Akibat Kegagalan Dalam Rumah Tangga – Pada usiaku 35 tahun aku sudah mengalami kekecewaan berat akibat kegagalan rumah tangga yang baru kubina 2 tahun. Istriku yang cantik dan sexy, ternyata bukanlah istri untuk ibu rumah tangga yang ideal. Kelebihannya karena cantik dan sexy dan sering mendapat pujian banyak lelaki, membuat dirinya super egois.
Sebagai ibu rumah tangga sewajarnya dia bisa mengurusi segala urusan rumah termasuk mengurus suami dan melayaninya. Dia ternyata lebih minta dilayanui, dan sama sekali tidak becus mengurus rumah, jangankan memasak, menata rumah , mengatur keuangan sama sekali dia tidak becus.
Rumahku terkesan selalu berantakan, keuangan sangat boros. Aku bukanlah termasuk lelaki yang pelit. Pendapatanku yang diatas rata-rata dan bisa tinggal di daerah elit di satu kawasan perumahan di Selatan Jakarta, serta kendaraan 2 unit bisa memuaskan nafsunya selalu melenggang di mall. Soal di tempat tidur, dia bukan pasangan yang hot, jauh dari kesannya sebagai wanita sexy.
Cerita Sex Kalau mau diungkap rasanya banyak sekali kekurangannya. Aku tidak tahan hidup melanjutkan bahtera dengan sosok wanita cantik bernama Vince. Kami akhirnya berpisah baik-baik dan semua rumah beserta isinya kuberikan kepadanya. Dalam perkawinanku itu kami belum sampai mendapat keturunan. Itu juga karena kemauan Vince yang katanya masih ingin hidup tanpa terikat mengurus anak. Dia memilih memasang alat kontrasepsi sejak awal kami hidup bersama.
Aku memilih tinggal di apartemen di tengah kota. Kekecewaan yang demikian besar membuat pandanganku berubah terhadap wanita cantik dan sexy. Aku jadi berpandangan stereo-type terhadap mahluk cantik dan menganggap mereka tidak jauh berbeda sikapnya dengan mantan istriku.
Meski gagal di rumah tangga tetapi di dunia bisnis jenjangku terus menanjak. Sebuah usaha lagi baru aku buka dengan menyewa kantor di wilayah Jakarta Selatan. Kantorku ini bukan di gedung perkantoran, tetapi di satu bangunan yang bercampur dengan tempat kost. Sang pemilik, Pak Legowo tadinya akan membangun usaha industri video game, namun setengah jalan modalnya kurang. Bangunan yang terlanjur besar akhirnya sebagian dijadikan kamar untuk kost-kostan dan sebagian lagi disewakan untuk perkantoran.
Aku memilih tempat ini karena tenang dan tidak perlu tempat yang prestige. Unit usaha biro arsitek rasanya memang cocok di tempat Pak Legowo ini. Aku hanya mempekerjakan 5 orang. Hampir setiap sore aku selalu ikut berdiskusi dengan para arsitek. Aku sendiri bukan berpendidikan arsitek, tetapi karena aku sebagai pemilik, semua keputusan aku yang ambil.
Aku senang berada di lingkungan bangunan Pak Legowo. Kami pun sering terlibat ngobrol di teras rumahnya yang lumayan asri. Suatu hari dia menawarkan sebuah televisi Sony 32 inchi. Sebelum menjelaskan menganai pesawat itu, dia bercerita latar belakang TV itu. TV itu adalah milik orang yang menyewa satu kamar agak besar di bagian rumahnya. Menurut dia, si penyewanya Bu Vina sedang kesulitan uang, sehingga hasil penjualan TV itu untuk bayar sewa tempat.
Terus terang aku sebenarnya kurang berminat membeli TV, tapi cerita di balik penjualan TV itu yang mendorongku untuk akhirnya membeli. Pak Legowo cerita bahwa Bu Vina sudah 6 bulan menempati satu ruangan di situ. Dia tadinya kaya raya, tinggal di Kemang dengan rumah besar lengkap swimming pool. Suaminya bule Prancis memberinya 2 anak kembar cewek. Namun sejak 2 tahun lalu suaminya kembali ke Prancis dan meninggalkan begitu saja Bu Vina dengan 2 anaknya. Pada awalnya si bule masih sering mengirim duit, tapi setahun terakhir sudah tidak ada kabar lagi, apalagi ngirimi duit.
Bu Vina kata Pak Legowo seperti orang stress, kadang-kadang ngomongnya rada ngaco, tapi masih sering lurusnya sih. Selama nyewa kamar, bu Vina selalu membayar dengan menjual barang-barangnya. Tadinya dia memiliki banyak barang berharga, sekarang hanya tinggal kasur pegas (spring bed) . Entah karena cara bercerita Pak Legowo yang dramatis atau karena memang kisahnya memilukan, tetapi akhirnya aku jadi bersimpati kepada Bu Vina.
Diantar Pak Legowo aku bertemu Bu Vina. Biasalah basa-basi ngalor ngidul. Dari obrolan singkat itu aku mendapat tambahan informasi bahwa Bu Vina tinggal di kamar itu bersama dua anak kembarnya yang masih kelas 6 SD.
Aku memang sering melihat anak yang mirip bule dan cantik sering main di dekat kantorku. Aku sebelumnya tidak tahu bahwa mereka ada dua orang. Keduanya memang mirip sekali dan susah membedakan. Kedua anak itu kemudian hari diperkenalkan kepadaku. Mereka adalah Stephani dan Stephana. Kedua anak ini mengingatkankan ku pada Cinta Laura. Mereka memang manis dan cantik.
Mengenai Bu Vina, dia wanita Jawa yang berpenampilan berani, usianya kutaksir sekitar 32 tahun. Mungkin pengaruh hidup bersama bule cukup lama, sehingga merubah penampilannya jadi rada ngesex. Abis perut dan udelnya selalu kelihatan. Apalagi kalau ngobrol berdua dengan ku, dia cuek saja pada susunya yang tidak terbungkus BH dan pentilnya melentung dibalik kaus ketat.
Aku sering mengomentari dan menatap susunya, tapi Bu Vina cuek saja. Dia beralasan rada susah bernafas kalau dadanya terkungkung BH. Aku jadi makin betah menyambangi kantor baruku. Jika dulu ngobrol dan Pak Legowo terasa asyik, sekarang ngobrol sama si Vina malah lebih asyik. Bukan hanya pembicaraan yang seru, tetapi juga pemandangan sering menggiurkan.
Sejauh ini aku belum menyeret Vina masuk ke dalam pusaran birahi ku. Kelihatannya dia juga begitu. Aku akhirnya akrab dan juga dengan kedua anaknya. Baru sebulan kenalan, rasanya sudah seperti kenalan lama. Ani dan Ana sering kubawakan oleh-oleh makanan seperti pizza dan makanan-makanan junk food lainnya. Kantorku yang lainnya bersebelahan gedung dengan Plasa Senayan, jadi memudahkanku membeli makanan-makanan seperti itu.
Beberapa kali kuajak Ani dan Ana tentu bersama emaknya jalan-jalan ke mall. Mereka kubelikan baju lalu kami makan. Ana dan Ani sering pulang kuberi uang jajan, sehingga mereka jadi manja kepadaku.
Karena kesibukanku mondar mandir keluar kota ke luar negeri. Lebih dari sebulan aku tidak ketemu Vina dan kedua kembarnya. Ketika setelah itu ketemu kembali Ana atau Ani melapor bahwa mereka sudah tidak sekolah lagi. Kata maminya, tidak punya uang. Aku langsung menyambangi Vina dan menanyakan kebenaran informasi yang disampaikan kembarnya. Vina dengan tertunduk membenarkan, Dia sudah tidak punya uang lagi untuk mengongkosi anak sekolah. Padahal kedua anak itu sudah menjelang uian akhir.
Tanpa pikir panjang aku langsung menyatakan diri sebagai Bapak Asuhnya. Semua keperluannya akan aku penuhi, termasuk uang jajannya sehari-hari. Untunglah sekolahnya masih mau menerima mereka kembali. Aku juga menyuruh kedua anak itu mengikuti bimbel untuk persiapan ujian akhir.
Saudara bukan, kenal juga baru saja, tetapi hubunganku dengan keluarga Vina sudah sangat intim. Tinggal hubungan intim saja dengan Vina yang belum sih. Akhirnya seluruh kebutuhannya aku penuhi.
Bagiku soal materi tidak begitu memberatkan. Pendapatanku dari kantor biro arsitek masih dua kali lipat dibanding pengeluaranku untuk keluarga Vina. Hubungan kami memang aneh, begitu akrabnya seperti orang pacaran, tapi sekali pun belum pernah mengarah kepada hubungan intim. Masalahnya mungkin aku terlalu sibuk dan Vina sendiri juga heboh mondar mandir untuk sekedar mendapatkan biaya hidupnya.
Aku hanya bersimpati kepada si kembar. Tidak bisa kubayangkan jika dia putus sekolah dan Vina hidupnya luntang lantung. Menurutku, Ana dan Ani tidak pantas miskin, karena memang wajah dan modelnya sepantasnya kaya.
Suatu hari Vina menarikku ke ruangnya mengajak ngobrol. Dia belum pernah seserius ini. “Mas aku mau nitip anak-anakku, aku ada kerjaan harus ke kalimantan, mudah-mudahan seminggu bisa selesai, “ katanya serius.
Vina memang memanggilku mas. Sejenak aku memutar otak. Memang kalau mereka ditinggal hanya berdua di kamar yang disewa Vina, kasihan tidak ada yang mengurus, baik makan maupun lainnya. Sedang di apartemenku mereka dengan mudah bisa mencari makanan ke bawah yang merupakan pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta. Pada saat itu ku ingat mereka baru saja selesai ujian akhir dan libur.
Mungkin berada di apartemenku sekalian juga buat liburan, karena di kompleks apartemen ada semacam waterboom. Masalahnya apartemenku ku disain model studio meski luasnya sekitar 60 m2. Jadi hanya ada satu bed king size dan seperangkat sofa.
Aku menyetujui menerima kedua anak itu ikut tinggal bersamaku. Mereka senang ketika berada di unit apartemenku. Hampir semua kebutuh rumah tangga ada dan persediaan makanan berlimpah. Aku memang setiap saat memenuhi kulkasku dengan berbagai bahan makanan dingin dan berbagai minuman dingin. Apalagi mereka melihat fasilitas renang yang beraneka ragam permainan. Belum lagi di bawah apartemen merupakan pusat perbelanjaan yang selalu ramai.
Jadilah mereka pindah sementara di apartemenku. Vina kelihatannya senang anaknya kerasan menghuni apartemenku. Setelah dia berpamitan, kedua anaknya langsung meluncur ke kolam renang. Aku tinggal mereka sejenang untuk kembali mengurus kantor-kantorku. Jam 8 malam aku sudah kembali, mereka sedang asyik duduk di sofa sambil menonton acara di TV kabel. Keduanya tentunya sudah makan dengan jajan di bawah apartemen.
Ini adalah malam pertamaku dengan kedua anak-anak ini. Mereka sudah siap mengenakan piyama dan aku menyegarkan diri sambil berendam di air hangat untuk menghilangkan kepenatan seharian bekerja memburu harta.
Seperti biasa aku hanya mengenakan celana pendek dan kaus oblong. Kami bercengkerama di sofa sambil mengobrol. Aku banyak menanyakan mengenai papi mereka. Mereka terksesan membci papi mereka. Kesan itu mendalam sekali karena kehidupan mereka langsung melorot dari keadaan serba kecukupan menjadi kekurangan apa pun.
Aku ajak mereka tidur karena memang sudah jam 10 malam. Lampu aku redupkan dan aku rebah disamping Ana atau Ani. Sampai sekarang aku masih sulit membedakan mana yang Ana mana yang Ani. Mereka selalu menertawai ku jika salah memanggil nama mereka.
Selimut memang hanya satu, jadi kami bertiga tidur satu selimut. Kami terdiam menjelang tidur. Tiba-tiba Ana memiringkan badannya dan memelukku yang tidur telentang kakinya menimpa penisku. Aku diam saja, tetapi penisku tidak dia mulai membesar karena tertindih kaki Ana. “Oom pipinya bangun ya,” kata Ana. Dia menyebut penis dengan istilah pipi. Aku diam saja.
“Oom boleh nggak ana pegang pipi nya,” tanya ana yang tentu saja membuatku terperanjat.
Aku tanya apakah dia pernah pegang pipi. Dia bilang dulu kalau tidur ama papi sering megang pipinya papi. Aku pikir karena dia terbiasa gitu, itung-itung aku sebagai penganti papinya jadi yang monggo saja, kataku. Ana parahnya bukan memegang tetapi malah meremas. Tentunya saja penisku jadi makin keras. “Kamu apakan pipi nya oom “ tanya ku.
“Enak kan oom,” katanya sambil tangannya berusaha menjangkau penisku dari dalam celana. Penisku digenggamnya sebentar lalu dikocok-kocok. Aku jadi terangsang gara-gara tingkah anak ini.
Dari gerakan tangan kurasakan dia sudah terbiasa memainkan penis. Aku diam dan berusaha ingin tahu apa saja yang dia ingin lakukan terhadap penisku. Celanaku dipelorotkan dan malah dilepas dengan bantuan jari kakinya. Dibalik selimut aku sudah tidak bercelana lagi dan penisku jadi tegang sekali.
Ana bangkit dan selimut dibukanya. Muncullah penisku tegak berdiri di dalam genggaman Ana. Dia duduk bersila sambil terus mengocok-ngocok penisku. Aku terpaksa membiarkan, karena aku pun merasakan enak. Tanpa aku sangka-sangka Ana Sudah mengulum penisku. Dia amat lihai memainkan mulutnya di penisku. Ani pun kemudian bangkit dan bergabung menjilati kantong zakar ku.
Aku sudah semakin tidak waras dan membiarkan mereka memainkan penisku. Masalahnya aku merasakan kenikmatan luar biasa di keroyok dua gadis kecil.
Ana kemudian mengambil posisi duduk diatas penisku dan tangannya menggenggam penisku dan memenyesuaikan dengan lubang kemaluannya. Dia merendahkan badannya perlahan-lahan dan bersamaan dengan itu penisku mulai tenggelam di lubang kemaluannya sampai kandas.
Aku merasa suatu kenikmatan luar biasa diperkosa oleh dua gadis cilik. Saya hanya memejamkan mata menikmati keluar masuknya penisku ke memek ana yang sempit dan mencekam. Aku merasa ada sosok tubuh yang melangkai dadaku . Ketika kubuka mataku sebuah pemandangan memukau, memek kecil tanpa bulu sudah berada dekat benar di wajahku. Ini tak salah lagi adalah milih Ani. Di dekatkannya memeknya ke mulutku dan mulutku di gerus-gerus oleh memek kecil yang merekah karena pemiliknya dalam posisi mengangkangi kepalaku. Ani minta dijilati memeknya. Aku segera menangkap pinggul Ani dan lidahku langsung menuju sasaran. Memeknya menangkup mulutku dan lidahku bermain-main di clitoris Ani.
Kedua gadis kecil ini entah sungguh-sungguh atau berpura-pura tetapi mereka merintih-rintih nikmat. Aku tak peduli lagi oleh keaslian desahan rangsangan itu, kecuali menikmati hidangan yang mereka suguhkan ke padaku.
Di bawah sana terasa Ana makin cepat memaju mundurkan badannya sehingga dampaknya penisku seperti dibetot-betot, sementara Ani pinggulnya berputar-putar sehingga menyulitkanku memokuskan jilatan. Badan Ani aku kekang . dia bisa menghentikan gerakankannya, tetapi rambutku dijambak-jambaknya.
Aku masih bertanya-tanya dalam hati sambil melaju di kenikmatan, apakah anak 11 tahun sudah bisa mencapai orgasme. Sebelum ini aku sama sekali belum pernah menyebadani cewek di bawah 18 tahun. Aku menunggu saja kejadian berikutnya.
Ani rupanya mulai menikngkat kenikmatan yang dia rasakan . Semua gerakannya berhenti termasuk mencengkeram rambutku, lalu terasa badannya ditindihkan kuat-kuat ke mulutku sehingga menutup hidungku. Aku terpaksa menahan nafas . Sementara itu terasa denyutan di seputar vagina Ani. Dia rupanya orgasme.
Di bawah sana Ana semakin hot danaku rasanya tidak mampu lagi bertahan di jepitan memek sempit yang terus menerus membetot penisku. Ana menjatuhkan dirinya telungkup dan aku semakin merasa mendekati puncak. Segera meletuslah lahar dari puncak penisku. Tapi aku tidak bisa menikmati sepenuhnya karena Ani mlah makin dalam mengubek penisku . Dia lalu menjerit lirih. Mungkin dia juga mencapai orgasme setelah terstimulan oleh semportan maniku yang hangat di dalam liang vaginanya.
Kami bertiga terbaring lemas dengan masing-masing lelehan kenikmatan di selangkangan.
Ini tentunya saja membuatku penasaran, mengenai dari mana mereka tahu melakukan permainan orang dewasa. Dari obrolan sei wawancara, kuketahui bahwa ayah mereka si bule Prancis lah yang mengajari mereka. Keduanya mengaku dijebol perawannya ketika menjelang kenaikan kelas 5. Mami mereka tahu bahkan si Vinalah yang membimbing anak-anaknya melakukan dengan papinya.
Ketika masih ada papinya mereka sering “main “ bersama maminya. Menurut kedua kembar, Papinya kuat bermain setiap malam dan selalu bermain dengan kedua kembar dan maminya.
Aku baru percaya bahwa memang ada incest yang melibatkan satu keluarga, setelah menemukan fakta pada Ana dan Ani. Ana dan Ani masih tergolong pra remaja. Buah dada mereka pun masih baru tumbuh, dengan putingnya masih seperti kacang hijau.Keduanya juga belum mendapat haid, tapi sudah jebol perawannya.
Setelah ini aku tidak tahu harus membuat keputusan apa. Semuanya serba salah. Jika aku menolak melakukan hubungan dengan mereka karena masih di bawah umur dan ancaman hukuman untuk itu cukup berat, tapi rasanya aku tidak mampu munafik membendung hasrat yang mereka suguhkan. Jika aku membiarkan semuanya berjalan seperti adanya, ada perasaan bersalah. Ah gimana nanti aja lah.
Sejak malam pertama itu, setiap malam aku selalu bergumul dengan cewek kembar yang manis-manis. Jika awalnya aku jatuh kasihan melihat masa depan mereka yang tidak menentu sehingga terbitlah pertolongan ku kepada mereka, selanjutnya mungkin aku akan lebih terlibat dan masuk kedalam pusaran pola hidup baru yang belum pernah aku bayangkan.
Celakanya atau untungnya, Vina tidak menepati janjinya. Dia malah hampir sebulan meninggalkan anak-anaknya. Aku memang jadi tambah repot, tetapi juga tambah kesenangan juga.
Vina ketika datang menemuiku, tidak ada kata lain selain ucapan “Sorry ya”. Dia datang ke apartemenku menemui anak-anaknya. Kenyataannya anak-anaknya terlihat lebih bersih, lebih terurus. “Gimana mereka merepotkan ya mas,”.
Aku harus mencermati kata-kata yang dilontarkan Vina. Apa ada makna tersembunyi di balik pertanyaannya itu. Jelas dia pasti tahu kedua anaknya bersex ria dengan ku.
“Menyenangkan koq, tapi kamu kenapa nggak jelasin kebiasaan mereka bikin aku bingung.” kataku. Ini adalah kata-kata bersayap, yang kalau Vina bisa menangkap sayap kata-katanya, dia harusnya mengerti bahwa jawabanku itu adalah laporan singkat.
“Warisan ekspatriat mas,” kata Vina.
Kedua Anak Vina memang tampak terawat setelah selama sebulan tinggal bersamaku. Mereka kelihatan lebih senang tinggal di apartemenku, karena mungkin banyak hiburan dan makanan enak. Kedua mereka lalu mengusulkan agar pindah saja tinggal di apartemenku. Ibunya menanggapi rengekan kedua anaknya hanya melakukan gesture dan matanya diarahkan ke aku. Gesture itu aku terjemahkan sebagai campuran terserah dan bagaimana. Aku sesungguhnya tidak keberatan, tetapi apartemenku kan bentuknya studio, yang tidak ada dinding penyekat, kecuali kamar mandi.
Itu pun pintunya transparan. Meski tidak jelas terlihat, tetapi siluet yang berada di kamar mandi bisa terlihat dari luar. Selain itu ranjangnya hanya satu meski ukuran kingsize. Masalah ranjang memang bisa diatasi dengan aku mengganti sofa menjadi sofa bed. Masalahnya siapa yang tidur di sofa dan siapa yang tidur di bed.
Tinggal bersama Vina berarti aku bagaikan bersuami dia dan mempunyai dua anak. Aku rasanya masih enggan untuk menikah, trauma kali ya. Tapi menolak permintaan kedua anak-anak ini aku juga tidak tega.
Akhirnya kuterima keinginan mereka pindah dari kamar sewaan ke apartemenku. Sofa diganti dengan sofa bed.
Aku tidak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi pada malam pertama kami tidur bersama dengan Vina dan kedua anak kembarnya yang sudah menjadi patner sex ku.
Malam pertama kami tinggal bersama aku merayakannya dengan memesan paket makanan dari restoran di bawah.
Selesai makan, aku segera bersiap untuk mandi membersihkan badan karena debu polusi Jakarta rasanya sudah menutupi seluruh tubuh. Sedang aku asyik gosok gigi, pintu kamar mandi diketuk dan langsung di buka. Pintu kamar mandi memang tidak ada kuncinya. Kedua anak-anak itu menyusulku dan mereka sudah bugil.
Mereka katanya ingin mandi berendam bersama di kolam jacuzzi yang hangat dan memberi efek pijatan dari semburan air. Kami bertiga lalu berendam. Belum 2 menit Vina ikut masuk dan langsung melepas bajunya lalu ikut nyemplung. Kami jadi berempat berendam bersama.
Kedua anak kembar itu tidak tinggal diam mereka merogoh dan kadang-kadang menyelam lalu melumat daging kerasku di selangkangan. Vina melihat kelakuan anaknya lalu merapat, “Mami ikutan dong masak kalian aja,”
Vina tidak meraih penisku tetapi maju dan mengatur posisi berada di pangkuanku duduk berhadapan. Tanpa basa basi penisku digenggamnya dan langsung diarahkan ke lubang vaginanya. Aku tersandar di dinding bak, tidak mampu dan tidak mau protes. Lubang vaginanya terasa kesat, mungkin karena pengaruh air. Vina dengan sabar menjebloskan penisku ke dalam liang vaginanya. Pelan tapi pasti penisku masuk makin dalam. Vina langsung mendesah desah tanpa ada rasa sungkan pada kedua anaknya. Aku merasa kemaluan Vina sangat kesat. Cairan vaginanya bercampur dengan air panas masuk melumuri seluruh batangku.
Ekspresi Vina sangat luar biasa. Dia berteriak, mengerang tanpa rasa sungkan. Aku mendengar dan merasakan gerakannya jadi makin terangsang. Untungnya, Vina termasuk wanita yang cepat orgasme, sehingga baru sebentar main dia sudah berteriak tanpa mencapai puncak. Tapi setelah itu masih dia teruskan mengebor diatas penisku. Posisiku yang berada di bawah bisa bertahan untuk tidak buru-buru meledak.
Vina sudah orgasme 2 kali dan sambil terengah-engah dia mengatakan, “kamu hebat mas, kuat banget, barangmu keras banget aaahhhh”. Menjelang aku orgasme Vina sudah mendahuli orgasme dan ini adalah yang ketiga baginya. Kenikmatan vagina berdenyut membuat aku tidak mampu lagi menahan ledakan di dalam vagina Vina.
Malam pertama itu aku menjadi budak harus melayani ketiga cewek. Pada bagian-bagian akhir aku hanya tidur telentang saja dan kusediakan penis yang tegak berdiri untuk mereka lahap.
Selanjutnya sampai mereka mereka kuliah , kami tetap menjalani family sex.