Cerita Sex Alas Roban – Week end yang menyebalkan, akhir pekan ini aku kembali menjadi supir buat mama, dan yang membuat tambah dongkol adalah membawa serta tante Lia, kakak kandung mama yang cerewetnya luar biasa, kira-kira 2 level di atas mama.
Ia gak pernah kehabisan kata-kata untuk mengomentari dan mengkritisi apapun dan siapapun, lebih dari seorang komentator sepakbola profesional. Walau ada juga sisi baiknya sih, beliau cukup royal untuk memberiku tambahan uang saku.
Sabtu ini mama mengajakku ke semarang, menghadiri undangan sepupunya yang akan mantu. Papa berhalangan karena ada perjanjian dengan relasi bisnis. Dan seperti biasa, akulah yang mendapat kehormatan, tepatnya barangkali kutukan, untuk menyupiri mama.
Dan sepanjang jalan, telingaku mendapat siksaan ocehan tante dan mama. Bahkan suara musik tidak mampu meredam suara mereka. Malam menjelang ketika kami memasuki wilayah alas roban, kawasan hutan yang melegenda dengan keangkerannya. Sialnya, aku termasuk penakut untuk hal-hal yang berkaitan dengan supranatural.
Ngocoks Aku teringat kisah sebuah bus yang nyasar di tengah hutan ini. Untunglah jalanan cukup ramai. Tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya, wiper kuhidupkan dan mencoba mengikuti sebuah truk di depan. Entah kenapa, aku tak mampu mengejar bayangan lampu truk tersebut, padahal sudah full gas, sampai kemudian aku sadari tinggal kami sendiri di jalan.
Dan yang membuat aku merinding adalah menyadari kami tak lagi berada di jalanan aspal, tapi jalanan tanah berbatu yang membuat mobil kami berguncang-guncang, suasana di kanan kiri gelap gulita, hanya tampak bayangan batang-batang pohon dan semak belukar. Penderitaan lengkap sudah ketika ban mobil terperosok di tanah yang lunak akibat hujan tadi.
Dua wanita penumpang setia di dalam jangan ditanya lagi, omelan mereka sama banyaknya dengan butir-butir tetesan air hujan yang begitu deras menghujani bumi, membuat kepanikanku kian bertambah.
Mama, Tante Lia dan aku mencoba menghubungi kerabat untuk minta bantuan, tapi semua jaringan seluler tidak ada sinyal. Ma, tolong pegang kemudi, Randy mau keluar dorong mobil, dengan masih ngomel mama bertukar posisi di belakang kemudi begitu aku keluar.
Hujan segera membuatku basah kuyub. Sial, harusnya Hi lux papa yang aku bawa, bukan sedan priyayi ini, gumamku dalam hati. Ban itu begitu dalam terperosok, membuat setiap usahaku sia-sia selain hanya menghasilkan semburan lumpur ke celana pendek dan kausku.
Tiba-tiba sekelebatan lampu senter menyorot ke arahku. Apa lagi ini, membuat nyaliku kian menciut, tapi masa sih ada setan bawa senter, akal sehatku berkata.
Dari kegelapan muncul sosok lelaki paruh baya, bertelanjang dada dan memakai caping lebar. Ada yang bisa saya bantu, le? , tanyanya dengan suara yang parau namun cukup nyaring terdengar di tengah gemuruh hujan dan guntur.
Kami kesasar dan mobil kami terperosok pak, jawabku setengah berteriak. Orang tua itu lantas membantuku mendorong agar mobil itu keluar dari jebakan lubang. Namun tetap tak berhasil. Kini bahkan akibat kikisan tanah, seluruh ban mobil itu terperosok. Sebaiknya tunggu besok pagi saja, le… kampung terdekat juga jaraknya 15 kilo lebih.
Kalau sampeyan mau, malam ini nginap digubuk saya saja, ujarnya dengan datar namun sepertinya tulus, daripada aku tinggal di mobil dan tiba-tiba kaca diketuk kuntilanak atau gendruwo lebih baik aku turuti beliau.
Namun tentu saja, aku harus minta persetujuan dua makhluk menyebalkan di dalam mobil, setelah terjadi percekcokan, akhirnya mereka mau juga.
Jalan setapak yang becek di tengah hutan itu membuat mama dan tante berkali-kali terpleset, membuatku berkali-kali harus memapah mereka, tentu saja setelah terlebih dahulu dihadiahi sumpah serapah mereka. Payung yang mereka bawa jadi percuma, tak mampu mencegah mereka menjadi basah kuyub dan terciprat lumpur.
Ternyata jarak menuju rumah si bapak lumayan jauh juga, kira-kira 15 menit kami berjalan baru nampak temaram cahaya sebuah rumah. monggo, silahkan masuk, ujar si bapak. Rumah itu tampak sederhana, pantas si lelaki misterius itu menyebutnya gubuk.
Sebuah rumah limas khas jawa dengan empat tiang kayu di bagian tengah, beratap genteng tanpa plafon, berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah.
Di dalamnya hanya meja kursi tua, dua dipan sederhana dan dua lemari reyot menempel di dinding. Dua lampu teplok yang kacanya telah menghitam menjadi alat penerang rumah tersebut, dan satu-satunya alat hiburan adalah radio transistor tua yang memperdengarkan suara pertunjukan wayang kulit mengiringi gemuruh hujan di luar, menambah suasana magis malam itu.
Tampak sepasang perempuan di atas dipan tengah tertidur, terdiri dari wanita separuh baya dan satu lagi seorang gadis yang kira-kira seusiaku. ayuh.. dang tangi, ono tamu, dang gawekno wedhang, (ayo cepat bangun, ada tamu, cepat bikinkan minum).
Ujar si bapak membangunkan isteri dan anaknya, kira-kira begitu menurut perkiraanku, walau tak bisa bahasa jawa tapi sedikit banyak aku bisa memahaminya karena mama kebetulan orang jawa dan sering menggunakan bahasa jawa jika bertemu kerabatnya.
Dengan segera mereka beranjak bangun meninggalkan dipan yang hanya beralaskan tikar dan selimut kumal itu. Untuk ukuran kota sekalipun, si gadis berwajah cukup manis walau dengan pakaian t shirt dan bersarung batik yang tampak lusuh.
Sementara ibunya sedikit lebih besar dengan wajah biasa saja, memakai kebaya dan kain yang dililitkan sebatas dada yang sama lusuhnya, namun menampakan belahan dadanya yang kupikir cukup besar, menjadi pemandangan paling baik selama di rumah ini.
kalian basah kuyub semua, sebaiknya ganti pakaian daripada masuk angin, silahkan ke belakang saja, kalau mau buang air dan bersih-bersih juga ada sumur, ujar si bapak. Aku segera menyambar ransel, tapi mama dan tante Lia saling bertatapan bingung, tentu saja, mereka meninggalkan tas pakaian mereka di bagasi mobil.
Sial, nampaknya aku lagi yang harus mengambilnya. Namun sebelum perintah mereka keluar, si lelaki itu berkata, kalau mau biar pakai pakaian anak dan isteri saya, maaf kalau kurang berkenan… aku menatap mereka dengan wajah memelas… mereka mengangguk, maaf lho pak kalau ngerepotin, ujar mama.
Dari dalam lemari reot, si bapak mengeluarkan dua lembar kain dan dua kaus yang walau lusuh tapi terlipat rapi. mama dan tante duluan, ujar mama bergegas sambil menggamit tangan tante lia ke bagian belakang rumah yang dibatasi oleh dinding papan.
Aku menunggu dengan duduk di kursi tua itu, sang lelaki paruh baya itu juga duduk di hadapanku sambil melinting tembakau dengan kertasnya dan menyalakan rokok. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi namun sorotan matanya sangat tajam dan berwibawa.
Tubuhnya yang bertelanjang dada itu juga tampak kekar menggambarkan isa sebagai lelaki yang ulet. Maaf, kalau boleh tahu, nama bapak siapa?, tanyaku mencoba basa basi. Panggil saja pak Simo, jawabnya sambil menghembuskan asap rokok lintingan yang beraroma aneh itu. enngh… bapak udah lama tinggal di sini?, tanyaku lagi.
Lebih tiga puluh tahun, jawabnya singkat. ini satu-satunya tanah warisan bapak saya dulu, pekerjaan saya buruh tani dan sesekali ngobati orang, ujarnya lagi seolah-olah sudah tahu pertanyaanku berikutnya, walau aku sedikit tertegun dengan perkataan ngobati orang, tapi untuk tak menyinggung urung aku tanyakan.
Namun sebelum aku bertanya lebih jauh, mama dan tante sudah kembali ke ruang tengah, agak geli melihat penampilan mereka, dari wanita bergaya modis, kini ala wanita kampung, berkaus kumal yang ada lubang di sana sini dan bersarung kain batik lusuh.
Mama?, ujarku sambil tersenyum, tapi pandangan ketus keduannya memudarkan senyumanku, namun yang membuatku jengah adalah menyadari bahwa kaus itu terlalu sempit untuk mereka berdua dan… puting payudara keduanya tampak jelas menonjol walaupun di tengah cahaya temaram lampu teplok.
Kamu jangan ke belakang dulu, ujar mama. Ia kembali ke belakang, dan kembali dengan kaus di lepas… kini kain batiknya diikat sebatas dada menjadi kemben, tante pun menyusul melakukan hal yang sama.
Aku bersiul dua kali menyaksikan bahu putih keduanya terekspose yang tentu saja berujung dengan dampratan mereka, membuatku bergegas ke belakang.
Ternyata sebuah dapur sederhana yang cukup besar dengan sebuah dipan dan tungku tanah dengan kayu bakar yang masih menyala, di atasnya sebuah panci hitam.
Di atas dipan sang ibu dan anak tengah menyiapkan minuman, maaf bu, kamar mandinya di mana? tanyaku, dan mereka menunjuk pada sebuah pintu di bagian belakang dapur tersebut, yang disebut kamar mandi itu hanyalah sebuah sumur tua beratap ilalang yang di pinggirnya berlantaikan batu-batu kali.
Mama dan tante tengah bercakap-cakap dengan lelaki pemilik rumah ketika aku tiba. Aku segera bergabung. Pak Simo meladeni ocehan mereka dengan datar dan singkat.
Matanya tajam menatap mama dan tante, membuat mereka tampak rikuh dan mengurangi intensitas omongan mereka. Tak lama kemudian sang isteri dan anak gadisnya tiba mengantarkan minuman dan sepiring singkong rebus di hadapan kami.
monggo silahkan diminum, maaf cuma ini yang kami punya, ujar pak Simo, sementara isteri dan anaknya kembali ke dipan untuk tidur. Hanya teh tanpa gula yang bisa mereka suguhkan, namun ditambah singkong rebus cukup menghangatkan tubuh kami di tengah rintik hujan yang entah kapan akan reda.
Malam makin larut ketika mama dan tante Lia pamit untuk tidur, di dipan yang berhadapan dengan dipan di mana isteri pak Simo dan anaknya tidur. kalian gak munkin bisa keluar dari hutan ini, ujar pak Simo mengagetkanku. maksud bapak?, tanyaku penasaran.
Kamu pasti sadar kan… kendaraan kalian ada di tengah hutan, bukan di atas jalan, jawabnya dengan suara parau dan datar. Aku mulai bergidik. ada kekuatan gaib yang membawa kalian ke sini, makanya saya bilang kalian harus kulonuwun melewati hutan ini, ujarnya lagi membuatku kian memucat.
terus kami harus bagaimana pak?, tanyaku setengah bergetar. kalian saat ini berada 15 kilo dari jalan, mau lewat jalan kaki pun butuh seharian, itupun kalau kalian tidak kesasar, ujarnya lagi. Terus, kenapa bapak bisa tinggal di sini? , tanyaku.
Hmm… ceritanya panjang, tapi katakanlah ini hal turun temurun yang harus kami lakukan dan katakanlah musuh kami banyak sehingga harus tinggal di sini, jawabnya sambil menghisap lintingan tembakau dalam-dalam. terus bapak bisa bantu kami keluar dari sini? , tanyaku setelah terdiam beberapa saat.
Dengan syarat, jawabnya. itupun jika kamu mau, lanjutnya lagi. mmm… asal gak memberatkan saya mau pak, kami juga bawa uang yang cukup lho pak, ujarku terbata-bata. Kami biasa hidup tanpa uang nak, kami ora butuh uang kalian, ujarnya dengan mimik misterius.
Terus saya harus bagaimana pak?, tanyaku setengah mengharap. Hmmm… dari tadi saya perhatikan kamu selalu menatap anak saya, ujarnya. Wah, berabe juga kalau aku harus mengawini anaknya walau memang kuakui dia cukup manis dengan potongan tubuh aduhai. sampeyan suka dia?, tanyanya.
Ya suka sih pak, tapi… saya gak meminta kamu menikahi anak saya jawabnya seolah-olah tahu apa yang aku pikirkan. Terus bagaimana pak?, tanyaku lagi. sampeyan mau meniduri Asih?, tanyanya membuatku seolah terloncat dari kursi reot itu.
Dalam hati sebenarnya di usia SMA yang sarat hormon ini, aku ingin sekali mencoba merasakan kenikmatan tubuh seorang wanita, tidak hanya sekedar bermasturbasi menyaksikan adegan film porno, atau hanya bisa berliur mendengarkan kisah teman-teman yang telah merasakannya.
Pacar pun aku belum punya. Pucuk di cinta ulam tiba pikirku, tapi pak, bagaimana dengan mama dan tante saya? Bagaimana kalau mereka tahu?, ujarku. Nah, dua wanita cerewet itu syarat berikutnya, jawabnya tegas. Maksudnya pak?, tanyaku penasaran. Sebagai sesama lelaki… ia menghisap dalam rokoknya lalu menoleh ke arah dipan di mana mama dan tante Lia tidur.
Mereka cantik dan montok, apakah sampeyan keberatan kalau saya tiduri mereka? , pertanyaannya bagaikan guntur yang tengah menyambar-nyambar di luar. aa… ucapanku terpotong, ya kalau sampeyan keberatan, silahkan cari jalan keluar sendiri, tukasnya.
Aku dihadapkan buah simalakama, walau di dalam hati jujur saja penasaran juga bagaimana tubuh telanjang mama dan tante Lia. sumber Ngocoks.com
Dan terlepas dari soal kecerewetan, mereka berdua memang wanita matang yang cukup cantik dengan potongan tubuh yang bisa menjadi bahan onani lelaki manapun, tapi mereka adalah keluargaku. Shit… apa yang harus kulakukan? Pak Simo seolah-olah menunjukan siapa yang tengah berkuasa dengan santai terus menghisap rokoknya.
Setelah pertarungan sisi baik versus sisi buruk, akhirnya aku mengangguk setuju. Dengan syarat, bapak tidak akan menyakiti mama dan tante saya kan?, lanjutku.
Pak Simo tak berkata apapun tapi langsung bangkit menuju dipan di mana anak dan isterinya tidur dan membangunkan mereka, ayo nyambut gawe, kamu layani mas mu, kowe ngalih, bantu kulo, ujar pak Simo.
Bersambung…