Jam lima sore, Bajag pulang tanpa bersama Pak Camat. Ia pulang bersama seorang pegawai kantor, sementara Pak Camat entah kemana. Ia tidak menuju rumah Murti, tapi langsung ke rumahnya sendiri. Bajag melihat ada keramaian di depan rumahnya, tepatnya di rumah yang sudah seminggu ini kosong tak berpenghuni. Ah, mungkin ada orang baru yang menempati rumah itu. Bajag melihat banyak warga membantu menurunkan perkakas dari empat truk.
“Ada penduduk baru, Pak?” ia bertanya pada seorang warga yang kebetulan melintas.
“Penduduk baru tapi muka lama, Jag. Keluarganya si Ningsih.” jelas si tetangga. “Ayo ikut bantu, Jag.” ajak tetangga itu lagi.
Bajag urung masuk rumah dan bersama para waRga beramai-ramai membantu. Bajag sempat melihat Ningsih tapi sangat sibuk. Begitupula si Bejo yang cuma tersenyum kepadanya. Bajag senang karena Bejo dan keluarganya telah kembali ke komplek. Ia jadi punya teman sebaya.
menjelang maghrib, semua perkakas sudah selesai diturunkan dan empat buah truk itu juga sudah pergi. Barulah Bajag bisa menghampiri Bejo. “Hei, Jo, kenapa nggak bilang kalau mau balik ke komplek?” tanyanya.
“Kejutan. Ayo ikut aku, Jag. Kukenalkan ke istriku.” ajak Bejo.
Bajag ikut Bejo masuk ke dalam rumah yang masih berantakan. Di dalam, ia langsung disambut dengan akrab oleh keluarga Bejo. Bajag bersyukur semua masih ingat padanya, masih bersikap baik padanya seperti dulu. Beberapa tahun silam, mereka memang bertetangga, jadi wajar kalau kemudian jadi akrab. Memang ada tambahan orang baru yaitu istrinya Bejo.
Namun karena sudah maghrib, Bajag lekas mohon diri. “Mainlah ke rumah, Jo. Aku pulang dulu ya,”
“Itu pasti, Jag. Ini dari Mbak Ningsih buat kamu.” kata Bejo memberikan sebuah bungkusan.
“Mana Ningsih?” Bajag bertanya.
“Masih mandi. Nanti juga pasti ke rumahmu,” Bejo tersenyum.
“Terima kasih ya,” Bajag melambaikan tangan.
“Sama-sama, Jag.” Bejo mengangguk.
Bajag kembali pulang. Sesampainya di dalam rumah, ia mendapati Aisyah sedang sibuk di dapur. Bajag segera membuka baju yang penuh keringat lalu mendekati Aisyah, namun tidak terlalu dekat karena khawatir Aisyah akan terganggu oleh bau badannya. Aisyah menoleh dan tersenyum sebentar lalu kembali sibuk dengan masakannya.
“Masak apa, Aisyah?” tanya Bajag.
“Ini, sayur lodeh, Mas. Kok baru pulang?” tanya Aisyah.
“Iya, Aisyah, tuh masih membantu orang baru pindah. Gantian pakai kompornya ya? Aku mau masak juga.” kata Bajag.
“Tidak usah, Mas. Ini saya masak juga buat Mas Bajag.” jawab Aisyah. ”Mending mas mandi saja. Sebentar lagi maghrib lho,” ia mengingatkan.
“Kamu sudah mandi?” tanya Bajag.
“Belum, Mas.” jawab Aisyah.
“Pantas kamu bau,” canda Bajag.
“Mas Bajag yang bau,” balas Aisyah sambil tersipu malu. Bajag paling suka melihat wajah Aisyah seperti itu. “Mas Bajag pergi sana. Nanti merusak rasa masakanku.”
“Nanti malam jalan-jalan yuk, Aisyah.” Bajag berkata.
“Tapi habis makan malam ya?” Aisyah menyanggupi.
“Iya, aku kan belum ngerasain masakanmu enak apa tidak. Aku mandi dulu ya,”
Aisyah memukul Bajag dengan gagang sutil. Bajag ingin balas memukul tapi urung setelah teringat bahwa Aisyah terlalu murni untuk disakiti. Aisyah tidak sama dengan wanita-wanita lain. Cukuplah kekhilafannya dulu saat Aisyah tertidur pulas. Bajag tidak akan mengulanginya lagi sebelum Aisyah benar-benar resmi menjadi miliknya. Gadis itu terlalu suci untuk dicemari.
Selesai mandi dan sholat maghrib, Bajag duduk menunggu Aisyah sambil menonton tv. Telinganya menangkap suara-suara halus bersenandung dari kamar mandi. Terdengar sangat merdu, membuat Bajag mengecilkan volume tv dan menajamkan telinga untuk mendengar senandung itu lebih jelas lagi, senandung merdu yang menyejukkan hati. Sayang sekali senandung itu berhenti dan pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka.
“Mas Bajag, kesini sebentar.” panggil Aisyah.
“Ada apa, Aisyah?” Bajag berjalan menghampiri.
“Gotnya buntu ya, Mas. Airnya nggak jalan tuh,” kata Asiyah menunjuk selokan kamar mandi.
“Biar saya perbaiki. Kamu pergi saja,” sahut Bajag.
“Saya bantu, Mas, biar cepat. Saya juga belum selesai mandi.” kata Aisyah.
Bajag memang melihat Aisyah belum menyelesaikan mandinya karena air di lantai kamar mandi penuh akibat saluran pembuangan yang buntu. Ia membungkuk untuk memeriksa, Aisyah juga ikut jongkok untuk membantunya. Bajag menahan hasrat hati demi melihat bagian-bagian tubuh Aisyah yang tidak cukup terlindungi. Handuk yang membungkus tubuh Aisyah terlalu pendek. Dan Aisyah jongkok tepat dihadapannya, sama sekali tidak berusaha untuk menutupi sebagian buah dadanya.
“Aisyah! Berdiri!” Bajag memberi perintah demi menjaga kemurnian gadis itu. Ia tidak tega melihat dan menyaksikan seluruh bagian bawah tubuh Aisyah yang terpamoang jelas di hadapannya. Bajag tidak ingin tergoda kembali.
“Maaf, Mas!” kata Aisyah sambil berdiri dan pindah ke belakang Bajag, membuat Bajag jadi sedikit lega. Dan lebih lega lagi karena got selesai di perbaiki.
“Beres. Kamu bisa lanjutkan mandimu, Aisyah. Oh ya, nyanyi yang agak keras ya?” kata tersenyum menggoda.
Aisyah mengancam Bajag dengan segayung air, membuat Bajag lari terbirit-birit sebelum Aisyah menjalankan aksinya. Senandung suara Aisyah kembali terdengar dan terus terdengar meski Aisyah sudah selesai mandi dan kini ada di dalam kamarnya. Bajag menyimak senandung itu dengan hati ragu.
Sebelum keraguan hatinya terjawab, Aisyah sudah muncul. Mereka makan bersama dengan cepat karena ada acara yang akan mereka adakan. Malam ini Bajag dan Aisyah akan jalan-jalan. Memang masih jalan-jalan biasa, tapi siapa tahu itu akan jadi awal dari sesuatu yang luar biasa.
“Sudah siap, Aisyah?” tanya Bajag.
“Sudah, Mas. Ayo berangkat. Mumpung belum terlalu malam.” Aisyah mengangguk.
“Kamu cantik sekali, Aisyah.” Bajag menatap gadis itu tak berkedip.
“Mas Bajag bisa saja. Gombal ah.” Aisyah langsung tersipu malu. ”Ini kontak motornya.” ia memberikannya pada Bajag tanpa menoleh. Bajag hanya tersenyum saja melihatnya.
Mereka pun pergi meninggalkan komplek naik motor. Malam yang mendung tidak menyurutkan keinginan dua insan itu untuk mencoba mendekatkan hati. Walaupun tidak ada tujuan pasti mana yang harus mereka datangi. Mereka hanya ingin jalan-jalan, bukanlah untuk kencan. Bajag merasa sudah terlalu tua untuk kencan layaknya anak-anak muda. Ia bukan lagi anak remaja. Pun demikian Aisyah yang juga seorang wanita dewasa. Keinginan untuk bersenang-senang mungkin sudah tidak ada. Makanya mereka berputar-putar saja keliling pusat kota.
“Kemana enaknya, Aisyah?” tanya Bajag di tengah perjalanan.
“Ke stadion saja yuk, Mas. Sepertinya enak duduk santai disana.” kata Aisyah.
“Kamu tidak takut? Disana sangat sepi, Aisyah.” sahut Bajag.
“Kan saya bersama Mas Bajag. Pasti aman,” yakin Aisyah.
Bajag bukannya takut untuk datang dan nongkrong malam-malam di stadion. Daerah sepanjang stadion memang sangat sepi dan paling sering terjadi kejahatan. Mulai dari pemalakan, pemerasan, perampokan, sampai pemerkosaan, sudah berkali-kali terjadi di sana. Dan sampai sekarang tempat itu masih gelap, lampu-lampu banyak yang hilang dicuri orang yang butuh uang. Dulu Bajag juga sering mencuri apa saja dari stadion. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Ia sudah kapok dan tobat.
Sampai juga di stadion. Bajag membantu Aisyah turun dari motor lalu berjalan beriringan menuju sebuah bangku panjang. Disanalah mereka duduk berdua. Angin malam yang dingin langsung menerpa. Bajag membuka jaketnya dan mengenakan ke tubuh Aisyah untuk memberi rasa hangat.
“Saya belum tahu banyak tentangmu, Aisyah.” kata Bajag membuka pembicaraan.
“Saya ini hanya wanita desa, Mas. Tidak ada apa-apanya dibanding wanita-wanita kota.” jawab Aisyah.
”Ceritakan tentang keluargamu, Aisyah.” Bajag meminta.
Ia menyimak cerita Aisyah. Bajag sudah tahu kalau Aisyah adalah anak Pak Asnawi. Yang ia baru tahu adalah tentang Pak Asnawi itu sendiri. Menurut cerita Aisyah, Pak Asnawi dulunya juga pria yang bergelimang dosa. Dari Aisyah masih kecil sampai Aisyah beranjak remaja, Pak Asnawi masih seorang penjahat terkenal. Tapi menjelang Aisyah masuk SMA, Pak Asnawi berubah menjadi sosok yang pendiam dan semakin alim setelah menunaikan ibadah haji.
Sejak itu orang tidak lagi mengingat Pak Asnawi sebagai penjahat. Orang-orang kemudian lebih mengenang kedermawanan Pak Asnawi. Sampai akhirnya menjadi kepala desa Cemorosewu. Aisyah sama sekali tidak menceritakan atau memang tidak tahu cerita kalau ayahnya juga seorang pembunuh dan pemerkosa. Ironisnya korban pemerkosaan dan pembunuhan Pak Asnawi adalah ibu kandung Bajag. Dan kini Pak Asnawi mungkin sudah menerima hukuman setimpal di alam kubur setelah anak dari si korban menuntut balas dendam. Hutang nyawa dibayar nyawa dan hutang itu kini terbayar lunas.
“Itulah cerita keluargaku, Mas. Selanjutnya Mas Bajag tahu sendiri kalau ummiku kawin lagi.” kata Aisyah mengakhiri ceritanya.
“Saya kagum dengan ayahmu, Aisyah. Dari penjahat kemudian tobat. Sedangkan ayahku entah dia tobat atau belum.” gumam Bajag.
“Mas Bajag yang sabar saja. Setiap rencana Tuhan pasti ada hikmahnya.” balas Aisyah bijak.
“Kamu benar, Aisyah.” Bajag mengangguk. ”Dingin ya?” ia bertanya.
“Iya, Mas. Tapi tak apa,” Aisyah tersenyum karena hatinya terasa hangat bisa bersama orang yang dikasihi.
Bajag merengkuh bahu Aisyah dan gadis itu tidak menolak. Bajag merasakan getar yang tak biasa, bukan nafsu, tapi lebih kepada rasa sayang. Ia ingin memberi perlindungan kepada Aisyah. Dan bersama dengan Aisyah, Bajag seakan sedang bersama Zulaikha, mantan istrinya. Ia mengelus kepala Aisyah yang terbalut kerudung. Sangat terasa sekali hempasan napas Aisyah, hingga membuat Bajag jadi merinding.
“Sudah lama aku tidak merasakan suasana seperti ini, Aisyah.” Bajag berbisik.
“Maksud Mas Bajag?” tanya Aisyah tak mengerti.
“Kamu mengingatkanku pada Zulaikha, mantan istriku. Dia sama sepertimu, Aisyah.” jawab Bajag.
“Selagi Mas Bajag masih ingat mantan istri, berarti ada harapan suatu saat Mas pasti bertemu lagi dengannya.” sahut Aisyah.
“Aku selalu berharap seperti itu, Aisyah.” Bajag mengaku. ”Sepertinya gerimis. Mau pulang sekarang?” tanyanya kemudian sambil melihat langit.
“Iya. Ayo pulang, Mas.” angguk Aisyah.
Namun mereka tidak benar-benar pulang, lebih tepatnya mereka hanya meninggalkan stadion. Hujan sudah terlalu deras dengan disertai angin kencang.
“Berteduh di loket itu saja, Mas.” kata Aisyah sambil menunjuk sebuah bangunan loket di pintu masuk stadion.
Karena cukup jauh, praktis mereka harus berlari untuk bisa sampai, otomatis pula mereka basah kuyup. Bajag sudah biasa, tapi tidak demikian dengan Aisyah; gadis itu menggigil dengan wajah pucat.
“Pasti nanti kamu masuk angin, Aisyah.” kata Bajag kuatir.
“Sekarang saja perutku sudah mual, Mas.” Aisyah berkata lirih.
“Jadi bagaimana, mau memaksa pulang?” tanya Bajag.
“Sudah kepalang basah, mandi sekalian, Mas. Pulang saja.” Aisyah memutuskan.
Bajag tidak punya pilihan selain membonceng Aisyah pulang. Jalanan benar-benar sepi. Tidak ada satupun kendaraan ataupun manusia yang berani menantang hujan selain mereka berdua.
“Pegangan yang erat, Aisyah.” Bajag memberi perintah.
Ketika dirasakan lengan Aisyah sudah melingkar erat di pinggangnya serta tubuh gadis itu melekat di punggungnya, ia menggeber gas kuat-kuat untuk melesat kencang menembus tajamnya rinai-rinai hujan. Di tengah jalan, Bajag merasa menabrak sesuatu. Namun karena terlalu gelap, ia tidak bisa melihat apa itu. Terlalu riskan untuk mengerem disaat laju motor seperti jet. Aisyah sendiri semakin merapatkan tubuhnya.
Sesampainya di rumah, Bajag segera membopong tubuh Aisyah yang semakin lemah tak berdaya. Celakanya lagi, kamar Aisyah ternyata bocor. Bajag pun terpaksa membawa Aisyah ke kamarnya sendiri.
“Kupanggilkan dokter ya, Aisyah.” kata Bajag panik. Setelah membaringkan Aisyah, ia bermaksud keluar untuk mencari dokter.
Tapi Aisyah mencekal lengannya, menahan langkahnya. “Tidak usah, Mas. Saya minta tolong dikerokin saja.” kata gadis cantik itu.
“Tapi, Aisyah…” seru Bajag bimbang.
“Saya percaya Mas Bajag tidak akan menyakiti saya. Tolong ya, Mas,” pinta Aisyah pelan dan melas.
“Baiklah, Aisyah.” Bajag akhirnya mengangguk setuju. ”terima kasih kamu percaya padaku.”
Aisyah pun berbalik tengkurap, memasrahkan punggungnya untuk dikerok oleh Bajag. Anehnya, Bajag sama sekali tidak merasakan birahi kali ini. Padahal ia bebas memandangi tubuh mulus Aisyah dengan begitu rupa. Mungkin ini karena pengaruh benih kasih yang mulai tumbuh. Hingga membuat Bajag hanya merasa iba hati melihat Aisyah yang pasrah sedemikian rupa kepada dirinya.
Bajag bersumpah tidak akan menyakiti Aisyah. Aisyah juga sadar sepenuhnya membuka bajunya yang basah dan menutupi tubuh bagian bawahnya dengan selimut, sementara bagian atas dari kepala sampai pinggul dibiarkan telanjang. Bajag mulai mengerok punggung Aisyah sementara Aisyah hanya bisa meronta-ronta kecil. Untuk pertama kalinya, Bajag menang saat berperang melawan setan. Setan jahanam yang menggoda imannya ia berantas sampai tuntas, sampai tidak ada lagi setan yang berani mengganggunya.
“Jangan meronta terlalu keras, Aisyah. Nanti selimutmu jatuh.” kata Bajag.
Aisyah menahan selimut dengan kedua tangannya agar tidak jatuh, agar tidak mengundang nafsu Bajag. punggung yang awalnya putih mulus semurni susu, kini berubah warna menjadi garis-garis merah. Belum selesai dikerok, Aisyah sudah lebih dulu muntah, mengeluarkan isi perutnya.
“Kerok sampai bawah, Mas. Anginnya mulai keluar.” kata Aisyah dengan tubuh gemetar.
Bajag mengikuti alur punggung Aisyah sampai bawah, terpaksa menyingkap sedikit selimut gadis itu agar bisa mengeroki hingga pangkal paha. Hingga selesai sudah.
Aisyah berbalik telentang dengan keringat bercucuran. Bajag membetulkan tali kutang Aisyah tanpa sedikitpun menyentuh buah dada yang membuncah indah itu. Namun ia perlu meminta ijin untuk memasangkan celana panjang. Aisyah sudah memasang sendiri celana dalamnya dari balik selimut. Aisyah tersenyum mengangguk.
“Sekarang tidurlah, Aisyah. Biar panasmu turun.” kata Bajag penuh rasa lega.
“Mas Bajag tidur saja disini. Saya ikhlas, Mas.” balas Aisyah.
“Baiklah, Aisyah. Selamat tidur ya,” Bajag berbisik lirih.
Ia pun membaringkan diri disamping Aisyah dan membiarkan gadis itu membenamkan kepala ke dadanya. “Aisyah, ya, Aisyah… sungguh sempurna dirimu!” batin Bajag dalam hening. Aisyah mungkin sudah terlarut dalam mimpi karena tidak bergerak sama sekali saat Bajag mencium keningnya. Ciuman yang menjadi penghantar tidur malam itu.
***
Pagi-pagi sekali Bajag sudah menghadap Pak Camat. Ia hendak membicarakan keputusan maha penting yang telah dipertimbangkan masak-masak sejak semalam. Tapi Pak Camat sudah berangkat kerja ke kantor shubuh tadi, begitu yang disampaikan Murti kepadanya.
“Lho, kupikir Mas Joko berangkat bareng kamu, Jag?” kata Murti heran.
“Tidak, Mur. Ini malah aku ingin ketemu dan bicara dengan Pak Camat.” sahut Bajag.
“Mas joko sudah pergi. Aku saja yang istrinya tidak tahu jam berapa suamiku berangkat,” ketus Murti seperti biasa.
Semakin bulat saja keputusan Bajag. Pak Camat semakin sering berangkat kerja sendiri, semakin tidak membutuhkannya lagi. Terhitung sudah sebulan ini Pak Camat tidak menggunakan tenaganya lagi. Bajag yakin Pak Camat memang punya maksud tersembunyi.
“Mungkin kamu bisa sampaikan padaku, Jag. Nanti kuteruskan ke Mas Joko.” kata Murti.
“Tidak, Mur. Biar aku bicara langsung dengan Pak Camat.” kata Bajag.
“Ada masalah apa antara kamu dengan Mas Joko? Ayo ceritakan saja,” Murti mendesak.
“Sama sekali tidak ada masalah, Mur.” Bajag menggeleng. ”Kamu bersiap saja. Kutunggu di mobil ya,” iapun pergi keluar.
“Jag!” Murti memanggil.
Bajag tidak mempedulikan panggilan itu. Tentu saja sikapnya ini membuat Murti jadi kelabakan dan berpikir ada apa gerangan. Murti gelisah dan takut kalau-kalau suaminya membuat masalah yang menyebabkan Bajag marah. Murti khawatir karena bisa saja suaminya celaka. Bagaimanapun, Bajag adalah mantan bajingan dulu. Dengan hati gamang, Murti meneruskan tugas sebagai ibu rumah tangga sebelum mandi. Setengah jam kemudian, iapun sudah siap dan menyambar tasnya lalu menghampiri Bajag.
“Ayo jujurlah, Jag. Jangan membuatku takut,” desak Murti di dalam mobil.
“Mur, sudah kubilang berkali-kali, masa kamu tidak dengar? Tidak ada apa-apa antara aku dan suamimu. Titik!!!” hardik Bajag tiba-tiba.
Murti langsung mengkerut dibentak begitu oleh Bajag. Ia sama sekali tidak menduga Bajag akan begini emosi. Tidak seperti hari-hari biasanya. Tidak ada tawa dan canda, malah suasana mencekam yang terasa. Murti dicekam berbagai rasa yang membuatnya tidak sanggup lagi berkata-kata. Sampai tiba di tempatnya kerja, Bajag tak kunjung menunjukkan tanda-tanda membaik. Wajah Bajag dilihatnya murung dan bingung. Yakinlah Murti bahwa memang ada yang tidak beres.
“Tunggu sebentar, Jag. Aku mau ikut kamu ke kantor kecamatan.” kata Murti tiba-tiba.
Barulah saat itu Bajag menoleh agak kaget. Tapi Murti keburu keluar dari mobil dan berjalan cepat menuju gedung sekolah. Bajag terpaksa menunggu sesuai perintah Murti. Belum sempat Bajag menenangkan diri, Murti telah kembali lagi.
“Ayo berangkat, Jag.” kata istri Pak Camat itu.
“Tapi, Mur…” Bajag terlihat bimbang.
“Berangkat!!!” potong Murti cepat.
Kini giliran Bajag yang kaget dibentak oleh Murti. Namun ia harus segera berangkat sebelum Murti bertindak nekad. Perjalanan terasa lama dan membosankan. Bajag merutuk dalam hati kenapa ia harus membuat Murti sakit hati. Pasti Murti marah oleh sikapnya hari ini yang serba kaku.
“Maafkan aku, Mur.” kata Bajag sambil terus menyetir.
“Sudah kumaafkan,” balas Murti ketus.
“Belum. Kamu masih marah kan?” tanya Bajag.
“Aku memang marah. Tapi bukan padamu, Jag.” terang Murti.
“Syukurlah. Senyum dong,” Bajag berusaha mencairkan suasana.
Murti tersenyum sekedar menyenangkan hati Bajag. Lalu pandangannya kembali lurus ke depan dan tidak menoleh kemana-mana sampai tiba di kantor kecamatan.
“Perlu kuantar sampai dalam?” tawar Bajag.
“Tidak usah. Biar aku sendiri saja.” Murti melangkah memasuki paseban kantor dan terus menyusuri koridor hingga berhenti di depan ruang kerja suaminya. Ia mengetuk pintu tiga kali lalu mendorong perlahan pintu sampai terbuka. Murti masuk dan berdiri terpaku. Tidak ada nampak suaminya. Tentu kedatangannya yang mendadak membuat kalang kabut pegawai yang ada di ruangan itu.
“Selamat pagi, Bu Camat,” kata beberapa pegawai menyambut kedatangannya. Sementara sebagian pegawai yang lain berbisik-bisik.
Murti tidak peduli bisik-bisik itu. “Selamat pagi juga. Mana Pak Camat?” tanyanya kaku.
“Waduh, Bu. Pak Camat malah belum datang,” kata salah seorang pegawai.
“Jadi Pak Camat belum ngantor?” tanya Murti mulai was-was.
“Pas Kami datang, Pak Camat tidak ada, Bu. Tapi coba ibu tanyakan ke Dewi.” kata pegawai itu.
“Baiklah. Terima kasih.” Murti mengangguk. ”Dewi, kumohon ikut aku sebentar saja.” ia memanggil gadis itu.
“Baik, Mbak Murti.” jawab Dewi penuh kebingungan.
Murti membawa Dewi menuju mobil dan disanalah ia menginterogasi Dewi dengan beragam pertanyaan yang berfokus pada seputar kegiatan Pak Camat. Bajag hendak keluar tapi Murti memintanya tetap di dalam. Jadilah Bajag ikut mendengar perbincangan antara Murti dan Dewi.
“Benarkah suamiku belum ke kantor?” tanya Murti.
“Benar, Mbak.” Dewi mengangguk.
“Aneh, padahal Pak Camat sudah berangkat sejak shubuh tadi.” Murti tampak berpikir keras.
“Saya sungguh-sungguh tidak tahu, Mbak.” kata Dewi.
“Kamu pernah bilang memergoki mobil suamiku di perumahan residence. Bisakah kamu jelaskan lebih detil?” tuntut Murti.
“Oh itu. Memang benar. Seingat saya waktu itu mobil Pak Camat ada di rumah paling ujung blok A.” jawab Dewi.
“Kamu kenal pemilik rumah itu?” tanya Murti.
“Tidak, Mbak. Mungkin Bajag tahu karena pasti dia pernah ngantar Pak Camat kesana.” Dewi menoleh pada Bajag.
“Percuma minta informasi ke Bajag. Dia sudah kongkalikong dengan suamiku.” ketus Murti sengit. Bajag hanya diam saja disindir seperti itu.
Bersambung…