngasih kabar dulu. Kapan sampai di Yogya? Kok bisa masuk ke dalam? Kan pagarnya aku kunci”, kataku.
“Aku mau ngasih kejutan sama kamu. Aku sampe di Yogya tadi pagi jam 06.00. Terus naik taksi ke sini. Liat rumah kamu sepi, daripada ngebel malah nggak surprise lagi mendingan aku lompat pagar aja”, katanya.
Dasar Leni ini memang orangnya cuek banget. Kadang-kadang kalau isengnya kumat, tomboy-nya mengalahkan laki-laki. Padahal aslinya feminin banget. Cantik, tinggi, lincah dan anggun juga bisa (tergantung saatnya). Kulitnya putih, dan badan yang tinggi untuk ukuran cewek, membuat dia bisa tampil cantik dengan gaya dan mode apapun.
Setelah itu kami bercerita banyak mengenai kabar masing-masing. Leni baru saja diterima di SMU 3, dan dia senang di sana. Aku juga cerita lagu-lagu yang baru band kami ciptakan dan latih selama ini sambil menyetelkan contoh lagu itu di CD player. Beberapa lagu lewat, dia manggut-manggut sambil bilang,
“Gab, lagunya bagus-bagus. Asyik juga buat goyang, nge-groove banget”, sambil meneruskan mendengar lagu berikutnya.
“Andri sayang, puterin lagi lagu yang nomor 5 dong. Lagunya romantis banget. Aku jadi terharu dengerinnya.” Ya sudah, aku putarkan lagi ke track 5, lagunya memang lembut banget, romantis deh pokoknya.
Leni berdiri sambil memegang tanganku,
“Dance with me, honey!”, pintanya.
“Kenapa Sayang?”, tanyaku.
“Enggak.., Cuma aku merasa betapa bahagianya apabila seseorang dicintai seperti lirik lagu itu.”
“Do you wanna know something, honey?”, tanyaku lagi.
“What is it, dear?”
“This song is written by me, to express how deep is my love.. just for you, honey!”, kataku.
“Oooh, Andri.., What a wonderful gift from God you are for me”, sambil dia berbicara begitu, air matanya tambah deras dan pelukannya semakin erat serta dansanya tambah lembut. M
ataku jadi basah juga. Aku sangat mencintai Leni. Kalau mungkin, biarlah seluruh hidupku aku jalani bersama dia.
Sambil tetap berputar mengikuti irama lagu, Leni berkata,
“Andri my love, bercintalah denganku sayang. Di sini dan lakukan sekarang!”
Aku tersenyum dingin sambil berkata,
“Leni, ma’af aku tidak bisa melakukannya”.
Leni kaget,
“Kenapa sayang?”
“Aku tidak ingin bercinta denganmu, Aku hanya ingin mencintaimu. Bukan untuk berhubungan badan, tapi hanya mencintaimu sayang”.
“Mmmppphh.. mmppphh”, cuma itu bunyi yang keluar dari mulutnya, karena terlalu penuh imajinasinya oleh keindahan cinta kami berdua.
Walaupun begitu, dia memang bukan tipe cewek banyak bicara sedikit bertindak. Buktinya omongannya sedikit, tapi tanpa sadar tangannya meraba halus celana jeans-ku, melonjakkan batang kemaluanku dari kungkungan celana dalamku. Dia terus saja mengelus barang kesayangannya ini dengan semakin keras, seakan dia tahu persis bahwa celana jeans yang tebal itu menghalangi batang kemaluanku untuk merasakan kenikmatan belaian jemarinya.
“Rasakan semuanya, Sayang. Lakukan apa yang kamu mau. Segala diriku adalah milikmu Leni.”
“Demikian pula aku Sayang. Lakukan pada diriku apapun yang kamu inginkan. Leni sayang kamu, Andri.”
Setelah mendapat ijin darinya, langsung saja (tapi dengan tetap lembut) kubuka kaos ketat merahnya. Wah.. pantas saja putingnya menonjol sekali, dia tidak memakai bra.
“Len, kamu kok nggak pakai bra sih? Panas ya?”
Wah, masa sih aku mentingin branya, kalau bisa malahan jangan pernah dia pakai bra lagi. Lagi pula payudara sekencang itu, untuk apa pakai bra lagi sih? Leni pun tidak mau kalah. Dia membuka celana jeans-ku dengan agak terburu-buru. Sialnya ujung batang kemaluanku yang memang sudah keluar dari celana dalamnya terjepit retsleting.
“Ya ampun, Gab.. burungmu sih yang nakal. Belum dibuka udah keluar duluan. Salah kamu sendiri.. eh enggak deh, salah kamu sih (katanya sambil menunjuk batang kemaluanku).”
“Len, nanti kalau dimarahin dia ngambek lho.”
“He.. he.. he.. nggak deh. Bercanda kok ya sayang (sambil mengelus dan mengocok lembut batang kemaluanku).”
Setelah sekian menit Leni mengocok lembut batang kemaluanku, batang kemaluanku kini tegang sempurna. Setelah puas dikerjai Leni, aku mengangkat dia ke atas piano. Kusuruh dia duduk di situ, setelah selesai kupeloroti celana jeans-nya yang juga ketat. Setelah penghalangnya tersingkirkan, barulah aku bisa sepuasnya menghirup harum tubuh kekasihku tercinta itu. Mulai dari dada, jilatanku berangsur-angsur menurun sampai ke daerah perutnya yang putih bersih.