Cerita Sex Perjalanan Wisata – Jenuh sekali rasanya dengan kemacetan di Jakarta dan pekerjaan rutin yang rasanya bikin perut mual. Aku berkhayal berkelana ke suatu daerah dataran tinggi yang masih asing bagiku.
Di kantor aku mencoba membuka google earth menjelajah daerah-daerah yang kira-kira menarik. Pertama aku menelisik daerah Wanayasa di Subang, tetapi tidak ada yang menarik, hanya ada beberapa spot, tetapi kayaknya sih biasa-biasa saja.
Aku berpindah ke daerah antara Sukabumi dengan Cianjur. Ada situs megalitik Gunung Padang. Situs ini sering muncul di pemberitaan. Yang kuingat berita dugaan bahwa situs ini diduga berupa bangunan paling tua di Asia.
Sebetulnya mengunjungi situs megalitik, tidak terlalu menarik bagiku, apalagi untuk datang kesana harus menaiki jalan undak-undakan yang cukup tinggi. Namun ada yang menarik di sekitar Situs Gunung Padang.
Ngocoks Di sana ada terowongan kereta api yang dibangun Belanda di akhir tahun 1800 an. Terowongan panjang lebih dari 400 m dengan stasiun kecil Lampegan. Terowongan dan stasiun yang tidak terpakai cukup lama itu juga sudah menjadi daya tarik wisata.
Namun rasanya kurang menarik bagiku untuk jauh-jauh datang hanya melihat terowongan dan stasiun. Setelah googling aku banyak menerima informasi mengenai situs Gunung Padang dan Lampegan.
Boleh juga rasanya ada dua obyek wisata untuk menjadi tujuan wisata. Di peta Goggle muncul pula foto air terjun Cikondang. Air terjun itu kelihatannya cukup menarik. Wah 3 obyek wisata untuk sekali perjalanan wisata, rasanya cukuplah memadai.
Otakku berproses sesuai dengan pengalaman dan minatku. Jika di tahun 1879 – 1882 pembangunan terowongan Lampengan, pastilah banyak orang Belanda yang terlibat pada pekerjaan konstruksi itu.
Pasti mereka tinggal di daerah sekitar proyek. Dan rasanya Belanda tidak akan berani membawa istri ke proyek yang pada waktu itu berada di pelosok hutan. Sebab sekarang saja letaknya kelihatan cukup jauh dari jalan raya Sukabumi-Cianjur.
Logikanya pastilah orang-orang Belanda dulu nyikat cewek-cewek kampung di sekitar Proyek. Pada waktu itu mana ada yang peduli kalau ngewek harus menjaga agar ceweknya tidak sampai hamil.
Yang penting puas negcrot ya sudah. Bisa jadi akan ada orang-orang yang keturunan bule campur wanita sunda. Jika benar, maka yang sekarang ada itu adalah mungkin keturunan generasi ke tiga atau bahkan ke empat.
Informasi ini tidak aku dapat dari pemburuan melalui googling, jadinya bikin penasaran. Jadilah tujuan wisata itu makin menarik minat. Siapa tahu bisa ketemu cewek indo di kampung pedalaman Jawa Barat.
Untuk berkelana sendirian rasanya kurang nyaman. Aku mengajak temanku sebut saja Bambang, Aku memanggilnya Mas Bambang, padahal dia juga memanggilku Mas, mas Jay. Usianya memang lebih muda dariku.
Setelah bersepakat, aku ambil cuti 2 hari, Kamis-Jumat. Pagi-pagi sekali kami berdua berangkat langsung ke Cianjur. Aku menghindar pergi ke sana pada hari Sabtu atau Minggu, karena hanya boros-boros energi, dan uang dengan kemacetan jalur puncak.
Sedikit kujelaskan mengenai teman seperjalananku ini, dia agak punya keistimewaan soal indra ke enam. Memang tidak tajam-tajam amat, tetapi beberapa kali cukup terbukti dengan dugaannya. Soal lain kami berdua sama-sama suka berburu wanita cantik.
Hampir 4 jam juga akhirnya kami sampai ke jalan lintas antara Cianjur – Sukabumi. Kami berhenti di satu warung yang sangat sederhana di tepi jalan raya. Bukan untuk makan, karena sejam lalu sudah makan cukup kenyang, tapi untuk sekedar ngopi dan menggali informasi.
Enak sekali rasanya ngopi sambil nyedot asap rokok di daerah yang udaranya sejuk begini. Bambang tiba-tiba bangkit berjalan ke tepi jalan raya. Aku tidak sempat bertanya, hanya mengikuti dengan pandangan saja. Dia terlihat menghampiri seorang wanita yang kelihatannya sedang menunggu kendaraan umum.
Mereka kelihatan ngobrol sebentar, lalu wanita itu ikut Bambang berjalan menuju warung. Kelihatannya ceweknya cukup bening, umurnya sekitar 25 – 30 tahun agak tinggi, kulit putih dan rambut kelihat kayak dicat coklat. Setelah agak dekat aku baru agak jelas melihat raut wajahnya, yang lumayan cantik juga.
“Kenali mas,” Bambang mengenalkan wanita itu ke aku. Si cewek mengulurkan tangan dan aku segera menyalaminya. Rasanya lembut sekali tangannya. Dia menyebut namanya Wieke. Ketika kutawari minum dia menolak, eh malah minta izin ke pemilik warung mau ke WC.
Ketika dia berlalu, aku penasaran dengan rencana si Bambang. Dia dengan semangat menjelaskan bahwa, Wieke ini berhasil dibujuk Bambang agar menjadi penunjuk jalan untuk mencapai obyek wisata yang akan dituju.
Harus aku akui, Bambang cukup cerdas, dan mungkin sixth sense nya tadi bermain. Perjalananku bakal makin menarik dan menantang. Wieke duduk di depan mendampingiku mengemudi, Bambang pindah ke belakang.
“Mau kemana tadi Wiek,” tanyaku.
“Mau jalan aja,” jawabnya.
Jawabannya itu menimbulkan kecurigaanku, karena jawaban seperti itu sering dikemukakan cewek-cewek yang cari mangsa di Puncak. Aku harus memastikan apa profesinya, kalau dia jualan, aku agak malas juga lah.
“Mau jalan kemana,” tanya ku.
“Ya jalan aja, di rumah stress,” katanya singkat.
“Lho kok stress, emang kenapa,” tanyaku dengan rasa ingin tahu tanpa tedeng-aling-aling.
Akhirnya dia bercerita mengenai keadaan rumah tangganya yang terpuruk sejak dia ditinggal oleh suaminya yang menghilang begitu saja sejak usahanya bangkrut. Wieke kembali ke kampung bersama anak nya berumur 2 tahun tinggal di rumah orang tuanya.
Mencari kerja tidak ada yang cocok, mulai mejadi spg sampai bekerja di restoran, hasilnya tidak memadai, karena sebagian besar habis untuk ongkos dan lebihnya untuk di rumah hanya sedikit. “Ada sih yang ngajak untuk kerja gituan, tapi saya ogah, takut kena penyakit,” katanya terus terang.
“Lha sekarang kenapa stress,” tanya saya memancing.
“Gimana gak stress, duit gak ada, gak tau mau cari kemana, listrik di rumah belum dibayar, cicilan motor udah 2 bulan nunggak, utang di warung banyak,” katanya sambil berbicara menahan tangis.
Untuk menetralkan suasana aku bertanya mengenai arah jalan. Dia menunjukkan jalan, bahkan hafal benar dengan jalan yang rusak. Rupanya dia memang berasal dari daerah Cibokor, tempat dimana yang aku duga banyak keturunan Belanda.
Wieke membenarkan bahwa di kampungnya memang benar banyak orang yang keturunan Indo. Tapi dia tidak bisa menceritakan kenapa dikampungnya banyak cewek-cewek indo yang padahal asli lahir dan besar di kampung itu dan lahir dari keluarga Sunda. Dia mengaku juga bahwa mungkin dia juga keturunan Indo.
Aku mencoba mengorek informasi mengenai tujuan wisataku. Dia mengatakan, situs Megalitik memang banyak yang berkunjung, terutama pada hari libur atau minggu. Menurut dia, tujuan wisata itu kurang cocok untuk kami, karena akan melelahkan mendaki sampai ke puncak yang disebut teras-teras. Namun untuk foto-foto masih cukup bagus.
Kami tiba di terowongan Lampegan. Terowongan yang bersejarah ini agak kurang menarik karena banyak corat-coret grafiti. Dalam perjalanan menuju Lampegan kami meliwati kampung yang disebut banyak perempuan cantik keturunan indo.
Sebetulnya aku ingin berhenti sejenak untuk ngopi, tapi Wieke mencegah, karena dia beralasan malu, sebab banyak yang dikenal di kampung itu.
Dari Lampegan perjalanan diteruskan ke Gunung Padang. Situs yang dipenuhi oleh bertaburan batu-batu purbakala itu masih dalam proses penggalian, sehingga bentuk bangunan sesungguhnya seperti apa, belum bisa dibayangkan.
Kami ambil beberapa foto, dan menjadikan Wieke menjadi modelnya. Orangnya cukup supel, dan wajahnya cukup photogenic, pandai bergaya pula. Sejam lebih kami habiskan mengitari situs Gunung Padang, lalu kami meneruskan perjalanan ke air terjun Cikondang. Orang Sunda menyebut Curug Cikondang.
Perjalanan cukup jauh juga dan jalannya banyak yang masuk klasifikasi off road . Untung mobilku SUV, sehingga mudah melahap jalan tanah yang berbatu-batu.
Sesampainya di dekat air terjun perjalanan tidak bisa dilanjutkan karena buntu. Kami harus berjalan kaki sekitar 1 km. Air terjun sudah terdengar dari jauh. Cukup terbayar jalan rusak dan berjalan kaki 1 km dengan pemandangan air terjun yang cukup menakjubkan.
Waktu sudah semakin sore, jam di tanganku sudah menunjukkan jam 5 sore, jika pulang ke Jakarta bisa dipastikan akan sampai tengah malam. Aku memang sudah berencana akan bermalam.
Aku lantas berpikir bagaimana caranya menanyakan kemungkinan ngajak nginap si Wieke. Persoalan berikutnya adalah, sama siapa si Wieke akan tidur, andaikan dia mau ikut nginap.
Pusing juga memikirkan cara menyampaikan hasrat. Aku berhentikan kendaraaan lalu mencabut 2 ratus ribu dan ku serahkan ke Wieke. Itu adalah upah dia sebagai pemandu. Diterimanya dan wajahnya terlihat senang betul.
Dalam suasana seperti itu, aku langsung melancarkan niatku mengajaknya menginap di Sukabumi. Wieke terdiam sejenak, sepertinya dia sedang berpikir. Akhirnya dia setuju ikut kami menginap. Satu persoalan sudah teratasi, persoalan berikutnya menunggu jawaban.
Aku meminta dia mengajak seorang temannya untuk ikut menginap, agar menjadi dua pasang. Wieke terdiam sejenak. “Temen saya banyak, kang,” katanya.
“Ada fotonya ? Di HP mu,” tanya ku.
Wieke lalu membuka foto-foto yang tersimpan di Hpnya, Sambil mobil terus berjalan dia menunjukkan sekitar 3 orang temannya. Aku minta si Bambang untuk memilihnya.
Bambang memilih foto yang cukuk cantik, malah lebih cantik dari si Wieke, rambutnya juga rada pirang. Wieke mencoba mengontak. Aku tau yang diajak berbicara adalah Neneng, karena Wieke menyebutnya Neng.
Kelihatannya si Neng mau diajak nginap. Menurut Wieke, Neng juga janda, umurnya sedikit lebih muda, dan baru punya satu anak sekarang sudah sekolah di SD. Neng kawin muda, lalu cerai karena suaminya ketahuan punya simpanan.
Si Neng menunggu di minimarket. Sekitar jam 7 kami sampai di titik yang dijanjikan , tapi Neneng belum kelihatan batang hidungnya. Ketika di kontak Wieke, neng sedang dalam perjalanan naik ojek dari rumahnya. “Kang si neng gak punya duit, untuk bayar ojek, makanya dia nunggu kita nyampe dulu di sini, akang bayarin ya ojeknya,” kata si Wieke.
Menurut Wieke ojek si Neng sekitar tiga puluh ribu. Pantas saja dia belum muncul, karena kalau dia datang duluan, duit untuk bayar ojeknya dia gak punya. Kehidupan di kampung kelihatannya memang berat sekali.
Aku sempat menyeduh kopi, karena kebetulan mini market ini menyediakan alat penyeduh kopi dan ada bebera set kursi dan meja. Sekitar 15 menit kami menunggu, muncul sepeda motor dengan seorang perempuan duduk di belakang. Wieke yang sudah kupegangi uang 30 ribu langsung mendekati tukang ojek untuk membayarnya.
Neneng memang cantik juga, wajahnya segar rambutnya tergerai melebihi bahunya. Aku sudah sepakat dengan Bambang, bahwa aku berpasangan dengan Wieke dan Bambang dengan si Neng. Jika memungkinkan besok di swing.
Si Neng lebih ceriwis, dia banyak berbicara dengan logat khas Sunda. Sesampai di Sukabumi aku mengarahkan ke Salabintana. Dua buah cottage kami sewa. Unit yang tersedia tidak ada yang berdekatan, sehingga kami terpisah jauh. Unit cottage, cukup mewah, dengan ruang tamu terpisah dengan ruang tidur dan ada pantry untuk memasak.
Badan terasa lengket oleh bekas keringat. Aku berencana mandi. Di kamar mandi ada shower dan setelah kuperiksa memang tersedia air panas. Sayang tidak ada bak untuk berendam.
Wieke yang duduk menonton TV kuajak mandi bareng. Tanpa malu-malu aku minta dia memandikanku. “ Ih si Akang udah kolot juga masih minta dimandiin,” katanya
Namun begitu dia berdiri juga dan merangkulku menuju kamar mandi. Aku bertahan sejenak, karena sebelum masuk kamar mandi aku menyarankan agar masing-masing membuka baju agar bisa digantung di lemari. Gantungan di kamar mandi terbatas.
Si Wieke paham, lalu dia membuka bajuku dengan menarik kaus oblongku, lalu singlet, melepas sabuk dan menurunkan resleting. Di balik celana dalam sudah mengeras sebongkah urat. “Idih senjata udah dikokang aja tuh.” kata Wieke.
Tanpa ragu celana dalamku dilepasnya sekalian, sehingga penisku langsung tegak mengacung. Digenggamnya sejenak. Rasanya nikmat.
Berikutnya giliran Wieke melepas satu persatu pakaiannya sampai telanjang bulat. Tubuhnya masih bagus, kulit putih di sekujur tubuhnya nyaris tanpa noda dan cacat. Putingnya coklat muda, rambut di selangkangannya jarang, bahkan dapat dikatakan gundul. Bentuk memeknya jadi terlihat jelas cembung.
Teteknya masih cukup tegak berdiri, ukurannya tidak terlalu besar, tetapi juga tidak dapat digolongkan kecil. Perutnya kecil, meski masih tersisa bekas stretch ketika hamil dulu, pantatnya agak nonggeng.
Wieke termasuk tinggi, bedanya dengan ku mungkin hanya sekitar 5 cm. Kutaksir tingginya sekitar 170 cm. Kami berdua berangkulan menuju kamar mandi. Setelah ritual gosok gigi dengan sikat dan pasta gigi yang disediakan hotel, kami berdua lalu berbasah ria di bawah shower. Nikmat sekali rasa air hangat, apalagi sambil berpelukan dengan cewek yang cantik.
Tegangan penisku dari tadi tidak kendur, sehingga ketika disabuni tetap berdiri tegar. Wieke nakal, dia mengocok penisku membuat dia makin keras dan garang. Setelah sekujur tubuh kami bersih dan wangi. Wieke jongkok lalu menghisap penisku. Aku bagai melayang ke angkasa merasakan nikmat. Dia tidak menuntaskan sampai spermaku muncrat.
Dengan dua handuk kami mengeringkan badan, rasa lelah dan lesu seketika hilang, yang ada tinggal nafsu. Wieke menawariku untuk memijat, Aku memang suka dipijat, tetapi dalam keadaan tegang begini, aku memilih untuk melampiaskan birahiku dahulu.
Wieke setuju. Dia kuminta berbaring telentang dan aku menciumi sekujur tubuhnya menghisap kedua putingnya bergantian meremas teteknya yang mengkal, lalu mengobok-obok celah memeknya. Sudah berlendir celah vagina di bawah sana.
Aku berpindah melakukan oral di kemaluannya. Kemaluan Wieke agak unik, karena bibir dalamnya agak panjang sehingga aku bisa menjewerkan. Warnanya tidak seperti kebanyakan cewek indonesia yang umumnya berwarna gelap atau cenderung berwarna ungu tua. Milik Wieke yang seperti jengger itu berwarna merah agak gelap.
Aku mengecup kedua bibir panjang itu dan menggigit dengan kedua bibirku lalu menariknya. Dengan sentuhan itu saja Wieke sudah kelojotan nikmat, padahal itilnya belum tersentuh lidah.
Banjir di lubang vaginanya makin banyak. Bulatan itilnya menonjol keluar dan terlihat mengkilat berwarna merah. Ketika kusapu dengan lidahku, Wieke langsung menggelinjang.
Aku sedot sekuat-kuatnya, sehingga clitorisnya tetarik keluar. Bentuknya seperti kepala penis hanya saja ukurannya kecil. Aku menjilati, mengulum dan menghisapnya sampai akhirnya dia mencapai orgasme.
Wieke termasuk cepat mencapai orgasme. Setelah orgasmenya selesai aku memasukkan jari tengah dan jari manis ke dalam celah vaginanya lalu perlahan-lahan. Mengocoknya.
Awalnya dia tidak menunjukkan reaksi, tetapi beberapa menit kemudian dia mulai mengerang dan suaranya makin lama makin keras sampai akhirnya dia berteriak mau pipis,
“Kang aku kebelet pipis, aduuuuuh gak tahan, aduh- aduhhhhhh,” dan serrrr memancar cairan dari celah vaginanyanya, Pancaran cairan itu cukup deras, seperti air kencing, dan memancur sekitar 3 kali dengan gelombang orgasme.
Bersambung…