Cerita Sex Akses Menakjubkan – Seorang temanku yang punya jabatan cukup tinggi, mengeluh bahwa nafsu sexnya tidak terlampiaskan oleh seorang istrinya. Padahal menurut dia istrinya cukup mampu mengimbangi permintaannya. Namun jika sedang halangan, dia tidak bisa mendapat layanan tempat tidur.
Dia mengaku tidak berani main dengan perempuan bayaran. Aku bisa mengerti, karena dia adalah termasuk petinggi partai yang berbasis agama. Dulu sebelum dia menjadi apa-apa, kami sering jalan ke panti pijat, bahkan dia juga punya langganan di panti pijat yang mempunyai service body massage, atau dipijat oleh tubuh cewek.
Sikapnya berubah total sejak dia terdeteksi mengidap kanker. Meskipun baru stadium awal, dia takut setengah mati. Berobatlah dia ke Singapura selama 6 bulan bolak balik, yang akhirnya sembuh dan dinyatakan bersih dari penyakit kanker. Penyakit itu dianggapnya sebagai teguran agar dia meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat.
Setelah setahun stop sama sekali berhubungan dengan perempuan selain istrinya, muncullah keluhannya soal nafsu sexnya yang terasa terlalu tinggi. Meskipun umurnya sudah mendekati 50 tahun. Dia berfikir untuk punya istri satu lagi. Istri kedua yang dikawini sah secara agama, tetapi tidak dicatatkan ke catatan sipil. Istri itu pun tentunya akan disembunyikan dari istri pertamanya.
Ngocoks Dia resah mencari sosok yang pantas dijadikan istri. Yang dijumpai selalu perempuan yang hanya ingin harta saja. Aku dimintai bantuan untuk mencarikan perempuan yang ideal dijadikan istri kedua. Aku sanggupi saja dengan menjanjikan akan membantunya.
Padahal pada saat itu, tidak terbayang seorang pun perempuan yang layak disodorkan untuk temanku. Mungkin sudah jalannya, sehingga aku kemudian menemukan akses yang aku sebut akses menakjubkan. Ini juga bukan direncanakan. Perjumpaan secara kebetulan dengan kawan lama, itulah yang kemudian memberi akses.
Aku kebetulan saja berpapasan dengan dia ketika sedang jalan di Plaza Senayan. Kami lalu berbual-bual mengenai banyak hal sampai berhenti pada satu topik yang menarik. Dia menawariku untuk kawin kontrak. Dia mengaku punya 1 istri yang dikontrak. Kawinnya secara agama adalah sah, karena disebut kawin siri, tapi tidak tercatat di catatan sipil.
Seketika itu juga rasanya aku ingin menelepon temanku yang kebelet punya istri lagi. Tapi aku tahan, karena aku harus membuktikan kebenaran informasi dari teman lamaku ini. Banyak kabar lebih indah dari rupa.
Temanku yang sebutlah namanya Harris, mengatakan ada satu daerah di dekat Sukabumi, yang sudah lazim menerima kawin kontrak. Di daerah itu banyak sekali wanita-wanita cantik. Dia lalu menyebut salah satu nama artis penyanyi yang berasal dari Sukabumi. “ Kalau yang model kayak gitu banyak,” katanya.
Aku mengorek semua informasi mengenai kawin kontrak itu. Sebelumnya aku sudah mengetahui soal kawin kontrak oleh turis-turis Arab di Puncak. Tapi aku survey, ceweknya kurang memenuhi syarat, alias banyak yang kurang cantik.
Menurut Harris, sangat mudah kawin kontrak di Sukabumi, Tinggal kunjungi daerah itu, lalu pilih perempuan mana yang cocok bayar biaya perkawinannya termasuk maharnya Rp 20 juta. Setelah itu setiap bulan memberi uang belanja 5 juta.
Perempuannya boleh di bawa ke Jakarta, atau tetap tinggal di kampungnya. Masa kontrak biasanya 1 tahun. Jika perempuannya sudah pernah kawin atau janda biaya maharnya hanya 10 juta. Meskipun janda, tetapi mereka umumnya masih muda, kata Harris.
Untuk membuktikan kebenaran bualan Harris itu aku lalu membuat janji bersama-sama ke Sukabumi. Pada hari yang dijanjikan Aku dan Harris pagi-pagi sekali hari Sabtu sudah memacu kendaraan ke arah Sukabumi.
Harris menjadi penunjuk jalan. Dari jalan raya, mobil kami masuk ke kampung yang letaknya sekitar 3 km ke dalam. Tidak ada yang istimewa tampaknya, biasa seperti kampung-kampung yang lain.
Harris berhenti di salah satu rumah, yang rupanya itu adalah rumah salah satu istri mudanya. Dia disambut hangat, bahkan istrinya mencium tangannya. Aku sempat shock juga melihat istri muda Harris, cantiknya diluar dugaanku, masih muda, putih pula.
Tidak lama kami ngopi datang seorang pria paruh baya. Dia memperkenalkan dirinya, Asep, umurnya sekitar 50 tahun. Haris kemarin ternyata sudah mengontak Kang Asep untuk mencarikan perempuan yang layak dijadikan istri.
Tanpa rikuh Asep menunjukkan foto-foto yang tersimpan di HP nya kepada Harris. Si Asep menjelaskan profil satu persatu foto-foto itu. Aku ikut nimbrung nonton foto-foto di HP nya Asep. Ada yang janda, ada yang masih perawan. Kelihatannya Asep sangat menguasai informasi koleksinya.
Aku yang semula tidak berfikir soal kawin kontrak tergoda juga setelah melihat foto-foto itu. Aku lalu berfikir, sekali seminggu ke Sukabumi rasanya tidak terlalu berat. Apalagi biaya rumah tangganya hanya Rp 5 juta per bulan.
Aku kepincut dengan salah satu foto yang disebut Asep statusnya janda dari kawin siri. Jika dilihat dari fotonya cewek pilihanku itu cantik banget, kayak bintang film. Aku ingin melihat fisiknya sebelum nanti memutuskan melakukan kawin kontrak.
Asep lalu mengontak cewek yang namanya Ning. Tidak sampai 1 jam muncul sebuah motor bebek dengan pengendaranya seorang cewek. Dia datang sendiri dan masuk tidak lupa mengucapkan salam. Tangan kami masing-masing diciumnya, seperti kami ini Kyai.
Bodynya lumayan montok, wajahnya cantik, umurnya baru 20 tahun, statusnya janda sudah setengah tahun. Pilihanku sudah mantap dan aku putuskan akan mengawininya. Persoalannya adalah aku tidak membawa uang cash 10 juta.
Kampung ini jauh pula dari ATM. Si Ning rupanya menangkap kesulitanku, dia menawarkan E-banking aja, karena dia juga punya rekening yang sudah di set E-banking.
Tidak kusangka dan tidak kuduga, bahwa di pelosok kampung ini penduduknya sudah mengenal E-banking. Aku mentransfer dengan melebihkan 2 juta, jadi aku mentransfer 17 juta. Tidak lama kemudian HP si Ning berbunyi dan dia mengatakan transferanku sudah masuk.
Tidak pakai basa-basi si Ning, lalu dia mengajakku di bonceng pulang ke rumahnya. Rumahnya tidak terlalu mentereng, tetapi lumayan rapi dan bersih. Halaman di depannya tidak terlalu luas. Aku diperkenalkan dengan ayah dan ibunya. Dia anak tertua, adiknya ada 2 orang.
Sesungguhnya aku agak canggung, karena baru kenal. Aku pikir apakah mungkin aku ngamar setelah proses akad nikah nanti. Ah pasrah saja, aku berbasa-basi dengan kedua orang tuanya.. Ning berganti pakaian dengan pakaian berjilbab.
Setelah itu ayahnya menanyakan kepadaku apakah aku siap, aku katakan siap. Tidak lama muncul seorang bapak, yang dikenalkan sebagai uwak si Ning. Dia akan menjadi saksi. Tanpa proses macam-macam, ritual nikah pun dimulai.
Aku dipinjami peci. Ayahnya menjabat tanganku, lalu mengatakan “ Aku nikahkan anakku…………” aku langsung menjawab saya terima nikahnya dengan maskawin 10 juta rupiah. “ Sah” kata si uwak.
Selesai sudah, aku resmi menjadi suami si Ning. Aku kontak si Harris, menceritakan bahwa aku sudah punya istri baru, dia tertawa, lalu berjanjikan pulang sehabis maghrib saja, sebab jalanan agak kosong.
Tidak ada pesta tidak makan yang istimewa. Aku di ajak makan dengan lauk, ikan mas goreng, sambal, lalapan dan sayur asem serta tahu tempe goreng. Aku memang lapar jadi rasanya nikmat sekali.
Aku menjelaskan bahwa untuk sementara si Ning tinggal saja di sini. Apakah nanti akan aku boyong ke Jakarta atau bagaimana, keputusannya menyusul. Ayahnya tidak keberatan. Perut kenyang , kopi secangkir lagi sudah habis, dan mata mulai mengantuk.
Gejala itu ditangkap oleh ayah si Ning. “ Mari silakan istrirahat dulu. Aku bingung mau istriahat dimana, Ning menarikku ke arah salah satu kamar, yang ternyata adalah kamarnya.
Sebuah kamar yang tidak terlalu besar, tetapi ada spring bed ukuran mungkin 160 cm, ada TV LCD meski ukurannya kecil, ada perangkat meja solek dan sebuah kursi. Kami berdua duduk di bed. Si Ning menawarkan apakah aku mau buang air kecil dulu, karena kamar mandinya di belakang rumah. Aku setuju, karena rasanya agak sesak kencing juga.
Sekembali ke kamar, si Ning sudah berganti dengan daster. Kamarnya tidak ada AC, tetapi karena udara di kampung ini sejuk jadi tidak terasa gerah. Ning membuka pakaian ku satu persatu dan menggantungnya di balik pintu. Tinggal celana dalam, itu pun dilepasnya.
Penisku belum ngaceng sempurna, karena masih grogi dengan perubahan hidupku yang demikian drastis. Si Ning juga menelanjangi dirinya dan menghidupkan TV dengan suara agak keras. Dia menarikku untuk berbaring.
Rasanya sulit untuk menyia-nyiakan hidangan yang siap saji di depan mata. Aku memeluk tubuh Ning. Teteknya masih sangat kenyal dan belum terlihat sedikitpun turun. Pentilnya kecil, belum berkembang, menandakan dia belum pernah hamil. Jembutnya jarang, bahkan nyaris gundul. Tangan Ning menggenggam penisku dan dikocok-kocoknya pelan.
Aku bangkit dan menciumi lehernya, lalu turun menjilati dan mengigit pelan kedua pentil teteknya bergantian. Sementara itu tanganku merabai bukit pukinya yang lumayan mentul. Jari tengah mengorek belahan memeknya. Aku menguit-nguit itilnya sampai kemudian celah memeknya mulai berlendir.
Setelah puas menciumi tetek, aku beralih, ke arah memeknya, Aku menciumi memeknya. Si Ning menahanku dan berusaha menarik tubuhku ke atas, Malu, katanya .
Aku tetap bertahan dan lidahku langsung menjilati belahan memeknya dan Ning menggelinjang. Dia tetap berusaha menarikku keatas. Tetapi tenaganya mulai melemah setelah lidahku menemukan itilnya. Pinggulnya bergerak-gerak gak karuan, katanya geli, tapi dia mendesis juga.
Aku tetap bertahan menjilati itilnya yang terasa sudah mulai menonjol. Jika tadi tangannya berusaha menarik kepalaku menjauh dari memeknya sekarang malah menjambaki dan menekan kepalaku agar lebih lekat dengan memeknya.
Ning mengerang dan entah apa yang diucapkan dalam bahasa Sunda. Mungkin sekitar 10 menit dia lalu mencapai orgasmenya dengan oral di memeknya. Si Ning berteriak lirih sambil terus mengerang juga sampai orgasmenya selesai.
Dioral merupakan pengalaman pertama baginya. Suaminya yang dulu sudah tua, tidak pernah mengoralnya. Penisku yang telah tegak sempurna kuarahkan memasuki gerbang kenikmatan. Perlahan-lahan penisku menerobos celah memek yang sudah setengah tahun tidak pernah diterobos, jadi rasanya sempit juga.
Ning mengeluh memeknya agak sakit, aku dimintanya pelan-pelan. Aku turuti sampai penisku ambles semuanya. Setelah mentok maka aku memompa perlahan-lahan. Si Ning mendesis-desis. Dia hanya menggelengkan kepala ketika kutanya apakah masih sakit.
Aku tidak mampu bertahan lama sekitar 10 menit sudah tepancut spermaku masuk di dalam memeknya. Nikmat sekali rasanya menjadi pengantin baru. Ning dengan sabar membersihkan bekas sperma di batang penisku dan dia pun membersihkan lelehan sperma di memeknya dengan tissu.
Aku berbaring kelelahan. Ning mendampingiku. Aku tertidur, karena sejak sehabis makan siang tadi aku sudah agak ngantuk. Mungkin sekitar satu jam tertidur, aku dibangunkan oleh kocokan tangan si Ning di penisku. Dia lalu mengoral penisku sampai jadi tegang kembali.
Ning berinisiatif menaiki tubuhku dan memasukkan penisku ke dalam vaginanya. Sambil jongkok digenjotnya penisku. Capek jongkok dia bersimpuh dan bergerak maju mundur. Nikmat sekali dan kami main cukup lama. Ning sempat mendapat orgasme sekali baru aku menyusul.
Aku benar-benar lelah. Setelah istirahat sebentar, Ning mengajakku ke kamar mandi. Aku dikasinya sarung dan atasannya aku mengenakan kaus oblong yang kupakai tadi. Sementara itu Ning hanya berkemben handuk yang menutupi sebagian tetek montoknya dan sedikit di bawah memeknya.
Aku agak canggung juga keluar dengan Ning yang hanya mengenakan handuk, tetapi karena ini rumah dia, maka mungkin kebiasaan disini memang begitu. Aku digandengnya ke kamar mandi di belakang lalu berdua kami mandi.
Airnya dingin sekali. Sesungguhnya aku hampir-hampir tidak kuat, tetapi gengsi juga karena si Ning malah mandi junub dan keramas rambutnya. Aku pun mengikuti mandi junub dengan air yang dinginnya luar biasa. Tapi lama-lama airnya terasa hangat.
Setelah selesai Ning kembali mengenakan kemben handuk dan aku juga kembali bersarung masuk kekamarnya. Aku berpakaian kembali dan Ning mengenakan celana jeans dan kaus tank top merah. Secangkir kopi dan singkong dan pisang goreng sudah tersedia di meja.
Jujur saja aku kikuk ngobrol dengan mertuaku yang laki dan yang perempuan. Tapi mereka terlihat wajar-wajar saja sehingga aku pun jadi akrab. Si Ning duduk di sampingku sambil terus-terusan ngelendot. Ini sebenarnya membuatku risih karena rasanya kurang sopan bergelendot di depan orang tuanya.
Tapi mungkin di sini sudah jamak yang aku ikuti saja adat mereka. Hari mulai gelap dan tidak lama kemudian Harris sudah meneleponku. Aku kembali diantar Ning dengan sepeda motor ke rumah istri Harris. Di sana ada pak Asep. Kami ngobrol lagi.
Tidak lama kemudian Ning pamit pulang. Aku membujuk Pak Asep untuk mentransfer koleksi foto-foto cewek-cewek yang siap dinikahi. Dia dengan senang hati mentransfer melalui fasilitas bluetooth, bahkan dia berjanji mengirim foto-foto lainnya jika ada yang baru.
Dalam perjalanan pulang aku berdua Harris hanya senyum senyum saja. Dia berencana menambah istri kalau proyeknya kelak goal. Temanku yang sedang galau ingin punya istri muda, kukontak.
Aku mengatakan, ada informasi A-1. Dia tertawa terbahak-bahak, kayak intelijen saja pakai istilah A-1. Kami lalu janjian ketemu di satu cafe setelah jam kerja. Sampai pertemuan itu, aku tidak menyebut bocoran soal yang aku sebut A-1.
Dia masih under-estimate mengenai A-1 yang kumaksud. Setelah kami tenang duduk berdua dan kopi sudah terhidang, baru aku sebutkan bahwa aku tahu suatu tempat untuk mencari istri muda. Aku sebutkan bahwa para calon istri muda itu rata-rata cantik-cantik dan bersedia diajak kawin sebagai istri muda, bahkan mau dikawin kontrak. “Ah serius nih, aman gak,” katanya.
Temanku sangat bergairah dan ingin cepat-cepat menuju tempat yang kumaksud. Dia membatalkan semua acara yang seharusnya ada tugas keluar kota pada hari Sabtu, tetapi dia memilih pergi denganku. Saking semangatnya dia sudah pula menyiapkan uang tunai sekitar 30 juta di tasnya.
Di rumah dia pamit tugas keluar kota. Dari foto-foto yang ada di HP ku dia memang naksir sekitar 2-3 orang. Namun yang membuat aku risih, adalah pertanyaannya. Dia mencari istri yang jembutnya lebat.
Sejak kami sering plesir bersama, idaman dia adalah wanita yang berjembut lebat dan tidak memiliki tato, sedangkan aku sebaliknya, cari kalau bisa yang masih gundul. Karena selera kami berlawanan maka kami tidak pernah menaksir cewe yang sama.
Kami menggunakan kendaraanku, langsung menuju kediaman istri mudaku, Ning. Di sana sudah ada Pak Asep sang mediator. Aku disambut cium tangan oleh istriku dan salam dari segenap keluarga besarnya. “ Gila istri lu cakep banget, gua naksir juga,” katanya berbisik.
Pak Asep menginformasikan bahwa pilihan temanku itu sudah keduluan diambil orang, tapi masih ada yang baru, tapi masih gadis usianya baru 17 tahun. Temanku agak tertarik, tetapi dia kurang minat karena ceweknya terlalu muda dan masih perawan pula. Dia cari yang usianya sudah sekitar 25 tahun.
Dalam koleksi gambar koleksi gambar Pak Asep, tidak ada stok yang berusia segitu, yang banyak adalah yang lebih muda dari itu. Pak Asep lalu berpikir sebentar, lalu dia mengontak seseorang, kayaknya sesama Kibus (kaki busuk, atau perantara).
Info yang didapat Pak Asep ada 2 orang, tapi umurnya gak sampai 25, yang pertama namanya Desi usianya 23 baru sekali kawin, dan bukan kawin kontrak, belum punya anak. Yang satu lagi Sufti umurnya 24, juga janda belum punya anak. Keduanya kata temen Pak Asep, cantik-cantik. Temanku belum yakin sebelum melihat fotonya.
Sedang kami sibuk mencari calon istri untuk temanku, Si Ning nyeletuk bahwa dia ada tetehnya, kakak sepupu tapi belum pernah kawin. Si Ning belum yakin jika tetehnya mau dikawin, karena dia baru lulus perguruan tinggi di Sukabumi.
Kebetulan rumahnya tidak jauh. Dia lalu menyuruh adiknya untuk memanggil si teteh itu. Tidak sampai setengah jam muncul suara salam dari luar suara yang halus. Kami semua menoleh ke pintu. Si Ning berdiri dan berteriak eh teteh, masuk teteh.
Aku berdua temanku sempat nganga. Teteh si Ning tubuhnya tinggi, bodynya proporsional, mukanya itu lho cantik sekali dan pakai jilbab. Kami berdua diperkenalkan, tapi salaman nya tidak menyentuh, jarak jauh aja.
Dia memperkenalkan namanya Nabila. Kami tidak sempat ngobrol, karena dia langsung masuk ke dalam. Temanku langsung jatuh hati pada pandangan pertama. Aku menggoda temanku, “Perlu ditanya gak jembutnya tebal.” Temanku menyikut pelan. “Gua tutup mata aja langsung oke kalau memang dia mau.”
Ning ikut masuk dan agak lama mereka ngobrol di dalam. Ning keluar dan langsung duduk disebelahku. Menurut Ning, tetehnya mau jadi istri muda temanku, tapi dia tidak mau tinggal dikampung di rumah orang tuanya kalau sudah menikah, boleh di Sukabumi, boleh juga di Jakarta.
Syarat berikutnya adalah dia ingin mengirim biaya ke orang tuanya setiap bulan 5 juta, untuk membantu biaya sekolah 3 adiknya dan bagi keperluan rumah tangga orang tuanya. Itu saja syaratnya.
Temanku langsung buru-buru setuju. Namun aku mencegah dia terburu-buru. Aku minta temanku dan calon istrinya itu untuk berbicara 4 mata dulu di dalam. paling tidak untuk saling mengenal lebih jauh, Ning setuju usulanku, Aku dan Ning mengantar temanku masuk ke dalam. Mereka berdua duduk di kursi meja makan, dan kami semua kembali kedepan.
Sekitar satu jam mereka berkomunikasi, kami tidak bisa mendengar, karena ruangan ke belakang dihalangi oleh korden. Nampaknya telah terjadi kesepakatan, Temanku keluar bergandengan tangan dengan calon istrinya. Nabila malah tampak manja mengelendot temanku.
Aku heran, melihat sedemikian cepat negosiasi mereka sampai mencapai kesepakatan. Kursi disediakan untuk mereka duduk berdua berdampingan. Sempat ngobrol sebentar sambil menyeruput sisa kopi. Nabila lalu memberi tahu bahwa mereka akan melakukan akad di rumahnya, kami diminta bersama-sama kerumah dia.
Dengan berjalan kaki seperti rombongan lenong, kami menuju rumah Nabila. Rumahnya sangat sederhana, tidak seimbang dengan kecantikan Nabila. Ayahnya sudah tua dan ibunya juga. Memang menurutku tidak pantas temanku menginap dirumah ini, karena pasti Nabila tidak punya kamar pribadi.
Meja kursi langsung di siapkan. Pertama temanku minta izin ke orang tuanya untuk memperistri Nabila. Orang tuanya tidak banyak bicara hanya berkata setuju saja. Setelah itu dimulailah ritual akad nikah. Yang menikahkan adalah ayah Nabila sendiri dan saksinya adalah mertuaku lakiku dan aku.
“Aku terima nikahnya dengan mas kawin 25 juta rupiah,” kata temanku menjawab perkataan ayah mertuanya. Aku langsung menyambut Barakallah, sah.
Resmilah keduanya menjadi suami istri. Setelah minum kopi lagi dan makan pisang goreng, sementara si Nabila berkemas, aku dan Ning serta rombongan kembali kerumah awal. Si Nabila langsung diboyong ke Jakarta. Aku pun oleh temanku menyarankan memboyong istri mudaku ke Jakarta sekalian.
Gila prosesnya terlalu cepat, karena semua proses tadi hanya berlangsung sekitar 3 jam. Kami berempat sudah kembali berada di mobil menuju Jakarta. Temanku menunjuk satu hotel yang katanya sudah dia book melalui telepon. Aku sempat menanya ulang tujuan hotel yang dipesan temanku itu, karena hotel itu hotel bintang 5. Dia malah membayariku kamar untuk 2 malam.
Sebulan kemudian aku baru bertemu lagi temanku si pejabat itu. Dia menyewa apartemen yang dekat dengan kantornya. Dia bercerita tentang Nabila, menurut temanku dia tidak salah pilih, karena Nabila, budi pekertinya baik, orangnya cantik dan berpendidikan.
Kelihatan sekali temanku ini sangat kesengsem sama bini barunya. Aku ingatkan dia agar jangan mengumbar hartanya, untuk menyenangkan bini mudanya. Jalani saja hidup bersama dia dengan cara yang tidak berlebihan, karena dengan demikian urusan jadi tidak terlalu merepotkan.
Setelah setahun aku pun menarik si Ning tinggal di Jakarta, karena aku bosan mondar-mandir Jakarta-Sukabumi. Dia kutempatkan di apartemen studio dengan ukuran yang agak luas di pusat kota.
***
Baru 3 bulan tinggal di Apartemen, Ning sudah mengeluh tidak kerasan. Dia kesepian jika aku tinggal sendirian. Aku memang jarang nginap di apartemen. Memang konsekuensi ini sudah aku kemukakan sebelumnya.
Ning minta ditemani. Dia mengusulkan aku menambah seorang istri lagi dan dia akan tinggal bersama di apartemen. Aku sempat terhenyak sebentar. Usul itu sangat menarik. Setelah aku kalkulasi aku masih sanggup membiayainya.
Aku minta jaminan ke Ning apakah dia tidak akan cemburu, jika aku mempunyai seorang istri lagi. Dia berjanji tidak akan cemburu, malah akan berusaha akur. Anehnya Ning malah menyodorkan salah seorang saudaranya.
Kata dia sudah kontak-kontakan dengan orang tua anak itu dan sudah pula berbicara dengan anaknya. Namanya Sofia, umurnya sekitar 24 tahun, lulus S-1. Menurut Ning anaknya sudah mau dan orang tuanya juga setuju. Aku melihat beberapa fotonya di HP si Ning, anaknya lumayan cantik dan imut, kulitnya putih.
Menurut Ning anaknya baik, sopan dan tidak rewel. Mungkin karena aku sungkan, ya aku setuju saja. Rencana aku menambah istri kukabarkan ke temanku. Dia lalu buru-buru mengundang ke apartemennya. Jam 7 malam aku datang bersama Ning.
Ah aku lupa memperkenalkan kepada pembaca Ngocoksers nama temanku ini. Aku biasa memanggilnya Bud, karena namanya Budi. Aku jadi ada hubungan famili dengan Budi karena istri muda kami bersaudara.
Bersambung…