Hampir setahun aku menjalani hidup poligami, dengan dua istri. Aku berusaha memberi perhatian yang seimbang. Meski istri kedua, aku memberi perhatian, waktu yang sama kepada Mira. Bersyukur kedua istriku rukun, tidak saling cemburu.
Istri pertama ku memanggil Mira dengan tambahan sebutan Mbak, karena istriku lebih muda 8 tahun. Sebaliknya Mira memanggil istriku dengan tambahan sebutan dik. Aku sendiri menyebut mereka dengan mama Winda dan mama Mira.
Mira meski pernah menikah , tetapi dia belum sempat memiliki anak dari suaminya terdahulu. Aku tidak mau pusing menyelidiki kenapa mereka pisah, karena Mira juga tidak pernah bercerita soal itu.
Sejak aku menjadi suami Mira , aku diangkatnya sebagai tangan kanannya mengurusi berbagai urusan bisnis dan pernak-pernik lainnya, yang memang sepantasnya diurus laki-laki. Kami sangat terbuka dalam masalah sex.
Kalau Winda memang sangat terbuka dalam masalah itu, karena sejak sebelum kami menikah kami sudah terbiasa orgy bersamanya. Mungkin terpengaruh oleh pembawaan Winda, Mira pun akhirnya bisa menerima kegiatan sex yang terbuka.
Suatu malam ketika kami bertiga berada di rumah Mira, sampai akhirnya kemalaman, Mira menawarkan aku dan Winda tidur di rumahnya. Namun karena kamar di rumahnya hanya ada 2.Kami tidur di satu kamar.
Kamar kedua dibuat untuk menyimpan berbagai keperluan, jadi sudah seperti gudang. Kamar tidur Mira cukup besar dengan spring bed ukuran king size.
Mulanya kami tidur damai-damai saja. Demi keadilan, maka aku diposisi tengah diantara Mira dan Winda. Diapit dua wanita yang secara sah memang milikku, dan kejahilan tangan Winda meremas-remas penisku, aku jadi sulit tidur.
Mulanya Mira agak malu melihat Winda aktif mencumbuiku. Namun Winda pandai mengambil hati Mira. “Mbak ayo mbak kita kroyok Dicky, masak kita terus yang dikalahkan,” kata Winda.
“Ah kamu aja lah saya ngantuk,” tolak Mira dengan nada yang kelihatannya tidak sungguh-sungguh. Namun aku tahu kelemahan Mira, Dia tidak berdaya jika puting susunya sudah tersentuh.
Sementara celanaku diplorotin Winda, aku memeluk Mira dan memainkan puting susunya. Nafasnya mulai memburu tandanya birahi mulai terbangun. Pelan-pelan aku lolosi bajunya sampai tinggal celana dalamnya. Dia pasrah saja, sampai akhirnya celana dalamnya pun aku tarik. Aku mulai mengoral kemaluannya.
Pada titik ini Mira tidak akan pernah mampu bertahan diam. Baru sekitar 5 menit, dia sudah kelojotan dan moaning, tanpa memperdulikan kehadiran wanita lain di sekitarnya. Sementara itu Winda melomoti penisku yang telah kaku.
Mira mencapai orgasmenya. Tanpa menunggu dia menyelesaikan denyutan klimaksnya aku langsung menancapkan penisku perlahan-lahan. Mira makin merintih dan menjerit perlahan-lahan ketika merasa lubang memeknya aku terobos. Seluruh rongga vaginanya penuh dengan penisku dan sudah tertancap sepenuhnya.
Aku sudah mengenal benar posisi penisku menghadapi Mira, sehingga tidak perlu lama mengayuhnya Mira sudah kembali kelojotan dengan klimaksnya tertinggi. Keringat memenuhi dahinya. Padahal kamar ini cukup dingin.
“Dick aku nyerah deh, gantian deh dik Winda , tulang-tulangku rasanya udah mau copot, aku ngantuk banget, “ kata Mira yang baru aku genjot sekitar 15 menit.
Kupenuhi permintaan Mira dan aku langsung berpindah ke memek Winda yang sudah standby ngangkang. Memek Winda terasa hangat dan agak banjir dengan lendirnya. Namun meski begitu lubangnya masih cukup mencengkeram, karena Winda punya keistimewaan, pelumas memeknya lebih kental dan agak lengket.
Sekitar 10 menit aku genjot Winda dia sudah 2 kali kelojotan dan akhirnya dia minta aku mengakhiri permainan, karena badannya terasa lelah sekali. Padahal aku belum mencapai klimaksku. Aku mencabut penisku yang masih kaku sempurna.
Aku tidak memaksakan mengeluarkan spermaku. Aku berhenti di tengah perjalanan. Ini untuk menjaga staminaku, menghadapi musuh yang kali ini jumlahnya dua kali lipat. Winda dan Mira sudah lelap tertidur dalam keadaan bugil. Aku menutupi selimut di kedua tubuh mereka. Keduanya terdengar mendengkur halus.
Aku bangkit dari tempat tidur dan membersihkan diri lalu sambil hanya mengenakan celana pendek, menuju lemari es untuk menetralisir nafsuku. Penisku berhasil agak melemah. Aku lalu ikut tidur di antara mereka berdua.
Sejak masih di SMP dulu aku sudah latihan olah pernafasan dengan perguruan XP. Sudah lebih 10 tahun aku aktif di perkumpulan itu, sehingga soal bertanding di atas ranjang, bukan tantangan berat bagiku. Olah pernafasan yang sudah cukup aku kuasai, memberi kemampuan kepada diriku mengontrol kapan sperma akan dilepas dan kapan harus bertahan.
Kehidupan sex dengan istri-istri makin terbuka, mereka sudah berani terang-terangan minta jatah ku kalau sedang menginginkan. Kadang-kadang aku diijinkan menggilir, tetapi yang lebih sering makan bersama. Aku pun tidak setiap malam melepas spermaku, karena aku menargetkan seminggu hanya 2 kali mencapai orgasme.
Sejauh ini kedua istriku dapat dikatakan terpenuhi kebutuhan bioligisnya, malah setiap kali permainan mereka selalu angkat tangan, alias menyerah minta aku tidak meneruskan mendera mereka. Kayaknya superman banget aku, ya. Sebetulnya, tidak juga. Aku hanya bisa mengendalikan diri dan mengatur kemampuanku diatas ranjang, itu saja. Selain itu aku menjaga asupan gizi yang sehat dan olahraga ringan.
Bisnis Mira makin berkembang, dia sedang merencanakan membuka satu outlet lagi mini market. Sementara itu Winda menemukan lahan bisnisnya yang cocok, yaitu menjadi agen property. Kehidupan ekonomi di kedua rumahku sudah lebih dari cukup. Jika dahulu aku mondar mandir mengendarai sepeda motor, sekarang, lumayanlah sudah bisa membeli sendiri Avanza.
Aku sendiri tidak jelas kerjanya, tetapi setiap hari sibuk membantu kegiatan kedua istriku. Kami bertiga sudah saling mengisi dan bekerjasama dengan baik. Di ranjang saling berbagi, di luar rumah aku bagaikan manager terhadap kegiatan istri-istriku.
Kami sering janjian makan di restoran yang bergengsi. Mungkin jika orang melihat kami, tidak menyangka bahwa kedua perempuan di sekelilingku adalah para bini. Penampilanku dan istri-istriku sudah seperti orang kantoran yang penampakannya seperti sedang membicarakan urusan bisnis.
Oleh karena itu ketika Mira dan Winda suatu kali meneleponku untuk bertemu di satu restoran Jepang kondang, aku tidak menyangka bahwa ada hal penting di luar bisnis yang menjadi topik. Itu pun baru ku ketahui kemudian hari.
Seperti biasa, restoran Jepang itu memiliki semacam ruang tertutup. Ketika aku masuk, ternyata mereka berdua sudah ada di dalam dan bisnis woman yang selama ini kuketahui dari pemberitaan di media. Aku diperkenalkan, dia menyebut namanya “Angela”.
Gadis di pertengahan usia 30, kelihatannya keturunan Chinese karena putih dan cantik. Badannya langsing, sekilas buah dadanya tidak terlalu menonjol. Tidak ada hal istimewa yang dibicarakan pada acara lunch itu, kecuali hanya makan dan saling guyon.
Kelihatannya Anggela lebih akrab dengan Mira. Kelihatannya mereka teman lama. Meskipun Angela baru kenal dengan ku, dia sama sekali tidak menelisik mengenai diriku.
Aku pun bersikap demikian, karena sebagian sepak terjangnya di dunia bisnis aku tahu dari pemberitaan di mass media. Angela sebenarnya termasuk pengusaha sukses, karena dia memiliki beberapa perusahaan besar.
Karena Angela tidak menelisik latar belakangku, aku jadi curiga bahwa CV ku sudah diketahui sebelum pertemuan ini. Mungkin Mira atau Winda yang sudah menceritakan tentang diriku . Namun beberapa kali aku menangkap pandangan yang berarti pada diriku.
“Ah jangan-jangan istri-istriku memasarkan aku pada cewek tajir ini, tapi apa mungkin, orang sekaya itu mau sembarangan, “ begitu pertanyaanku menggantung di kepalaku.
Aku tetap menahan diri, tidak menanyakan, apa maksud para istriku mempertemukan dengan Angela. Selesai makan, Angela mohon izin terlebih dahulu meninggalkan kami. Setelah 5 menit baru kami keluar. Itupun karena Mira yang memberi aba-aba agar kami jangan keluar dulu. Wah makin misterius.
Para pembaca pasti sudah menebak kemana arah ceritaku berikutnya. Apakah tebakan itu benar atau meleset, mari kita ikuti terus tulisanku.
Bill makan kami rupanya sudah diselesaikan Angela, sehingga kami melenggang keluar restoran. Di rumah aku menahan diri tidak menanyakan perihal pertemuan dengan Angela, Winda tanpa kuminta menceritakan bahwa Mira sedang berusaha menggoalkan satu proyek besar.
Ketika aku menggilir Mira, dia juga bercerita begitu. Ah ngapain penasaran, biar aja, toh nanti waktu akan membuktikan. “ wait and see”. Saat aku menggilir Mira, dia mengatakan ingin minta pertolongan aku membelikan barang yang hanya bisa dibeli di Singapura.
Untuk itu aku diminta segera mengurus paspor. Aku tentu saja senang juga . Sudah lama aku tidak ke Singapura. Dulu ketika masih SMA aku bersama keluarga pernah berlibur ke negara itu. Mungkin sudah lebih 10 tahun. Sejak jatuh miskin, tidak pernah terpikirkan oleh ku bisa ke Singapura lagi.
Setelah paspor selesai, aku diberi seberkas amplop yang berisi voucher hotel, termasuk dolar sing dan daftar pesanan barang yang akan dibeli disana. Aku tiba di hotel Shangri La. Kamar yang dipesan dengan voucher yang kupegang ini adalah kelas suite.
Ah Mira kelihatannya berlebihan memesan kamar untukku. Untuk membeli pesanan yang tidak terlalu mahal, sewajarnya adalah kamar standar saja.
Ketika memasuki room, aku lebih terperanjat lagi, karena suite roomnya memiliki dua ruang , ada ruang tamu dan ada ruang tidur. Wah mewah amat sih. Mira terlalu boros. Kuintip jendela tampak pemandangan ke kota .
Ah repot amat, nikmati saja. Hari itu aku menyelesaikan pembelian pesanan dan sore aku sudah berendam di air hangat di kamar mandi hotelku. Aku menghayal, seandainya ada perempuan yang menemaniku malam ini.
Masalahnya penisku mulai menggemuk karena terendam air hangat. Di tengah hayalan aku dikejutkan oleh deringan telepon. Operator mengatakan ada tamu yang ingin bicara.
“Halo, ini Dicky ya, saya Angela,” suara lembut diseberang sana.
“Eh ya betul, Angela ada dimana,” tanyaku bodoh. Padahal tadi operator sudah menyebutkan tamu hotel yang ingin bicara.
“Boleh saya naik ke kamar,” tanyanya agak ragu.
“Eh oh, boleh, nanti saya telepon front office agar bell boy mengantar ke atas, maaf saya masih di kamar mandi.” jawab saya. Hotel ini membatasi sembarang orang naik ke kamar, sehingga jika tidak memiliki kunci kartu, tidak bisa naik lift, kecuali diantar oleh petugas.
Aku buru-buru mengeringkan badan dan memakai baju yang pantas karena konglomerat mau datang ke kamarku. Ah untung juga si Mira memesankan kamar suite, jadi nggak malu-maluin terima tamu pengusaha tajir.
Denting bel pintu berbunyi, ketika kubuka pintu yang muncul duluan adalah bell boy lalu tampak dibelakangnya ada Angela. Tapi disamping Angela ada seorang wanita yang kelihatannya keturunan chinesse juga. Aku segera mempersilakan mereka berdua masuk.
Angela memperkenalkan wanita yang kelihatannya berumur lebih tua. “ Ini mama saya,” katanya.
Belum habis terperanjatku, aku jadi makin bingung, kenapa Angela membawa mamanya dan memperkenalkan ke aku. Apa kira-kira ujungnya.
Mamanya memperkenalkan diri bernama Shinta, Wanita setengah umur yang terawat, masih cantik, belum banyak lemak di tubuhnya. Kami duduk di ruang tamu. Aku menghidangkan Chinese tea hangat yang kuseduh dari fasilitas yang tersedia di kamar.
“Sebelum mas Dicky bertanya, saya jelaskan aja, bahwa aku ajak mama menemui mas Dicky untuk ditolong. Kata Mira mas Dicky pintar memijat dan mengobati. Dia sih ceritanya berpromosi habis-habisan tentang kehebatan mas Dicky, “kata Angela.
“Ah Mira terlalu berlebihan berpromosi, kenyataannya saya tidak sehebat itu, kalau sekedar pijat ya sedikit-sedikit bisa. Soal mengobati, wah saya gak berani janji apa-apa, karena selama ini kalau ada yang terobati, mungkin kebetulan saja,” kataku berusaha merendah.
“Siapa yang ingin dipijat, dan sakit apa kok kelihatannya serius betul, “ tanya ku.
“ Ini lho mama, kalau sudah pusing kepalanya dia sampai menangis dan ingin membenturkan kepalanya. Kalau lagi kumat dia marah-marah gak tentu, kita-kita kan jadi bingung,” ujar Angela.
Di beberkan begitu, mamanya hanya tertunduk malu, raut mukanya tersenyum malu.
“Maaf yang bu dan mbak Angel, papanya masih ada,” tanyaku.
“Papa sudah 3 tahun meninggal,” ujar Angela dengan mimik agak pilu.
“Oh maaf,” kataku.
“Kok Tanya mengenai papa, apa ada kaitannya dengan sakitnya mama,” tanya Angela serius.
“Ah soal kaitannya sih saya gak tahu, tapi saya cuma ingin tau saja, “ ujarku.
“Eh gimana kamarnya mas Dicky, kerasan? Mbak Mira wanti-wanti banget agar mas Dicky diberi kamar yang nyaman,” kata Angela.
Aku langsung membatin, pantesan kamarnya bagus amat, orang si konglomerat yang pesen. “Ah kamarnya terlalu bagus untuk saya,” kataku.
“Tapi Mas Dicky bisa bantu mama kan, dia sudah berobat kemana-mana tapi penyakitnya kok gak bisa sembuh-sembuh,” kata Angela.
Aku menanyakan mengenai sakit yang dirasakan oleh Bu Shinta, sambil mencermati raut wajah dan sorot matanya. Aku segera menangkap kemungkinan sakit kepala itu timbul karena psikis. Dari sorot mata yang tidak mungkin disembunyikan terkesan ada sesuatu yang ditekan selama ini.
“Maaf ya bu dan mbak Angela, apa sebelum meninggal papanya, stroke,” Tanya saya.
“Betul,” kata bu Shinta.
“Kok masnya bisa tahu sih, suami saya stroke parah 3 tahun,” katanya.
“ Ah saya cuma nebak-nebak saja kok,” kata ku merendah.
“ Emang ada hubungannya dengan sakit papa mas ?” tanya Angela.
“Ah mungkin ada atau mungkin juga gak ada,” saya tidak tahu betul.
“Gimana mas bisa di ringankan sakit kepala mama,” ujar Angela penuh harap.
“Ya saya tidak janji apa-apa, tapi kalau mau dicoba ya silakan, tetapi kalau dimassage perlu di seluruh tubuh, bukan hanya dikepala saja, kalau bersedia silakan. Tapi ini baru usaha ya saya sama sekali tidak janji sembuh lho,” kata saya.
Mereka berdua setuju, aku lalu meminta Bu Shinta mengosongkan kandung kemihnya dan mengganti pakaian dengan kamerjas yang tersedia di lemari hotel.
Bersambung…