Cerita Sex Bajag (Sang Penjudi) – Gosip tentang Bajag semakin tersebar luas. Dari mulut ke mulut, gosip itu hinggap ke gang demi gang, lalu mampir ke desa-desa sampai akhirnya seisi komplek tahu kalau Bajag dijemput polisi pas tengah malam tadi. Orang-orangpun berkata, Bajag, seorang pemuda pengangguran telah mengangkat kembali pamor komplek sebagai tempat judi nomor wahid di kota.
Dulu komplek ini memang dikenal sebagai tempat lahirnya para penjudi kelas kakap. Tapi sejak beberapa tahun belakangan cerita itu tak pernah terdengar lagi. Entah karena tobat atau karena takut, orang-orang seakan sepakat untuk menghapus cerita itu. Dan di depan komplek kini sudah di bangun polsek. Beberapa polisi juga tinggal di sini. Tiap malam ada ronda bergilir dari warga komplek. Pak Camat juga punya rumah disini, tepat di belakang rumah Bajag.
Anak anak komplek hampir semuanya sekolah di madrasah yang berdampingan dengan polsek. Setiap ada kesempatan entah itu pengajian ataupun arisan, pak Camat selalu berceramah yang intinya meminta warga agar terus menjaga ketertiban dan keamanan komplek serta menjaga nama baik komplek. Tapi tetap saja Bajag dan judi merajalela.
Tiap malam, Bajag berangkat ke pasar lama yang sudah jadi arena perjudian. Dan dia pulang ketika orang sibuk berangkat kerja. Dia selalu naik motor yang entah darimana dia dapatkan. Sebenarnya sudah beberapa kali Bajag didatangi polisi.
Dia pernah di datangi ketua RT dan memberinya nasihat. Konon setiap ada yang datang ke rumahnya dan memberinya nasehat agar sadar dan tobat, Bajag selalu mengangguk sopan kemudian masuk ke dalam. Pas keluar di pinggangnya sudah terselip golok.
Ngocoks Konon juga pak RT langsung diam dan pergi begitu diberi hidangan golok. Maka tidak ada lagi yang berani datang ke rumahnya, takut kalau golok itu melayang sesuka hati. Semakin menjadi-jadilah Bajag sang penjudi. Tidak ada lagi yang berniat menghentikannya.
Satu-satunya orang yang merasa sangat sedih adalah Murti, yang kini sudah jadi istri pak Camat. Bajag dan Murti sudah berkawan akrab sejak kecil. Bahkan sampai sekarang mereka tinggal berdekatan, hanya dibatasi tembok setinggi setengah meter yang memisahkan dapur rumah Bajag dengan dapur rumah pak Camat.
Selain menjadi istri pak Camat, Murti juga menjadi guru agama di Madrasah. Tentu gosip tentang Bajag membuat Murti serasa ditohok dari belakang. Sama seperti yang lainnya, Murti juga tak kuasa menghentikan Bajag. Karena tak kuat membayar listrik, pak Camat memberi sambungan dari rumahnya ke rumah Bajag dan itu gratis.
Pun demikian dengan air, Bajag setiap sore selalu mengambil bertimba-timba air dari mesin pompa milik pak Camat. Bahkan Bajag juga menumpang jemuran disamping rumah pak Camat. Murti sering dengan terpaksanya mendatangi rumah Bajag untuk mencari pakaian suaminya yang terbawa bersama pakaian Bajag.
Entah Bajag tidak sengaja atau memang sengaja mengambil pakaian suaminya, Murti tidak berani berprasangka. Dia takut menuduh Bajag sebagai pencuri. Bajag memang nakal, itu yang diingat Murti. Seketika Murti teringat pada masa masa kecilnya bersama Bajag.
Ketika masih ingusan, Bajag hanyalah bocah kurus kerempeng tapi punya wajah ganteng. Dia sering mendorong- dorong Bajag sampai terjatuh, membuat bocah itu menangis. Dulu Bajag sangat cengeng, lebih suka bermain sama anak perempuan karena takut pada sesama bocah lelaki.
Perlu pembaca Ngocokers tau bahwa semasa kecil, Bajag dapat julukan bencong. Murti juga sering merasa malu kalau mengingat betapa ia dulu setiap hari mandi bersama Bajag, ia sering menarik-narik ’ulat’ milik Bajag. Dan Bajag selalu membalas dengan memukuli ’bukit kecilnya’. Sampai kelas empat sekolah dasar, ia masih sering mandi bareng Bajag.
Bajag juga sering belajar dan nonton TV di rumah Murti sambil menunggu ayah Murti pulang. Keluarga Murti sudah menganggap Bajag sebagai anak sendiri. Jadi setiap pulang kerja, ayah Murti selalu membawakan Bajag cemilan. Dulu Bajag adalah anak yang baik dan penurut. Banyak sekali kenangan bersama Bajag yang tak mudah dilupakan oleh Murti.
Tapi Bajag dulu lain dengan Bajag sekarang. Ada yang bilang buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Bajag yang cuma sempat sekolah sampai kelas dua SMP seakan mewarisi perilaku ayahnya. Siapa di seantero komplek yang tidak kenal ayah Bajag. Para orang orang tua pasti tahu persis kelakuan cak Karso, ayahnya si Bajag. Kalau pagi, cak Karso memang bekerja normal sebagai sopir truk.
Tapi begitu malam tiba, cak Karso beralih profesi, membuka warung kopi di pintu masuk komplek. Tentu bukan semata kopi yang dijual. Mulai dari air putih biasa sampai minuman anggur beralkohol luar biasa semuanya bisa didapat dan dinikmati dengan bebas, menemani permainan kartu dengan taruhan tak kalah luar biasa. Cak Karso adalah pelopor judi yang membuat komplek ini begitu tersohor hingga keluar kota.
Bajag kecil sering menemani ayahnya dan mengaku senang karena orang- orang sering memberinya uang jajan. Bajag juga mengaku suka kalau diajak minum-minuman yang katanya berasa nikmat. Sejak itulah Bajag kecil mulai menampakkan perubahan total. Dan semakin menjadi-jadi ketika ibunya meninggal dengan tragis, gara-gara dipertaruhkan judi oleh cak Karso.
Yu Darti, ibunya Bajag, meninggal tak lama setelah tiga hari tiga malam diperkosa secara bergiliran oleh para begundal. Cak Karso dengan kejamnya menjadikan istrinya sendiri sebagai tumbal permainan judi. Yu Darti yang merupakan bunga desa akhirnya lebih memilih mengakhiri hidup daripada menanggung aib dan malu. Sedangkan cak Karso tiba-tiba raib, menghilang entah kemana meninggalkan Bajag seorang diri.
Jadilah Bajag anak sebatang kara, putus sekolah, hidup dari belas kasihan orang. Salah satu alasan yang jadi penyebab kuat dia menjadi penjudi kawakan. Toh sampai sejauh itu Murti masih bisa menahan rasa sedihnya. Murti tetap memberikan listrik dan air gratis, juga masih membolehkan Bajag menumpang jemuran. Seburuk apapun kelakuan Bajag, dia adalah teman dekatnya.
Bajag memang kurang ajar. Dia pernah mengintip Murti mandi, juga sering menggoda Murti kalau pulang dari mengajar. Puncaknya, Murti merinding bila mengingat kejadian itu, saat Bajag datang ke rumahnya, lalu masuk ke kamarnya dan menggerayanginya yang lagi tidur. Murti mengira itu adalah pak Camat, suaminya, maka iapun diam saja. Sudah kebiasaan suaminya, meminta ‘jatah’ di siang hari bolong seperti ini.
Meski merasa lain, karena terasa lebih kasar, Murti tidak pernah curiga saat Bajag mulai memeluk dan menciuminya. Ia juga tidak menolak begitu Bajag mulai melepas daster putih yang ia kenakan. Setelah mencumbuinya sebentar, Bajag mulai membuka bra tipisnya dan melepaskan celana dalamnya.
Setelah itu sedikit demi sedikit Bajag mulai menikmati jengkal demi jengkal seluruh bagian tubuh Murti, tidak ada yang terlewati. Dalam keremangan kamar, Murti bisa melihat penis Bajag yang disangka suaminya, benda itu tampak mulai menegang, tetapi belum keras sepenuhnya. Ukurannya yang agak lebih besar masih belum membuat Murti curiga.
Dengan penuh kasih sayang, Murti meraih batang kenikmatan Bajag dan memain-mainkannya sebentar dengan kedua belah tangannya, untuk kemudian mulai dikulumnya dengan lembut. Terasa di dalam mulutnya, batang penis Bajag mulai hangat dan mengeras.
Murti terus menyedot batang panjang itu sambil sesekali matanya terpejam menahan nikmat akibat kocokan jari-jari Bajag di liang vaginanya. Ia masih belum menyadari siapa sebenarnya laki-laki di depannya ini. Bajag kemudian membalas dengan meremas-remas kedua payudara Murti yang terlihat sangat menantang.
Remasan Bajag membuat Murti mulai merasakan denyut-denyut kenikmatan yang bergerak dari puting payudaranya dan terus menjalar ke seluruh bagian tubuhnya yang lain, terutama lubang vaginanya, yang kini terasa semakin basah dan lengket akibat kocokan jari-jari Bajag.
Murti melirik ke atas, ingin mencium sang suami, tapi Bajag dengan lihai menyembunyikan mukanya di punggung gadis itu hingga lagi-lagi Murti tidak mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya. Bahkan agar lebih mengelabui Murti, Bajag turun ke bawah dan mulai menjilati vagina sempit Murti. Ia menyembunyikan mukanya di celah selangkangan istri pak camat itu.
Dengan liar lidahnya menyapu dan mengulum daging kecil klitoris milik Murti yang terlihat begitu mungil dan menggemaskan. Murti kaget sekaligus sangat kewalahan menerimanya, karena sebelumnya pak Camat tidak pernah melakukan hal yang seperti itu. Tubuh Murti langsung bergetar menahan nikmat, peluhnya mengucur begitu deras, dengan diiringi erangan-erangan kecil dan nafas tak tertahankan ketika ia merasakan rasa yang begitu nikmat ini.
Pelan tapi pasti, dengan posisi saling membelakangi, mulai dirasakannya penis Bajag, yang masih disangka suaminya, mulai terbenam sedikit demi sedikit ke liang vaginanya. Rasa gatal yang dirasakan Murti sejak tadi kini berubah menjadi rasa nikmat yang amat sangat saat penis Bajag yang telah ereksi sempurna mulai bergerak-gerak pelan maju mundur menggesek liang vaginanya.
Murti merasa suaminya lebih jago dalam permainan ini, beda dengan biasanya. Tapi sekali lagi, Murti tidak curiga. Ia menganggap, mungkin pak Camat telah banyak belajar hingga sekarang jadi sedikit lebih pintar. Akhirnya, dengan mata terpejam, dinikmatinya goyangan laki-laki itu. Murti begitu meresapinya hingga tak sampai lima menit kemudian, ia sudah berteriak kecil saat sudah tak mampu lagi menahan gejolak birahinya.
Tubuhnya yang montok meregang sekian detik sebelum akhirnya rubuh di ranjang ketika puncak kenikmatan perlahan meninggalkan tubuhnya. Murti memejamkan matanya sambil menggigit kecil bibirnya saat merasakan sisa-sisa orgasme yang membuat vaginanya terus mengeluarkan denyut-denyut ringan penuh kenikmatan.
Bajag menyusul tak lama kemudian, laki-laki itu dengan cepat menarik penisnya dan beberapa detik kemudian, air maninya tumpah dan menyembur dengan derasnya ke tubuh dan wajah cantik Murti. Murti gelagapan, tapi dia berusaha membantu dengan mengocok penis ’suaminya’ sampai air mani Bajag habis, menetes seluruhnya. Murti sedang asyik menjilati penis itu, saat Bajag berbisik, ”Aku benar-benar puas, Mur, kamu memang hebat!” pujinya.
Seketika Murti berbalik, terkejutlah ia karena yang sedang ia ciumi penisnya adalah Bajag. Spontan ia mengusir laki-laki itu dan menangis sejadi-jadinya di kamar, sampai suaminya pulang. Pak Camat bingung melihat keadaan Murti, tapi ia tak pernah tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Sejak kejadian itu, Murti selalu mengunci semua pintu dan jendela bila sendirian di rumah. Dia takut Bajag akan masuk lagi sesuka hati.
Sampai tersiar berita yang masih dari bisik-bisik warga komplek. Bajag tidak hanya berjudi di pasar lama. Bajag diam-diam sering mengajak teman-temannya untuk berjudi dan minum sampai teler di rumahnya. Jelas itu adalah hal yang mencemaskan Murti.
Bahkan sering juga ada perempuan yang menginap di rumah Bajag sampai berhari-hari. Yang jelas perempuan itu bukan istri Bajag karena sampai umur tigapuluhdua tahun ini, Bajag masih seorang duda. Bisik-bisik tetangga itulah yang membuat Murti perlu berdialog dengan pak Camat.
“Mas Joko, pepatah bilang nila setitik akan merusak susu sebelanga.”
“Artinya?” Joko sang pak Camat bertanya.
“Masa sih mas Joko nggak tahu. Artinya sebanyak apapun kebaikan yang kita lakukan akan rusak oleh keburukan.” Murti menjawab sambil memperbaiki posisi berbaringnya.
“Apa hubungannya dengan kita, Murti?”
“Bukan kita, mas. Tapi komplek kita ini,”
“Maksudmu tentang Bajag?”
Murti mengangguk. Pak Camat menarik napas panjang. Murti menunggu pak Camat bicara, tapi suaminya itu cuma tersenyum. Murti terpaksa ikut tersenyum. Senyum yang kecut dan kelu. Setelah itu mereka tak bicara lagi karena lebih memilih untuk meneruskan keintiman yang tertunda.
Pak Camat dengan penuh nafsu melumat bibirnya, sementara Murti tersenyum manja saat memegang batang pak Camat yang memang sudah berdiri dari tadi. Laki-laki itu dengan sigap membuka kancing baju serta kait BH yang Murti pakai. Murti membalas dengan menarik kepala suaminya ke arah buah dadanya yang sudah terpampang bebas.
”Hisap, mas… hisap putingnya. Ughhhh!” pinta Murti tak tahan lagi.
Tapi belum puas pak Camat menghisapnya, Murti sudah dengan cepatnya menunduk dan mengulum batangnya yang sudah semakin mengeras dan menegang, “Ah… Mur, baru kali ini kamu menghisap penisku.” desahnya keenakan. Dia tidak pernah tahu, ada satu peristiwa yang membuat Murti jadi nakal seperti itu.
“Penis mas besar sekali, dan ah… berurat lagi, seperti kawat baja.” desah Murti tak mau kalah.
Pak Camat agak bingung mendengar perkataan istrinya, ”Besar? Berurat?” perasaan, penisnya tidak sampai seperti itu. Lalu, burung siapa yang dibicarakan oleh Murti? Pak Camat sudah ingin bertanya saat Murti mulai menghisap barangnya semakin cepat sambil kedua tangannya menggoyang-goyangkan bola kenikmatan yang ada di bawahnya, membuatnya jadi tak tahan dan akhirnya mengurungkan niat.
Malah yang ada, tanpa terasa pak Camat sudah mulai menunggangi tubuh bugil Murti. ”Kamu cantik banget, Mur.” seiring perkataan itu, melesaklah penis pak Camat menembus vagina sempit Murti.
”Oughh…” mereka menjerit bersamaan dan mulai menggoyangkan tubuh masing-masing.
Persetubuhan itu berlangsung singkat karena beberapa menit kemudian, pak Camat sudah melenguh penuh kepuasan. “Ahh… Mur, aku keluar! Ahh…” dia tekan pantatnya kuat-kuat dan menyemburkan spermanya di lorong sempit Murti.
Murti menerimanya dengan agak kecewa. Baru saja dia merasa nikmat, pak camat sudah keburu keluar. Tidak seperti… ah, dia tidak boleh mengatakannya. Murti sadar kalau apa yang ada dipikirannya bisa saja membuat pak Camat marah besar. Sambil membiarkan pak Camat merangkul tubuhnya, Murti juga membiarkan angannya terbang menjelajahi masa lalunya bersama Bajag kecil.
Bagi kebanyakan warga komplek, Bajag muda dan Murti muda bagaikan Rama dan Sinta. Bajag yang ketampanannya mewarisi kecantikan Yu Darti sangat cocok dan serasi bila sudah berjalan berdua dengan Murti yang memang sudah cantik sejak bayi. Setiap ada acara agustusan di komplek, Bajag dan Murti selalu berpasangan bila tampil di panggung. Bajag yang masih lugu dan pemalu sering membuat warga tertawa bila sudah dijahili Murti diatas panggung. Pokoknya dimana saja dan mau kemana saja, keduanya selalu bersama.
Murti ingat ketika baru masuk SMA, ayahnya sering meminta tolong pada Bajag agar mengantarnya ke sekolah. Bajag yang pengangguran senang saja mengantar Murti ke sekolah karena kalau sudah berdua dalam mobil, Murti sering lupa diri kalau sudah bukan anak kecil lagi. Tingkah Murti masih seperti bocah dan menganggap Bajag masih bocah juga.
Bajag senang karena Murti cuma mengikik geli tiap kali dia meremas buah dada yang lagi ranum-ranumnya. Bajag senang karena Murti cuma merem-melek kalau dia mengelus dan menjilati paha yang sedang mulus-mulusnya. Itu setiap hari Bajag lakukan kalau mengantar Murti sekolah. Sampai akhirnya Murti sadar bahwa itu terlarang.
Sejak sadar itulah, Murti tidak mau lagi diantar Bajag. Terakhir Murti diantar Bajag dan dalam mobil Bajag berusaha memelorotkan celana dalamnya. Murti yang sudah sadar berusaha mempertahankan diri, namun karena kalah kuat, diapun cuma bisa menangis. Ajaib, tangisannya itulah yang membuat Bajag menghentikan niat busuknya.
Padahal rok dan celana dalam Murti sudah teronggok di jok belakang. Tuhan memang maha besar hingga Murti masih tetap perawan. Sejak saat itu, Bajag tak pernah lagi mengantar Murti. Dan Murti kemudian mengganti seragam sekolah dengan seragam muslimah dan berkerudung. Sejak gagal memperkosanya, Murti tidak pernah lagi melihat Bajag berkeliaran di komplek.
Kemudian Murti tahu kalau ternyata Bajag menyewakan rumah peninggalan orang tuanya dan menggunakan uang hasil sewa rumah itu untuk pergi merantau ke luar pulau. Orang-orangpun senang dan berpikir kalau Bajag tidak seperti ayahnya yang pemabuk dan penjudi. Umur delapan belas tahun, Bajag sudah meninggalkan komplek.
Enam tahun sejak meninggalkan komplek, terdengar kabar yang makin membuat warga memanjatkan puji syukur. Bajag telah menikah dengan gadis anak ulama terkenal di perantauannya. Mau tidak mau Bajag harus menyesuaikan dengan kehidupan istrinya. Setiap hari Bajag memakai baju gamis dan menjadi tukang azan di masjid. Ketika Bajag dipercaya oleh mertuanya untuk mengelola pondok pesantren, semakin besyukurlah warga komplek karena Bajag benar-benar berbeda dengan ayahnya.
Namun dua tahun kemudian Bajag berubah. Kabar yang berhembus mengatakan kalau Bajag mulai menyalahgunakan fungsi pondok. Dia mulai meniru perilaku ayahnya. Bajag mengganti musik qasidah dengan musik rock. Persatuan hadrah dia tambahi dengan konsep lagu mancanegara. Para santri tidak diwajibkan untuk sholat lima waktu. Santri pria tidak lagi dibatasi untuk bertemu santri wanita. Pengajian rutin berubah menjadi acara makan makan dan minum. Tentu saja mertuanya marah besar.
Dan istrinya menanggung malu besar. Tidak sampai tiga tahun, perkawinan itu kandas tanpa dikaruniai seorang anak. Tuhan pasti tidak meridhoi Bajag menjadi seorang ayah karena takut akan menjadi seperti ayahnya. Bajag cerai dan mendapat harta bagi warisan dari istrinya berupa mobil dan uang tunai beberapa puluh juta.
Orang-orang mulai yakin kalau Bajag memang tak lebih baik dari ayahnya. Ketika Bajag kembali pulang ke komplek, maka ketika itulah perlahan tapi pasti dia merubah komplek menjadi seperti dulu. Harta yang didapat dari hasil perceraiannya ludes dalam sekejap, termasuk mobil.
Awalnya Bajag berjudi kecil-kecilan bersama tukang tukang ojek, tapi kemudian beralih ke judi yang lebih besar di pusatnya judi, yakni pasar lama. Semakin hari, Bajag bukannya semakin kaya, tetapi justru semakin hidup susah dengan tumpukan hutang disana-sini. Sampai tersiar kabar kalau pas tengah malam tadi Bajag digelandang ke kantor polisi.
Murti menarik napas dan melemaskan urat-urat setelah beberapa lama berada dalam himpitan pak Camat. Tubuhnya yang masih terlihat segar dan montok telentang penuh keringat. Murti mendehem ketika pak Camat mau meminta lagi. Pak Camat paham artinya itu. Murti membiarkan pak Camat keluar kamar.
Dia sendiri kemudian menyusul keluar untuk membersihkan diri dan sholat Ashar. Sehabis sholat, Murti berjalan menuju dapur. Namun belum sampai disana, dia mendengar bel rumah berbunyi diiringi ketukan pintu dan ucapan salam. Murti mengurungkan niat memasak dan berjalan menuju pintu.
Begitu pintu terbuka, Murti kaget setengah mati. Di hadapannya telah berdiri Bajag dengan keadaan babak belur. Bajag berdiri menyandar pada kusen pintu seakan untuk menopang tubuhnya agar tak jatuh. Antara takut dan kasihan, Murti mempersilahkan masuk, namun Bajag menolak dan tetap berusaha untuk berdiri tegak.
“Mur, suamimu ada?” kata Bajag dengan suaranya yang parau. Dulu suara Bajag sangat bening dan jernih karena sering dipakai untuk mengaji dan qiro’ah.
“Ada. Untuk apa kamu cari suamiku?” Murti agak khawatir juga kalau-kalau Bajag nantinya akan menyakiti suaminya.
“Tak usah takut, Murti. Aku tidak akan menyakiti siapapun. Tolong panggilkan saja pak camat.”
Murti masuk ke dalam dan tak lama kemudian keluar menemui Bajag bersama suaminya. Melihat keadaan Bajag, pak Camat yang tadinya agak takut menjadi kasihan. “Ada apa, Bajag? Masuk saja ke dalam,” pak Camat menuntun Bajag dan mendudukkannya di kursi ruang tamu. Murti bergegas ke belakang untuk membuat minuman lalu muncul lagi dan duduk di samping suaminya.
“Saya sangat memohon bantuan, pak Camat.” kata Bajag tanpa berani menatap Murti, teringat apa yang telah ia lakukan pada teman mainnya itu. Bajag cuma berani mengangkat wajahnya sesekali untuk memandang pak Camat, lalu menunduk lagi.
“Kalau itu masih di dalam kemampuan saya, pasti kamu akan saya bantu, Bajag.”
“Saya ingin meminjam uang pada pak Camat.”
“Berapa?”
“Sepuluh juta, Pak. Untuk bayar hutang. Kalau sampai besok saya tidak bisa melunasi, polisi akan menahan saya.”
Murti dan pak Camat saling berpandangan dalam berjuta makna. Sepuluh juta adalah jumlah yang besar, apalagi yang meminjam adalah Bajag.
Bersambung…