Cerita Sex Gairah Wanita Hamil 7 Bulan – Aku disuruh oleh Mamah mengambil jahitan di rumah Tante Carissa. Besok sore mau Mama pakai untuk kondangan ke pesta pernikahan anak Oom Dodi. Mama mengecilkan bagian pinggang baju kebayanya. Sudah beberapa hari yang lalu Mama membawa baju kebayanya itu ke rumah Tante Carissa.
Tapi waduhh.. aku malas mau ke rumah Tante Carissa. “Mama aja deh yang ke sana..” kataku.
“Mama melahirkan kamu susah-susah sampe berteriak-teriak kesakitan, tapi suruh kamu ngambil baju Mama nggak sampai 15 menit aja, kamu nggak mau!” omel Mama.
Akhir-akhir ini Mama memang suka cerewet. Mama tidak pernah berpikir bagaimana 21 tahun yang lalu ia bikin aku dengan Papa. Aku yakin Mama hanya berteriak sakit satu kali, yaitu ketika kontol Papa menerobos memecahkan kegadisannya.
Ngocoks Setelah itu, apa Mama masih sakit? Kalau Mama masih sakit, anaknya tidak mungkin sampai 3 orang. Uggh, begitulah wanita kalau sudah mau masuk masa menopause, suka uring-uringan saja. Daripada tambah Mama semakin naik darah, aku berjalan ke rumah Tante Carissa.
Di depan rumah Tante Carissa tergantung beberapa kandang burung milik Oom Kardono, suami Tante Carissa. Aku tidak tahu burung apa yang ada di kandang bagus-bagus beraneka warna tersebut. “Burung” sendiri aja jarang aku urus, kenapa pengen tau “burung” orang lain?
Yang membukakan pintu rumah untuk aku ternyata bukan Tante Carissa, tapi Andini, putri tunggal Tante Carissa yang sudah menikah. Aku kenal baik dengan Andini, tapi siang ini Andini yang sedang hamil itu membuat aku terkaget-kaget.
Pakaiannya kaos bertali kecil di pundak dan celana pendek. Bukan hanya leher, paha dan kakinya yang mulus kuning langsat yang membuat aku terpana, tapi perutnya yang buncit itu meluber keluar dari bagian bawah kaosnya hingga nampak pusernya. Ia tidak nampak canggung dengan aku.
“Lho kok kamu ada di sini, Din?” tanyaku. Ia kakak kelas aku di SMA. Setelah menikah, ia tinggal di luar daerah ikut suaminya.
“Rencananya mau melahirkan di sini. Mumpung ada Mami yang ngurusin…” jawabnya tersenyum. “Tumben kemari? Ayo masuk…”
“Aku mau ngambil jahitan Mama..” jawabku ikut Andini masuk ke dalam rumah.
“Tuh.. di meja, cari aja sendiri. Aku nggak tau mana baju Mamamu, Mami nggak ada di rumah, ke rumah Oom, istrinya meninggal. Mungkin besok Mami baru pulang…”
“Aku juga nggak tau mana baju Mamaku. Kemarin Mamaku yang bawa kemari sendiri, katanya sih kebaya…”
“Kalo gitu, besok aja baru ngambil. Sekarang, duduk dulu. Mau minum apa kamu?”
“Nggak usah minum apa-apa, terima kasih, Din. Mamaku mau pakai kebayanya besok.”
“Kamu duduk dulu, aku telepon Mami…” kata Andini masuk ke kamar.
Aku meletakkan pantatku duduk di sofa. Andini menelepon Maminya sementara aku duduk dengan gelisah membayangkan tetek Andini yang tidak pakai bra dan perut buncitnya yang meluber keluar dari kaos tank-topnya yang pendek.
Setelah telepon, Andini mengambil sebuah bungkusan di meja. Ternyata baju kebaya Mamaku sudah disiapkan oleh Tante Carissa. Namun begitu, Andini tidak mengizinkan aku buru-buru pulang.
“Jabang bayi di dalam perutku ini ingin berkenalan dengan kamu, Har…” kata Andini memegang perutnya yang telanjang.
“Ah, kamu bisa aja, Din…” kataku.
“Kalo nggak percaya, coba saja kamu pegang perutku ini..” balas Andini melangkah mendekati aku. Perut Andini yang buncit berhadapan dengan wajahku.
“Besar gitu sudah berapa bulan sih?”
“Mau 7, seksi ya?”
Pertanyaan Andini membuat aku tersentak, tapi aku menjawabnya dengan tenang. “Wahh.. sangat!” ujarku. “Aku nggak hanya mau memegang, tapi akan kucium perutmu ini. Jika anakmu laki-laki, nanti aku punya anak cewek, kita besanan, ya?”
Andini dan aku tertawa berbarengan. Kumajukan wajahku, lalu kucium perut Andini yang membusung di depanku. “Hmm… teruskan cium sampai ke bawah, Harr…” desah Andini, kemudian ia menurunkan celana pendeknya seperti memberiku sinyal supaya aku ‘menggarap’ tubuhnya.
Karena aku juga napsu sama dia, aku turuti permintaan Andini. Hidungku menjalar turun ke bawah. Tampak celana dalam pendek berwarna merah menggelantung di bawah perutnya. Tak segan-segan lagi kutarik turun celana dalam Andini hingga terlihat bulu kemaluan hitam menghiasi segitiga emasnya. Kucium bulu ikal kasar berujung runcing beraroma khas itu.
“Harr…” desah Andini.
“Libidomu lagi tinggi, ya? Mau kucium semua tubuhmu?” tanyaku.
“Kamu yang memulai, kamu juga yang harus mengakhiri.” jawab Andini.
“Haa… haa…” kutarik Andini duduk di sampingku. “Seandainya aku tidak kemari…?” tanyaku.
“Kamu bukan anak Mama kan, kalau pergi kelamaan suka dicari?”
“Mamaku sudah mau menopause, ngapain kutunguin?” jawabku.
“Haa.. haa.. kita ngobrol dikamarku saja kalau gitu…” ajak Andini tertawa lepas.
Segera Andini bangun dari sofa melangkah ke pintu rumahnya yang terbuka. Kubangkit dari tempat dudukku mengikuti Andini yang sudah mengunci pintu rumah, masuk ke kamarnya. Sesaat kami duduk di tepi tempat tidur, kami langsung berciuman bibir tanpa berbasa-basi lagi.
Nanti kalau aku pulang ke rumah, aku juga akan mencium Mamaku sepuas-puasnya. Rupanya ocehan Mama membawa keberuntungan bagiku. Lumayan lama kami berciuman dengan posisi duduk. Terus tanganku mulai menjelajahi tubuh Andini dari lehernya aku usap terus sampai ke punggung dan pelan-pelan tanganku mulai meremas payudaranya yang masih tertutup kaos.
Uggh, montok banget. Memang wanita kalau lagi hamil, payudaranya padat dan montok sekali, mungkin sudah berisi ASI, tapi belum bisa dikeluarkan. Kemudian ciumanku mengarah ke telinganya. Aku menjilat pelan belakang telinganya.
“Shhhh… ooohh… Harrr… ssshtt…” desis Andini.
Terus kujilat lehernya, Andini tambah mendesis. Jariku ikut mengelus ‘niple’nya. Tubuh Andini melemah, kemudian kurebahkan Andini di tempat tidur. Andini pasrah saja kulepaskan kaos tank-top dan celana pendeknya. Andini yang hanya mengenakan celana dalam itu perutnya seksi sekali. Aku mencium perutnya sambil tanganku meremas payudaranya.
Sensasinya.. bro… waww…
Ketika mulutmu mulai mengulum ‘niple’nya, ‘niple’nya keras sekali, tanda Andini sudah terangsang. Tanganku turun meraba celana dalamnya dan mengusap celana dalam luarnya. Andini terengah-engah. Sambil mulutku masih mengenyot ‘niple’nya, tanganku menyusup masuk ke celana dalamnya, dan mencari klitorisnya.
“Ughh! Shhh.. ooggh! Uggh!” desahan Andini berubah menjadi jeritan kecil sewaktu tanganku aktif bergerak di daerah vaginanya.
Vagina Andini sudah basah sekali. Kemudian aku membuka celana dalamnya. Andini bertelanjang bulat di depan mataku bukan hanya khayalan. Hidungku bisa merasakan aroma vaginanya dan merasakan lendir yang meleleh keluar dari liang vaginanya itu rasanya gurih saat lidahku menjilat sambil tanganku mengelus perutnya yang hamil.
Terus aku memasukkan jari telunjukku ke dalam vaginanya. Jariku tidak berani dalam-dalam masuknya karena takut mengganggu kandungannya. Sembari lidahku menjilat klitorisnya telunjukku keluar-masuk vaginannya, perlahan banget temponya. Andini tambah terangsang. Kepalaku diremas-remas saking nikmatnya jilatanku yang dirasakannya.
Setelah beberapa saat, aku mendengar napas Andini tambah memburu dan badannya mulai menegang serta jepitan di vaginanya tambah erat. Terus tempo gerakan jariku agak kupercepat keluar-masuk vaginanya.
“Harr.. aku mau meledak..” bisiknya.
“Ledakkan aja, aku nggak nahan kok…” jawabku masih bisa mencandai Andini.
Kujilat lagi klitoris Andini yang sudah mekar menjadi keras. Tangan Andini dengan kuat menekan kepalaku. Jilatin terus kulakukan, aku sedot… aku telan semua cairan dari vaginanya saat tubuh Andini mengejang seperti mau menjelang ajal.
Andini orgasme, aku bangun melepaskan semua pakaianku. Kami berpelukan dengan telanjang seperti sepasang suami-istri sambil tanganku mengelus-elus perutnya yang seksi, dan Andini berbisik ke telingaku,: “Boleh nggak kucium ‘adik’mu?”
Ugh, aku langsung menelan ludah. Andini kemudian bangun memegang kontolku, terus lidahnya mulai menari-nari di ujung kontolku sembari tangannya mengocok ngocoks serta berputar-putar dari pangkal sampai leher kontolku, gila… enak abis, aku sampai mengerang kenikmatan.
Aku memegang kepala Andini dan bilang padanya jangan mainin adikku kelamaan,: “Aku tidak mau meledak di mulut kamu!” kataku.
Aku mengangkat kepalanya dan aku bikin tubuhnya terlentang. Terus kuposisikan badanku di antara kedua pahanya yang terbuka lalu mulai mengarahkan kontolku ke liang vaginanya. Seksi sekali badan Andini dilihat dari atas dengan perutnya yang membusung seksi. Aku pelan-pelan menusukkan kontolku. Rupanya liang vagina Andini masih padat.
Dengan sedikit usaha akhirnya kontolku berhasil memasuki vagina Andini. K9nt6lku masuk semuanya. Nikmat banget seperti ada yang gigit, mencengkram erat kontolku, sampai aku meringis saking nikmatnya.
“Jalannya masih sempit gini, suamimu jarang tengok calon anaknya ya, Din?” tanyaku.
“Kamu tanyakan dia aja. Dia ngurus pekerjaannya saja dari pagi hingga tengah malam, makanya aku pulang ke sini…” jawab Andini dengan suara sewot.
Aku tidak mau banyak tanya soal rumah tangga Andini. Biarkan saja mereka berantem, aku nggak punya urusan. Pelan-pelan aku menggerakkan kontolku yang keras itu keluar-masuk dengan tempo yang aku atur.
Vagina Andini terasa menjepit erat kontolku. Aku harus atur napas untuk menjaga supaya aku tidak buru-buru meledak. Disertai elusan, rabaan, dan ciuman dariku badan Andini mulai menegang dan tangannya tambah erat mencengkram lenganku tanda ia mau orgasme kembali.
Gerakanku percepat, tambah cepat! Dan aku juga mulai merasa sudah mau dekat ke ujung. Waktu merasa aku mau keluar, Andini tambah keras mencengkram aku. “Aahhhhhhh.. aku mau meledakk…!” erangku.
Lahar panas aku menyembur kencang di dalam vagina Andini. Dinsanya aku melayang-layang. Tidak tahu lagi apa yang terjadi pada Andini, apakah ia ikut orgasme atau tidak. Setelah itu, aku tidak buru-buru mencabut kontolku. Kubiarkan kontolku melemas sendiri di dalam vagina Andini. Lalu kucium perutnya, kucium bibirnya dan kucium ketiaknya.
“Oohh… kamu bikin aku gila sama kamu, Din…” kataku terengah-engah.
Andini mengajak aku mandi bareng. Aku menyabun badannya dengan lembut, dan daerah yang paling lama aku sabuni adalah daerah perutnya. Aku usap lembut dengan gerakan memutar, turun-naik, Aku menikmati sensasinya.
Andini bertanya padaku,: “Kamu suka perut aku ya?”
“Iya, aku suka sama wanita hamil,” jawabku.
“Terus.. kalo aku sudah melahirkan, kamu sudah nggak suka sama aku, dong?”
Aku hanya senyum tak menjawab, lalu kucium bibirnya. Sekali lagi kami mengulangi cumbuan terlarang itu di kamar mandi.
Bersambung…