Agenda tivi gak ada yang luar biasa. Akhirnya aku ingat untuk membikinkan Eki minuman. Sambil membawa kopi ke ruang tamu aku duduk menemani anak itu. “Wah.. makasih, Bu. Kok repot-repot?” katanya sungkan. “Gak papa, kok.” Aku duduk di depannya sambil tidak sengaja mengelus perutku. Eki malu-malu menonton perutku. “Bu, udah berapa bulan ya?” tanyanya kemudian sambil meletakkan penanya. “Menurutmu berapa bulan? Masak nggak tahu?” tanyaku iseng menggodanya.
Tiba-tiba mukanya memerah. Eki lalu menunduk malu. “Ya nggak tahu, bu… Kok saya bisa tahu darimana?” jawabnya tersipu. Tiba-tiba aku sangat ingin memberi tahunya, berita gembira yang sewajarnya juga dirasakan oleh bapak kandung dari anak dalam kandunganku ini. Dengan santai aku menjawab, “Lha bapaknya masak gak tahu umur anaknya?” Eki kaget, gak menyangka aku bakal menjawab sejelas itu. Dirinya langsung gelagapan, hehehe. Apa yang kau harap dari seorang anak ingusan yang tiba-tiba bakal menjadi bapak? Wajahnya melongo menatapku takut-takut.
Dirinya tidak tahu bakal menjawab apa. Aku jadi tambah ingin menggodanya. “Kamu sih bapak yang gak bertanggung jawab. Telah menghamili pura-pura tidak tahu lagi,” kataku sambil melirik menggodanya. Aku mengelus-elus perutku. Geli juga lihat wajah Eki saat itu. Antara kaget dan bimbang dan perasaan-perasaan yang tidak dimengertinya. “Aku… eee… maaf, Bu… aku tidak tahu…” Eki menyeka keringat dingin di dahinya. “Terbuktinya kamu tidak suka anak dalam perutku ini anakmu?” tanyaku. “Eh… aku suka banget, Bu.. Aku seneng…” Eki sangatlah kalut. “Ya udah.. kalau sangatlah seneng, sini kamu rasakan gerakannya,” kataku manja sambil mengelus perutku.
“Boleh, Bu, aku pegang?” tanyanya khawatir. “Ya, sini, kamu rasakan aja. Biar anda dekat,” perutku terkesan sangat membuncit sebab baju muslim yang kupakai hampir tidak muat menyembunyikan bengkaknya. Eki bergeser dan duduk di sebelahku. Matanya menunduk menonton ke perutku. Takut-takut tangannya menuju ke perutku. Dengan tenang kupegang tangan itu dan kudaratkan ke bukit di perutku. Sebetulnya aku berbohong, sebab umur begitu gerakan bayi belum terasa, tapi Eki mana tahu. Dengan hati-hati dirinya meletakkan telapaknya di perutku. “Maaf ya, bu,” ijinnya.
Aku membiarkan telapaknya menempel ketat di perutku. Dirinya diam seakan-akan mencoba mendengar apa yang ada di dalam rahimku. Aku merasa bahagia sekali sebab biar bagaimanapun anak ingusan ini merupakan bapak dari anak dalam kandunganku ini. “Kamu suka punya anak, Ndun?” tanyaku. “Aku suka sekali, Bu, punya anak dari Ibu. Ohh.. Bu, maafkan saya ya, Bu,” jawab Eki hampir tidak kedengaran. Tangannya gemetar di atas perutku. Eki terkesan sangat kebingungan, tidak tahu wajib berbuat apa. Aku juga ikut bingung, dengan perasaan campur aduk. Antara bahagia, bingung, geli, dan macam-macam rasa gak jelas.
Tiba-tiba dadaku berdebar-debar menatap anak muda itu. Anak itu sendiri tetap takut-takut menonton mukaku. Kami berdua tiba-tiba terdiam tanpa tahu wajib melakukan apa. Tangan Eki terdiam di atas perutku. “Ndun, gimana perasaanmu lihat ibu-ibu yang lagi bengkak-bengkak kayak aku?” tanyaku memecah kesunyian. “Saya suka sekali, Bu..” jawabnya. “Kenapa?” “Ibu jadi makin cantik.” jawabnya dengan muka memerah. “Ihh.. cantik dari mana? Aku khan udah tua, dan lagian kini badanku kayak gini..” jawabku.
Eki membawa wajahnya pelan dan menatapku malu-malu. “Gak kok, Bunda tetep cantik banget…” jawabnya lirih. Tangannya mulai mengelus-elus perutku lagi. Aku merasa geli, yang tiba-tiba jadi sedikit horny. Apalagi tadi malam Mas Prasetyo belum sempat menyetubuhiku. “Kok waktu itu kamu tegang ngintip aku sama Mas Prasetyo?” tanyaku manja. Mukaku memerah.
Aku sangatlah bernafsu. Aneh juga, anak kecil ini pun kini membikinku pengen disetubuhi. Apa yang salah dengan diriku? “Aku nafsu lihat badan Ibu…” hari ini Eki menatap wajahku. Mukanya merah. Jelas dirinya bernafsu. Aku tahu banget muka laki-laki yang nafsu lihat aku. “Kalau sekarang, masa tetap nafsu juga? Aku khan telah membukit kayak gini..” Eki blingsatan. “Sekarang tetap iya..” jawabnya sambil membetulkan celana. “Idiiih…. mana, coba lihat?” godaku.
Eki makin berani. Tangannya gemetar membuka celananya. Dari dalam celananya tersembul keluar sebatang kontol jauh lebih kecil dari punya suamiku. Yang jelas, kontol itu telah sangat tegang. “Wah, kok telah tegang banget. Pengen nengok anakmu ya?” godaku. Eki telah menurunkan semua celananya. Tapi dirinya tidak tahu wajib melakukan apa. Lucu lihat batang kecil itu tegak menantang. Aku telah sangat horny.
Tempikku telah mulai basah. Tidak tahu kenapa bisa senafsu itu dekat dengan anak SMP ini. Dengan gemes aku pegang kontol Eki. “Mau dimasukin lagi?” tanyaku gemetaran. “Iya, bu.. mau banget!” Tanpa menantikan lagi aku menaikkan baju panjangku dan mengangkangkan kakiku. Segera tempikku terpampang jelas di depan Eki. Rambut hitam tempikku serasa sangat kontras dengan kulit putihku. Segera kubimbing kontol anak itu ke dalam lobang tempikku. Eki mengerang pelan, matanya terbeliak menonton kontolnya pelan-pelan masuk ditelan oleh tempikku. “Ohhhh…. Buuu…” desisnya. Bless!! Segera kontol itu masuk seluruhnya ke dalam lobang tempikku. Ngocoks.com
Aku sendiri merasakan kenikmatan yang aneh. Entah kenapa, aku sangat ingin mengisi lobangku dengan batang kecil itu. “Diemin dulu di dalam sebentar, biar kamu gak cepat keluar,” perintahku. “I-iya, Bu..” erangnya. Eki mendongakkan kepalanya menahan kenikmatan yang hebat baginya. Sengaja pelan-pelan kuremas kontol itu dengan vaginaku, sambil kulihat reaksinya. “Ohhh…” Eki mengerang sambil mendongak ke atas. Kubiarkan dirinya merasakan sensasi itu. Pelan-pelan tanganku meremas pantatnya. Eki menunduk menatap wajahku di bawahnya. Pelan-pelan dirinya mulai bisa mengendalikan diri.
Tampak nafasnya mulai agak teratur. Kupegang leher anak itu dan kuturunkan mukanya. Muka kami terus berdekatan. Bibirku lalu mencium bibirnya. “Hssh..” kami berdua melenguh, lalu saling mengulum dan bermain lidah. Tangannya meremas dadaku. Aku merasakan kenikmatan yang tiada tara. Segera kuangkat sedikit pantatku untuk merasakan seluruh batang itu terus ambles ke dalam tempikku. “Ndun, ayo gerakin maju mundur pelan-pelan..” perintahku. Eki mulai memaju-mundurkan pantatnya. Kontolnya mesikipun kecil, kalau telah keras nyatanya begitu nikmat sekali di dalam tempikku. Aku mengerang-erang sekarang.
Tempikku telah basah sekali. Banjir mengalir hingga ke pantatku, bahkan mengenai sofa ruang tamu. Aku mengarahkan tangan Eki untuk meremas-remas payudaraku lagi. Dengan hati-hati dirinya berusaha tidak mengenai perutku sebab takut bakal menyakiti kandunganku. Ohhh… aku telah sangat bernafsu! Kurang lebih 15 menit Eki memaju-mundurkan pantatnya. Aku tidak mengira dirinya kini sekuat itu. Mungkin dulu dirinya panik dan belum terbiasa. Aku tiba-tiba merasakan orgasme yang luar biasa. “Ohhhh…” teriakku. Tubuhku melengkung ke atas.
Eki terdiam dengan tetap menancapkan kontolnya dalam lobangku. “Aku hingga, Ndunnnn…” kataku terengah-engah. Sambil tetap membiarkan kontolnya di dalam tempikku, aku memeluk pria kecil itu. Badannya penuh keringat. Kami terdiam selagi berepa menit sambil berpelukan. Kontol Eki tetap keras dan tegang di dalam tempikku. “Ndun, pindah ke kamar yuk,” ajakku. Eki mengangguk. Dicabutnya penisnya dan berdiri di depanku. Aku ikut berdiri gemetar sebab akibat dari orgasme yang menggebu-gebu barusan. Kemudian aku mengajar tangan anak itu,
membawanya ke kamarku. Di dalam, aku meminta dirinya melepaskan bajuku sebab agak repot melepas baju muslim panjang ini. Di depan pemuda itu aku saat ini telanjang bulat. Eki juga melepas bajunya. Kini kami berdua telanjang dan saling berpelukan. Aku lihat kontolnya tetap tegak mengacung ke atas. Aku rebahkan pemuda itu di kasur, lalu aku naik ke atas dan kembali memasukkan kontolnya ke tempikku. Hari ini aku yang menggenjotnya maju mundur. Tangan Eki meremas-remas susuku. Ohh, nikmat sekali. Kontol kecil itu sangatlah hebat.
Dirinya berdiri tegak terus tanpa mengendor sedikit pun. Aku sengaja memutar-mutar pantatku supaya kontol itu cepat muncrat. Tapi tetap saja posisinya sama. Aku kembali orgasme, bahkan hingga dua kali lagi. Orgasme ketiga aku telah didera kelelahan yang luar biasa. Aku peluk pemuda itu dan kupegang kontolnya yang tetap tegak mengacung. Kami berpelukan di tengah ranjang yang biasa kupakai bercinta dengan suamiku. “Aduuuh, Ndun.. kamu kuat juga ya. Kamu tetap belum keluar ya?” “Gak papa, Bu…” jawabnya pelan. Tiba-tiba aku punya ide untuk menolong Eki. Kuraih batang kecil itu dan kembali kumasukkan dalam tempikku. Hari ini kami saling berpelukan sambil berbaring bersisian. “Ndun, Bunda udah lelah banget. Batangmu dibiarin aja ya di dalam, hingga kamu keluar…” bisikku.
Eki mengangguk. Kami kembali berpelukan bagaikan sepasang kekasih. Tempikku berkedut-kedut menerima batang itu. Kubiarkan banjir mengalir membasahi tempikku, Eki juga membiarkan kontolnya tersimpan rapi dalam tempikku. Sebab kelelahan, aku tertidur dengan sebatang kontol ada di dalam tempikku. Gak tahu berapa jam aku tertidur dengan kontol Eki tetap tertanam dalam-dalam, ketika jam 1 malam tiba-tiba hapeku menerima sms. Aku tersadar dan menonton Eki tetap menatap wajahku sambil membiarkan kontolnya diam dalam lobangku. “Aduh, Ndun. Kamu belum bisa bobok? Aduuuh, soriiii ya…” kataku sambil meremas kontolnya dengan tempikku. “Gak papa kok, Bu. Aku seneng banget di dalam..” kata Eki.
Tanpa mengubah posisi aku meraih hp yang ada di meja samping ranjang. Kubuka sms, nyatanya dari Mas Prasetyo: “Hai Say, udah bobok? Kalau belum, aku pengen telp.” Aku segera balas: “Baru terbangun, telp aja, kangen.” Segera seusai kubalas sms, Mas Prasetyo menelponku. Aku menerima teleponnya sambil berbaring dan membiarkan kontol Eki tetap berada di dalam tempikku. “Hei… Sorii ganggu, udah bobok belum?” tanyanya. “Gak papa, Mas, kangen. Kapan jadinya balik?” tanyaku. “Lusa, Dik, ini aku tetap di jalan. Lagi ada pembekalan masyarakat. Gimana anak-anak?” “Hmmm…. “ aku agak menggeliat. Eki memajukan pantatnya, takut lepas kontolnya dari lobangku.
Aku meletakkan jariku di bibirnya supaya dirinya tidak bersuara. Eki mengangguk sambil tersenyum. “Baik, mereka oke-oke saja kok. Udah pada makan dan bobok nyenyak dari jam 9 tadi. Aku kangen, mas…” “Sama.. pengen nih,” kata suamiku. “Sini, mau di mulut apa di bawah?” tanyaku nakal. “Mana aja boleh,” “Nih, pakai mulutku aja. Udah lama gak dikasih. Udah gatel, hihi…” godaku. “Aduh, Dik. Aku lagi di kampung sepi. Malah jadi kangen sama kamu. Gimana hayooo?” rengek suamiku. Kami terbukti biasa saling terbuka soal kebutuhan seks kami. “Kocok aja, Mas. Aku juga mau,” kataku manja. Kemudian aku menggeser Eki supaya menindih di atas tubuhku. Sambil tanganku menutup hp, aku berbisik ke Eki, “Sekarang kamu genjot aku sekencang-kencangnya hingga keluar ya. Sekuat-kuatnya!” Eki mengangguk. Aku lalu menjawab telepon suamiku lagi, “Ayo, mas,
buka celananya..” Aku mengambil cd milikku yang ada di samping ranjang lalu kujejalkan ke mulut Eki. Eki tahu maksudku supaya dirinya tidak bersuara. “Oke, Dik. Aku telah menghunus rudalku..” Sambil menjawab mesra, aku menekan pantat Eki supaya segera memaju-mundurkan kontolnya dalam tempikku. Eki segera membalasnya dan mulai menggenjotku. Aku menyuruhnya untuk menurunkan kakinya ke samping ranjang jadi perutku tidak tertindih badannya.
Sementara aku mengangkang dengan dua kakiku terangkat ke samping kiri dan kanan badan pemuda abg itu. Ohhh, Ya Tuhan. Bagaikan kesetanan, Eki menggenjotku seperti yang kuperintahkan. Aku mengerang-erang, begitu juga suamiku. “Mas, aku masturbasi kesetanan ini… pengen banget! Kamu kocok kuat-kuat yaaa… ahhhhh!!” “Iyaah… oohhh, untung aku bawa cdmu, buat ngocok nih…. ohhhhh!!” erang suamiku. Tidak kalah hebatnya, Eki terus menggasak lobangku dengan tanpa kompromi. Badan kurusnya maju mundur secepat bor listips.
Aku mengerang-erang tidak karuan. Suara lobangku berdecit-decit sebab banjir dan gesekan dengan kontol Eki. Sangatlah gila malam ini. Aku telah tidak ingat lagi berapa lama aku digenjot Eki. Suaraku penuh nafsu bertukar kata-kata mesra dengan suamiku. Eki seakan-akan tidak sempat lelah. Tubuhnya telah banjir keringat. Stamina mudanya sangatlah membanggakan. Keringat juga membanjiri tubuhku. Sementara suara suamiku juga meraung-raung kenikmatan, semoga kamar dirinya di perjalan dinas itu kamar yang kedap suara. Beberapa hari kemudian aku kehabisan tenaga. Kuminta Eki untuk berhenti sejenak. Pemuda itu nampak terengah-engah sehabis menggenjotku habis-habisan.
Seusai itu kami melanjutkan permainan kami. Eki dengan kuatnya menggenjotku habis-habisan. Aku tidak tahu lagi apa yang kecerecaukan di telepon, tapi nampaknya suamiku juga sama saja. Beberapa hari kemudian aku dan suamiku sama-sama berteriak, kami sama-sama keluar. Aku terengah-engah mengatur nafasku. Lalu suamiku memberi salam mesra dan ciuman jarak jauh. Kami betul-betul terpuaskan malam ini. Seusai ngobrol-ngobrol singkat, suamiku menutup teleponnya.
Di kamarku, Eki tetap menggenjotku pelan-pelan. Dirinya belum keluar rupanya. Wah, gila. Aku kawatir jepitanku mungkin telah tidak mempan untuk kontolnya yang tetap tumbuh. Kubiarkan kontol pemuda itu mengobok-obok tempikku. Tiba-tiba kudorong Eki, jadi lepas kontol dari lobangku. Ohhh, lenguhnya sedih. Lalu aku tarik dirinya naik ke tempat tidur dan aku segera menungging di depannya. Eki tahu maksudku. Dirinya segera mengarahkan kontolnya ke tempikku. Tapi segera kupegang kontol itu dan kuarahkan ke lobang yang lain.
Pantatku! Mungkin di sanalah kontol Eki bakal dijepit dengan maksimal, pikirku tanpa pertimbangan. Eki sadar apa yang kulakukan. Disodokkannya kontolnya ke lobang pantatku. Tapi lobang itu nyatanya tetap terlalu kecil bahkan buat kontol Eki. Aku berdiri dan menyuruhnya menantikan. Lalu aku turun dan mengambil jelli organik dari dalam rak obat di kamar mandi. Dengan setia Eki menantikan dengan kontol yang juga setia mengacung. Jelli itu kuoleskan ke seluruh batang Eki, dan sebagian kuusap-usapkan ke kurang lebih lobang pantatku.
Kembali aku menunggingkan pantatku. Eki mengarahkan kotolnya kembali dan pelan-pelan lobang itu sukses diterobosnya. “Ohhhhh…” desisku. Sensasinya sangat luar biasa. Pelan-pelan batang kontol itu menyusup di lobang yang sempit itu. “Aaughhh…” Eki mengerang keras. Setengah perjalanan, kontol itu berhenti. Baru separo yang masuk. Eki terengah-engah, begitu juga aku. “Pelan-pelan, Ndun…” bisikku. Eki memegangi bongkahan pantatku dan kembali menyodokkan kontolnya ke lobangku. Dan akhirnya seluruh batang itu masuk dalam lobang pantatku.
Ohhh, Tuhan… rasanya sangat luar biasa, antara sakit dan nikmat yang tidak terceritakan. Aku mengerang. Kami berdiam beberapa menit, membiarkan lobangku terbiasa dengan batang kontol itu. Seusai itu Eki mulai memaju-mundukan pinggangnya. Rasanya luar biasa. Pengalaman baru yang membikinku ketagihan. Beberapa hari kemudian, Eki mengerang-erang keras.
Dirinya memaksakan menggejot pantatku dengan cepat, tapi sebab sangat sempit, genjotannya jadi tidak bisa lancar. Kemudian, ohhhhhhhh… Eki memuncratkan spermanya dalam pantatku!! Crooooott… crooooott… crooooott… Aku tersungkur dan Eki terlentang ke belakang. Muncratannya sebagian mengenai punggungku. Kami sama-sama terengah-engah dan didera kelelahan yang luar biasa. Aku membalikkan tubuhku dan memeluk Eki yang terkapar tanpa daya. Kami berpelukan dengan telanjang bulat sepanjang malam. Esoknya, aku bangun jam 6 pagi.
Eki tetap ada dalam pelukanku. Oh, Tuhan. Untung aku mengunci pintu kamar. Mbok Imah, tetangga yang biasa bantuin ngurusin anak-anak, telah terdengar suaranya di belakang. Oh.. apa yang telah kulakukan tadi malam? Aku sangatlah tidak habis pikir. Kalau malam waktu itu sangatlah hanya sebuah kecelakaan. Tapi malam ini, aku dan Eki sangatlah melakukannya dengan penuh kesadaran. Apa yang kulakukan pada anak abg ini? Aku jadi gelisah memikirkannya, aku takut membikin anak ini menjadi anak yang salah jalan. Rasa bersalah itu membikinku merasa bertambah sayang pada anak kecil itu.
Tidak lebihkul kembali tubuh kecil itu dan kuciumin pipinya. Tubuh kami tetap sama-sama telanjang. Aku lihat si Eki tetap nyenyak tidur. Mukanya nampak manis sekali pagi itu. Aku mengecup pipi anak itu dan membangunkannya. “Ndun, bangun. Kamu sekolah khan?” bisikku. Eki nampak kaget dan segera duduk. “Oh, Bu.. maaf, aku kesiangan.” katanya gugup. “Gak papa, Ndun, aku yang salah mengajakmu tadi malam.” Kami berpandangan. “Maaf, Bu. Aku sangatlah tidak sopan,” “Lho, khan bukan kamu yang mengundang kami tidur bersama.
Aku yang salah, Ndun.” bisikku pelan. Eki menatapku, “Aku sayang sama Ibu…” katanya pelan. “Ndun, kamu punya pacar?” “Belum, bu,” “Kamu janji ya jangan cerita-cerita ke siapa-siapa soal kita,” “Iya, bu, gak mungkinlah,” “Aku takut kamu rusak sebab aku,” “Gak kok, Bu. Aku sayang sama Ibu.” “Kamu jangan melakukan ini ke sembarang orang ya,” kataku khawatir. “Tidak, Bu, aku bukan cowok seperti itu. Tapi kalau sama Ibu, tetap boleh kan?” katanya pelan. Tiba-tiba aku sangat ingin memeluk anak ini. “Aku juga sayang kamu, Ndun. Sini Bunda peluk.” Eki mendekat dan kami berpelukan sambil berdiri.
Tangannya merangkul pinggangku dan aku memegang pantatnya. Kami berpelukan lama dan saling berpandangan. Lalu bibir kami saling berpagutan. Gila, aku sangatlah serasa berpacaran dengan anak kecil ini. Mulut kami saling bergumul dengan panasnya. Aku lihat kontol anak itu tetap tegak berdiri, mungkin sebab efek pagi hari. Tanganku meraih batang itu dan mengocoknya pelan-pelan. Aku berpikir cepat, sebab pagi ini Eki wajib sekolah, aku wajib segera menuntaskan ketegangan kontol itu. Maka aku segera membalikkan tubuhku dan berpegangan pada meja rias.
Sambil menonton Eki lewat cermin, aku menyuruhnya, “Ndun, kamu pakai jeli itu lagi. Cepat masukin lagi kontolmu ke pantat Ibu.” Eki buru-buru melumasi batangnya. Aku menyorongkan bongkahan pantatku. Dari cermin aku bisa menonton muka dan badanku sendiri. Ohh… agak malu juga aku menonton tubuhku yang mulai membengkak di sana-sini, tapi tetap penuh dengan nafsu birahi. “Cepat, Ndun, kelak kamu telat sekolah,” perintahku. Sambil memeluk perutku, Eki mendorong kontolnya masuk ke lobang pantatku. Lobang yang semalam telah disodok-sodok itu segera menerima batang yang mengeras itu. Segera kami telah melakukan persetubuhan lagi.
Aku bisa menonton adegan seksi itu lewat cermin, di mana mukaku terkesan sangat bernafsu dan juga muka Eki yang mengerang-erang di belakangku. “Ayo, Ndun, sodok yang kuat!” “I-iya, Bu..” “Terusss… lebih cepat!” Sodokan-sodokan Eki terus bersemangat. Lobang pantatku terus elastis menerima batang imutnya. Sungguh kenikmatan yang luar biasa. Tidak berapa lama kemudian kami berdua sama-sama mencapai puncak kenikmatan. Eki membiarkan cairan spermanya meluncur deras dalam pantatku. Kami sama-sama terengah-engah menikmati puncak yang barusan kami daki.
“Ohhh…” Sejenak kemudian aku lepaskan pantatku dari kontolnya. “Udah, Ndun. Sana kamu mandi, pulang. Kelak kamu telat lho sekolahnya,” kataku sambil tersenyum. Eki mencari-cari pakaiannya. Tiba-tiba kami sadar kalau celana Eki ada di ruang tamu. Aku suruh si Eki nunggu di kamar, sementara aku segera berpakaian dan keluar ke ruang tamu. Moga-moga belum ada yang menemukan celana itu. Untungnya celana itu teronggok di bawah sofa dan terselip jadi Mbok Imah yang biasanya sibuk dulu menyiapkan sarapan belum sempat memselesaikan ruang tamu. Celana itu segera kuambil dan kubawa ke kamar.
Si Eki yang tadinya nampak panik, saat ini berubah tenang. Seusai memakai celananya, Eki kusuruh cepat-cepat keluar ke ruang tamu dan mengambil tas belajarnya yang semalam tergeletak di meja. Seusai itu dirinya pamit pulang. Aku sendiri segera mandi. Di kamar mandi aku merasakan sedikit perih di tahap lobang pantatku. Baru hari ini lobang itu menjadi alat seks, itu pun justru dengan anak kecil yang belum tahu apa-apa. Ada sedikit rasa sesal, tapi segera kuguyur kepalaku untuk menghapus rasa gundah di dadaku. Sorenya Eki kembali main ke rumah.
Dirinya telah sibuk memselesaikan buku-buku di gazebo kami. Malam itu Eki tidur lagi di kamarku. Mas Prasetyo baru pulang besok harinya. Selagi berjam-jam kami kembali bercinta. Kami saling berpelukan dan share kasih selayaknya sepasang kekasih. Tapi sebelum jam 1, aku suruh Eki untuk segera tidur. Aku khawatir sekolahnya bakal terganggu sebab aktivitasku. “Ndun, tadi kamu di sekolah gimana?” bisikku seusai kami berakhir ronde ke tiga.
Kami berpelukan dengan mesra di tengah ranjang. “Biasa aja, Bu.” “Kamu gak kelelahan alias ngantuk di sekolah?” “Iya, Bu, sedikit. Tapi gak papa, aku tadi sempat tidur siang.” “Aku takut menganggu sekolahmu,” “Gak kok, Bu. Tadi aku bisa ngikutin pelajaran,” “Okelah kalau gitu. Tapi seusai ini kamu tidur ya, gak usah diterusin dulu.” “Iya, Bu.” “Besok Mas Prasetyo pulang, kamu gak bisa nginap disini,” “Iya, Bu. Tapi kapan-kapan saya siap menemani Bunda di sini,” “Yee…. maunya.
Ya, gak papa,” kataku sambil mencubit pinggangnya. “Aku mau jadi pacar Ibu,” “Lho, aku khan telah bersuami?” “Ya gak papa, jadi apa saja deh,” “Aku justru kasihan sama kamu. Besok-besok kalau kamu udah siap, kamu cari pacar yang bener ya?” “Iya, Bu. Aku tetap sayang sama Ibu. Mau dijadiin apa saja juga mau,” “Idihh.. ya udah, bobok yuk!” kataku kelelahan. Kami tidur berpelukan hingga pagi. Seusai malam itu, aku terus tidak jarang bercinta dengan Eki. Kapan pun ada peluang, kami berdua bakal melakukannya.
Eki sangat memperhatikan bayi dalam kandunganku. Setiap ada peluang, dirinya menciumi perutku dan mengelus-elusnya. Kasihan juga aku lihat anak kecil itu telah merasa wajib jadi bapak. Herannya, aku juga kecanduan dengan kontol kecil anak ini. Padahal aku telah punya kontol yang jauh lebih besar dan terdapat untukku. Bayangkan, beda usiaku dengan Eki mungkin kurang lebih 27 tahun.
Bahkan anak itu lebih tepat menjadi adik anak-anakku. Tapi hubungan kami bertambah mesra seiring usia kehamilanku yang terus membesar. Eki bahkan tidak jarang ikut menemaniku ke dokter tatkala suamiku sedang dinas keluar. Eki terus perhatian padaku dan anak dalam kandunganku. Kami sangat bahagia sebab bayi dalam kandunganku berada dalam kondisi sehat. Aku rutin mengingatkan Eki untuk tetap fokus pada sekolahnya, dan jangan terlalu memikirkan anaknya. Yang paling tidak bisa dicegah merupakan, Eki terus lama terus kecanduan lobang pantatku.
Lama-lama aku juga merasakan faktor yang sama. Seakan-akan lobang pantatku menjadi eksklusif milik Eki, sementara lobang-lobangku yang lain dibagi antara Eki dan suamiku. Hingga sekarang, suamiku tidak sempat tahu kalau pantatku telah dijebol oleh Eki. Lama-lama aku khawatir juga dengan cerita mengenai hubungan kelamin lewat pantat bisa memunculkan beberapa penyakit, tergolong AIDS. Aku akhirnya menyediakan kondom untuk Eki kalau dirinya minta lobang pantatku.
Eki sih oke-oke saja. Dirinya juga khawatir, mesikipun dirinya sangat bahagia ketika masuk ke lubang pantatku. Untung aku dan suamiku juga kadang-kadang memakai kondom, jadi aku tidak canggung lagi membeli kondom di apotik. Bahkan aku tidak jarang mendapat kondom gratis dari kelurahan. Mungkin sebab tetap masa pertumbuhan dan tidak jarang kupakai, aku menonton lama kelamaan kontol Eki juga mengalami pembesaran. Kontol yang terus berpengalaman itu tidak lagi seperti kontol imut pada waktu pertama kali masuk ke tempikku, tapi telah menjelma menjadi kontol dewasa dan berurat ketika tegang.
Aku sadar, kalau aku merupakan salah satu sebab dari pertumbuhan instant dari kontol Eki. Kekuatan kontolnya juga terus luar biasa. Dirinya tidak lagi gampang keluar, bahkan kalau dipikir-pikir, dirinya mungkin lebih kuat dari suamiku. Sebab perutku terus membesar, aku jadi tidak jarang memakai celana legging yang lentur dan baju kaos ketat yang berbahan sangat lentur. Kalau di rumah aku bahkan hanya pakai kaos panjang tanpa bawahan. Orang pasti mengira aku rutin pakai cd, padahal tidak jarang aku malas memakainya.
Entah sebab bawaan bunda hamil alias sebab nafsu birahiku yang terus gila. Waktu bunda Eki mau naik haji, aku ikut sibuk dengan ibu-ibu kampung untuk mempersiapkan pengajian haji. Biasalah, kalau mau naik haji pasti hebohnya minta ampun. Aku tergolong dekat dengan bunda Eki. Namanya bu Masuroh, yang biasa dipanggil Bu Ro. Sebab keluarga Eki tergolong keluarga yang terpandang di desa kami, maka agenda pengajian itu menjadi agenda yang besar-besaran. Tidak sedikit ibu-ibu yang ikut sibuk di rumah Bu Ro. Kalau aku ke sana aku lebih tidak jarang sebab ingin ketemu Eki.
Agenda pengajian dan kehadiran Mas Prasetyo di rumah membikin peluangku berjumpa dengan Eki menjadi sangat terbatas. Telah lama Eki tidak merasakan lobang pantatku. Aku sendiri bimbang bagaimana mencari peluang untuk ketemu Eki. Mesikipun aku tidak jarang berangkat ke rumahnya dan kadang-kadang juga diantar Eki untuk berbelanja sesuatu untuk kebutuhan pengajian, tapi tetap saja kami tidak punya peluang untuk bercinta.
Akhirnya pada saat pengajian besar itu aku memperoleh ide. Sorenya, segera kutelepon Eki memakai telepon rumah, sebab aku sangat hati-hati memakai hp, apalagi untuk urusan Eki. “Assalamu’alaikum, Bu. Ini Bu Veronika. Gimana Bu persiapan kelak malam, telah selesai semua?” “Oh, Bu Veronika. Telah Bu. Kelak datangnya agak sorean ya, bu. Kalau gak ada Ibu, kami bimbang nih,” jawab Bu Ro. “Iya, selesai, Bu. Saya sama Bu Anjar telah janjian seusai maghrib langsung kesitu.
Eki ada, Bu Ro?” “Ada, Bu, sebentar ya,” Seusai Eki yang memegang telepon, aku segera bilang: “Ndun, kelak malam kamu pake celana yang bisa dibuka depannya ya,” kataku pelan. “Iya, Bu,” jawab Eki agak bingung. “Terus kamu pakai kondom kamu…” Eki mengangguk lagi, dan telepon segera kututup. Malam itu pengajian dilangsungkan dengan besar-besaran. Halaman RW kami yang luas hampir tidak bisa menampung jama’ah yang datang dari seluruh penjuru kota. Bu Ro terbukti tokoh yang disegani masyarakat. Aku datang bersama ibu-ibu RT.
Aku memakai kerudung, dengan baju atasan longgar yang menutup hingga bawah pinggang. Bawahannya aku memakai legging ketat, sebab terbukti lagi biasa digunakan ibu-ibu pada saat ini. Apalagi aku lagi hamil, pasti orang-orang pada maklum bakal keadaanku. Yang tidak biasa merupakan bahwa aku tidak memakai apapun di balik celana leggingku. Sengaja aku tinggalkan cd-ku di rumah, sebab aku punya sebuah ide untuk Eki.
Seusai semua urusan kepanitiaan selesai, aku segera bergabung dengan ibu-ibu jama’ah pengajian. Tapi kemudian aku dan beberapa bunda yang lain pindah ke halaman, sebab lebih leluasa dan bisa berdiri. Hanya saja halaman itu telah sangat penuh dan berdesak-desakan. Justru aku memilih tempat yang paling ramai oleh pengunjung. Di kejauhan aku menonton Eki dan memberinya kode untuk mengikutiku. Eki beranjak menuju ke arahku, sementara aku mengundang Bu Anjar untuk ke sebuah lokasi di bawah pohon di lapangan RW.
Lokasi itu agak gelap sebab bayangan lampu tertutup rindangnya pohon. Mesikipun demikian, tidak sedikit anak buah jama’ah di situ yang berdiri berdesak-desakan. “Kita sini aja, Bu, kalau Bunda mau. Tapi kalau bunda keberatan, silakan Bunda pindah ke sana,” kataku pada Bu Anjar. “Gak papa, Bu, di sini lebih bebas. Bisa bolos kalau udah kemaleman, hihihi..” kata Bu Anjar. “Iya, ya. Biasanya pengajian ginian bisa hingga jam 12 lho,” Kami lalu bercakap-cakap dengan seru sambil mendengarkan pengajian. Nyatanya di sebelah Bu Anjar adan Bu Kesti yang juara negrumpi. Kami segera terlibat pembicaraan serius sambil sekali-kali mendengarkan ceramah kalau pas ada cerita-cerita lucu.
Kami berdiri agak di barisan tengah, Bu Anjar dan Bu Kesti mendapat tempat duduk di sebelahku. “Bu, monggo kalau mau duduk,” tawarnya padaku. “Wah, gak usah, Bu. Saya lebih suka berdiri gini aja,” jawabku. Padahal aku sedang menantikan Eki yang sedang berusaha menyibak kerumunan menuju ke arah kami. Akhirnya Eki tiba di belakangku. Dua ibu-ibu sebelahku tidak memperhatikan kehadiran Eki, tapi aku melirik anak muda itu dan menyuruhnya berdiri tepat di belakangku.
Aku bergeser berdiri sedikit di belakang bangku Bu Anjar dan Bu Kesti. Sementara Eki dengan segera berdiri tepat di belakangku. Dengan diam-diam aku menempelkan pantatku ke badan Eki. Eki tersenyum dan memajukan badannya. Pantatku yang semlohai segera menempel pada kontol Eki yang telah tegang di balik celananya. Aku berbisik pada Eki, “Buka, Ndun. Udah pakai kondom?” Eki mengangguk dan membuka risliting celananya. Segera tersembul batangnya yang telah mengeras.
Segera kusibakkan baju panjangku ke atas dan nampaklah leggingku telah kuberi lobang di tahap belahan pantat. Eki nampak terkejut, dan sekaligus mengerti maksudku. Dengan pelan-pelan diarahkannya batang kerasnya ke lobang pantatku. Dan, slepppp… masuklah batang itu ke lobang favoritnya. Tangan Eki masuk ke dalam baju kurungku sambil mengelus-elus perutku. Cerita dewasa ini di upload oleh situs ngocoks.com
Batangnya berada di dalam lobangku sambil sesekali dimaju-mundurkan. Kami bercinta di tengah keramaian dengan tanpa ada yang menyadari. Mesikipun begitu aku tetap bercakap-cakap dengan dua ibu-ibu tetanggaku, sementara di kanan kiri kami orang-orang sibuk mendengarkan ceramah dengan berdesak-desakan. Kurang lebih satu jam Eki memelukku dalam gelap dari belakang. Tiba-tiba tempikku berkedut-kedut, pengen ikut disodok. Kalau dari belakang berarti aku wajib lebih menunduk lagi. Pelan-pelan kutarik keluar kontol Eki dan kulepas kondomnya.
Aku kembali mengarahkannya, hari ini ke lubang tempikku. Eki mengerti. Lalu, bless… dengan lancarnya kontol itu masuk ke tempikku dari arah belakang. Ohh, enak sekali. Aku mulai tidak konsentrasi kepada ceramah maupun dialog dua ibu-ibu itu. Sebab hanya sesekali kami bergoyang, maka adegan persetubuhan itu berjalan lumayan lama. Kepalaku telah mulai berkunang-kunang penuh kenikmatan. Di tengkukku aku merasakan nafas Eki terus ngos-ngosan.
Beberapa hari kemudian, aku mengalami orgasme hebat, tanganku gemetar dan langsung memegang sandaran bangku di depanku. Eki juga kemudian memuncratkan maninya dalam tempikku. Kami berdua hampir bersamaan mengalami orgasme itu. Seusai agak reda, aku mendorong Eki dan mengeluarkan kontolnya. Cepat-cepat Eki memasukkan kembali ke dalam celana, dan kuturunkan baju tahap belakangku. Aku dan ibu-ibu itu memutuskan untuk pulang sebelum agenda berakhir. Untung saja aku dan Eki telah berakhir. Dengan mengedipkan mata, aku menyuruh Eki untuk meninggalkan lokasi. Akhirnya terpuaskan juga hasrat kami seusai hari-hari yang sibuk yang memisahkan kami.
Tamat