Cerita Sex Seorang Wartawati Senior Perawan Tua – Suatu hari kolegaku, seorang wartawati mengajak makan siang. Aku memang biasa makan siang bareng dia, jadi ajakan kali ini tidak aneh bagiku. Namun dia kali ini ngajak makan di restoran yang rada tenang. Biasanya kami selalu berburu makanan enak setiap jam makan siang. Kami sering bertemu jika melakukan tugas liputan. Dia penggemar makanan enak, seperti juga aku.
“Dik, yuk kita jalan-jalan ke Eropa, sekaligus liputan, aku kepengin keliling Eropa,” kata mbak Tati.
Gagasan mbak Tati agak menggugahku. Pertama, yang mengajak adalah Mbak Tati, wartawati senior, perawan tua. Karena asyik dengan pekerjaannya sampai umur 35 belum juga kawin. Padahal orangnya ramah, badannya proporsional, kulitnya putih.
Kami beberapakali berkesempatan liputan bersama dia ke beberapa kota dan ada juga ke luar negeri. Namun bukan kami jalan berdua tapi, tetapi bersama rombongan wartawan. Aku dan mbak Tati cukup akrab, hubungan kami hanya sebatas bersahabat, tidak lebih dari itu. Aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk mendekati mbak Tati lebih dari sahabat. Padahal kesempatan itu ada.
Kami pernah tidur sekamar ketika melakukan liputan ke Tokyo. Sebetulnya kondisinya tidak sepenuhnya seperti itu, tapi ketika aku sedang dilanda sakit perut, aku memilih tinggal di kamar tidak meliput. Rupanya Mbak Tati rada malas , sehingga dia pun memilih tinggal di hotel. Dia memilih tinggal di kamarku. Namun tidak ada kejadian apa-apa, karena aku memang tidak berpikiran ke arah ngesek, dia pun mungkin begitu. Apalagi perutku mules dan mondar-mandir nongkrong di kamar mandi.
Cerita Sex Ke Eropa, sebenarnya bukan hal baru bagi ku mungkin juga bagi Mbak Tati, Aku pernah ke Prancis, Austria, Swiss dan Jerman. Semua perjalananku hanya semata-mata tugas jurnalistik. Jadi tidak banyak waktu untuk jalan-jalan. Kesempatan di sela-sela kunjungan itu, paling-paling hanya melihat beberapa tempat terkenal dan tentunya mencari sesuatu untuk di beli. Itu berarti keliling ke pusat-pusat perbelanjaan. Ajakan Mbak Tati ini cukup menarik.
Ada beberapa hal yang ingin kulihat mungkin juga mengalaminya. Ketika kutanya Mbak Tati apa yang ingin dilihat di Eropa, dia tidak secara spesifik menyebutkan. Dia hanya menginginkan jalan-jalan tour. Dia katanya juga pernah ke Eropa beberapa kali seperti ke Belanda, Inggris dan Swiss, tapi semua itu tidak bisa dinikmati sepenuhnya karena dalam rangka peliputan. Aku memahaminya, karena aku pun demikian. Dia ingin bebas tidak terikat waktu dan menikmati alam Eropa. Aku dipilihnya karena dia merasa cocok jika jalan denganku. Mbak Tati jika jalan keluar kota atau keluar negeri, jika ada waktu luang memang selalu menggandengku untuk menemaninya. Bahkan ketika dia ingin berdisko di Kuta Bali ketika kami sedang meliput di sana, dia mengajakku juga.
Itulah sedikit gambaran kearabanku dengan mbak Tati. Aku memang menjadi sahabatnya yang paling dekat, dia menganggap aku yang kala itu berumur 28 tahun sebagai adiknya.
Kami sama-sama bekerja di mass media Cuma beda surat kabar.
Mbak Tati lalu membeberkan rencananya keliling Eropa, dia ingin ke Belanda, Prancis, Jerman dan beberapa negara lainnya. Kami berbagi tugas. Dia menyusun strategi agar kami bisa dapat penugasan dari kantor untuk jalan ke Eropa. Sedangkan aku menyusun rencana dan memilih tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi.
Tidak mudah bagi kami untuk mendapat izin dari kantor melakukan liputan ke luar negeri, tetapi Mbak Tati punya kiat agar dapat izin. Jika peristiwanya tidak betul-betul menarik, maka mustahil kantor kami mengirim kami ke sana. Apalagi biaya untuk peliputan ke luar negeri, cukup besar.
Mbak Tati dengan antusias memastikan bahwa aku hanya perlu membekali diri dengan uang saku saja. Soal biaya yang lain-lain akan diusahakan Mbak Tati.
Dia menyarankan mulai menabung dari sekarang. Rencananya perjalanan itu pada bulan Juli tahun depan.
Strategi Mbak Tati aku acungi jempol. Dia mencari suatu acara yang layak diliput dan kantor kami kemungkinan besar bakal menyetujui untuk diliput. Acara-acara itu seperti Konferensi Tingkat Tinggi, atau pameran internasional, atau acara apa pun yang erat kaitannya dengan kepentingan Indonesia.
Mbak Tati memang trampil, dalam 3 hari dia sudah berhasil mengumpulkan acara-acara besar pada bulan Juli di Eropa. Kami lalu berdiskusi untuk memilah dan menentukan acara apa yang akan kami liput. Pilihan jatuh pada pameran furniture internasional di Paris. Sebelum kami putuskan untuk meliput acara itu, kami lalu menghubungi beberapa pengusaha besar furniture di Jakarta. Beberapa dari mereka ternyata berencana ikut dalam pameran itu, karena pameran itu dianggap banyak pembeli potensial dari seluruh Eropa.
Mbak Tati aku akui memang wartawan yang gesit dan kreatif. Belum sampai sebulan sejak pembicaraan kami di resto hari itu, dia sudah mengantongi komitment tiket dan hotel dari calon peserta pameran dari Indonesia.
Para pengusaha itu antusias kesertaan mereka mendapat liputan dari media nasional, oleh karena itu mereka dengan senang hati menyediakan tiket pesawat, hotel, transportasi dan konsumsi selama mereka berpameran.
Tiket dan hotel itu bukan hanya untuk dia, tetapi juga untukku. Amanlah, tiket dan hotel sudah ditangan, masalahnya tinggal kami mengumpulkan untuk uang saku. Aku dan Mbak Tati akhirnya menjadi anggota delegasi untuk pameran ke Paris. Berbekal itu, kami bisa bebas fiskal di airport.
Kami targetkan dalam setahun ini bisa terkumpul masing-masing kami 2 ribu dolar. Jumlah yang lumayan besar di Indonesia, tetapi kalau dipakai melancong mungkin tidak terlalu besar. Memadailah.
Kami apply untuk peliputan ke panitia pameran di Paris, Prancis . Semua persiapan sudah rapi, tinggal apply visa dan izin dari kantor. Waktunya masih panjang jadi kami tidak perlu mengajukan perjalanan itu ke kantor kami masing-masing.
Untuk berjalan keliling Eropa, minimal harus menguasai bahasa Inggris, Prancis dan Jerman. Aku mengusulkan Mbak Tati untuk belajar bahasa Eropa melalui kursus. Dia setuju dan memilih belajar bahasa Prancis. Aku memilih bahasa Jerman. Bahasa Inggris tentunya sudah kami kuasai lah.
Jadwal perjalanan sudah selesai aku susun. Draft perjalanan ini sudah lebih dari 10 kali berubah karena berbagai keinginan dan penyesuaian di tempat tujuan. Semula aku menyontek dari acara tour dari travel biro. Namun setelah kupelajari tempat-tempat yang dikunjungi, terasa kurang menarik. Aku dan Mbak Tati tentunya tidak perlu berkunjung ke tempat-tempat seperti kalau di Jakarta, Dufan, Taman Mini, Taman Mekarsari atau ke Monas. Kami ingin lebih menyelami kehidupan masyarakat di berapa tempat di Eropa, yang pastinya jauh berbeda dengan kehidupan di Asia.
Sejak awal menerima ajakan mbak Tati, aku sebenarnya sudah memendam keinginan untuk mengunjungi tempat nudist. Aku bukan ingin melihat orang telanjang semata-mata, tetapi ingin merasakan, gimana sih rasanya telanjang secara bebas. Gagasan ini akhirnya aku utarakan juga kepada Mbak Tati, dengan rada malu-malu. Dia mulanya kurang setuju, karena dia tidak siap ikut menjadi nudis. Tapi kuyakinkan bahwa di tempat nudis, tidak perlu juga harus ikut nudis. Di beberapa tempat diperbolehkan tetap memakai bikini. Aku beralasan bahwa sampai saat ini belum ada media di Indonesia yang membuat reportase mengenai nudis. Rupanya liputan yang bakal ekslusif itu menggelitik Mbak Tati. “ Iya ya belum pernah aku baca laporan dari daerah nudis oleh wartawan Indonesia,” kata mbak Tati.
Akhirnya dia setuju. Aku lalu membayangkan bakal melihat mbak Tati bugil. Mbak Tati sebenarnya bukan wanita yang tergolong kurang menarik. Wajahnya rata-rata saja, tetapi kalau lama-lama di perhatikan banyak juga yang menarik darinya. Wajahnya ayu khas Jawa, badannya berisi dan nyaris over weight.
Setelah mantap menjelang 3 bulan keberangkatan kami mengajukan permohonan visa ke Kedutaan Prancis. Dengan dalih melakukan liputan, akhirnya kami mendapat visa Schengen tanpa kerepotan yang berarti.
Izin dari kantor sudah ditangan, bahkan kami sudah mengatur, selesai acara liputan kami langsung cuti 12 hari. Prakteknya kami cuti 15 hari karena ada 2 hari minggu dan sehari tanggal merah. Untuk acara peliputan sendiri adalah 4 hari. Jadi termasuk perjalanan pulang pergi kami melakukan perjalanan 21 hari.
Pada hari H kami berjanji ketemu langsung di Terminal 2D Soekarno Hatta. Ternyata hanya kami berdua yang statusnya wartawan, selebihnya ada sekitar 20 orang adalah para pengusaha mebel yang ikut di pameran itu.
Aku berhasil mengumpulkan 2000 dolar, bahkan kantor masih memberi tambahan 500 dolar.
Sesampai di tempat tujuan, ternyata aku dan Mbak Tati tinggal sekamar. Aku kuatir tapi juga senang. Kuatir karena bisa menimbulkan gossip diantara pengusaha mebel rombongan kami, tapi juga senang karena ya sekamar, jadi komunikasi lebih lancar. Yang membuat aku kikuk dan nggak enak hati adalah tempat tidur di kamar kami hanya satu bed yang lebar. Aku sudah mengurus ke front office, tapi katanya hotel penuh, jadi tidak bisa tukar kamar.
Mbak Tati tidak mempersoalkan , dia malah tenang-tenang saja. Untuk mengurangi rasa risih dan kikuk, aku candai dia bahwa mulai malam ini jadi suami istri yang tidur satu selimut. Mbak Tati hanya senyum mesem.
Malam pertama dan malam kedua tidak ada kejadian penting untuk diceritakan. Kami tidur dengan damai dan aku pun tidak berusaha memperkeruh suasana.
Mungkin karena sudah terbiasa, Mbak Tati jadi lebih santai. Pakaian dalamnya sering dibeber-beber di atas tempat tidur tanpa rikuh. Kadang-kadang malah hilir mudik hanya berbalut handuk hotel. Kalau melihat itu aku jadi kesengsem juga, pahanya kelihatan tebel dan lipatan buah dadanya sangat menggairahkan. Bokongnya tidak kalah menarik, karena menonjol banget..
Kesanku Mbak Tati meneruskan kebiasaannya dirumah dalam hal mau dan sesudah mandi. Aku memang dianggapnya anak kecil yang tidak perlu harus malu terhadapku.
Aku harusnya memang siap sampai pada tingkat melihat mbak Tati telanjang.
Di malam ketiga, atau malam terakhir kami di Paris, aku iseng ngomong ke mbak Tati. “ Mbak aku boleh nggak latihan nudis,”
“Latihan, gimana dik, kamu ini ada-ada saja, koq pake latihan segala.” katanya.
Aku mengatakan bahwa malam ini aku mencoba nudis di kamar dan tidur pun nudis. Aku tawarkan ke Mbak Tati, kalau dia mau ikut latihan ya monggo. “Ah aku nanti aja ah kalau sudah ditempatnya, masak di sini, kan kamarnya dingin, kalau telanjang kan tambah dingin ,” katanya.
Sepulang kami dari liputan kami lalu kembali ke hotel. Acara jalan-jalan keliling Paris, udah bosan. Semuanya mahal-mahal. Aku langsung kekamar mandi. Selain kebelet bab, aku ingin mandi.
Dari kamar mandi, aku keluar begitu saja telanjang sambil mengusap-usap handuk. mBak Tati kaget melihat aku bugil. “ Kamu kayak orang gila yang jalan-jalan telanjang di Jakarta,” ledek mbak Tati.
Untungnya penisku tidak berdiri, sebab di kamar mandi tadi sudah aku paksa keluar spermanya agar adiku yang satu ini anteng.
Jujur saja rasanya di dalam hati aku khawatir, malu dan sebagainya untuk memulai telanjang . Tapi semua itu aku redam. “ Kalau orang lain bisa, kenapa aku enggak,” begitu tekadku.
Aku sengaja mondar-mandir di kamar, membuat kopi, memanaskan air untuk bikin mi instan lalu duduk sambil nonton TV.
Aku leluasa ketika mbak Tati di kamar mandi. Keluar dari kamar mandi dia nekat juga hanya mengenakan celana dalam. Buset teteknya ternyata gede banget, gundal-gandul.
Untung aku lagi duduk sambil mengangkat kaki, sehingga penisku yang berdiri pelan-pelan jadi gak kelihatan. “Gitu dong mbak, jadi kita nanti terbiasa,” kataku.
“Ah kamu yang enak liat aku telanjang, “ kata mbak Tati sambil mondar-mandir membereskan baju dan memasukkannya ke koper.
“Aku nggak nyangka kalau tetek mbak ternyata besar dan bagus ,” kataku memuji.
Dipuji begitu Mbak Tati hanya menoleh ke arahku sambil memonyongkan mulutnya.
Mbak Tati kemudian berdiri dan memeriksa celana dalamnya. Dia seperti membetulkan letak sesuatu di dalamnya. “Mbak lagi dapet ya,” tanyaku seenaknya.
“Iya nih tinggal dikit, mungkin hari terakhir,” katanya.
Mbak Tati lalu berjalan senaknya, dengan hanya pakai CD. Aku pun berusaha cuek saja, tidak memperhatikan susunya. Dia pun seperti tidak memperhatikan penisku yang akhirnya kuyu kedinginan.
Aku masuk ke bawah selimut karena memang AC kamar dingin sekali. Aku sudah mematikan sejak tadi, tetapi sisa dingin AC sebelumnya masih menyengat.
Sambil tiduran aku berselimut dan menonton TV.
Benar-benar hebat, kami tidur satu selimut berdua dalam keadaan telanjang (mbak Tati nyaris telanjang sih), tetapi tidak terjadi apa-apa. Aku tidak percaya seandainya ada yang cerita begini ke aku.
Pagi-pagi aku langsung masuk kamar mandi dan bab lalu mandi. Takut bau, aku bab sambil merokok. Mandi buru-buru sambil keramas. Di kamar mandi udaranya dingin juga sih. Aku lalu mengeringkan badan dengan handuk. Tiba-tiba masuk Mbak Ratih tergopoh-gopoh dia lalu duduk di toilet dan terdengarlah desisan pancaran air seni. Ku ledek, “siulannya bisa dilaguin nggak”
“Jangan ngeledek, gua lagi kebelet banget nih,” katanya.
Setelah pipisnya reda, dibukanya celananya. Dia memperhatikan pembalutnya hanya ada noda coklat sedikit.
Tanpa basa-basi, Mbak Tati masuk ke bath tub dan menyiram seluruh tubuhnya termasuk rambutnya dengan air hangat. Aku yang sedang gosok gigi melihat dari pantulan cermin bahwa jembut Mbak Tati ternyata tebal sekali.
Mbak Tati minta aku menyabuni punggungnya. Aku menurutinya dan menanyakan bagian mana lagi. Dia bilang “ Enak aja, udah ah, punggung aja. “
Badannya lembut dengan lapisan lemak. Penisku jadi bangun. Mbak Tati meledek, “wah itu burung bangunnya kesiangan,” katanya. Ucapan singkatnya itu malah membuatku penasaran. Apa kira-kira maksud dibalik kata-kata itu. Apakah yang dia maksudkan bahwa aku tidak berani mengambil inisiatif mencumbunya, atau memang arti yang harafiah. Dari pada salah, laebih baik aku dianggap tidak berani mengambil inisiatif. Pilihan ini kuanggap terbaik, sebab kalau aku berinisiatif, kalau dia tidak bisa terima, dan aku dianggap menangguk di air keruh, akibatnya bisa runyam. Buktinya tadi waktu akusabuni dia tidak menizinkanku untuk menjamah tubuhnya lebih jauh. Akhirnya aku menjawab dengan lagak bodok. “Dari tadi udah bangun, dan tidur lagi, gara-gara liat mbak sih dia jadi marah,” kataku.
Aku cuek saja seperti tidak menginginkan apa-apa. Selesai gosok gigi aku langsung ngloyor keluar dan membuat sarapan sambil tetap telanjang.
Mbak Tati keluar dari kamar mandi juga telanjang bulat rupanya. Dia memilih-milih baju lalu dipakainya satu persatu. Seolah-olah dia di kamar sendirian sehingga tidak terlihat ada rasa malunya. Karena dia berlaku begitu, aku pun juga mencoba bersikap yang sama.
Kami lalu bersiap-siap chek out.
Kami menggunakan kereta cepat TGV dari stasiun Paris Gare Lyon yang berangkat jam 11.54 siang dan sampai di Lyon sekitar jam 2 siang. Kereta cepat kebanggaan Prancis memang luar biasa, dalamnya kayak pesawat terbang. Kami membeli tiket eurail dari Jakarta, jadi agak murah. Tapi itu pun harganya hampir sama dengan harga tiket pesawat Jakarta – Surabaya.
Hari ini kami memulai penjelajahan keliling eropa. Repotnya sebagai wartawan kalau jalan-jalan mesti banyak nyatat dan ambil foto. Kami memang bermaksud membuat tulisan dari perjalanan ini. Ambil foto juga harus ekstra hati-hati. Lihat kiri kanan dulu, kira-kira aneh nggak kalau aku motret di sini. Di era kecurigaan terhadap teroris ini membuat aku selalu waspada dan sadar lingkungan. Lyon sebenarnya bukan kota turis. Tapi begitupun kota ini menurut penilaianku sangat indah. Sejarahnya yang panjang sejak sebelum masehi, merupakan daya tarik kota ini. Banyak bangunan-bangunan indah bersejarah.
Sejak tiba di stasiun aku dan mbak Tati langsung menuju hotel murahan yang sudah kami pesan dari internet. Kami memang bertekad untuk menjadi tourist backpacker . Tempatnya memang tidak terlalu di tengah kota, tapi lumayanlah masih mudah dicari. Untungnya Mbak Tati udah bisa bahasa Prancis, jadi nanya-nanya gak terlalu rumit.
Aku terkesan, kota ini banyak sekali dijumpai kaum muda, mungkin karena kota pelajar kedua terbesar di Prancis.
Kami menempati kamar yang isinya 8 orang dengan 4 bed bertingkat. Turis laki perempuan di campur satu kamar. Aku dan mbak Tati menempati satu bed bertingkat, aku di atas dan dia di bawah. Ransel kami titipkan di locker, dan kami jalan-jalan dengan menggunakan metro. Di tengah kota, banyak sekali sepeda di sewakan. Uniknya jika menggunakan sepeda kurang dari 30 menit tidak perlu bayar. Banyak orang bolak balik tuker sepeda, tapi aku dan mbak Tati, lebih suka jujur aja kami berkeliling dengan sepeda di seputar Quai St. Antoine.
Program kami mampir di Lyon hanya 1 malam, karena masih banyak yang ingin kami nikmati . Banyak juga sih cerita mengenai Lyon, tapi pada kesempatan lain sajalah saya bercerita.
Kami meninggalkan Lyon dengan kereta TGV menuju Montpellier . Sampai di kota yang aku menyebutnya kota peler. Hampir 2 jam juga perjalanan dari Lyon ke kota Peler ini kami tempuh. Sesampai di stasiun Montpellier St-roch, kami mencari informasi sewa mobil. Akhirnya kami mendapatkan sewa mobil Fiat Panda. Lumayan juga mobilnya tidak terlalu besar. Berbekal peta dan tentunya GPS, perjalanan jadi lebih mudah dan menyenangkan. Rencananya mobil ini akan kami sewa 3 hari dan kami bawa sampai ke Cap d’agde. Sebetulnya menyenangkan juga sewa mobil sambil berkeliling Eropa, tetapi memerlukan waktu lama dan butuh stamina. Kami memilih untuk memakai mobil sewaan berkeliling ke kota-kota kecil. Perjalanan jarak jauh mengandalkan kereta cepat.
Muter-muter di kota peler sampai sore, lalu aku mengarahkan ke Cap d.agde. Sekitar jam 8 malam kami sampai di kota telanjang terbesar di dunia.
Karena suasana sudah mulai gelap, maka kota telanjang itu ketika kami tiba , tidak ada yang telanjang lalu lalang. Kami telah memesan kamar di Hotel Ave, satu-satunya hotel di area nudis.
Proses chek ini tidak terlalu lama, kami lalu diberi kunci untuk kamar yang kami pesan. Hotel Eve sebenarnya bukan lah hotel yang mewah, karena kamarnya tergolong kecil. Tarifnya lumayan cukup tinggi, tapi kami pilih karena ingin merasakan dan melihat ketelanjangan.
Di luar daerah nudis banyak sih hotel yang lebih murah, tetapi kalau kami mau ke daerah nudis harus berjalan cukup jauh.
Tidak ada istilah capek, begitu barang diletakkan di kamar, aku lalu mengajak mbak Tati untu menikmati kehidupan malam . Kota ini benar-benar bebas. Ada bar khusus untuk Gay, Lesbian bahkan swinger. Meski mereka yang mondar mandir pada malam ini berpakaian, tetapi hanya menutupi aurat ala kadarnya saja. Banyak kulihat cewek dan pasangannya hanya pakai celana G string dan ditutup kain seperti jaring ikan dan dadanya juga ditutup baju tipis, sehingga pentilnya bisa tembus pandang.
Aku jadi teringat cerita Sodom dan Gomorah. Mungkin situasi kota itu dulu seperti ini. Tidak ada kamus malu di terapkan di kota ini. Selesai menyantap makan malam, Aku dan mbak Tati iseng jalan-jalan ke arah pantai yang rada gelap. Di sana banyak rupanya aktifitas. Pasangan bule-bule gila dengan bebasnya melakukan cumbuan bahkan banyak yang lagi ngenti di tempat terbuka. Bukan mereka yang malu, malah kami yang malu, sehingga kami tidak bisa lama-lama berada di sana.
Aku mengajak mbak Tati kembali ke pusat keramaian dan mencari bar untuk menikmati seteguk dua teguk bir.
Jam 12 malam, mata udah mulai berat, kami kembali ke kamar hotel. Kepalaku agak berat, mungkin pengaruh bir tadi, tapi masih waras sih. Aku kembali bertelanjang lalu masuk ke bawah selimut. Mbak Tati di kamar mandi lama bener.
Aku lupa menceritakan bahwa kamar yang kami pesan ini tidak ada AC nya, ini untuk mengejar harga yang murah. Aku pikir ngapain juga pake AC, orang telanjang kan tidak perlu AC. Jadi baru sebentar berselimut jadi gerah. Selimut aku buka. Dan aku tiduran sambil nonton TV. Mulanya sambil tidur miring, tapi kurang nyaman karena TV nya ada di bagian kaki. Aku terpaksa menyandarkan bantal di bagian kepala jadi posisinya kepala agak tinggi. Persoalannya adalah penisku berdiri. Entah karena pengaruh pemandangan selama kami keluar tadi atau karena alkohol, atau karena udah beberapa hari nggak dikeluarin sehingga spermanya udah penuh. Sebetulnya aku malu, tetapi lalu berpikir, ngapain malu, hidup bertelanjang kan apa adanya, kalau berdiri yang manusiawilah, biarin aja.
Aku berusaha santai, “tapi tegang” ketika mbak Tati keluar dari kamar mandi. Dia pun ternyata ingin tidur sambil telanjang. Jadi dari kamar mandi udah gundal-gandul tuh tetek besarnya. “ Mbak susunya apa gak bisa dititipin di locker room, kan berat di bawa kemana-mana,” ejekku melihat tetek besarnya.
“Ngawur aja, emangnya bisa dicopot, lha kamu apa gak ngganggu tuh ekor dipasang di depan, sana gih titipin ke locker kalau bisa “kata mbak Tati agak sengit tapi dengan nada bercanda.
Mbak Tatik lalu duduk di sampingku bersila. Dia ngemil buah. Orang ini doyan banget ngemil. Persediaan makanannya bermacam-macam.
“Ngapain tuh buntutnya kok berdiri,” kata mbak Tati.
“Nggak tau dari tadi sulit banget dijinakkan, “ kata ku sekenanya.
“ Sini gua sentil biar tidur,” katanya sambil ancang-ancang mau menyentil. Aku tentu saja berusaha melindungi penisku agar tidak benar-benar di sentil.
“Jangan disentil dong mbak, apa nggak kasian, diakan minta disayang,” kataku rada menghiba.
“ Ya udah sini saya elus-elus biar cepet tidur,” kata mbak Tati sambil mendekatkan posisi duduknya ke arah penisku.
Aku diam saja sambil menunggu apa sih yang mau dilakukan mbak Tati. Terhadap aparatku. Dia benar-benar menjangkau penisku lalu memang benar-benar dielus-elus. Mendapat sentuhan itu, langsung badanku merasa kemerenyeng (gak ada bahasa Indonesianya sih).
Aku lalu mendesis, emang sentuhannya rasanya enak banget. Mana mungkin si Boy bisa tidur dielus-elus begitu, dia malah makin mengeras. Karena enaknya aku tidurnya jadi melorot. Mbak Tati kemudian bukan hanya mengelus malah mencengkeram. Dia gemes katanya sehingga batangku diremas-remas. Aku jadi makin keenakan. “ Aduh mbak enak banget,” kataku.
Aku sudah tidak peduli, apa yang kurasakan ku ekspresikan dengan desahan-desahan.
Aku lalu seperti mengingau mengatakan,” mbak jangan diremes doang dong dia minta lebih disayang, dia minta dicium tuh,” kataku.
“Lha kok malah nglunjak,” kata mbak Tati.
Tapi dia kemudian mendekatkan mulutnya dan mulai menciumi barangku. Gila rasanya makin syur. Aku sudah merasa tidak ada jarak lagi dengan mbak Tati.Dia kuminta melumat penisku. Mungkin dia juga terangsang sehingga permintaanku segera dipenuhinya. Barangku dilumatnya dan mulutnya maju mundur di penisku. Pertahananku rasanya hampir jebol. Mbak Tati kuminta melepas kulumannya dan aku segera membekap kepala penisku dan melesatlah cairan kental putih keluar dari ujungnya. Aku menjaga jangan sampai air maniku tumpah ke bed, sehingga begitu usai ejakulasi aku buru-buru ke kamar mandi membersihkannya.
Keluar dari kamar mandi penisku sudah mereda ketegangannya. Kepalaku jadi ringan dan semua sumbatan birahi sudah plong rasanya.
Mbak Tati masih duduk bersila, dan kembali ngemil. Kudekati dia dan kurangkul dia sambil kuciumi pipinya. “ Mbak terima kasih ya aku sudah plong deh rasanya,” kataku.
Dia diam saja dan rasanya badannya melemas dan merebahkan berat badannya ke tubuhku. Kurangkul dia dan kubaringkan. Aku menciumi keningnya, pipinya lalu pelan-pelan mulutku mengarah ke mulutnya. Ketika mulut kami bertemu di membalas lumatanku.
Tanganku otomatis bergerak ke arah gumpalan yang gundal-gandul. Telapak tanganku tidak cukup mengcover tetek mbak Tati. Jariku menari dan memilin-milin pentilnya yang tidak terlalu besar.
Aku menciumi lehernya dan perlahan lahan mulai menghisap kedua puting susunya. Mbak Tati mendesah sambil berkata, “ aduh dik enak dik.”
Tanganku mulai menjangkau gawuknya yang lebat. Kuraba agak ngambang untuk merasakan betapa lebatnya si jembi di bawah sana. Kemudian jari tengahku masuk agak kedalam mencari belahan. Belahan itu terasa sudah agak basah. Dengan perlahan jari tengahku mencari letak clitoris. Terasa ada benjolan agak mengeras di atas lipatan. Aku membasahi jariku dengan lendir yang keluar dari vagina mbak Tati lalu kubasahi clitorisnya dan kemudian kugesek pelan-pelan-pelan.
Mbak Tati menggelinjang setiap kali clitorisnya tersentuh. Ciumanku mulai mengarah ke perut dan pelan pelan mengarah ke vagina. Menjelang hampir sampai ke bawah, kepalaku ditahannya. “ Dik mau diapain dik, mbak malu ah, ‘katanya sambil menahan kepalaku agar tidak turun lebih ke bawah lagi.
Tapi aku merasa penahanan tangannya tidak terlalu ngekang, sehingga aku tetap bisa meneruskan misiku. Lidahku kujulurkan dan ujungnya langsung masuk kebelahan kemaluannya. Begitu lidahku tiba di sana mbak Tati langsung menjerit lirih. Jeritan nikmat.
Lidahku berusaha menemui clitoris dan akhirnya ketemu juga. Hanya saja jembut yang lebat agak mengganggu, sehingga seranganku kurang mulus. Tapi aku memberi tempo sejenak, sampai Mbak Tati melemah kesadaran malunya.
Setelah aku yakin dia benar-benar terangsang, maka kedua tanganku berusaha membuka jalan dengan menyibakkan dua sisi vaginanya dan membersihkan rintangan bulu agar lidahku bisa terbebas menemui clitoris.Aku lalu membekapkan mulutku ke bagian atas vaginanya dan lidahku mulai menari-nari di ujung clitoris yang makin membengkak.
Mbak Tati sudah kelojotan gak karuan merasakan nikmat dari ulasan lidahku di clitorisnya. Aku terus menerus menyerang tanpa memberi jeda dan serangan terfokus ke satu titik. Tidak lama kemudian badan mbak Tati menegang dan kakinya menjepit kepalaku. Seluruh bagian vaginanya berkontraksi. Aku melakukan gencatan serangan membiarkan mbak Tati menuntaskan orgasmenya. Namun mulutku masih menangkup di memeknya dan merasakan sensasi kontraksi yang berirama.
Sampai kontraksinya reda baru aku melepas bekapan mulutku dari memeknya. Aku duduk bersimpuh dan pelan-pelan aku tusukkan jari tengahku menelusup ke dalam lubang vagina. Jariku mencari G spot yang kira-kira berada di antara posisi jan 11 dan jam 1. Aku menermukan G spotnya diposisi jam 12 lebih sedikit.
Aku lalu mengunyel benjolan lembut itu pelan-pelan dengan irama teratur. Belum sampai 5 menit dia sudah mulai menegang kembali dan tiba-tiba muncrat sedikit cairan dari bagian memeknya sampai mengenai mukaku. Mbak Tati sampai menjerit histeris ketika mendapat orgasme kali ini. Seluruh liang vaginanya berkedut mencengkeram jariku yang masih berada di dalam. Mukaku terkena pancaran sampai 3 kali, lalu ciaran itu meleleh diantara belahan vaginanya.
Setelah erangannya mereda dan kontraksinya makin lemah. Aku menarik diri dan duduk disamping mbak Tati yang seperti setengah pingsan. Mukaku masih agak belepotan oleh air yang menciprat dari vaginanya, sebagian masuk ke mulutku dan rasanya agak asin.
Mbak Tati sadar bahwa dia menyemprotkan cairan sehingga mengenai mukaku. “ Sorry ya dik kamu kecipratan kencing ku ya, aku mau tahan tapi nggak bisa, abis enak banget, kamu apain sih tadi sampai bisa begitu,” kata Mbak tati sambil mengusap mukaku yang masih berselemak.
Cipratannya bukan kencing karena agak kental, Mbak Tati heran setelah merasakan cairan yang disemburkan tadi agak kental. “ Lho dik yang muncrat tadi kok kayak sperma mu ya,” katanya.
Aku menjelaskan bahwa itu memang seperti sperma dan biasa melejit saat wanita mencapai orgasme vagina.
Mungkin karena dia merasa bersalah atau karena apa, dia lalu bangkit dan menarikku ke kamar mandi. Dia membasuh mukaku dengan handuk basah dan menyabuninya. Aku agak gelagapan juga diraup handuk basah, tapi berusaha nurut aja.
Setelah dia membersihkan diri, Mbak Tati lalu menyeretku kembali berbaring di tempat tidur.
Aku tidur dipeluknya, Belum berapa lama mbak Tati sudah tidur pulas sehingga ketika kulepas pelukannya dia melemas saja dan tetap tidur lelap. Saya tidak suka tidur berpelukan, karena rasanya gerah dan badan jadi berkeringat. Aku lalu tidur telentang disampingnya. Penisku sebetulnya sudah agak berisi lagi, tapi kubiarkan saja dan aku kosentrasi untuk tidur.
Aku yakin jika mbak Tati ku tiban, pasti dia tidak nolak alias pasrah. Tetapi kelihatannya dia sudah sangat lelah karena orgasmenya yang luar biasa tadi. Kesempatan lain masih ada, sehingga aku lebih baik bersabar saja.
Keesokan harinya kami terbangun ketika diluar sudah terang benderang. Waktu setempat sudah menunjukkan jam 8 pagi. Aku terbangun dengan penis dalam keadaan mengeras. Kupeluk mbak Tati. Dia juga terbangun dan membalas pelukanku. Aku menciumi pipinya, lehernya lalu segera turun ke buah dadanya yang sejak lama kukagumi karena besarnya. Mbak Tati pasrah ketika kutelentangkan . Perlahan lahan kunaiki tubuhnya dan kubiarkan penisku menggesek-gesek. Mulut vaginanya. Aku bisa saja mengarahkan penisku memasuki vaginanya dengan tuntunan tanganku. Tapi aku tidak melakukannya.
Lama juga kugesek-gesek penisku yang keras ke mulut vagina mbak Tati. Dia lalu membuka kakinya lebar-lebar dan tangannya menangkap penisku lalu pelan-pelan membimbingnya memasuki lubang vaginanya. Terasa agak basah di sana dan setelah posisinya kurasa tepat, pelan-pelak kudorong penisku masuk. Agak sulit sehingga aku melakukan gerakanmaju mundur pelan-pelan dan gerakannya pendek agar penisku tidak lepas dari mulut memeknya. Mungkin kepala penisku sudah makin basah terlumuri cairan dari vaginanya sehingga pelan-pelan penisku makin dalam masuk ke dalam vagina mbak Tati. Mbak Tati mendesah-desah sambil memeluk dan menarik pantatku agar masuk lebih dalam lagi. Semua penisku sudah tengelam di dalam lipatan vagina mbak tati. Aku lalu menariknya pelan-pelan lalu dengan gerakn tiba-tiba menghunjam kembali. Begitu aku lakukan gerakan berulang-ulang . Mbak Tati menjerit saat aku melakukan hunjaman. Jerit kenikmatan yang berbeda dengan jerit kesakitan.
Aku melakukan sambil mencari posisi yang paling merangsang vagina mbak Tati. Rasanya jika aku mersa posisi yang nikmat dia pun juga demikian. Jadi ada satu posisi hunjaman yang benar-benar memberi kenikmatan kedua belah pihak. Aku terus main dengan posisi MOT sampai akhirnya kami mencapai orgasme hampir bersamaan. Aku terpacu ejakulasi ketika dia mencapai orgasme. Rasanya jepitan di penisku makin ketat sehingga aku tidak bisa menahan orgasme ku.
Kutembakkan spermaku di dalam liang vaginanya dan merasakan kontraksi di dalamnya. Aku merasakan kenikmatan yang sangat sempurna. Air maniku tidak banyak keluar, sehingga, tidak sampai tumpah ke sprei.
Sampai penisku mengecil dan lepas dengan sendirinya dari lubang vagina baru aku menarik diri. Mbak Tati memuji permaianku. Dia mengatakan tidak menyangka aku mahir dalam olah sex.
Kami mandi bersama dan saling menyabuni. Aku baru benar-benar bisa jelas menyaksikan betapa gemuknya tetek Mbak Tati ketika aku menyabuninya. Jembutnya juga sangat lebat dan kasar dan lebat.
Mbak Tati tidak hamis-habisnya memujiku dalam permainan sex yang katanya belum pernah dia dapatkan, meski dia pernah berhubungan dengan 2 cowok bekas pacarnya. “Mereka cuma egois, maunya enak sendiri,” kata mbak Tati.
Ternyata Mbak Tati pecah perawannya sejak kelas 3 SMA. Lalu dia berpacaran lagi ketika akhir masa kuliahnya. Tapi kedua cowoknya itu lari dan mengawini wanita lain. Itu yang membuat Mbak Tati merasa membenci laki-laki yang katanya egois.
Aku terus terang mengatakan, tidak berani berbuat kurang ajar kepada mbak Tati agar perjalanan yang panjang ke Eropa ini tidak terganggu. Kalau saja mbak Tati tidak menginginkan aku, tetapi aku tetap menyerangnya, bisa-bisa rencana yang kami susun lama bisa berantakan. Aku menyadari, wanita yang sudah berumur, punya sikap yang lebih egois, dan tidak mudah ditaklukkan dengan sentuhan birahi dan rayuan. Resistensinya tinggi sekali. Makanya menghadapi mbak Tati, aku lebih banyak mengalah dan selalu mendahulukan kepentingannya.
Mbak Tati akhirnya juga menyingkap rahasia, bahwa dia tidak keberatan aku gagahi, karena dia nilai selama ini aku tidak pernah berbuat kurang ajar. Dia merasa lebih nyaman bersamaku.
Aku sangat menjaga selama bersamanya untuk tidak mengambil inisiatif. Selalu aku memberi dia kesempatan untuk mengambil keputusan lebih dahulu. Ketika pagi tadi main aku sengaja tidak langsung membenamkan penisku, tetapi kuberi kesempatan agar mbak Tati lah yang mengambil inisiatif menuntunnya.
Dari jendela kulihat pemandangan di luar, sebagian orang mondar mandir telanjang, tetapi sebagian ada juga yang mengenakan bikini dan celana renang. Aku berembuk dengan Mbak Tati, apakah akan keluar telanjang atau pakai bikini dan celana renang.
“Udah nanggung sampai disini, coba aja kita melenggang telanjang kaya orang gila, rasanya gimana sih,” kata Mbak Tati menantang.
Kami akhirnya bugil-gil keluar dari kamar hotel dengan hanya menenteng tas yang berisi dokumen penting dan uang. Pada awalnya aku merasa minder juga karena penisku kelihatannya kecil dibandingkan bule-bule yang kelihatannya panjang-panjang. Ah tapi aku cuek aja. Toh nudis tujuannya menampilkan aslinya, bukan mau kontes adu bagus atau adu besar.
Aku dan Mbak Tati santai berjalan diantara hilir mudik orang di wilayah nudis Cap d’Agde. Sambil telanjang kami sarapan pagi, lalu melihat-lihat toko suvenir dan masuk ke supermaket. Puas berkeliling di seputar keramaian kami menuju pantai. Tidak ada maksud mau nyebur ke laut, karena ombaknya besar dan angin kencang sekali. Kami hanya ingin tahu suasana pantai nudis. Banyak juga keluarga bule yang membawa keluarganya bertelanjang di pantai.
Satu hal yang sangat kusayangkan adalah sulitnya melakukan pemotretan. Di semua wilayah nudis diberlakukan peraturan ketat, tidak boleh mengambil gambar sembarangan meski melalui kamera HP. Kelihatan tidak ada orang yang curi-curi ambil gambar. Tapi aku tidak mau menyerah begitu saja. Perjalanan yang mahal sampai ke sini masak disia-siakan dengan menyerah begitu saja. Sambil pura pura menggengam HP aku berkali kali menekan tombol foto. Kamera HP ku lumayan canggih, bisa anti blur dan kemampuannya 5 megapixel. Banyak juga gambar yang aku ambil curi-curi, sampai aku punya gambar suasana supermaket bugil, cafe bugil dan keluarga bugil bersama di pantai. Banyak yang kurang bagus memang, tetapi banyak juga yang memadai sebagai dokumentasi.
Bosan berkeliling kota bugil, kami kembali ke hotel untuk istirahat tidur siang. Badan rasanya bergetah dengan uap air laut. Aku memutuskan mandi membersihkan badan. Mabk Tati rupanya juga merasakan hal yang sama. Kami mandi berdua dan saling menyabuni.
Enak banget rasanya memeluk tubuh mbak Tati yang sedang penuh sabun. Tubuhnya kenyal dan licin. Batangku jadi mengeras akibat berpelukan dengan belepotan sabun. kusodok-sodokkan dari belakang mbak Tati. Batangku melesat diaantara jepitan belahan pantat yang montok banget. Begitu aja rasanya sudah nikmat banget.
Disiramnya penisku dan dibersihkannya kemaluannya, mbak Tati lalu nunging membelakangiku. Aku menangkap sinyal itu agar aku memasukinya dari belakang. Pelan-pelan kuarahkan penisku memasuki vagina mbak Tati sampai akhirnya ambles seluruhnya . Aku menabrak-nabrak pantat bahenol mbak Tatik sampai bergetar semua lemak di bokongnya. Sebenarnya posisi ini kurang aku sukai karena rasanya jepitan vagina kurang kencang. Tapi mbak Tati mengerang-erang merasakan hunjaman penisku. Aku jadi bersemangat berkali-kali menabrak-nabrakkan badanku dari belakang.
Posisi dogy ini mungkin lebih banyakmenggesek g spot mbak Tati sehingga dia merasakan syur, sementara aku merasa longgar. Benar memang setelah tidak lama kemudian mbak Tati mengerang mendapatkan orgasmenya. Aku tidak mampu mencapai orgasme dan kubiarkan saja begitu dalam keadaan tegang melanjutkan mandi dan membersihkan diri dari sabun. Sampai kami selesai mandi, penisku masih terus menegang.
Aku santai saja jalan lalu tebah di tempat tidur sambil telentang.
Mbak Tati melihat kondisiku dia berusaha meredakannya dengan mulai mengulum penisku. Aku pasrah saja mau diapai. Kubiarkan apa pun yang dilakukannya, sampai akhirnya dia jongkok di atas penisku dan menghunjamkan penisku ke dalam lubangnya. Aku tidak bergerak, tetapi Mbak Tatik aktif sekali menggerakkan pantatnya naik turun. Efeknya tetap saja longgar. Lama sekali posisi ini sampai mbak Tati lelah di kemudian benar-benar mendudukiku.
Dalam posisi ini dia bergerak maju mundur. Penisku terasa diremas-remas. Mbak tati kelihatannya mendapat posisi yang syur juga bagi vaginanya sehingga dia makin liar bergerak. Dia melampiaskan kenikmatannya dengan bergerak liar dan berteriak-teriak sendiri sampai akhirnya menjerit keenakan. Aku jadi semakin terangsa dan aku menaik-naikkan pantatku untuk mengejar orgasmeku yang hampir sampai. Akhirnya aku berhasil mencapai orgasme juga dengan susah payah.
Kami lalu jatuh tertidur dengan badan penuh berkeringat.
Aku terbangun lebih dulu dan di luar kelihatan sudah mulai gelap. Kami tertidur cukup lama sampai jam 9 malam baru terbangun. Perut terasa mulai menuntut diisi. Kulihat Mbak Tati tidur telentang dengan tubuh yang telanjang. Susunya yang besar tumpah ke kiri dan kanan, sementara jembutnya lebat banget. Aku membangunkan mbak Tati dengan mengemut susunya. Dia tergugah dan tanya sudah jam berapa sekarang. Mbak Tati bangun dan duduk bersila sambil mengucek-ucek matanya. “Tidurku nyenyak banget, cape kali ya,” katanya.
Kami bersih-bersih sebentar dan berpakaian. Kami bermaksud keluar cari makan malam. Di kota nudis, tidak ada yang bugil pada malam hari di jalan. Kami tahu itu ketika malam pertama jalan-jalan.
Mataku jelalatan memperhatikan jingkah polah manusia di kota “Sodom Gomorah” ini. Ada yang sambil jalan ciuman dan pegang susu dan perempuannya meremas selangkangan pasangannya. Dan juga perempuan nyender sedang berciuman dengan perempuan pula. Ada juga bule gay sedang bermesraan di dekatnya dan mereka berciuman adu mulut juga.
Inilah pemandangan yang nggak bakal di dapat di negara ku. Mbak Tati sering aku tegur agar tidak keliatan noraknya. Abis dia menjerit lirih sambil tutup mulut dan menghindari pemandangan para homo itu. “ Biasa aja lagi, sok biasa gitu lho,” kataku menenangkan ketakjuban mbak Tati.
Aku melihat restoran yang cukup ramai, kalau nggak salah ingat merknya “Calypso”, letaknya dekat pantai. Kami memutuskan mencoba makan disitu. Tempatnya kelihatannya enak, ramai. Kami memilih duduk di teras agar pemandangan ke luar leluasa. Aku bingung membaca menunya, mbak Tati juga bingung. Aku minta ikan bakar dan salad dengan dressing thousand island. Mbak Tati lalu menjelaskan dengan bahasa Prancis yang patah-patah. Untungnya si waiter ngerti. Mungkin karena nggak mau tambah repot mbak Tati ikutan pesenan yang sama dengan aku.
Harganya tidak terlalu mahal, untuk ukuran daerah wisata dan di Prancis. Kalau dibandingkan dengan di Jakarta ya mahal banget, kami berdua makan begitu aja hampir 500 ribu perak.
Dari pendengaran ku di restoran itu kebanyakan orang-orang berbahasa Jerman dan Prancis. Cap d’agde kayaknya mayoritas dikunjungi orang dari kedua negara itu.
Mestinya sehabis makan, enaknya ngopi sambil nonton orang mondar mandir. Tapi dalam rangka pengiritan, ngopinya ditunda nanti di kamar saja.
Gaya hidup swinger, di kota ini terbuka sekali. Aku melihat segerombolan bule-bule bukan hanya merangkul pasangannya, tapi tangannya merangkul siapa, mulutnya nyucup siapa. Beberapa club memang mengkhususkan untuk para swinger.
Mbak Tati kutawari masuk ke club swinger. Dia ngeri katanya. Aku bilang, sebagai wartawan harus berani blusak-blusuk. Orang di club swinger juga bukan buas-buas. Mereka nggak mungkin maksa mencumbu pasangan lain. Itulah gambaran yang kuberikan kepada mbak Tati. Lama juga dia berpikir sampai akhirnya mau untuk sekedar coba-coba.
Kami berkeliling untuk mencari club swinger yang paling besar. Kami masuk dikenakan cover charge. Harganya rada mahal juga, tapi aku lupa. Pokoknya pada waktu itu terkesan mahal. Di dalam suasana club seperti pada umumnya disko. Musik berdentum-dentum membujuk oengunjung untuk joget dilantai . Suasana ruangannya tidak terlalu gelap, tetapi juga tidak terang. Aku dan mbak Tati memilih tempat yang agak jauh dari arena jojing dan agak menyudut. Aku memesan bir, mbak Tati tequila. Musik berdentum-dentum. Suasana makin panas mendekati tengah malam. Lantai dansa yang tadinya sepi kini mulai ada yang turun di sana. Makin pagi makin seru. Pakaian mereka sudah tidak jelas lagi. Beberapa ceweknya malah telanjang bulat menari-nari dikelilingi beberapa cowok yang hanya bercelana dalam.
Aku dan Mbak Tati jadi minder, karena kami merupakan sebagian tamu di situ yang masih berpakaian lengkap. Mereka yang masih lengkap bajunya sepertiya seperti kami juga yang baru pertama kali datang ke klub ini. Pesta di swinger club ini bernar-benar liar. Tapi meski begitu aku akui orangnya sopan-sopan, tidak berangasan. Sebelum para pengunjung menggila dengan membuka semua pakaiannya aku dan mbak Tati masih berani turun ke lantai dansa. Itu juga karena tetangga meja kami mengajak kami turun bersama. Kami joget berganti-ganti pasangan, tetapi kembali ke pasangan semula ketika duduk lagi di meja kami.
Ketika pesta makin menggila, dan nyaris semua yang turun ke lantai dansa bugil, di beberapa sudut aku melihat pasangan-pasangan melakukan ritual bersetubuh. Ada yang sepasang tetapi ada juga cewek dikeroyok 2 cowok.
Rasanya kalau disini jadi orang waras, nggak bakalan tau dan merasakan nikmatnya pesta swinger. Aku sudah mulai setengah tinggi, Mbak Tati juga kayaknya begitu. Musik yang berdentum sangat merangsang semua orang disitu untuk goyang.
Aku melihat banyak ruangan di belakang, bahkan ada kolam kecil berisi air panas. Ini ku kethui ketika jalan mencari wc. Menurut waiter yang kutanya, semua pengunjung boleh berendam di kolam air panas itu tanpa dipungut bayaran. Kalau mau melampiaskan nafsu liar berorgy dengan pasanan lain juga disediakan kamar tapi dikenakan charge, sesuai dengan besar kamarnya. Aku malah digandeng si waiter melihat-lihat situasi di belakang. Aku seperti orang modern masuk keabad primitif melihat kamar-kamar itu berisi orang lagi melampiaskan nafsunya beramai-ramai. Ada yang sampai 4 pasang saling memuaskan nafsunya. Ah sulit sekali menggambarkannya, karena terlalu primitif.
Ku ceritakan pengalaman ku tour ke belakang. Mbak Tati penasaran dia pengen liat juga. Aku menggandengnya dan kuingatkan jangan keliatan norak kalau liat pemandangan di belakang nanti. Mbak Tati hanya geleng-geleng saja mengagumi bebasnya orang orang disitu melampiaskan nafsu sexnya. Aku mengajak Mbak Tati untuk berendam sebentar di air panas sambil mengendurkan otot dan relax. Di tempat berendam itu, musik yang berdentum tidak bisa menembus ke belakang. Jadi suasananya relax sekali.
Yang terdengan malah rintihan dan jeritan orang sedang melakukan hubungan sex. Semua yang berendam di situ telanjang. Kami akhirnya menyesuaikan dengan menyimpan pakaian kami di locker yang tersedia. Ada 5 pasangan yang umumnya sudah berusia diatas 40 tahun. Aku menyapa mereka yang lalu disambut ramah. Aku dan Mbak Tati malah disalami. Kami berduabelas jadi akrab. Ada orang Prancis, Inggris, Jerman dan Kroasia. Kami ngbrol dengan bahasa gado-gado, kadang Inggris, lalu Jerman lalu Prancis.
Ada yang lucu ketika kami berkenalan. Cowoknya memperkenalkan diri lalu menunjuk cewek yang sedang dipeluk cowok lain sebagai istrinya, “ That’s my wife,” kata si Inggris.
Di dalam tempat berendam tidak diperbolehkan melakukan hubungan sex, ada aturan yang tulisannya di tempel di dinding dalam 3 bahasa. Berpelukan ciuman, raba-raba masih diperbolehkan. Meski disitu kelihatan bebas, tetapi tidak ada yang mencolek Tati. Di negara ini hukuman pelecehan sexual amat keras. Jadi meski di swinger club, mereka kelihatannya tetap mematuhinya.
Setelah setengah jam berendam, kami mentas. Mbak Tati ngajak pulang ke hotel, karena kepalanya pening. Suasana di luar sudah sepi karena sudah jam 3 dini hari. Kami kembali ke hotel dalam keadaan segar, tetapi mata ngantuk dan kepala berat. Aku melepas semua baju langsung rubuh di bed. Mbak Tatik masih sibuk di kamar mandi. Aku langsung tidur.
Dari Cap d’Agde kami lalu mengelana ke Swiss, Jerman dan kembali ke Belanda. Di Belanda kami sempat mengunjungi club swinger. Meskipun tidak melakukan swinger, tetapi pengetahuan kami bertambah dengan melihat sendiri kehidupan para swinger.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air Mbak Tatik sudah membuat rencana lagi. Dia katanya ingin mencoba Trans Siberia bersamaku tahun depan.