Elvira menyambut tangan Fahmi yang menarik tubuhnya rapat ke badan. Dengan keduanya melutut di atas kasur, mereka berciuman dengan penuh gairah. Tidak perlu pemanasan lagi, mereka sudah dalam keadaan siap. Batang konek Fahmi yang sejak tadi sudah keras mencucuk perut Elvira.
Setelah beberapa saat berciuman, Fahmi bangun dan turun dari kasur hotel yang sudah berantakan akibat permainan panas mereka sebelumnya. Permukaan kasur dipenuhi dengan tompokan air mazi dan air mani.
Fahmi mengarahkan Elvira untuk menungging menghadapnya yang sudah berdiri di pinggir kasur. Batangnya yang masih tegang meminta untuk dipuaskan. Elvira mengubah posisinya mendekati selangkangan Vania yang masih pingsan tak sadar diri. Dia ingin menjilati vagina basah kawannya itu sambil di-doggy oleh Fahmi dari belakang. Sayang kalau tidak dimanfaatkan hidangan di depan mata.
Tanpa banyak bicara, Fahmi langsung menghunjamkan batangnya ke dalam vagina Elvira. Desahan kenikmatan keluar dari mulut Elvira saat menerima batang gemuk di dalamnya. Untunglah vaginanya masih basah, kalau tidak, pasti sakit sekali tiba-tiba dirodok tanpa pemanasan.
Mulutnya langsung menyambar vagina Vania. Lidahnya bergerak-gerak di klitoris yang sudah menguncup. Vania tidak bereaksi apapun. Ini membuat Elvira semakin semangat menjilatinya, sambil sesekali mendongak karena kenikmatan dijolok cepat oleh Fahmi.
Di belakangnya, Fahmi fokus menghentak batangnya sekuat tenaga karena gairahnya sudah di puncak. Dengan pemandangan indah di depan mata, dia tidak melewatkannya untuk merekam aksi mereka. Jarang sekali bisa mendapatkan shot seindah ini. Seorang gadis dijolok sambil menjilati vagina gadis lain. Ini pasti akan menjadi koleksi berharga.
Elvira berhenti menjilat. Dia merasakan batang Fahmi benar-benar mengembang besar di dalam vaginanya. “Ahhh bangggg… Kenapa niiii.. Ahhhh… Luar biasa malam iniiii… Urghhhh….’” erang Elvira sambil bertanya kepada Fahmi. Sungguh luar biasa penangan pacarnya malam ini. Gairahnya benar-benar berbeda.
Fahmi tetap membisu tidak menjawab pertanyaan Elvira. Dia kini sepenuhnya fokus pada vagina di depannya. Elvira pun mempercepat gerakan lidahnya menjilati vagina Vania dari klitoris hingga ke lubang anus. Vagina Vania mulai memberi respon dengan mengencang.
Seperti diundang, jari Elvira mulai menjelajah ke dalam lubang vagina yang sudah dilubangi oleh Fahmi. Elvira mengorek-ngorek lubang dengan dua jarinya sambil ibu jari menggosok klitoris Vania. Vania meronta-ronta menahan kenikmatan meskipun sedang tidur. Pasti dia sedang bermimpi indah sekarang.
Momentum Fahmi semakin cepat. Dia hampir mencapai klimaks. Dia bisa merasakan air maninya hampir keluar. Cepat-cepat Fahmi merangkul tangan kiri Elvira dan menarik tubuhnya ke atas. Tubuh Elvira melengkung saat ditarik seperti itu, membuat vaginanya semakin ketat. Elvira menjerit sekuat mungkin. Dia juga ingin klimaks bersama Fahmi.
“Sayangggg… Abang mau keluarrrr…,” teriak Fahmi yang semakin menggila menghentak batangnya.
“Keluarkan di dalam, bangggg… Keluarkan di dalammmmm!” pinta Elvira tanpa peduli dengan kemungkinan hamil. Dia bisa saja minum pil nanti.
“AHHHHH SAYANGGGG!!!”
Klak!
Tiba-tiba pintu kamar hotel terbuka. Keduanya berpaling serentak ke arah pintu. Elvira tersentak dan langsung bangun. Batang Fahmi yang sedang klimaks terlepas dari vagina Elvira dan memancutkan air mani yang banyak. Fahmi yang juga terkejut tidak bisa menahan air maninya dari terus keluar. Air mani berhamburan ke arah pintu hotel.
“ASTAGHFIRULLAHHHHH! APA KALIAN LAKUKAN?!” teriak Bu Indah, dosen yang mengiringi rombongan klub ini.
Di belakang Bu Indah, Inara ternganga melihat adegan mesum di depannya. Matanya terbeliak melihat batang besar dan tebal milik Fahmi. Pertama kali dia melihat batang seorang lelaki yang asing.
Elvira dengan cepat mengambil handuk yang berserakan di lantai dan membalut tubuh telanjangnya. Fahmi yang sudah selesai memancut, mengenakan boxernya dan mencari kaos yang dilemparnya tadi. Vania diselimuti dengan kain seprai hotel oleh Elvira. Suasana di dalam kamar hotel yang dingin dan berbau seks itu menjadi kacau balau.
Bu Indah menyuruh Inara menutup pintu di belakang mereka. Hanya mereka berdua yang hadir menyerbu kegiatan maksiat yang dilakukan oleh tiga orang muda tersebut. Lalu Bu Indah mendekati mereka dan meminta Elvira dan Fahmi duduk di tepi kasur dan kursi. Suasana hening sejenak.
“Elvira, saya tidak menyangka perangai kamu seperti ini,” Bu Indah memulai bicara. “Kamu kan seorang yang alim, berjilbab lebar lagi. Tapi kenapa jadi seperti ini?” tanyanya kepada Elvira yang menunduk merenung lantai. Wajahnya memerah saat menerima pertanyaan pedas itu.
Jantungnya berdebar-debar seakan mau meledak. Keringat dingin muncul di dahinya, gemetar dengan situasi ini. Ini pertama kali Elvira tertangkap basah dengan kegiatannya. Lidahnya kelu, tidak mampu berbicara. Tidak pernah terlintas hal seperti ini akan terjadi.
Berbeda dengan Fahmi yang masih bisa tenang. Ini juga pertama kali baginya, tetapi dia pandai membaca situasi. Dia melihat hanya ada seorang dosen dan seorang pelajar yang hadir ke kamar mereka. Tidak ada pihak berwenang atau penegak moral. Pasti hal ini belum diketahui oleh siapa pun selain mereka berdua.
Inara mendekati Vania yang masih tidur dan belum sadar akan kejadian ini. Dia mencoba menggoyang tubuh Vania tetapi tidak ada respon. Bu Indah heran dengan keadaan Vania dan bertanya, “Vania kenapa? Kalian kasih obat?”
Tersentak Elvira mendengar pertanyaan Bu Indah dan cepat-cepat menafikan hal itu.
“Ehh, nggak, nggak. Dia… Emm…”
“Dia apa?!” belum sempat Elvira menghabiskan kalimatnya, Bu Indah memotong.
“Dia… Dia baru selesai… main. Dia nggak kuat bangun,” jawab Elvira dengan gugup.
Bu Indah menggelengkan kepalanya. Sulit baginya memproses apa yang sedang terjadi. Mungkin untuk Vania, dia tidak begitu terkejut karena Vania memang pelajar yang bermasalah dan sudah lama menjadi perhatian para dosen. Pacarnya juga seorang pelajar yang liar. Tidak berlebihan jika dikatakan pasangan ini sudah beberapa kali terlanjur.
Yang membuat pikirannya hampir tidak waras adalah melihat dengan mata kepala sendiri seorang gadis muslimah yang terkenal dengan kesopanannya, selalu menjaga adab dan tertib, serta selalu berpakaian sopan, melakukan hal terkeji dan terkutuk seperti ini.
“Saya butuh penjelasan!” suara Bu Indah mulai nyaring dan tegas. Elvira terkejut dan mencoba memberikan penjelasan, tetapi lidahnya masih kelu. Fahmi yang menyadari Elvira terlalu takut mencoba mengambil alih tugas memberi penjelasan.
“Saya yang merencanakan semua ini, Bu. Elvira dan Vania tidak salah,” ujar Fahmi dengan tenang, mencoba untuk tidak menampakkan wajah gelisah.
“Tidak peduli siapa yang merencanakan, ini tetap salah!” Bu Indah tetap bersikeras.
Suara nyaring Bu Indah sedikit banyak mengganggu tidur nyenyak Vania. Dia mulai menggeliat dan mulutnya bergumam mengigau. Bu Indah melirik ke arah Inara dan memberi isyarat untuk membangunkan Vania. Inara kembali mengguncang badan Vania kuat-kuat untuk membangunkannya.
Perlahan-lahan mata Vania terbuka. Saat menyadari kehadiran Inara di sisinya, Vania terloncat dan segera duduk. Selimut yang tadi membalut tubuhnya terlepas, memperlihatkan payudaranya yang layu. Dengan cepat dia menarik kembali selimut ke atas. Saat memalingkan kepalanya ke kanan, sekali lagi dia terkejut dan wajahnya memerah panas.
“HAHH!! Bu… Bu… Bu Indah!” Vania gagap ketika melihat sosok yang sangat dikenalnya berdiri di hadapannya. Tenggorokannya tersendat meskipun dia mencoba menelan ludah sebanyak mungkin. Berbagai hal menerpa pikirannya, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
Bu Indah melanjutkan, “Sekarang ini, Elvira dan Vania di bawah pengawasan saya. Dan kalian berdua sudah melakukan kesalahan besar. Hal ini bisa membuat kalian dikeluarkan dari kampus!”
Mata Vania dan Elvira terbuka lebar mendengar kata ‘dikeluarkan’. Apa yang akan terjadi jika mereka dikeluarkan nanti? Apa kata orang tua mereka? Bagaimana reaksi orang di sekitar ketika mengetahui kejadian ini? Bagaimana mereka bisa melanjutkan hidup seperti biasa setelah ini?
1001 pertanyaan bermain di pikiran mereka. Mereka tidak mampu memikirkan semua itu. Tubuh mereka terasa lemas memikirkan masa depan yang kini gelap. Vania terbaring sambil mencengkeram kepalanya dan meremas rambut.
Elvira mulai terisak-isak menangis. Kepalanya tertunduk ke bawah. Tidak berani menunjukkan wajahnya, apalagi menatap mata Bu Indah. Malu. Sangat malu.
Bu Indah membiarkan mereka sejenak mencerna ucapannya tadi. Memang, tidak ada hukuman lain yang bisa diberikan kepada mereka. Setidaknya, dia tidak melibatkan pihak berwenang dalam kasus ini.
Jika tidak, besok pasti akan heboh dengan berita ini dan pihak kampus pastinya akan kecewa karena tidak bisa mengendalikan mahasiswanya dengan baik. Reputasinya sebagai dosen yang baik juga pasti akan jatuh.
“Begini,” Fahmi menyela, “Elvira dan Vania akan sangat malu jika Bu Indah melaporkan ini ke pihak kampus. Dan imej Bu Indah juga akan tercemar akibat kejadian ini.”
“Kenapa saya yang harus terseret?” tanya Bu Indah heran.
“Iya, seharusnya Bu Indah yang menjaga semua mahasiswa di sini. Hal ini tidak akan terjadi jika Bu Indah sendiri yang mengawasi, kan?” Fahmi bertanya pada Bu Indah yang masih kebingungan.
“Err, iya. Tapi sekarang ini saya yang menangkap kalian semua,” jawab Bu Indah.
“Dan siapa yang memberi tahu Bu Indah?” tanya Fahmi lagi.
“Hm, Inara yang memberitahu saya tentang ini,” jawab Bu Indah seraya memandang Inara yang berdiri di sebelah tempat tidur. “Err, saya mendengar percakapan Elvira tadi di lobi. Dan saya pun melaporkan kepada Bu Indah,” ujar Inara.
“Lihat? Ini pun berkat laporan dari mahasiswanya. Kalau tidak, Bu Indah tidak akan tahu, kan?” Fahmi melemparkan pertanyaan dengan senyum sinis. Sekarang situasi sudah berubah. Fahmi sengaja memprovokasi Bu Indah agar kesalahan ini juga diletakkan pada bahunya. Ini akan memberi Elvira dan Vania kesempatan untuk melepaskan diri.
“Itu tidak akan berpengaruh pada saya. Kalian tetap melakukan kesalahan besar!” Bu Indah mulai marah karena tiba-tiba dia disalahkan. Padahal mereka bertiga yang berzina.
“Ok. Kalau begitu saya akan laporkan juga kepada pihak kampus bahwa Bu Indah mengabaikan tanggung jawab sebagai penanggung jawab mahasiswa,” ancam Fahmi.
“Ta… Tapi…,” gagap Bu Indah yang sudah termakan oleh kata-kata Fahmi.
Fahmi melanjutkan, “Jadi saya rasa, hanya ada satu pilihan sekarang ini. Elvira dan Vania akan berhenti dari kampus, dan Bu Indah akan melupakan kejadian malam ini. Mereka berdua menerima hukuman mereka, tetapi tidak akan mendapat malu dan aib mereka tetap terjaga. Bu Indah juga dapat mempertahankan reputasinya di kampus.”
Mereka semua saling memandang. Semuanya sedang mencoba memahami usulan Fahmi dengan teliti. Hal ini perlu dipikirkan dengan matang.
“Win-win solution, right?” tambah Fahmi memecah kesunyian.
Bu Indah memeluk tubuhnya sambil memijat kepalanya yang mulai pusing. Ada benarnya juga apa yang dikatakan Fahmi. Dia sendiri membiarkan mahasiswanya membuat keputusan, dan melepaskan mereka dengan bebas. Dia juga akan dikenakan tindakan disiplin akibat kelalaiannya. Jika pihak berwenang tahu tentang ini, kampus akan sangat malu.
Bu Indah berpikir lama. Elvira sudah berhenti menangis dan masih memikirkan solusi terbaik. Vania hanya termenung memandang satu sudut, tidak berkelip, juga memikirkan jalan terbaik.
“Baiklah,” Bu Indah bersuara. “Saya rasa itu satu-satunya jalan penyelesaian. Sekarang saya ingin kalian semua bertobat, insaf dengan perbuatan kalian. Semoga semua ini ada hikmahnya. Dan kamu, siapa namamu?”
“Fahmi.”
“Ok, Fahmi. Saya ingin kamu keluar dari kamar ini. Tinggalkan mereka dan jangan datang lagi.”
“Baik, Bu.”
“Ok, bubar.”
Bu Indah terus melangkah keluar meninggalkan mereka di sana. Inara masih di dalam kamar, merasa bersalah dengan apa yang terjadi. “Em, kalian. Saya minta maaf. Tapi saya rasa ini yang seharusnya saya lakukan.”
“Em, tidak apa-apa Inara. Memang salah kami. Kamu tidak salah,” jawab Elvira sambil tersenyum tipis. Dia mencoba mengendalikan emosinya agar tidak marah pada Inara. Tidak ada gunanya lagi untuk dendam. Semua sudah terjadi.
“Ok, lah. Aku mandi sebentar lalu pulang,” ujar Fahmi kepada Elvira dan berlalu ke kamar mandi. Dengan santai Fahmi melepaskan boxernya dan memperlihatkan batangnya yang melentur. Inara yang menyadari hal itu melirik ke arah batang Fahmi. Namun tidak lama karena takut Elvira akan menyadari. Lalu Inara pamit untuk kembali ke kamarnya.
Saat melangkah, tiba-tiba Inara berteriak sambil menginjak kakinya. “Ahhh, air apa ini?!” Kakinya menginjak cairan yang cukup kental. Dia mencolek sedikit dengan jari dan mencium baunya. “Eww, air apa ini? Bau seperti klorin!” jerit Inara jijik.
“Hehe. Itu air mani, Inara. Hehehehe,” kata Elvira sambil tertawa.
“Uwekkk! Jorok banget!” Inara langsung berlari ke kamar mandi, lupa bahwa Fahmi sedang di dalam.
Inara membuka keran di wastafel dan mencuci tangannya. Fahmi yang mendengar suara air mengalir, keluar untuk melihat siapa yang baru saja masuk. Ternyata Inara yang berada di dalam dan sedang sibuk mencuci tangannya.
Fahmi mendapat ide nakal lalu mendekati Inara. Dalam keadaan telanjang dan batangnya yang terus menegang, Fahmi berdiri di sebelah Inara.
“Buat apa tuh?” tanya Fahmi membuat Inara terkejut. Tangannya tidak sengaja menekan keran, membuat air memancar deras. “Ahhhh!!! Baju jadi basah semua!”
“Rileks. Kenapa kaget banget sih? Haha,” kata Fahmi sambil mendekat ke wastafel dan menutup keran air. Jarak mereka sangat dekat hingga batang Fahmi menyentuh tubuh Inara. “Ishhhhh, apa-apaan nih,” marah Inara yang merasa tubuh Fahmi terlalu dekat dengannya. Dia merasakan ada objek keras di perutnya.
Betapa terkejutnya Inara saat melihat batang besar Fahmi menempel di tubuhnya. Namun, dia hanya bisa terdiam dan mulutnya tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Tiba-tiba, Inara memegang batang Fahmi dan menggenggamnya erat, mencoba mengukur kebesarannya. “Gede banget.”
“Mau?” tanya Fahmi sambil tersenyum melihat reaksi Inara yang tidak terduga. Inara langsung melepaskan batang Fahmi dan berlari keluar dari kamar mandi. Sempat dia melirik ke arah Fahmi yang masih di kamar mandi.
Fahmi menyadari pandangan Inara dan membuat isyarat ‘telepon’ di telinganya, memberi tanda untuk menghubunginya jika ingin batang itu lagi. Ngocoks.com
Merah padam wajah Inara melihat isyarat tersebut. Dia berlalu keluar dan meninggalkan kamar Elvira dan Vania. Dan Elvira pun masuk ke kamar mandi menemui pacarnya.
“Ish, sudah seperti ini pun masih sempat, ya?” ujar Elvira.
“Hehe. Coba-coba aja. Eh, sayang oke nggak nih?”
“Hmm, bohong kalau bilang oke. Tapi mau bagaimana lagi. Sudah kejadian. Terima kasih ya Bang, sudah backup tadi. Aku tahu, itu pilihan terbaik. Terima kasih.”
“Nggak apa-apa sayang. Abang cuma coba-coba aja tadi. Nggak nyangka dia termakan umpan.”
“Pinter juga ya abang. Haha.”
“Biasa lah. Untuk orang yang disayang. Abang nggak mau kamu malu.”
“Terima kasih, Bang.”
Mereka pun berpelukan. Meski Fahmi sedang telanjang, pelukan itu tidak membangkitkan nafsu mereka. Lebih kepada pelukan untuk melepaskan perasaan yang terpendam. Elvira pasrah dengan apa yang terjadi. Ini semua karena kesalahannya tidak berhati-hati saat menelepon sehingga terdengar oleh Inara.
“Abang mau nomor Inara nggak?” tanya Elvira yang masih dalam pelukan. Fahmi menolak Elvira keheranan. Kenapa Elvira ingin memberikan nomor telepon Inara?
“Aku mau abang kasih pelajaran sedikit ke dia. Hehe,” lanjut Elvira.
Mereka kembali berpelukan dan Fahmi tersenyum nakal.