Cerita Sex Ibu Kepala Sekolah – “Sudah dengar gosip dari kampung sebelah?” kata Indra. “Gosip apa’an?” kataku setengah mengantuk. Angin semilir di cuaca panas menggoda kedua mataku untuk menutup.
“Ada anak nyuruh ibunya telanjang di jalan,” kata Indra. Ada-ada saja, pikirku. Tapi berita itu menyegarkan kepalaku. “Buat apa dia nyuruh ibunya telanjang di jalan?”
“Katanya dia memang senang bikin malu ibunya. Ibunya ketangkap waktu jalan cuma pakai sempak doang. Bayangin!”
“Terus?” aku semakin penasaran. “Warga kampung nanya kenapa dia jalan telanjang. Katanya disuruh anaknya. Kebetulan anaknya ada di dekat situ. Jadi dia ditangkap juga.”
Ngocoks “Kok bisa ya? Gimana caranya dia bisa nyuruh ibunya gitu?” Indra mengangkat bahu. “Kalau itu aku gak tahu. Mungkin keduanya memang gila. Udah deh, mendingan kau fokus belajar aja. Kau ‘kan sudah dua kali gak naik kelas. Mau sampai kapan SMA terus?”
Ia terbahak-bahak. Aku mendorongnya karena kesal.
Teng! Teng!
Bel sekolah berbunyi. Kami bergegas masuk ke kelas. Pikiranku masih terbayang gosip dari kampung sebelah.
Pelajaran agama yang dibawa Bu Endang selesai, begitu pula kegiatan sekolah hari ini. Sebelum pulang, aku mampir ke dalam kantor kepala sekolah.
Aku melongok ke dalam ruangan. “Ma?”
“Ya, masuk aja Nak,” ujar Mama dari belakang meja kerjanya. Ia masih sibuk mengetik di depan komputernya.
Kuhempas badanku di atas sofa. Aku suka berada di kantor Mama karena ada AC. Sangat nyaman duduk-duduk lama di ruangannya, terutama di musim panas ini.
“Udah laper belum?” tanya Mama tanpa menoleh.
“Udah laper sih,” jawabku.
“Tunggu bentar ya, Mama dikit lagi selesai,” kata Mama.
Aku menghabiskan waktu sambil membuka Instagram di smartphone. Tiba-tiba terbesit untuk mencari tahu soal kejadian di kampung sebelah. Siapa tahu ada beritanya di internet.
Tidak ada berita apa-apa. Tampaknya kejadian itu tidak viral.
“Mau makan apa nih?” ujar Mama. Komputernya sudah mati dan dia sedang memasukkan berkas-berkas ke tas jinjingnya.
“Soto Makassar aja Ma,” jawabku.
“Soto Makassar di Gang Dua?”
“Di mana lagi yang enak selain di situ?”
“Ya udah, yuk pulang.”
Kami keluar dari kantor kepala sekolah. Mama mengunci pintu dan memastikan jendela juga sudah terkunci.
Kami berjalan di lorong sekolah yang mengarah ke halaman parkir. Sambil jalan, Mama terus bertanya soal kegiatanku di sekolah. Aku jawab pendek-pendek saja karena Mama selalu mengulang pertanyaan yang sama setiap hari.
Mama berjalan di depan, sementara aku di belakang sambil melihat-lihat Instagram. Sesekali aku melirik Mama yang mengenakan seragam cokelat. Meski usianya hampir 45, tapi bentuk tubuhnya masih oke.
Mama rutin berolahraga senam bersama para tetangga setiap sore dan menjaga makan. Memang badannya gemuk, tapi masih menonjolkan bentuk pinggulnya yang melengkung seperti gitar.
Aku tersentak. Kenapa tiba-tiba aku memikirkan tubuh Mama?
Kami sampai di lapangan parkir. Mama mengeluarkan kunci mobil dan menekan tombol di kunci. Mobil di depan kamu berbunyi dua kali, lalu Mama membuka pintu depan.
“Mau duduk di depan atau belakang?”
“Di depan aja Ma.”
Mama menyalakan mesin mobil. Aku duduk di sebelahnya. Meski Mama mengenakan jilbab, tapi aku bisa melihat keringat yang mengalir di pipinya.
“Cuaca hari ini ampun dah,” keluh Mama.
Pak Paijo, penjaga sekolah, membuka pintu gerbang sekolah. Mama menurunkan kaca mobil untuk mengucapkan terima kasih, lalu menaikkannya kembali.
Sepanjang pinggiran jalan dipenuhi tukang-tukang yang memperbaiki trotoar. Beberapa kali Mama harus sedikit membelokkan mobil supaya terhindar dari gunungan pasir dan batu. Tampaknya pemerintah lagi gencar membangun fasilitas di desa kami.
“Kayaknya AC mobil Mama perlu diperbaikin deh,” kata Mama sambil menekan tombol di samping kemudi. “AC nyala, tapi masih panas.”
Memang suhu di dalam mobil cukup sejuk, tapi Mama lebih gampang kepanasan daripada aku.
Mama menyampirkan bagian bawah jilbabnya ke leher. Ia melepas empat kancing atas seragamnya, lalu mengipas-ngipasnya.
Aku menelan ludah. Belahan tetek Mama menyembul keluar. Kalau saja ia tidak pakai beha, mungkin teteknya bakal lebih menyembul lagi.
“Nah begini ‘kan lebih enak,” kata Mama sambil terus mengipas.
Meski kedua tanganku sibuk main game smartphone, kedua mataku sibuk melirik ke keringat yang mengalir dari leher Mama ke belahan teteknya.
Celanaku terasa sesak. Masa aku sange sama ibuku sendiri?
Pemandangan itu berjalan sebentar karena kami sudah sampai di warung soto. Mama memasang kembali kancing seragamnya. Aku merasa sedikit kecewa.
Bangku-bangku di warung soto dipenuhi orang-orang yang makan siang. Si pemilik warung mempersilakan kami duduk di area lesehan yang masih banyak kosong.
Mama mendengus kesal. “Mama gak suka lesehan karena Mama pakai rok. Susah duduknya.”
“Tapi kita sudah keburu di sini,” kataku. Tahu-tahu setitik ide melintas di kepalaku.
“Kita duduk di lesehan pojok saja,” kataku sambil menunjuk ke tempat lesehan yang kosong. “Di sana Mama bisa naikin rok Mama biar duduknya lebih enak.”
“Malu dong keliatan orang,” kata Mama.
“Mama duduk di pojok dinding, aku duduk di depan Mama. Jadi Mama gak bakal kelihatan.”
Mama mengipas wajahnya dengan tangan. “Ya sudah biar cepet. Mama kepanasan nih.”
Sesuai saranku, Mama duduk di menempel di dinding dan aku duduk di depannya. Ada meja kecil di tengah kami, jadi bagian bawah tubuh Mama sudah tertutup sebagian.
“Bentar, Mama naikin rok dulu,” kata Mama.
Mama sedikit menaikkan badan. Kedua tangannya bergerak ke bawah. Terdengar suara rok dinaikkan. Ia duduk kembali.
“Nah, nyaman juga,” kata Mama. “Tapi kamu jangan banyak gerak, nanti Mama kelihatan orang.”
“Tenang aja Ma,” kataku.
Mama memesan 2 porsi soto dan dua gelas es teh manis. Sembari menunggu pesanan datang, kami sibuk di depan smartphone masing-masing. Sebulan ini Mama baru mengerti cara main TikTok dan tampaknya ia suka menonton video-video lucu di sana.
Pelayan warung datang sambil membawa baki berisi soto. Aku membantunya menaruh mangkok soto. Ketika mau mengambil gelas es teh, tanganku menyenggol smartphone di atas meja. Benda itu jatuh ke kolong meja.
Aku menundukkan kepala untuk mengambilnya. Begitu kepalaku masuk ke dalam kolong meja, aku melihat sempak Mama yang berwarna putih. Mama duduk bersila sehingga sempaknya terlihat jelas. Belahan memeknya membayang di tengah sempaknya. Beberapa helai jembutnya tampak mencuat keluar dari pinggiran sempak.
“Ngapain kamu, Nak?” tanya Mama.
“Ngambil hape,” jawabku.
Kumajukan sedikit badanku supaya bisa melihat sempak Mama lebih jelas. Aku bisa sedikit menghirup aroma keringat dari memeknya.
“Kok lama bener?” tanya Mama lagi. “Sotonya keburu dingin nih.”
Kuraih smartphone yang tergeletak di depan selangkangan Mama. Kunyalakan kamera, lalu kufoto sempaknya. Gambarnya kurang jelas karena kolong meja lesehan itu cukup gelap, tapi aku tidak berani memakai flashlight.
“Dapat nih,” kataku sambil mengacungkan smartphone.
“Buruan dimakan sebelum dingin,” kata Mama sambil menyendok potongan ayam.
Aku buru-buru makan biar Mama tidak curiga. Selama makan, pikiranku terus mengarah ke selangkangan Mama. Untuk pertama kalinya aku melihat bayangan memek dan jembutnya. Membayangkannya saja sudah membuat kontolku mengeras.
Smartphone Mama berdenting. Mama membaca pesan masuk.
“Papa pulang telat nanti. Ada rapat dadakan,” kata Mama.
“Mama sama Papa sibuk bener,” kataku sambil mengunyah potongan ketupat.
“Kami kerja keras supaya bisa kasih kamu yang terbaik, Sayang,” kata Mama. Tangannya mengelus rambutku. “Nanti kalau kamu sudah dewasa juga bakal sibuk kayak kami.”
Kami makan siang selama setengah jam. Setelah selesai, kami pun bersiap pulang.
Mama berdiri. Kedua tangannya terangkat. “Aduh enaknya. Kaki Mama udah kesemutan.”
Aku terkesiap melihat Mama. Ia lupa menurunkan roknya yang masih terangkat sampai ke atas pantat. Sempaknya agak melorot miring sampai memperlihatkan sebagian memeknya yang berjembut.
Orang-orang di belakangku juga melongo melihat Mama.
Mama menyadari kesalahannya. Ia buru-buru menarik sempaknya, lalu menurunkan roknya.
“Apa kalian lihat-lihat!” bentak Mama. Wajahnya memerah.
Orang-orang itu cekikikan, lalu lanjut makan.
Setelah membayar, kami pulang ke rumah. Di sepanjang jalan, Mama diam saja. Jelas sekali kalau dia malu tadi.
Kami sampai di rumah. Aku turun duluan supaya bisa memandu Mama memarkir mobil.
“Jangan bilang-bilang Papa soal kejadian tadi,” kata Mama sambil menutup pintu mobil.
“Beres,” kataku.
Kami masuk ke dalam rumah. Sambil mengamati Mama dari belakang, aku membayangkan bagaimana bentuk tubuh Mama kalau telanjang.
Kukunci pintu kamarku agar Mama tidak bisa masuk. Aku segera berganti baju, lalu berbaring di kasur. Kubuka folder di smartphone untuk melihat hasil rekaman tadi.
Foto itu terlihat buram, jadi aku harus mengeditnya supaya lebih cerah. Tampilannya memang jadi lebih jelas, meski ada beberapa titik buram di pinggirannya.
Kuperbesar gambar supaya bisa melihat bayangan memek Mama lebih jelas. Dari bayangannya yang tercetak di sempak, bisa kutebak kalau memek Mama mungkin agak longgar.
Kontolku mengeras lagi. Kali ini aku lebih tenang karena berada di kamarku sendiri. Kukeluarkan kontolku, lalu kukocok pelan-pelan. Kupandangi terus foto sempak Mama. Semakin kupandangi, semakin keras kontolku.
“Uh Mama,” bisikku.
Kubayangkan diriku menindih Mama sampai kontolku masuk ke dalam memeknya yang hangat. Bulu-bulu jembutnya menggelitik batang kontolku. Ujung kepala kontolku menyentuh dinding rahimnya.
Mama mencengkram punggungku. Ia mengerang. “Jahat kamu Nak. Kita gak boleh begini! Kita ibu dan anak!”
Tapi masa bodo dengan ucapannya. Memeknya berdenyut dan memijat kontolku, toh itu tanda Mama menikmatinya.
Seluruh berat badanku kubebankan ke Mama. Kontolku semakin dalam menerobos memeknya. Erangan Mama semakin nyaring. Untung Papa lagi tidak ada di rumah. Jadi aku membiarkan dirinya mengerang sekeras mungkin.
“Jahat kamu! Jahat kamu!” erang Mama saat kupompa pinggulku. Keringat kami mengucur deras. Seprai di bawah Mama sampai basah, membentuk lekuk tubuhnya.
Denyutan memeknya semakin cepat, begitu pula dengan goyanganku. Aku sudah tidak tahan lagi.
“Aku mau keluar Ma!” teriakku.
“Jangan keluarin di dalam. Mama gak mau hamil anak kamu!”
Mama mendorong tubuhku, tapi tenagaku lebih kuat.
“Jangaaaaaan!” teriaknya.
Banyak sekali sperma yang muncrat dari lubang kontolku. Aku terus mengocoknya sampai tidak ada sperma yang tersisa. Begitu berhenti, aku segera mengambil tisu dan membersihkan sperma yang tercecer.
Badanku terasa enteng. Kupandangi kontolku yang loyo. Gila, membayangkan mengentot Mama saja sudah menguras sperma begitu banyak, apalagi kalau mengentotnya betulan?
Kupakai celanaku, lalu aku keluar dari kamar untuk mengambil minum.
Ternyata Mama sedang di dapur. Ia menunduk keranjang pakaian kotor. Tampaknya ia lagi memilah-milah pakaian.
Darahku mendesir karena Mama cuma mengenakan beha dan rok. Kurasakan kontolku mulai bangkit dari tidurnya.
“Kayaknya Mama lupa nyuci seragam yang lain,” kata Mama. “Besok pakai apa dong.”
“Gak usah pakai baju,” kataku. Kalimat itu meluncur begitu saja. Aku buru-buru menutup mulutku.
Mama menatapku heran. “Apa kamu bilang tadi?”
“Mama ‘kan bisa pakai baju lain. Gak harus seragam ‘kan?” kataku sambil berharap Mama melupakan kata-kataku sebelumnya.
“Ya, bisa sih,” kata Mama. Kedua teteknya yang sebesar pepaya bergoyang pelan saat ia membalik badan. Rasanya ingin sekali melepas beha yang menutupinya.
Aku sudah beberapa kali melihat Mama cuma pakai beha dan rok, tapi kali ini rasanya berbeda. Aku melihatnya dengan nafsu menggebu.
“Mama gak sesak pakai beha di rumah?” kataku. “Kayaknya beha Mama makin sempit.”
Mama melirik ke behanya. “Iya sih, ini behanya makin sempit. Kayaknya Mama gemukan deh.”
“Dilepas aja kalau di rumah Ma,” kataku. “Gak ada yang lihat.”
“Kamu yang lihat,” kata Mama sambil tertawa.
“Gak tertarik lihat tetek Mama,” kataku.
“Eh jangan salah, tetek Mama masih bagus,” kata Mama. Ia meremas kedua teteknya.
“Mana coba lihat Ma.”
“Tuh ‘kan kamu tertarik.” Mama terbahak-bahak. Kedua teteknya bergoyang naik turun saat dia tertawa.
“Mama mau mandi dulu, abis itu tidur siang,” kata Mama. Ia mengambil handuk yang menggantung di tali jemuran, lalu pergi.
Aku memandangnya kecewa.
Mataku menangkap beha hitam kotor yang tergeletak di pinggiran keranjang. Kuambil beha itu, lalu kudekatkan ke hidung. Ada aroma keringat Mama bercampur parfum.
Kalau tidak bisa melihat teteknya, setidaknya aku bisa menghirup aromanya.
Keranjang pakaian kotor itu dipenuhi pakaian Mama. Dia memang sering berganti pakaian. Daster, sempak, dan behanya sampai menumpuk menutupi pakaianku dan pakaian Papa.
Tumpukan itu kubongkar. Tanganku menggenggam selembar sempak hitam Mama yang tipis. Lucu juga membayangkan bagaimana sempak setipis ini bisa menutupi pantat Mama yang tebal.
Kuhirup sempak Mama. Oh, aromanya mirip beha, tapi yang ini lebih banyak aroma keringatnya dan ada sedikit bau pesing.
Kubungkus kontolku yang sudah mengeras lagi. Sambil menghirup beha Mama, kukocok kontolku dengan sempak Mama.
Aduh enaknya, pikirku.
Kali ini aku keluar lebih cepat. Sempak Mama belepotan sperma. Aku segera mencucinya di wastafel, lalu menaruhnya lagi keranjang pakaian.
Tak lama kemudian, Mama keluar dari kamar mandi. Tubuhnya terbalut handuk dari dada sampai paha.
“Kamu lagi cari apa di dapur?” tanya Mama.
“Mau cari yang seger-seger,” jawabku sambil beralasan membuka kulkas. Kuambil sebotol Fanta, lalu menuang isinya ke gelas.
“Loh kok pakaian Mama berceceran di lantai gitu?” tanya Mama.
DEG! Jantungku berhenti sebentar. Sehelai sempaknya tergeletak di lantai. Mungkin tadi tergeser saat aku membongkar pakaian dan jatuh.
“Kamu ada nyari pakaian apa?” tanya Mama.
“Nya-nyari kaos kemarin,” jawabku.
“Kenapa dicariin?”
“Enak dipakai.”
“Ada-ada saja. Kalau udah di sini gak usah dicariin. Tunggu Mama cuci aja.”
Mama membungkukkan badan untuk mengambil sempak di lantai. Ketika tangannya menyentuh sempak, bagian bawah handuknya tertarik ke atas. Pantatnya jadi menonjol.
Aku ternganga melihat anus Mama meski sekilas. Di belaham pantatnya ada juga bulu-bulu jembut. Tampaknya Mama tidak rutin memotong jembutnya.
“Besok ajalah Mama cuci. Mama masih capek bener,” kata Mama. “Atau kamu aja yang nyuci. Masa Mama melulu. Kamu ngerti pakai mesin cuci ‘kan?”
“Ngerti Ma. Gampang kok. Mama tidur aja, biar aku yang nyuci,” kataku.
“Ya udah kalau gitu. Mama mau tidur dulu.”
Setelah Mama pergi, kumasukkan pakaian-pakaian kotor itu ke mesin cuci. Sebaiknya aku mencuci sekarang supaya Mama senang. Sempak bekas aku pakai coli tadi juga aku masukkan ke mesin cuci. Setidaknya aku bisa menghilangkan barang bukti.
Mesin cuci berderu nyaring saat kunyalakan. Sambil menunggu cucian selesai, aku pergi ke ruang tamu.
Dari arah kamar Mama, terdengar suara dengkuran. Mama sepertinya memang kecapekan. Jarang dia tidur mendengkur kecuali benar-benar capek.
Pikiran nakal kembali menguasai otakku.
Kuintip kamar Mama lewat lubang kunci. Kulihat Mama memunggungi pintu.
Kenop pintu kuputar sepelan mungkin. Terdengar suara klik pelan dan pintu terdorong ke dalam kamar. Begitu terbuka cukup lebar, aku berjalan menghampiri Mama sambil berjingkat.
Mama cuma mengenakan kaus dan sempak. Aku menelan ludah karena melihat bongkahan pantatnya yang terbungkus sempak tipis. Sempak itu seakan-akan tidak sanggup menahan beban berat di belakangnya.
“Kubantu melepaskan beban itu,” bisikku.
Bagian belakang kaus Mama kugeser ke atas pelan-pelan sampai punggungnya yang kecokelatan terlihat. Kuendus punggung Mama. Ah, aromanya lebih kuat daripada sempak dan behanya.
Sekarang bagian tersulit.
Meski sempak Mama tipis dan karetnya agak longgar, aku tetap harus berhati-hati agar mengurangi gesekan di kulitnya.
Ada sedikit celah di antara belahan pantat Mama dan karet sempaknya. Kuselipkan ujung jari telunjukku ke dalam celah itu, lalu kunaikkan sedikit ke atas. Setelah itu, aku tarik karet sempaknya ke bawah sepelan mungkin.
Seperti tirai pembukaan teater, pelan-pelan seluruh bongkahan pantat Mama semakin terlihat. Awalnya cuma bagian tulang ekornya, lalu belahan pantat bagian tengah yang gelap, kemudian seluruh pantatnya menyembul keluar.
Sempak Mama kuturunkan sampai tepat di perbatasan paha dan pantat. Itu sudah lebih dari cukup.
Kudekatkan wajahku ke belahan pantatnya. Anusnya tidak terlihat karena terjepit pantat Mama yang besar.
Apa harus dibuka pakai jari? Bisa saja, tapi ini sangat berisiko karena Mama bisa terbangun.
Beberapa helai bulu jembut Mama mencuat keluar dari belahan pantatnya. Kujulurkan lidahku sampai meyentuh bulu jembutnya. Lidahku terasa geli seperti menyentuh sikat gigi.
Tiba-tiba alarm mesin cuci berdering. Fitur alat itu memang bisa mengeluarkan bunyi alarm ketika selesai menyuci.
Tubuh Mama bergerak-gerak. Tangannya merenggang ke atas.
Sial!
Aku merayap ke gorden terdekat, lalu menelusup masuk ke belakang gorden. Ujung gorden itu menyentuh lantai, jadi seluruh badanku tersembunyi aman.
Kudengar suara Mama menguap, lalu suara kasur berdenyit. Mesin cuci sialan itu terus berdering. Kemudian aku mendengar suara langkah kaki berat yang menjauhi kamar.
Aku mengintip dari pinggir gorden. Mama sudah pergi. Kemungkinan besar dia ke dapur buat mematikan mesin cuci. Ini kesempatanku buat kabur! Ngocoks.com
Aku lari menuju ruang tamu. Pelan-pelan kubuka pintu menuju teras supaya Mama tidak tahu kalau pintunya baru aku buka. Kemudian aku duduk di bangku kayu teras.
Beberapa menit kemudian, Mama membuka pintu teras. Ia melongok keluar. Aku pura-pura bermain game di smartphone.
“Kamu nyuci baju? Kok gak mesinnya gak dimatiin? Mama sampai terbangun,” kata Mama.
“Wah aku lagi main game. Gak tahu kalau alarmnya bunyi,” kataku.
Mama mengangguk. Wajahnya masih terlihat mengantuk. “Omong-omong kamu tadi masuk ke kamar Mama?”
“Nggak Ma. Aku dari tadi di sini.”
“Aneh bener. Pintunya terbuka, terus sempak Mama melorot,” kata Mama.
“Pintunya lupa ditutup kalik, Ma,” kataku. “Terus Mama kayaknya juga harus beli sempak baru deh. Sempak-sempak Mama yang kotor udah pada longgar karetnya.”
“Mungkin.” Mama menggaruk kepalanya. “Mama mau tidur lagi. Kamu juga jangan main hape melulu. Banyakin belajar.”
“Oke, Ma.”
Mama menutup pintu.
Selutuh ototku terasa lemas. Hampir saja aku ketahuan!
Meski menegangkan, di satu sisi aku kecewa karena kalau bukan karena mesin cuci sialan itu, mungkin aku bisa menikmati pantat Mama lebih lama.
Aku bingung. Kenapa hari ini aku melihat Mama dengan sudut pandang berbeda? Apa karena mendengar gosip dari Indra? Apa wajar bernafsu sama ibu kandung sendiri?
Kepalaku jadi pusing memikirkannya. Kuputuskan untuk tidur siang sebentar.
Bersambung…