Taksi yang membawa Alif berhenti tepat di depan gang tempat sebuah plang hijau bertuliskan Asrama Syahamah dengan cat warna putih terletak. Setelah membayar sesuai kargo, Alif kemudian melangkah membawa kopernya, tas ransel di punggungnya juga Nampak kembung. Tinggal berjalan masuk gang sekitar 300 meteran maka sampailah dia ke gerbang asrama syahamah.
Ustazah Aminah sedang duduk-duduk di kursinya sambil membaca buku “Ukhti-ukhti Jilboob” ketika ketukan dan suara salam terdengar di pintu kamarnya. Perlahan dia bangkit kemudian membuka pintu. Sejenak dia tercengang menatap anaknya yang tersenyum berdiri di depan pintu.
“Aliiifff, sayang, kok gak bilang-bilang? Tau gitu kan umi bisa menjemputmu di terminal.” Ustazah Aminah memeluk sang anak dengan erat. Alif hanya tersenyum kemudian balas memeluk ibunya sama eratnya. Dadanya ditekan oleh bulatan yang membusung indah di dada umminya itu, bulatan yang selalu dia rindukan dan jadi bahan khayalannya tiap dia mengocok kontol.
“Ahh, Alif kan pengen bikin kejutan buat umi,” begitu jawabnya. “Abi ke mana, mi?”
“Abi masih keluar, sedang ngurus paspor, sayang,” Alif menengarai perubahan raut wajah uminya saat menyebutkan sang abi. Dia sebenarnya tahu apa masalahnya, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan juga pura-pura tidak melihatnya.
“Kamar Alif sudah jadi, Umi?” Tanya Alif sambil kembali mengangkat kopernya.
“Sudah, sayang, ayo, masuk lewat sini saja,” Ustazah Aminah mendahului anaknya berjalan ke arah pintu sambung, melintasi kamarnya. Alif berjalan sambil mengedarkan pandanganannya ke sekitar kamar ibunya itu, merekam semua yang mungkin bisa dia masukkan ke dalam rencananya selanjutnya.
Kamar Alif sangat sederhana. Di sana hanya ada ranjang, lemari baju, meja dengan bufetnya, dan satu rak buku. Sangat mirip dekorasi kamar kos biasa. Bedanya adalah ukurannya yang memang lumayan luas. “Nanti perabotan lainnya bisa ditambah sesuai kebutuhan, sayang,” Demikian Ustazah Aminah menambahkan.
“Segini juga sudah cukup kok umi,” jawab Alif membesarkan hati ibunya.
“Yaudah Alif istirahat dulu ya sama beres-beres, umi di kamar sebelah.” Setelah mencium kening sang anak, Ustazah Aminah kemudian berlalu. Alif menatap kepergian ibunya itu dengan mata lekat menatap pantatnya yang bergeol menggairahkan. Untuk sesaat dia sibuk menebak-nebak uminya itu memakai dalaman atau tidak. Pelan dia menggosok penisnya yang mendadak tegang.
Ustazah Aminah kembali duduk di kursinya. Tangannya meraih buku “ukhti-ukhti jilboob” yang tadi sedang dia baca. Lalu dia melanjutkan membaca, sampai ke bab “berpakaian tapi telanjang”. Satu halaman setelah bab tersebut dan dia menyerah, pikirannya dipenuhi banyak masalah dan tanpa sadar dia langsung melamun.
Dia kemarin memanggil Ustazah Raudah dan bertanya tanpa niatan menghakimi tentang peristiwa malamnya dengan Ustaz Karim di kantor asrama. Ustazah Raudah langsung menangis sampai Ustazah Aminah harus menambahkan bahwa dirinya tidak mau menyalahkan Ustazah Raudah, melainkan hanya ingin mengetahui kebenarannya. Lalu dengan suara terputus-putus Ustazah Raudah menceritakan kronologinya.
Ustazah Raudah mengatakan bahwa dia ada urusan mendesak di kantor malam itu. Saat dia datang, dia melihat Ustaz Karim sedang merokok. Kemudian Ustaz Karim menawarkan membantunya, dan dia ternyata malah memaksanya melakukan hubungan seks. Ustazah Raudah sambil bercucuran air mata meminta maaf juga kepada Ustazah Aminah.
Ustazah Aminah menepuk-nepuk bahunya menenangkan. Dia kemudian mengakhiri obrolan dengan mengatakan bahwa kalau ada apa-apa maka cerita saja pada dirinya biar dia pun bisa membantu. Ustazah Aminah juga meyakinkannya bahwa hal tersebut tak akan pernah terulang. Pada dasarnya memang ustazah aminah pun berpendapat seperti itu, karena dia tetap yakin bahwa ustaz karim bisa khilaf seperti kemarin itu semata karena dirinya tidak mau melayani sang suami itu. Sedikit banyak dia tetap merasa bersalah.
Kini yang membuat Ustazah Aminah merasa bingung, apa yang selanjutnya harus dia lakukan? Dirinya bisa saja mengajak ngobrol sang suami, akan tetapi dia kuatir nanti sang suami bukannya sadar melainkan malah menyalahkan dirinya yang menolak melayani. Padahal kewajiban istri kan harus melayani ketika sang suami sedang bergairah. Selain itu, saat ini bukan saat yang tepat juga sebenarnya sebab sang suami sedang sibuk juga banyak urusan mengurus keberangkatannya.
Sementara itu, dirinya juga bisa mendiamkan kejadian itu, berharap ustaz karim tidak melakukan hal yang sama lagi. Ustazah Aminah percaya malam itu kejadian tersebut semata disebabkan oleh ustaz karim mata gelap. Artinya, kejadian itu semata bukan kesengajaan…
“Hayo umi, katanya membaca kok malah melamun?” Ustazah Aminah tersentak mendengar suara sapaan Alif, Alif memeluknya dari belakang kursi, tangannya melingkar di leher sang umi sementara wajahnya nyelonong ke depan ikut mengintip buku yang sedang ia pegang. Kedua pipi mereka bergesekan, terasa halus pipi anaknya itu.
“Huss sayang ini, ngagetin saja.” Ustazah Aminah tersenyum, satu tangannya bergerak ke belakang, menyentuh dan mengusap-usap belakang kepala Alif. Dalam posisi demikian, mau tak mau posisi dadanya menjadi terangkat membuat gunung di dadanya itu semakin membusung menggairahkan.
Alif merasakan penisnya menegang melihat pemandangan itu. Posisinya yang tepat di atas uminya membuat dirinya bisa mengintip bulatan indah itu dengan hanya menundukkan kepalanya sedikit saja. Memang saat itu ustazah aminah memakai kerudung lebar sepinggang, akan tetapi karena sedang ada di dalam kamar, posisi kerudung itu pun tidak sepenuhnya mantap.
Hanya dengan sedikit menggeser tangannya seolah tidak sengaja, Alif bisa menarik kerudung itu sedikit ke samping sehingga membuat celah terbuka di atas gamisnya. Dari atas melalui celah itu, Alif bisa melihat kulit dada ibunya samar, nampak kencang, dan dari sentuhannya di bahu sang umi dia pun tahu bahwa uminya itu tidak memakai beha.
Betapa gregetannya dia ingin menyentuh dada yang tak terpengaruh usia itu. Bahkan di usianya 45 tahun, ustazah aminah di matanya nampak sebagai wanita matang usia 30 tahunan, wanita yang sudah sangat berpengalaman di ranjang dan karenanya sangat menggairahkan.
“Ngelamunin apa sih umi? Alif ya?” Alif melanjutkan sambil mengusap-usap kepala uminya itu.
“Hihi, anak umi tahu saja, iya, sayang,” jawab Ustazah Aminah. Dirinya merasa bahagia sebab percakapan dengan anak kesayangannya seperti inilah yang sangat dia rindukan selama ini. Kerinduan itu mendorongnya menolehkan wajah dan mencium pipi Alif, cuppp, cupppp,
Bisa dibayangkan betapa bergairahnya Alif saat itu. Kalau saja dia tidak bisa menahan diri maka sudah dilumatnya habis bibir uminya yang terasa lembab menggoda di pipinya. Tapi dia melihat sikon dan hanya balas tersenyum sambil balas mencium pipi uminya.
Saat itu Ustaz Karim mengetuk pintu, mengucapkan salam, kemudian masuk.
“Abi,” Alif langsung bangkit menghampiri dan menyalami ayahnya.
“Eh, Alif sudah datang? Cepat sekali? Kok gak kabar-kabar ke umi sama abi.” Ustaz Karim tersenyum sambil menatap ke Ustazah Aminah yang juga memaksakan tersenyum.
“Iya tu bi, katanya pengen bikin kejutan dia,” Ustazah Aminah bangkit mengambilkan tas yang dibawa oleh Ustaz kArim. “Gimana Abi, sukses?” Alif sementara itu hanya berdiri.
“Sukses mi, sudah selesai kok.”
“Jadi abi beneran nih mau pergi jadi utusan partai ke luar negeri itu?”
“Iya, Lif, lumayan juga di bidang ilmu pengetahuan, Abi ngisi ceramah dan ngajar satu semester, sisanya kan abi bisa membantu lobi-lobi sokongan dana buat partai. Yah, siapa tahu pulang dari sana abi dipercayai jadi pimpinan pusat nanti,” Ustaz Karim tersenyum.
“Enam bulan,” Alif membatin dalam hatinya. Waktu yang lumayan lama untuk melaksanakan semua rencananya. Tapi di luar, raut wajahnya menampakkan kesedihan. “Baiklah, abi tenang saja, selama abi pergi, Alif akan jaga umi, bi,”
Ustazah Aminah menatapnya penuh kasih sayang. Sementara Ustaz Karim menjawab dengan raut wajah nampak lega, “tentu saja, abi percaya Alif, dan karena itu pula Alif pindah ke sini kan? Sudah beres-beres kamar?”
Ustaz Karim langsung menuju ke kamar anaknya akan melihat-lihat. “Sudah, bi,” jawab Alif sambil mengikuti sang ayah. Ustazah Aminah juga bangkit dan mengikuti. Kemudian ketiganya mengobrol di kamar Alif sambil merencanakan apa-apa saja yang bisa ditambahkan untuk membuat kamar itu makin nyaman ditempati.
*****
Sore hari, Ustazah Aminah bangun tidur dengan tubuh lumayan penat. Ustaz karim masih tidur di sampingnya. Mungkin dia kecapekan, begitu pikir ustazah aminah. Tadi sang suami lebih dahulu tidur daripada dirinya tapi kini dirinya bangun lebih dulu pula. Duduk di pembaringan, dia kemudian melihat segelas teh yang diberi tutup di meja. Dia tersenyum. Seingat dia dirinya tidak membuat teh sebelum tidur.
“Pasti Alif,” begitu bisiknya. Kemudian dia meminumnya separuh.
Lalu dia turun dari pembaringan, dia memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Tak ada suara dari kamar Alif, dia kira sang anak pun kelelahan dan tidur. Dicobanya membuka pintu penghubung ke sana, dikunci.
“Yah, kadangkala seseorang memang membutuhkan privasi,” begitu batinnya sambil tersenyum. Kemudian dia meraih handuk di kapstok dan mencopot gamisnya. Karena merasa tidak ada seorang pun di sana selain ustaz karim, dia merasa bebas seenaknya mencopot baju kemudian melilitkan handuk di tubuhnya. Setelah itu dia membuka lemarinya dan mengambil satu gamis warna cream, kerudung hitam dengan motif bunga-bunga putih, satu beha hitam berenda, dan satu celana dalam hitam, juga dengan hiasan renda-renda di tepinya.
Ustazah Aminah memang punya kebiasaan meletakkan pakaian yang akan dia pakai di kursi setiap sebelum mandi. Dengan begitu, dirinya tak perlu susah-susah lagi mencari-cari baju nanti. Bisa langsung memakainya. Setelahnya, dia langsung masuk ke kamar mandi.
Ustazah Aminah tidak tahu bahwa Alif sebenarnya tidak tidur. Sejak sekitar setengah jam sebelum ustazah aminah bangun, dia sudah ada di plafon. Sederhana masalahnya, dia memang sudah diberitahu ustazah raudah tentang lubang di atas kamar ustazah aminah, akan tetapi dia juga diberitahu bahwa tak ada lubang di atas plafon kamar mandi ustazah aminah, padahal dia membutuhkannya. Dengan memperkirakan waktu mandi sore sang ibu, maka dia pun memulai perencanaan membuat lubang di sana.
Sudah dia periksa memang tak ada lubang tak sengaja di sana, maka dia harus membuatnya sendiri. Sedikit sukar melubangi internit tanpa membuat suara, maka dia harus melakukannya pelan-pelan. Tak heran pas ketika ustazah aminah bangun, lubang itu baru saja jadi. Lubang kecil yang tak nampak dari bawah akan tetapi cukup untuk melihat apapun dari atas sana.
Selesai bekerja itu, Alif menyulut sebatang rokoknya, beristirahat sambil duduk bersandar pada palang yang ada di sana. Walau bagaimanapun dia butuh istirahat sambil menunggu kemungkinan ibunya mandi. Dia sudah hafal jadwal kegiatan ibunya perharinya.
Tebakannya tidak salah. Dari bawah terdengar suara pintu kamar mandi dibuka, kemudian ditutup.
Dengan segera dia mematikan rokoknya, kemudian memasang matanya di lubang yang tadi dia buat. Nampak ibunya di bawah, menutup pintu, kemudian menguncinya. Diam-diam Alif mengagumi hasil pekerjaannya yang sangat pas itu. Setelah itu, ustazah aminah menghidupkan keran bak mandi. Baru setelah itu dia menghadap kapstok dan melepas handuknya, mencantelkannya ke kapstok di sana.
Alif menahan nafas melihat tubuh ibunya terdedah dengan sempurna. Buah dadanya nampak bulat membusung di dadanya. Bahkan dalam posisi berdiri, buah dada itu tidak kelihatan kendor. Membusung indah ke depan, menantang tangan siapapun untuk meremasnya. Satu kali siraman, kemudian puting susu itu nampak mencuat terkena hawa dingin, membuat alif tak tahan ingin menghisap-hisapnya seperti saat dia kecil dulu.
Rambut ustazah aminah lumayan panjang, sebagian terurai menutupi bagian depan tubuhnya, sebagian ke bagian belakang. Kemudian ibunya duduk jongkok dan terdengarlah suara khas seorang perempuan yang sedang kencing. sambil mengusap-usap penisnya yang sudah memberontak keluar dari sarangnya, alif membayangkan dirinya membuka mulut di bawah, menerima kucuran air kencing sang ibu sambil menatap buah dada itu….
Penis Alif sudah menegang total, kocokannya juga semakin liar. Terlihat kepala penisnya mengembang seperti jamur, urat-uratnya bertonjolan. Untuk sesaat matanya merem membayangkan andai dirinya ada di bawah, di kamar mandi itu, memeluk umminya yang telanjang itu dari belakang, mengusapkan sabun di dadanya yang menonjol membulat menantang…
Kemudian matanya kembali membuka. Dia punya ide baru. Sepintas dia intip kembali ibunya. Nampak ibunya sedang membasahi rambutnya, nampaknya ibunya hendak keramas. Secepat kilat Alif turun dari loteng. Dengan mengendap-endap, dia masuk ke kamar ibunya. Sang abi nampak masih tertidur pulas, terdengar suara ngoroknya perlahan, teratur. Tubuhnya memunggungi pintu.
Alif kemudian menggapai celana dalam yang diletakkan uminya di kursi. Dia tahu uminya punya kebiasaan mandi dengan santai, lama, makanya dia berani menjalankan ide yang mendadak muncul ini. Sejenak dia sempat bimbang juga antara mengambil beha atau celana dalam, tapi kemudian karena pertimbangan keamanan, dia memutuskan mengambil celana dalam saja.
Setelah dia segera keluar dan akan kembali ke plafon. Saat hendak keluar dia masih sempat menoleh ke gelas teh yang tinggal separuh. Dia tersenyum. Tadi dia memang membuatkan teh itu untuk sang umi, dengan sedikit campuran obat perangsang yang cukup membuat wanita yang meminumnya minta dipuaskan.
Di plafon alif menemukan paku tertancap pada palang. Dengan sigap dia membuka celananya. Untung dia punya kebiasaan tidak memakai celana dalam. Setelah itu dia langsung kembali ke atas kamar mandi uminya dan menempelkan matanya kembali di lubang. Tangannya menggenggam celana dalam uminya erat sementara penisnya saat itu sudah menegang mengangguk-angguk minta dipuaskan.
Di kamar mandi, ustazah aminah merasakan sensasi yang berbeda saat kulitnya tersentuh air. Dia menggelinjang, tampaknya obat perangsang yang dicampurkan Alif sudah mulai bereaksi. Dia kembali mengguyur kepalanya dengan air, dan untuk kesekian kalinya dia kembali menggelinjang. Nafsu birahinya mendadak bangkit.
Dia kemudian berhenti mengguyur tubuhnya. Diamatinya puting susunya yang mencuat. Sebentar dia raba payudaranya, “ahhh,” tanpa sadar dia mendesah. Payudaranya mengeras seperti saat benda bulat membusung itu diremas-remas oleh ustaz karim saat bercinta. Merasa nikmat, dia meremas-remas payudaranya sendiri, pertama-tama perlahan, akan tetapi makin lama makin gencar seiring kenikmatan yang semakin meningkat.
Di atas plafon Alif merasakan nafasnya semakin memburu. Dia cium-cium celana dalam ibunya, wangi, dia bayangkan sewangi itu pulalah memek ustazah aminah, betapa menggairahkannya. Kemudian dengan tubuh dalam posisi menungging berlutut dan mata tertancap di lubang mengintip ke bawah, dia menggosok-gosok penisnya dengan tangan yang dilapisi celana dalam itu. “Ahhhh,” dia mendesah pelan. Betapa nikmatnya.
Mata Alif hampir terbelalak melihat adegan di dalam kamar mandi semakin panas. Dilihatnya ibunya terduduk berselonjor, kepalanya mendongak ke atas, menahan kenikmatan. Nampaknya kakinya tak kuat menyangga kenikmatan yang menderanya. Tangannya yang satu meremas-remas buah dadanya bergantian, sementara tangannya yang satu lagi menggerayangi sekujur tubuhnya dengan liar.
Dari posisinya, Alif bisa melihat dengan jelas tubuh bugil ibu kandungnya yang telah melahirkannya itu. Posisinya benar-benar menggoda. Penisnya dikocok semakin keras seiring bayangan dirinya ada di bawah sana, menjilati memek ibunya sambil tangannya menggentel-gentel puting susu yang nampak mencuat merangsang birahi mudanya.
Bak kamar mandi sudah penuh, airnya luber, keran masih menyala mengucurkan air dengan deras. Akan tetapi Ustazah Aminah yang sibuk dimabuk syahwat sama sekali tidak mempedulikannya. Satu tangannya yang tadi menggerayangi tubuhnya kini sudah menemuka posisi yang pas, dengan lembut dia mengusap-usap area sekitar memeknya yang bersih tanpa bulu. Alif bisa melihat dengan jelas sesekali sentuhan tangan sang ibu itu membuat belahan vaginanya membuka dan menutup, seirama dengan pahanya yang bergerak-gerak gelisah membuka dan menutup.
“Ahhh, auhhh, aaaahh ahh,” Desahan penuh birahi terdengar makin menggelora keluar dari mulut ustazah aminah yang membuka. Kepalanya mendongak ke atas, matanya terpejam. Alif langsung membayangkan mulut itu mengulum penisnya, ahh, betapa hangatnya mulut itu, betapa indahnya jika dia bisa memancutkan air maninya ke wajah keibuan ummahat berusia 45 tahunan yang sedang mendongak itu.
Penis Alif makin menegang. Tangannya dengan konstan mengocoknya, sentuhan kain celana dalam berenda milik sang ummi memberikan rasa nikmat tersendiri baginya. Saat di rumah dulu, Alif memang sering mengambil pakaian-pakaian sang ibu dan dalamannya hanya untuk dia jadikan wadah air maninya. Dia tak pernah mencucinya. Dia sering membayangkan bagaimana air maninya itu membasahi kulit halus ibunya.
Di kamar mandi, Ustazah Aminah semakin menggila. Jemarinya menggentel-gentel itilnya yang mencuat, tubuhnya sudah tak bisa tenang, menggeliat-geliat ke sana ke mari. Desahan tak henti keluar dari mulutnya, Alif menikmati semua adegan live itu dengan birahi menggejolak. Penisnya terasa semakin mengembang siap memuntahkan cairan nikmat.
Saat itulah Ustazah Aminah mendadak berhenti. Dengan nafas masih memburu, dia kemudian membuka pintu kamar mandi perlahan, mengintip melihat kondisi suaminya. Alif saat itu langsung deg-degan kuatir jangan-jangan uminya nanti tahu celana dalamnya dia bawa. Gerakan tangannya berhenti.
Setelah yakin bahwa suaminya masih tertidur pulas, dengan mengendap-endap ustazah aminah menghampiri lacinya. Sambil tersenyum dia mengambil dildo dari sana dan kembali ke kamar mandi terburu-buru. Alif menarik nafas lega. Uminya ternyata tak sempat memeriksa keberadaan celana dalamnya. Toh mandinya memang belum selesai.
Ustazah Aminah menutup dan mengunci kamar mandinya lagi. Air keran dia putar sedikit supaya tidak terlalu deras mengucur. Dia pandang dildo itu dengan seksama, sisa birahinya membuat imajinasinya kembali meningkat. Maka dia kembali mengambil posisi duduk selonjor bersandar di dinding kamar mandi. Dengan mata dipejamkan, tangannya yang satu memasukkan dildo itu ke dalam lubang memeknya…
“Ahhhhhhhhh,” tubuhnya menggeliat merasakan dildo seukuran penis ustaz karim itu menelusup menyentuh dinding-dinding vaginanya yang sudah sangat sensitif. Dengan gerakan konstan dia memasukkan dan mengeluarkan dildo itu di sana, slupp sluppp, bunyinya terdengar di sela desahannya yang kian menggila.
Sambil memejamkan matanya, ustazah aminah membayangkan ustaz karimlah yang saat itu sedang mengobok-obok memeknya. Tapi sedikit rasa jijiknya karena ustaz karim sudah mengkhianati dirinya dengan memperkosa ustazah raudah membuat imajinasi itu malah mengurangi kenikmatannya. Otaknya berputar cepat sebelum kemudian dia menemukan imajinasi lain yang lebih pas.
Dia membayangkan dirinya sedang dirangsang dengan hebat oleh Jupri dan Deni. Dia membayangkan tangannya yang sekarang sedang meremas-remas dadanya adalah tangan Jupri yang memeluknya dari belakang. Sementara dildo yang sedang menusuk-nusuk memeknya dia bayangkan sebagai penis Deni yang meski tidak besar tapi lebih panjang daripada punya ustaz karim.
“Ouhhhh, ahhh,” dia kembali mendesah-desah merasakan nafsu syahwatnya memuncak seiring imajinasi liar itu. Sungguh dia sendiri tak mengerti kenapa dirinya bisa sebinal itu, akan tetapi dia tak perduli. Toh Cuma imajinasi, begitu pikirnya. Yang penting sekarang gairahnya harus dipuaskan terlebih dahulu.
Merasa tak puas dengan posisi seperti itu, ustazah aminah kemudian duduk menungging. Tangannya masih menekan dildo itu di memeknya. Setelah posisinya pas, dia kemudian kembali memaju mundurkan dildo itu. “Aaaahhhhh, aghhh, agghhh auhhhh,” Tubuhnya terasa menggeletar serasa ujung setiap syarafnya berpacu memberi kenikmatan.
Tak tahan, kepalanya bergoyang-goyang sesekali hampir berlutut mencium lantai kamar mandi. Matanya tak pernah membuka, terus merem merasakan kenikmatan yang terus bergerak makin ke puncak. Dari mulutnya yang membuka, air liur meleleh jatuh ke lantai kamar mandi bergabung dengan luapan air dari bak.
Alif sebenarnya ingin melihat umminya orgasme. Tapi dia juga memiliki pikiran lain. Semakin ibunya dirangsang dan diganggu saat hampir sampai ke puncak, akan semakin mudah baginya meneruskan rencananya menggagahi sang ibu suatu saat nanti. Maka saat ibunya menggelepar-gelepar penuh kenikmatan dengan tubuh menungging dan tangan penuh semangat memasukkkan dan mengeluarkan dildo itu di memeknya, dia memutuskan untuk sampai ke puncak lebih dulu.
Alif mengatupkan mulutnya supaya tak keluar geramannya saat dia rasakan air maninya mengumpul mendesak ke kepala penisnya. Kemudian dengan satu kali sentakan tangan, dia pun sampai ke puncak kenikmatannya, penisnya mengangguk-angguk di balik genggaman tangannya yang terlindungi oleh celana dalam sang ibu. Beberapa saat kemudian, penis itu pun diam meski tetap tegang.
Alif kemudian merentangkan celana dalam itu, melihat betapa banyaknya air maninya tumpah ditampung oleh celana dalam berenda milik sang umahat berusia 45 tahunan yang dulu telah melahirkannya itu. Bagian yang basah tepat di bagian yang menutupi vagina tembus sampai ke belakang menutupi bagian pantat. Karena warnanya hitam, maka jika dilihat sekilas celana dalam itu tidak nampak basah. Hanya saat alif menciumnya, tercium bau khas air mani di sana.
Dia tersenyum. Kemudian memakai kembali celananya dan bergegas turun ke bawah setelah memantapkan pula posisi penisnya di dalam celana yang tak mau juga turun. Dengan memejamkan matanya kemudian menghirup nafas dalam-dalam, penisnya akhirnya mau juga sedikit tenang di dalam sangkarnya meski tetap saja tidak sepenuhnya tenang.
Kemudian dengan tenang dia masuk ke kamar ibunya dan meletakkan celana dalam itu di tempatnya semula. Setelah itu, dia membuka pintu kamarnya, kemudian menempelkan telinganya di pintu kamar mandi. Di dalam ibunya masih terdengar mendesah. Dia tersenyum. Sekilas dia melihat ayahnya yang masih tertidur pulas. Kemudian tangannya mengetuk pintu kamar mandi dan dia memanggil, “Umi? Umi masih lama?”
Di dalam kamar mandi, Ustazah Aminah sedang asyik memacu birahinya dengan menungging dan mengocok-kocok memeknya dengan dildo. Rambutnya sudah tergerai tak karuan, dadanya memerah karena remasan tangannya yang sudah tak terkendali tadi. Puting susunya mencuat menantang, air liurnya meleleh sampai ke dagu dan leher. Birahinya sudah hampir sampai ke puncak ketika terdengar ketuka di pintu kamar mandi dan suara anaknya memanggil.
Srrrrttt, dia langsung terduduk bersimpuh. Tergesa dia copot dildo itu dari memeknya, nampak basah berlumur cairan kewanitaannya. Dia sebenarnya merasa sayang menghentikannya, nafsunya masih meronta-ronta meminta dipuaskan. Akan tetapi dia merasa kuatir dan merasa bersalah juga kalau sampai anaknya tahu ataupun curiga.
Setelah sedikit menenangkan nafasnya yang tersengal, dia menjawab, “Alif? Sebentar lagi sayang.” Kemudian dia mencuci dildo itu dan memasukkannya ke dalam gamis yang tergantung di kapstok kamar mandi. Perlahan dia dengar suara langkah kaki anaknya menjauh.
Menghela nafas lega, cepat-cepat dia membersihkan tubuhnya. Tak sampai sepuluh menit, dia kemudian keluar dengan hanya mengenakan handuk dari kamar mandi. Ustazah Aminah sedikit kaget melihat Alif sedang duduk di ranjang, di pinggir suaminya yang masih tergolek pulas dengan hanya mengenakan handuk sebatas betis. Sedikit tergetar perasaannya melihat tubuh kekar anaknya yang sangat kontras dengan tubuh ustaz karim yang sudah dipenuhi lemak di sana-sini. Anaknya itu nampak asyik membaca majalah Ummi.
Alif kemudian menoleh melihat umminya. Bahkan meski tadi dia sudah melihat uminya itu saat telanjang, dia masih juga terpana melihat tubuh montok dan matang itu hanya mengenakan handuk. Handuk yang besar itu masih tak muat menutupi seluruh tubuhnya. Di bagian dada nampak membulat sementara ke bagian bawah hanya menutupi sampai ke atas lutut. Sempat terbayang oleh Alif untuk menarik handuk itu…
Tapi dia akhirnya hanya tersenyum sambil menahan diri sebisanya supaya penisnya tidak kelihatan mengacung. Ustazah Aminah sebenarnya sedikit malu juga karena dia sadar sebagian tubuh telanjangnya terlihat. Tapi menganggap bahwa Alif adalah anaknya yang tak mungkin punya perasaan apapun padanya selain seorang anak pada ibunya, maka dia mencoba bersikap wajar.
“Alif mau mandi?”
“Iya, umi, tapi ini nanggung nih mau nyelesain majalah Umi dulu, menarik.”
Sejenak Ustazah Aminah bingung. Bagaimana dia bisa berpakaian kalau alif masih di sana? Mana tubuhnya belum sepenuhnya dia keringkan juga. Dia tidak sadar bahwa dirinya sudah sepenuhnya masuk ke dalam rencana Alif. Pada akhirnya dia berkata.
“Alif berpaling dulu sana bacanya, umi mau pakai gamis dulu.”
“Alahh ummi, Alif mau lihatt,” Alif menampakkan cengiran nakal.
“Hussss, gak boleh gitu, saru.” Tangannya kemudan menyentuh bahu Alif dan mencoba memalingkannya ke arah berlawanan. Srrrr, Ustazah Aminah yang masih dikuasai obat perangsang dan nafsunya belum sepenuhnya terlampiaskan merasa birahinya kembali naik saat kulitnya bersentuhan dengan sang anak. Dia mencoba mengusir perasaan itu.
“Iya deh umi,” Kata Alif. Dia kemudian berdiri dan melangkah ke arah jendela sambil membawa majalah ummi. Saat berdiri itulah seolah tidak sengaja Alif menyenggolkan bahunya ke bagian pangkal lengan ustazah aminah yang tak tertutupi handuk. Ustazah Aminah semakin blingsatan dan tak karuan. Sepintas dia juga melihat ada tonjolan di balik handuk yang menutupi selangkangan Alif…
Tapi dia tak berpikir lama. Bergegas dia kemudian meraih celana dalamnya dan langsung memakainya. Memang ada sedikit rasa aneh merasakan kenapa celana dalam itu terasa basah saat sudah menempel menutupi area kewanitaannya. Akan tetapi dia berpikir ringkas bahwa itu mungkin karena tadi dia belum sepenuhnya mengeringkan daerah sana. Setelah itu, karena terburu-buru juga, dia tak sempat mengeceknya dan langsung memakai beha, gamis,dan kerudungnya.
“Hayo sana mandi sayang,” kata Ustazah Aminah setelah dirinya selesai berpakaian. Dia kemudian meraih gelas teh dan meneguknya sampai habis.
Alif membalikkan tubuhnya. Ahh, tonjolan itu, betapa menggoda. Pikiran ustazah aminah yang kembali disuplai obat perangsang dari teh yang barusan dia teguk kembali liar. Dia membayangkan seberapa besar benda yang ada di dalam sana. Seingatnya ketika suaminya hanya mengenakan handuk saja pun tak pernah kelihatan semenonjol itu. Dia tak tahu bahwa penis sang anak sudah mulai menegang dari tadi.
Alif meletakkan majalah di meja. “Iya mi, Alif mandi dulu ya,” Kemudian dia melangkah menuju ke kamar mandi, meninggalkan ustazah aminah yang imajinasinya mulai berkeliaran ke mana-mana. Ustazah Aminah hanya duduk saja di pinggir ranjang. Sepintas dia melihat ustaz karim masih pulas tertidur. Aneh, kenapa dia kelihatan capek sekali, begitu pikir ustazah aminah. Tapi dia tak ambil pusing, mencoba memaklumi sang suami yang akhir-akhir ini memang sedang banyak urusan.
Terdengar suara anaknya menghidupkan keran, kemudian terdengar sang anak menyenandungkan lagu yang tak dia hafal. Didorong oleh imajinasinya akan tonjolan di selangkangan sang anak, dia melangkah perlahan menuju pintu kamar mandi. Birahinya sudah membuat naluri keibuannya pergi. Dia melihat-lihat pintu kamar mandi dengan seksama, berharap ada lubang yang bisa dia gunakan untuk melihat ke dalam.
Beruntung memang pintu kamar mandi itu terbuat dari gabungan papan. Pada salah satu sambungan yang tak terlalu halus, dia menemukan celah. Dia kemudian membungkukkan tubuhnya, mengepaskan matanya pada celah itu, memuaskan kepenasarannya. Di belakangnya masih terdengar suara dengkur sang suami yang tertidur pulas.
Mata ustazah aminah membelalak ketika pandangannya sudah bisa beradaptasi dengan pemandangan di dalam kamar mandi. Entah sengaja atau tidak akan tetapi posisi Alif pas sekali kelihatan lewat lubang itu. Dia sedang berdiri menyabuni penisnya. Busa-busa sabun menutupi kontol yang menegang panjang dan besar itu.
Ustazah AMinah menghela nafas. Bahkan meski penis sang anak tak bisa dilihatnya dengan jelas karena tertutupi buih sabun, dia tahu benar bahwa penis itu jauh lebih besar dan panjang daripada milik suaminya. Tanpa sadar tangannya menyelinap ke balik celana dalam, ketika itu…
Tok tok tok, terdengar ketukan di pintu kamarnya seiring ucapan salam.
Ustazah Aminah terperanjat dan mengurungkan tangannya yang tadi hendak mengusap-usap memeknya. Ustaz karim tampak berpindah posisi tidurnya, tapi dia tak terbangun. Ustazah Aminah langsung menghampiri pintu kamar dan membukanya.
“Ukhti Lia, ada apa ukhti?” Ustazah Aminah mengedarkan pandangannya menatap ustazah lia yang saat itu berdiri di depan pintu bersama seorang bercadar dan bergamis warna cokelat di belakangnya.
“Ini, umi, mau meminta izin, saudara jauh ana, ukhti solihah, sedang berkunjung ke sini, karena kuatir kemalaman, mau menginap semalam di asrama.”
“Oh, boleh, boleh,” Ustazah Aminah mengangguk sambil tersenyum ke arah sosok bercadar itu yang balas mengangguk.
Kemudian selama beberapa saat terjadi perbincangan basa-basi di antara ustazah lia dan ustazah aminah. Sementara itu sosok bercadar itu hanya menunduk saja mendengarkan. Kemudian ustazah Lia pamit hendak kembali ke kamarnya. Ustazah Aminah mengiyakan.
“Oya, ukhti,” saat ustazah Lia sudah melangkah beberapa langkah, terdengar kembaii suara ustazah Aminah memanggilnya.
Ustazah Lia membalikkan tubuhnya, “Iya, umi?”
“Tadi umi ditelpon umi Latifah, katanya dia membutuhkan bantuan ustazah untuk membantunya memberi kajian pada ibu-ibu kampung. Sepertinya dia kewalahan sendirian ukhti siap?”
“Kapan, umi?”
“Masih lama kok, kira-kira 4 atau 5 bulanan lagi, ini tadi baru ngobrol-ngobrol saja kok.”
Ustazah Lia mengangguk. “Siap, umi.” Kemudian karena tidak ada lagi yang diobrolkan, dia melangkah pergi mengikuti saudaranya yang bercadar. Umi Latifah adalah adiknya Ustaz Karim, Sama seperti Ustazah Aminah dia juga bergabung di partai yang sama. Kini dia tinggal di sebuah desa di Jawa Tengah. Usianya sekitar 38 tahunan. Memang jeda usianya dengan Ustaz Karim sedikit jauh karena ustaz Karim anak sulung sementara Umi Latifah adalah anak bungsu.
Sampai di kamarnya, Ustazah Lia langsung menutup pintu dan menguncinya. Saudara jauhnya yang tadi dia panggil ukhti solihah duduk di ranjang. Terdengar dia tertawa perlahan. Ustazah Lia balas tersenyum sambil berkata dengan nada lucu, “ukhti solihah, yang sopan ya.”
Malam itu, jika kau memperhatikan dengan seksama, maka akan kau lihat satu bayangan mengendap-endap di selusur utara asrama syahamah, turun melalui tangga tempat dulu ustazah raudah menyepong Jupri, diam sejenak mengamati sekitar, ketika kemudian dia yakin bahwa tak ada satu orang pun terlihat, dia langsung melesat ke arah sisi tempat kamar deretan nomor lima.
Dia sebenarnya akan langsung berlalu menuju kamar nomor delapan, akan tetapi telinganya menangkap suara-suara aneh dari dalam. Penasaran, sejenak dia menempelkan telinganya di pintu kamar lima itu, kemudian tersenyum, dan dia melanjutkan menuju pintu kamar delapan yang nampak sedikit terbuka.
Tanpa mengetuk pintu, dia langsung masuk, kemudian menutup pintu. Setelah mengunci pintunya, dia langsung berdiri menghadap Ustazah Raudah, sang pemilik kamar, yang saat itu berdiri menatapnya hanya mengenakan kerudung rabbani sepinggang. Ke bawahnya dia tidak mengenakan apapun.
Bayangan itu adalah bayangan Alif. “Alif, umi kang….emmm mmm,” Ustazah Raudah tak bisa melanjutkan ucapannya karena bibir Alif sudah dengan buas melumat bibirnya. Tangannya memeluk pinggang ramping ustazah raudah yang tertutupi kerudungnya.
“Alif juga kangen umi,” Alif berkata mesra. Cuppp, cuppp, dia kembali melumat bibir itu sampai ustazah raudah gelagapan kehabisan nafas. Lumatannya kemudian turun ke bawah ke leher, menjilat-jilatnya sampai ustazah raudah tak tahan menggeleng-gelengkan kepalanya. Tangannya hanya mampu meremas-remas punggung alif yang masih tertutupi kemeja Alisan.
Alif pertama meremas-remas payudara ustazah raudah yang masih tertutup kerudung, kemudian setelah puas dia menyingkapkan kerudung itu ke samping, kemudian mulutnya turun menghisap-hisap bulatan yang mengencang itu. Dengan nakal dia menyentil-nyentil puting itu dengan menggunakan ujung lidahnya.
Ustazah raudah hanya mampu merintih-rintih, “Hhhh, ahhh, ahhhh, auhhhhh,” kenikmatan ini benar-benar membuainya. Dia rasakan vaginanya membasah berkedut-kedut mendambakan pelampiasan. “Ahhh, Aliff, hhh, ahhhhhhhhkkk.”
Nafsu birahi Alif yang masih tersimpan tadi setelah menonton adegan live ustazah aminah bermain dildo di kamar mandi kembali membara. Dia mengangkat tangannya ke atas dan ustazah raudah surti segera membantu melepas kemeja itu. Kini giliran ustazah raudah mengusap-usap dada alif, menciumi puting di sana sampai Alif menggelnjang kegelian.
“Ustazahku nakall,” bisik Alif sambil menciumi kedua cuping telinga ustazah raudah dari balik kerudung rabbaninya meninggalkan jejak basah di sana. Area sensitif rangsangan itu membuat ustazah raudah makin menggila. Tangannya lincah menarik ke bawah celana kolor yang dipakai alif, dan terpampanglah benda yang selama ini sangat dia dambakan.
Kontol alif mengacung keras mengangguk-angguk menantang. “Ihhh,” refleks ustazah raudah mengeluarkan seruan gemas. Tangannya mengelus-elus batang itu sampai Alif merem melek merasakan sentuhan tangan ustazah yang sangat lembut di kulitnya yang sensitif.
“Aghhh, hisap, ustazahku, ahhh,” Alif kembali berbisik sambil mendorong tubuh ustazah raudah membungkuk. Tanpa diperintah pun ustazah raudah sudah paham. Dia kemudian menarik tubuh Alif supaya duduk di ranjang sementara dirinya duduk bersimpuh di lantai dengan mulut mencaplok benda yang panjang besar menggairahkan itu.
Slrrrpppp, slrrpp, bunyi sepongan ustazah raudah terdengar mengisi kesunyian kamar, membuat dua manusia itu semakin terbakar gairahnya. Ustazah Raudah merasa rindu ingin melampiaskan nafsu syahwatnya yang selama ini terus menerus dibakar oleh pesan-pesan alif setiap malam. Sementara alif juga merasa bergairah melihat di bawahnya seorang ustazah yang kesehariannya alim kini sedang dengan binalnya menghisap kontolnya, dengan hanya mengenakan kerudung rabbani panjang saja, tanpa mengenakan apapun.
Tangan alif menyangga tubuhnya di belakang. Sementara kepalanya mendongak dengan mata merem melek merasakan kenikmatan sepongan ustazah raudah. Slrrrp slrrrrpppppp, kembali terdengar bunyi sepongan sang ustazah yang nampak ahli menghisap dan mengulum batang penis Alif. Tangannya sementara itu mengusap-usap buah pelir alif, sesekali memencetnya pelan membuat tubuh alif menggelinjang. Sesekali juga tangan itu mengusap-usap bagian dalam paha alif dengan lembut.
Puas dengan sepongan ustazah yang membuat penisnya terasa berkedut-kedut, alif menarik tubuh ustazah raudah berdiri, kemudian cupppppppp, bibirnya langsung melumat kembali bibir sang ustazah, air liur yang sedikit meleleh di ujung bibirnya dihisapnya. Ustazah raudah membalas tak kalah buasnya. Kerudung rabbaninya menjuntai-juntai seirama pergerakan tubuhnya yang liar.
Kemudian alif mendorong tubuh ustazah raudah berbaring di ranjang. Kedua kakinya dibiarkan menjuntai ke lantai dengan dua belah paha mengangkang. Untuk sesaat alif melihat pemandangan itu dengan penuh nafsu. Tangannya mengocok-ngocok penisnya yang licin karena ludah ustazah raudah. Betapa membangkitkan nafsu pemandangan yang terlihat di depannya sekarang ini. Seorang ustazah yang sehari-harinya selalu menundukkan kepala dengan alim, bergamis dan berkerudung lebar, kini berbaring pasrah dengan tubuh terbuka sepenuhnya hanya tertutup oleh kerudung saja.
Tubuh itu nampak sedikit berkeringat. Di pangkal pahanya nampak sedikit membukit dengan belahan yang merangsang di tengah-tengah. Ada sedikit jembut yang tidak terlalu lebat di sana, berbeda dengan memek ustazah aminah yang licin tanpa bulu. Perlahan alif merendahkan kepalanya, mencapai area jembut itu dijulurkannya lidahnya.
“Augghh, ahhh, Alif, ahhh, terussshhh, hhhh hhhhh,” ustazah raudah merintih-rintih saat lidah itu mulai bermain di area paling sensitif di tubuhnya. Setelah puas membasahi jembut yang tumbuh di sana, lidah alif semakin lincah bermain menyelinap sesekali ke sela lubang yang sudah siap menerima tujahan penisnya itu. “ngghhh ngghhhh, ahhhh,” ustazah raudah hanya mampu merintih. Tangannya meremas-remas kasur tak beraturan, menahan nafsu syahwatnya yang sudah sampai di ubun-ubun.
Tangan alif kemudian memegang erat kedua paha ustazah raudah, sementara mulutnya sepenuhnya terbenam di pusat kenikmatan itu. Lidahnya sudah menemukan itil ustazah raudah dan menghisap-hisapnya dengan penuh gairah. Diserang seperti itu, tentu saja ustazah raudah blingsatan. Tapi dalam posisinya dia tak bisa melakukan apa-apa.
“Auhhhh ahh ahh aaaaaahhh, ahh ngngngngggg, ahhh, Aliff alif alifffffffffff,” hanya terdengar rintihan berkepanjangan dari mulutnya, kepalanya gelisah tak bisa diam membuat kerudungnya kusut tertarik ke sana ke mari. Tangannya meremas-remas kasur dengan gemas, apa yang dia inginkan saat itu hanya satu, secepatnya penis alif menujak memeknya supaya nafsunya terlampiaskan.
Alif bukannya tak tahu, akan tetapi dia masih ingin mempermainkan ustazah raudah. Maka dengan cuek mulutnya terus menghisap itil ustazah raudah, tangannya juga meremas-remas paha ustazah raudah, sementara di bawah, penisnya sudah berkedut-kedut juga meminta bagian. Akhirnya ustazah raudah tak kuat dengan rangsangan yang terlalu hebat itu, dia merintih, “Ahhhhh, alif, ahhhh, umi mau kelu…arrrr, arhhhh, ahhhh…”
Mendengar itu, alif mempergencar serangannya. Satu hisapan lagi di itilnya dan tubuh ustazah raudah melenting ke atas seiring jeritan panjang, “aaaaaaaaahhhhhhhhhh,” dari memeknya keluar sedikit cairan kenikmatan meleleh yang langsung dihisap alif dengan rakusnya sampai tak tersisa. Tubuh ustazah raudah ambruk kembali ke ranjang, masih terdengar sisa rintihannya seirama dengan nafasnya yang menderu tak teratur.
Alif kemudian berdiri sementara sambil mengatur nafasnya ustazah raudah menatap apa yang akan dilakukan oleh laki-laki itu. Penis alif sudah tegang mengacung mengangguk-angguk perkas. Dia mengocok-kocoknya sebentar sambil matanya nyalang melihat pemandangan menggairahkan di ranjang. Kemudian dia mendorong posisi tubuh ustazah raudah supaya sepenuhnya berbaring di ranjang.
Setelahnya, dia langsung mengambil posisi membungkuk di atas tubuh telanjang ustazah raudah yang masih tertutupi kerudung rabbani itu. Tangannya menahan sehingga tubuhnya tidak jatuh menimpa tubuh sang ustazah. Ujung penisnya menyentuh-nyentuh lubang kenikmatan ustazah membuat nafsunya sedikit demi sedikit kembali naik.
Alif kemudian menurunkan kepalanya dan berbisik di telinga ustazah raudah, “ustazah masih mau terus enggak?”
Ustazah Raudah menjawab genit. Tenaganya sudah kembali. “Iya dong sayang, masukan cepatt.”
“Masukan apanya?” Alif menggoda. Bibirnya disentuhkannya ke bibir ustazah raudah sementara di bawah kepala penisnya menggosok-gosok jembut ustazah raudah menimbulkan rasa geli.
“Kontolnya,” jawab ustazah raudah mesum. Alif langsung melumat bibir yang baru saja membuka itu. Ustazah raudah membalas melumatnya dengan ganas.
Kemudian perlahan alif menurunkan penisnya, sleepppp, penis yang kokoh itu masuk sepertiga. Ustazah raudah memejamkan matanya sementara tangannya memeluk tubuh alif, menariknya supaya segera menurunkan tubuhnya sepenuhnya.
Alif menurunkan kembali tubuhnya dan sleeeppppp, penisnya kembali masuk, separuh. “Ahhhhhh,” ustazah raudah merintih. Pantatnya sedikit terangkat merasakan batang panjang besar dan berotot yang masuk ke memeknya. Terasa hangat dan nikmat. Kemudian alif kembali melumat bibir itu sambil menurunkan tubuhnya sepenuhnya.
“Nggngngnggg,” Tubuh ustazah raudah sedikit terangkat merasakan penis itu memenuhi memeknya. Masih terlihat bahwa penis tersebut tidak sepenuhnya masuk tapi dia sudah merasakan bahwa vaginanya sudah mentok. Kemudian alif mulai menaik turunkan tubuhnya sementara bibirnya sudah dia lepaskan. Tangan ustazah raudah meremas-remas punggung alif sementara pantatnya bergerak mengimbangi gerakan naik turun tubuh alif.
Plokkk plokkk plokkk, bunyi penis alif yang mengobok-obok memek ustazah raudah terdengar menggema dalam ruangan itu. Kerudung rabbani yang dipakai ustazah raudah sudah hampir basah oleh keringat. Sesekali satu tangan alif meremas payudara ustazah raudah dari balik kerudung itu. Dengusan nafas alif hangat menerpa kulit wajah ustazah raudah, membuat udara dalam kamar itu terasa makin panas.
Sementara di kamar nomor delapan itu alif sedang menyetubuhi ustazah raudah dengan buas diiringi bunyi rintihan dan dengusan nafas penuh nafsu, mari kita lihat apa yang sedang terjadi di kamar lima yang tadi menarik perhatian alif. Di ranjang yang memiliki struktur sama dengan ranjang di kamar ustazah raudah, nampak pemandangan yang unik. Dua insan sedang bergelut dalam posisi yang sama dengan alif dan ustazah raudah, juga dengan rintihan dan erangan yang sama.
Di ranjang berbaring ustazah lia yang saat itu masih lengkap mengenakan gamis dan kerudung meski gamisnya bagian bawah sudah disingkapkan sampai ke pinggang. Tubuhnya dihimpit oleh tubuh laki-laki di atasnya, tepat di memeknya penis sang laki-laki itu juga sedang asyik naik turun dengan irama liar. Anehnya, beda dengan alif yang telanjang, tubuh laki-laki itu masih mengenakan gamis warna cokelat yang sama dengan gamis yang dipakai ustazah lia juga sudah tersingkap sampai ke pinggang.
Gamis warna cokelat, kau pasti masih mengingatnya: sosok yang tadi dikenalkan kepada ustazah aminah sebagai ukhti solihah. Bedanya kini wajahnya sudah tak mengenakan cadar dan kepalanya sudah tidak berkerudung. Ternyata ukhti solihah itu adalah pasangan chat ustazah lia, ahmad soleh. Kerudung, gamis, dan cadar hanya digunakan sebagai kamuflase supaya dia bisa masuk ke asrama syahamah.
Jika dilihat sepintas nampak dua insan di atas ranjang itu seperti pasangan lesbian yang sedang saling memuaskan kenikmatan karena keduanya masih mengenakan gamis perempuan. Bedanya adalah adanya penis yang nampak konstan keluar masuk ke dalam memek ustazah lia seirama tujahan ahmad soleh dan goyangan pantat ustazah lia.
“Uhhh uhhh, ukhti, memekmu peret sekali, uhhh,” ahmad soleh melenguh sambil meremas-remas dada ustazah lia yang sekal dari balik gamisnya.
“Iya, sayang, jarang banget dipake, ahhhhh, teruss terusssss, ahhh,” ustazah lia merintih-rintih sambil tak henti menggoyangkan pantatnya. Bibirnya nampak seksi, mulutnya setengah membuka membuat ahmad soleh tak tahan dan langsung melumatnya sampai ustazah lia megap-megap kehilangan nafas.
Sleppp sleeepppp sleppp, dengan lancar penis ahmad soleh keluar masuk memek ustazah lia yang sudah sangat basah itu. Terlaksana sudah impiannya menyetubuhi ustazah yang selalu nampak alim itu kini. Dia bisa menyetubuhinya dengan masih memakai gamis dan kerudung lebarnya yang nampak akhwat sekali. Tangan ahmad soleh mengusap-usap kepala ustazah lia lembut, sangat kontras dengan tujahannya yang kasar membuat tubuh ustazah lia bergerak ke kiri ke kanan mencoba menyeimbangkan.
“Ukhti, kamu menggairahkan sekali, ukhtiku,” terdengar mulut ahmad soleh meracau, penisnya terasa berkedut-kedut hampir tak tahan. Sensasi menyetubuhi akhwat yang ustazah ini memang luar biasa. Dia tak akan kuat bertahan lama. Apalagi memek ustazah lia terasa seperti menghisap kepala penisnya membuat sekujur tubuhnya bergetar merasakan kenikmatan yang selama ini tak pernah dia rasakan saat dia menyetubuhi istrinya.
“Ahhh, kontolmu enak, sayang, ahhh, puaskan ana, sayang, ah, puaskan lia.” Ustazah lia membalas. Tangannya menyelinap ke balik gamis yang dipakai ahmad soleh, mengusap-usap dada ahmad soleh yang dipenuhi bulu. Usapan itu terasa sangat lembut membuat gairah ahmad soleh makin tak tertahankan.
“Ukhti, ana hampir keluar, ukhti, ahhh, ana gak tahannn,” ahmad soleh melenguh merasakan laharnya mendesak ke kepala penisnya. Tujahannya di memek ustazah lia makin tak teratur membuat tubuh mungil itu terguncang-guncang.
“Ana juga sayang, ahh, terusss terusss, pancut di dalam sayang, ahhh, tusuk terussshhh,” ustazah lia mengimbangi gerakan liar ahmad soleh dengan membelitkan kedua kakinya di punggung ahmad soleh. Kemudian tujahan-tujahan ahmad soleh makin liar dan makin liar sampai akhirnya….
“Arrrgghhhhhhhhh,” ahmad soleh menggeram sambil menujahkan penisnya sekuat tenaga ke memek ustazah lia.
Pada saat yang sama ustazah lia juga merasakan kedutan-kedutan di memeknya semakin tak tertahankan. Seiring kontol ahmad soleh memancutkan lahar panasnya di dalam memek ustazah lia, ustazah lia juga meraung mencapai kenikmatannya, “Anggghhhhhh anggggghhhh, ahhhhhhhhhh.” Dirasakannya cairan dari memeknya bersatu dengan cairan panas ahmad soleh kemudian mengalir menuju rahimnya. Sebagian tertahan.
Setelah beberapa saat ahmad soleh kemudian mencabut penisnya. Plopppp, terdengar bunyi seperti sumbat dicabut dan nampak cairan meleleh keluar dari lubang memek ustazah lia, membasahi kasur yang selama ini ditiduri sang ustazah alim itu. Ahmad soleh lalu membaringkan tubuhnya di samping ustazah lia. Lalu, cuppp, cuppp, bibirnya mencium bibir ustazah lia yang menolehkan kepalanya ke arah dirinya.
Sang ustazah alim itu tersenyum bahagia. “Nikmat sekali, terima kasih, sayang, antum sudah memberi ana kenikmatan seperti ini.”
“Sama-sama ustazahku lonte,” jawab ahmad soleh. Tangannya membelai-belai pipi ustazah lia dengan gemas. Ustazah lia membalas dengan menelusupkan tangannya di bawah, menggapai kontol ahmad soleh. Tubuh ahmad soleh sedikit mengejang saat tangan itu dengan lembut mengusap kontolnya yang licin oleh cairan orgasme keduanya. Perlahan tapi pasti, benda kenyal itu kembali menegang.
“Lagi, ukhti?” Ahmad soleh berbisik di telinga ustazah lia.
Ustazah lia tak menjawab. Dia bangkit, kemudian mulutnya mencaplok kontol ahmad soleh dan mengulumnya. Ahmad soleh memandang kelakuan ustazah itu dalam diam. Dia hanya merasakan saja kenikmatan sepongan ustazah alim itu.
Setelah penis itu kembali tegak, ustazah lia kemudian mengambil posisi WOT. Tangannya membimbing kontol itu memasuki memeknya kembali yang masih meneteskan cairan putih sisa orgasme tadi, sleppppp, “ahhhhhhh,” terdengar desahannya saat tubuhnya sudah kembali turun membuat penis itu masuk dengan mudah karena memeknya sudah sangat licin.
Kemudian dia menaik turunkan tubuhnya sementara tangannya menyingkap gamis ahmad soleh dan menggerayangi bulu yang tumbuh di dadanya. Ahmad soleh tak kalah liar, tangannya menelusup ke balik gamis ustazah bertubuh mungil itu dan meremas-remas buah dada yang menggantung dengan penuh gairah…
Sementara itu, di kamar nomor delapan asrama syahamah, Alif juga sudah hampir mencapai orgasme, sementara ustazah raudah sudah mencapai dua kali orgasme. Tubuhnya sebenarnya sudah lelah tapi nafsu birahinya masih menggebu-gebu. Alif menunggangi tubuh yang sudah basah oleh keringat itu dengan buas. Kontolnya menujah keluar masuk tanpa peduli ustazah raudah yang meringis dan merintih-rintih merasakan kenikmatan yang dia rasakan terlalu tinggi untuk dia tanggung.
“Aghhhh, umi, keluarkan di dalam ya, aghhhh,” alif meremas buah dada ustazah raudah dengan kasar. Posisi mereka sudah pindah ke meja. Ustazah raudah duduk mengangkang sementara alif mengobok-obok memeknya dengan posisi berdiri.
“Iyya, sayang, ahh, ahhhh, auhhhhhh, ayohh, ahhhh,” ustazah raudah sudah hampir mencapai puncak lagi untuk kesekian kalinya. Alif juga sudah merasakan bahwa dirinya hampir mencapai puncak. Tangannya satu membenahi kerudung rabbani ustazah raudah yang sudah acak-acakan. Dibiarkannya kerudung itu menutupi sedikit payudara ustazah raudah membuat birahinya semakin naik melihatnya.
Ustazah raudah sudah merem melek pasrah, mulutnya tak mau menutup mengeluarkan desisan seperti orang kepedasan. Alif menurunkan kepalanya dan melumat puting susu sang ustazah yang kemudian melenguh, “unggghhhh, uhhhhh, alifff, aliffffff, umi mau kelu…arrr,”
“Ahhh, tahan umi, ahhh, alif jugaaaa.” Alif mempergencar sodokannya sampai meja itu terasa bergetar. Lalu dengan geraman dahsyat tangan alif memelintir puting susu ustazah raudah sampai mata ustazah raudah melotot merasakan sakit yang berangsur digantikan oleh kenikmatan. Tubuhnya bergetar merasakan puncaknya sementara penis alif terasa membengkak di memeknya sampai tak mampu lagi bergerak, kemudian…
Crotttt crottttt crottttt, dia merasakan penis itu menyemburkan lahar panas yang sangat banyak di dalam memeknya. Dia tak khawatir hamil karena sudah dia antisipasi sejak awal. Kenikmatan yang dia rasakan membuat kepalanya mendongak dan tubuhnya hampir ambruk di meja karena tangannya yang menopang tubuhnya gemetar hampir tak kuat.
Alif mendiamkan penisnya beberapa saat sebelum kemudian perlahan menariknya keluar. Ustazah raudah nampak enggan penis itu keluar, tapi akhirnya dia pasrah juga. Kemudian dia juga bangkit dari meja dan melangkah dengan sedikit tertatih-tatih ke arah ranjang. Penis besar itu masih terasa memenuhi lubang memeknya bahkan setelah penis itu dicabut.
Alif mengikuti dan duduk di samping ustazah raudah. Mulut keduanya kembali saling melumat sementara tangan alif mendekap erat tubuh itu. Tangan alif yang satunya sudah beroperasi kembali menggerayangi tubuh ustazah raudah yang basah oleh keringat kenikmatan. Di bawah penisnya tak pernah benar-benar lemas, masih menggantung dan perlahan kini bangkit kembali.
“Umi, tadi Alif udah ngerjain umi Aminah.” Alif berkata sementara tangannya tak henti meremas-remas dada ustazah Raudah, sesekali memelintir putingnya pelan dan lembut.
“Engghh, ngerjain apa hayo, ahh,” Ustazah Raudah menjawab sambil menggeliat-geliatkan tubuhnya yang masih ada dalam dekapan Alif.
Alif kemudian menceritakan kisahnya tadi dengan Ustazah Aminah. Lengkap. Dari mulai dia membuat teh yang dicampuri obat perangsang, membuat lubang di atas kamar mandi, sampai ke adegan dirinya memuntahkan sperma di celana dalam sang umi. Setelah itu dilanjut juga dengan cerita tambahan dari ustazah aminah tentang ustazah lia.
“Ohh, jadi ustazah Lia malam ini nginap bareng saudaranya ya?” ustazah raudah bangkit sebab Alif pun bangkit. Kontolnya masih tegak mengacung, nampak basah oleh cairan orgasme dari memek ustazah raudah.
“Iya, mi, hehehe.” Alif menggapai bajunya dari kursi. Ustazah raudah mengikuti, kemudian bersimpuh di depannya, memegang pahanya sambil slupppp, mulutnya meraih kontol itu dengan beringas, kemudian menghisap-hisapnya dengan gemas.
Alif memicingkan matanya merasakan kenikmatan. Sejenak tangannya terhenti, tapi kemudian dia meneruskan. “Alif Cuma ngebayangin seharian ini umi Aminah memakai celana dalam berlumur peju Alif, hehehe, membuat Alif bergairah saja.” Tentu saja Alif tak tahu bahwa sebenarnya Ustazah Aminah tadi hampir tahu bahwa celana dalamnya lengket oleh sperma, akan tetapi beruntungnya keburu datang Ustazah Lia. Yang jelas, seharian tadi nafsu menggelegak Ustazah Aminah dua kali tak terpuaskan karena gangguan.
Ustazah Raudah juga merasakan penis di dalam mulutnya berdenyut lebih tegang. Dia tak berkomentar, asyik menghisap mainan yang sudah lama sangat dia rindukan itu. Alif mengusap-usap kepala ustazah raudah yang masih mengenakan kerudung rabbani acak-acakan.
“Umi, umi tahu enggak apa yang sedang terjadi di kamar lima?” Alif berkata sambil mengenakan kembali bajunya. Kontolnya masih tegak mengacung, dihisap-hisap dengan gemas oleh Ustazah Raudah sampai semua sperma yang tadi melumurinya sekarang berganti menjadi berlumuran ludah.
“Kamar nomor Lima? Ustazah Lia?” Ustazah Raudah bertanya heran. Untuk sejenak dia menghentikan sepongannya. Alif kembali dengan gemas mengelus lembut kepala ustazah alim itu.
“Iya, umi,” jawabnya lembut. Meski hanya mendengarkan sekilas dari balik pintu tadi, alif bisa menebak bahwa pasangan ustazah lia bukanlah wanita melainkan laki-laki, hal itu terlihat dari suara yang terdengar. Otaknya yang cerdas langsung menyimpulkan bahwa saudara jauh ustazah lia yang diceritakan ustazah aminah tadi jelas hanya samaran. Kemungkinan besar ustazah lia telah memasukkan laki-laki ke kamarnya.
“Kenapa emang?” Kali ini tangan ustazah raudah mengocok-kocok penis yang selalu membuatnya gemas itu. Dia sangat merindukannya dan kalau boleh dia ingin seharian hanya mempermainkan benda kenyal tegang yang sudah memberikannya kenikmatan itu.
“Coba saja nanti umi ke sana, dengerin dari balik pintu,” Alif mengakhiri ucapannya sambil tersenyum. “Umi pasti tahu apa yang harus umi lakukan saat mengetahuinya.” Cupppp, Alif mencium kepala ustazah raudah. Kemudian perlahan dia melepaskan tangan itu dari penisnya. Setelah itu dia menggapai celananya. “Nanti lagi dong, umi, kok gak bosen-bosen.” Ngocoks.com
“Hihi, gede sih, Alif,” jawab ustazah Raudah dengan nada manja. Alif menarik bangkit ustazah itu, kemudian dengan mesra dia melumat kembali bibir itu entah untuk keberapa kalinya. Dia juga sebenarnya masih ingin berbagi kenikmatan dengan ustazah seksi berkerudung lebar itu, akan tetapi dia juga sadar sikon, dia sangat suka membuat waita bertekuk lutut dan merasa penasaran dengan penisnya. Setelah meremas buah dada ustazah raudah, Alif pun pergi.
Ustazah Raudah tersenyum-senyum sendiri. Lima belas menitan setelah Alif pergi, dia membersihkan wajahnya di kamar mandi, kemudian memakai mukena terusan. Setelah celingukan sebentar dari ambang pintu kamarnya, dia langsung melangkah perlahan menuju kamar nomor lima, kamar ustazah lia, kemudian dia menempelkan telinganya di pintu kamar. Setelah puas mendengarkan, dia mencoba mencari celah yang bisa dia gunakan untuk mengintip. Sayang tidak ada. Tapi suara-suara yang terdengar dari dalam sudah memberikan bahan yang lengkap untuk menebak-nebak.
*****
Di dalam kamar nomor lima, entah sudah untuk ke berapa kalinya ustazah lia orgasme. Tubuhnya terasa sudah lunglai dan jika dia sekarang masih bisa bergumul dengan liar melayani nafsu menggelegak ahmad soleh, maka itu adalah karena bantuan obat kuat yang dibawa oleh tamunya itu.
Kala itu, ustazah lia sedang dalam posisi menungging di ranjang sementara ahmad soleh menusuknya dari belakang dengan penuh semangat. Setiap kali ahmad soleh menujahkan kontolnya, dari mulut ustazah lia terdengar erangan, “Nggh ngh nghhh ngngng, ahhh.”
Erangan itu membuat ahmad soleh kian terangsang. Bagaimana tidak dirinya kini bisa menyetubuhi ustazah mungil yang dalam kesehariannya itu nampak alim dan terjaga. Kini dengan binalnya ustazah itu dia setubuhi dengan posisi doggy style. Dia resapi sepenuhnya pelirnya yang menggantung beradu dengan pantat ustazah lia. Sesekali dia remas bongkahan pantat itu bergantian dengan bongkahan sekal di dada sang ustazah.
“Ahhh, lonteku, ahhh, ukhti, ana mau keluar lagi, ahhhh,”
Ustazah lia tak menjawab. Dia hanya menggoyangkan pantatnya sebagai balasan membuat penis ahmad soleh di dalam memeknya terasa seperti disedot-sedot. “uhh, nikmatnyaaaa,” begitu desisnya. Saat ahmad soleh merasakan penisnya hampir memuntahkan sperma, dia membalik posisi tubuh ustazah lia menjadi berbaring. Kemudian kontolnya kembali dia tujahkan kuat-kuat. Tubuh ustazah lia melenting terangkat, dadanya yang membusung sekal langsung disambut dengan caplokan mulut ahmad soleh.
Lalu kedua tubuh itu mengejang berbarengan merasakan persatuan cairan dari kelamin masing-masing. Hangat. Nikmat. Keduanya mengerang bersamaan, “Ahhhhhhhhhhh, aghhhhhhh,”
Seiring dengan pancutan-pancutan yang masuk menerobos ke dalam liang kenikmatan ustazah Lia, ustazah raudah yang mengikuti semua kejadian itu dari balik pintu menghela nafas panjang. Lega. Dia kemudian beranjak pergi kembali ke kamarnya. Benaknya dipenuhi rencana yang penuh birahi untuk ke depannya. Dia tersenyum kemudian menutup pintu dan menghubungi Alif.
Bersambung…