Bajag kaget bukan kepalang mendengar pintu rumahnya diketuk berkali-kali oleh seseorang. Semakin keras saja ketukan itu membuat Bajag merasa marah. Ia melompat dari tempat tidur dan menerjang pintu bermaksud hendak mengumpat tamu yang menurutnya tidak sopan. Tapi setelah tahu siapa yang bertamu di siang bolong begini, ia urung mengumpat.
“Pak Camat. Silahkan masuk, Pak.” katanya kemudian.
Pak Camat masuk dan langsung duduk. Sempat memandangi Bajag cukup lama lalu menghela napas dan membuang muka keluar. “Kenapa semua bisa terbongkar, Jag?” tanyanya tiba-tiba.
“Maksud Pak Camat?” Bajag tak mengerti.
“Murti sudah tahu. Murti sudah memergoki aku.” kata laki-laki itu.
“Demi Tuhan! Saya tidak membocorkan rahasia itu, Pak.” sumpah Bajag.
“Lalu dari siapa lagi Murti sampai bisa tahu?” Pak Camat tampaknya tak percaya.
“Jadi Pak Camat menuduh saya?” tanya Bajag. ”Dimana Murti?” tanyanya lagi.
“Masih pingsan.” kata Pak Camat. ”Saya sama sekali tidak menuduhmu, Jag. Jangan marah.”elaknya.
“Terus terang saya kecewa dengan Pak Camat. Sebenarnya tadi pagi ada yang ingin saya bicarakan dengan bapak. Saya sudah mengambil keputusan untuk berhenti, Pak.” kata Bajag.
“Jangan, Jag. Saya masih membutuhkanmu.” cegah Pak Camat.
“Saya sudah tidak diperlukan lagi, Pak. Dan dengan tuduhan bapak terhadap saya, semakin bulat niat saya.” kata Bajag dingin.
“Sabar, Jag. Kita bicarakan ini dengan kepala dingin.” Pak Camat masih berusaha membujuk.
Bajag terdiam, lalu kemudian mengangguk. “Kita tunggu sampai Murti siuman biar semua jelas.” katanya lagi.
Bajag ikut ke rumah Pak Camat dan bersama-sama Pak Camat menunggu Murti siuman. Bajag sangat terpukul. Kekhawatirannya terbukti. Murti telah sampai pada puncak penderitaan sehingga nekad menyatroni Pak Camat di rumah Mbak Ayu. Murti tidak bisa disalahkan. Bajag juga tidak mau disalahkan. Yang patut disalahkan adalah Pak Camat dan teringat tuduhan Pak Camat terhadapnya, Bajag menahan tinju dengan geram. Ingin sekali ia menghajar wajah lelaki tua itu biar tahu rasa, biar tahu akibatnya kalau mempermainkan hati sahabat kecilnya.
Murti mulai menunjukkan tanda-tanda siuman. Tubuhnya bergerak-gerak dan matanya setengah terbuka. Murti sempat bengong sesaat dan memperhatikan keadaan sekitar. Sadarlah ia dimana kini berada. Ia segera membuka mata lebar-lebar dan spontan berteriak histeris begitu melihat wajah-wajah yang ada di sekitarnya.
“Kita cerai, Mas! Ceraaaiiiii!!!” teriaknya kencang sambil melempar apa saja ke arah Pak Camat. Bantal, guling, selimut, cermin, dan semua isi kamar beterbangan dan berserakan, pecah berkeping-keping di lantai kamar.
Murti menerjang Pak Camat dengan pecahan kaca di tangannya. Untung Pak Camat sigap menghindar dan Bajag menghadang Murti, memegangi Murti yang terus meronta liar. “Aku benci kamu, Mas. Kejam!” teriaknya terus-terusan mengumpat Pak Camat dengan seribu caci maki.
Pak Camat menampar wajah Murti, membuat Murti semakin beringas. Bajag tidak mau ikut campur dengan apa yang terjadi antara suami istri itu. Bajag sempat menatap geram ke arah Pak Camat, membuat Pak Camat keder dan ciut nyali. Pak Camat segera sadar kalau Bajag bisa ikut beringas bila melihat Murti disakiti. Bajag segera keluar kamar dan begitu ia keluar, pintu kamar tertutup. Entah apa yang kemudian terjadi di dalam kamar itu, ia tidak mau tahu.
Murti semakin menderita sepeninggal Bajag. Pak Camat tiada henti menampar wajahnya berkali-kali, memukuli tubuhnya sampai jatuh bangun, menghajarnya hingga tersungkur. Tapi Murti menerima semua dengan tegar. Badan memang terasa sakit, tetapi hati lebih sakit lagi.
“Jahanam kamu, Mas!” ia mengumpat sekali lagi.
“Katakan siapa yang memberitahumu!” Pak Camat menjambak rambut Murti dan mengancam.
“Tidak akan saya katakan.” jerit Murti.
“Siapa dia, Murti?!” tanya Pak Camat lagi.
“Tidak akan, Mas. Sekalipun Mas membunuhku, tidak akan pernah.” ancam Murti.
“Keras kepala!” maki Pak Camat.
Murti menjerit-jerit ketika Pak Camat mengguntingi rambutnya. Tak cukup sampai situ, Pak Camat juga merobek celana dalam Murti dan mencabuti bulu-bulu kemaluannya, membuat Murti berlinang air mata perih. Sakit. Namun penderitaan belum berakhir. Pak Camat dengan cepat menelanjanginya, lalu mengikat kedua tangan dan kaki Murti. Dalam keadaan tak berdaya, Pak Camat membabi buta menggumuli Murti bagai binatang.
”Ahh…” Murti hanya bisa menjerit dalam hati karena mulutnya telah dikunci dengan ciuman liar. Pak Camat berubah menjadi binatang. Ia rasakan penis Pak Camat masuk ke dalam liang vaginanya secara paksa, dan mengoyak-ngoyak dengan brutal disana, tidak membiarkan Murti menikmati karena dirinya diselimuti rasa kesal yang mendalam terhadap perempuan cantik itu.
”Auw! Ahh… s-sakit!” rintih Murti sementara Pak Camat terus memperkosanya secara membabi buta. Laki-laki itu tanpa ampun menggerakkan batang penisnya mundur maju berkali-kali hingga membuat tubuh Murti mulai menegang. Ia merasakan wajah Pak Camat mendekat untuk mencumbunya, segera Murti menghindar dengan menggerakkan kepalanya menyamping, menggeleng-geleng.
Plak! Pak Camat langsung memukulnya dan mengancam, ”Diam! Atau kubunuh kamu!”
Tak terhindarkan, karena sakit dan juga ketakutan, Murti membiarkan Pak Camat kembali mengulum bibirnya, namun ia tak sudi bereaksi terhadap ciuman laki-laki tua itu. ”Auw!” Murti juga menjerit begitu merasakan tangan-tangan Pak Camat yang meraba-raba dan meremas payudaranya dengan kasar, sebelum kemudian tangan itu bergerak ke arah lehernya.
Tamatlah aku, dia ingin mencekikku sampai mati, batin Murti dalam hati. ”Aah… jangan, Mas, jangan bunuh aku!” ia menangis menghiba.
”Bwahaha!” Pak Camat tertawa mengejek, dan bersamaan dengan itu menghunjamkan penisnya semakin cepat.
”Arghh…!!” teriak Murti penuh kesakitan. Tubuh mulusnya tampak membilur-bilur memerah karena siksaan Pak Camat, sementara liang vaginanya mengeluarkan darah segar karena lecet. Sungguh sangat sakit sekali.
Setelah merasakan siksaan lahir batin berkali-kali, Murtipun jatuh lagi dalam dunia ilusi. Ia pingsan kembali sementara Pak Camat terus menyetubuhinya sampai puas. Sampai spermanya muncrat memenuhi liang rahim Murti.
***
Bajag gelisah di rumahnya. Kedatangan Aisyah tidak sanggup mengusir sedihnya. Ia sedih membayangkan kehidupan Murti. Sayup-sayup ia mendengar teriakan dan ratapan Murti yang kini telah berhenti. Hatinya bagai tersayat belati. Ia ikut membenci Pak Camat. Sempat terbersir keinginan di hati untuk melenyapkan Pak Camat agar Murti bebas dari derita. Tanpa sadar ia menggebrak meja, membuat Aisyah kaget.
“Ada apa, Mas Bajag?” tanya gadis cantik itu.
“Maaf, Aisyah. Aku hanya kesal.” jawab Bajag.
“Kesal pasti ada sebabnya.” balas Aisyah.
Bajag tersenyum menerima secangkir kopi dari Aisyah. Kegelisahannya sedikit berkurang meski tidak sepenuhnya hilang. Ia menyeruput sedikit kopi yang masih panas itu. “Aisyah mau tahu sebabnya?” katanya kemudian.
“Kalau Mas Bajag tidak keberatan cerita pada saya.” kata Aisyah.
“Saya keberatan,” sahut Bajag.
“Ya nggak usah cerita,” tutur Aisyah dengan wajah kecut.
“Aisyah, bagaimana kalau kamu yang membuatku kesal?” pancing Bajag.
“Saya hanya bisa katakan maaf dan janji tidak akan lagi membuat Mas Bajag kesal.” jawab Aisyah kalem.
“Cuma itu?” kejar Bajag.
“Mas Bajag maunya apa?” ganti Aisyah yang menantang.
“Kena juga kamu. Aku cuma bercanda kok,” Bajag tersenyum.
Ia mendapat hadiah dari Aisyah berupa cubitan berbisa. Kebetulan sinema siang di televisi menampilkan adegan cinta. Aisyah menunduk malu. Bajag tersenyum mau. Tapi belum saatnya adegan cinta itu ditiru. Bajag merubah saluran ke berita tanpa mempedulikan raut wajah Aisyah yang merengut kecewa. Mereka berebut remote control tapi demi keamanan, maka Bajag mengalah.
“Berita di negeri ini cuma korupsi, Mas. Bosan.” kata Aisyah mengomentari acara di tv.
“Saya juga bosan nonton sinetron yang isinya rebutan harta, rebutan wanita, dan perselingkuhan.” balas Bajag.
“Tergantung selera dong,” Aisyah tampak tak mau kalah.
Bajag menggelitik telapak kaki Aisyah, membuat Aisyah tertawa geli dan melipat kakinya menjauh dari jari-jari usil Bajag. Dengan kaki terlipat, maka paha Aisyah terlihat mengkilat. Bajag silau dan tak tahan untuk tidak menjahili paha itu. Tapi belum sempat niat itu terlaksana, Aisyah sudah lebih dulu menutup pahanya dan mencibir kenakalan Bajag.
“Baru boleh kalau sudah nikah, Mas.” katanya menjelaskan.
“Kamu mau nikah dengan duda sepertiku?” tanya Bajag tak percaya.
“Kalau memang cinta, apa hendak dikata.” jawab Aisyah sambil tersenyum.
“Berarti kamu cinta aku ya?” tanya Bajag meyakinkan.
Aisyah menghela napas dan memandang Bajag. “Sejujurnya tujuan utamaku tinggal disini adalah untuk bisa mengenal Mas Bajag lebih dekat.” terangnya.
“Aku suka kejujuranmu, Aisyah. Aku juga sebenarnya ingin dekat denganmu.” balas Bajag.
“Gombal,” Aisyah kembali mencibir.
Biar di bibir bilang gombal, tapi dalam hati sesungguhnya Aisyah menganggap semua itu benar karena secara fisik Aisyah sadar ia telah dekat dengan Bajag. Tinggal meyakinkan batin. Belenggu jiwa telah terpasang diantara hati mereka berdua.
“Aisyah?” bisik Bajag di telinga gadis cantik itu sambil berupaya memeluknya.
Gadis itu tertunduk malu, dan segera menutup mata saat Bajag mengangkat dagunya dan menciumnya tepat di bibir. Terasa lidah Bajag yang kasar mencoba mendesak masuk ke dalam mulut Aisyah. Sebenarnya Aisyah ingin menolak, tapi dorongan dari dalam hatinya tidak dapat berbohong. Iapun balas melumat bibir Bajag dan malahan tangannya meraih pundak laki-laki itu agar tubuh mereka semakin menempel hingga ciuman mereka menjadi terasa nikmat.
”Hmph… hmm…” Ciuman Bajag kini menjadi semakin buas. Dari bibir, Bajag turun ke leher dan menggerakkan lidahnya disana, berupaya menjelajahi leher Aisyah yang jenjang. Sambil berciuman, tangannya meraih kancing baju gadis itu dan mulai melepaskannya satu persatu. Lembut Bajag menelusuri gundukan dada Aisyah yang bulat padat, terasa sangat halus dan mulus sekali benda kembar itu. Melenguh dalam hati, Bajag tak menyangka kalau akan begitu menyukainya.
“Cukup disitu saja, Mas,” bisik Aisyah lemah dan pasrah ketika Bajag mulai menjajah di sekitar wilayah perutnya.
Bajag menurut, sama sekali tidak keberatan hanya diberi jatah sampai di situ saja. Sudah merupakan suatu keberuntungan baginya bisa diijinkan menikmati dada Aisyah yang ranum, yang tidak sembarang lelaki bisa mendapatkannya. ”Kamu cantik, Aisyah.” ujar Bajag lembut sambil menatap mata lentik Aisyah.
”Ahh…” tidak menjawab, Aisyah malah mengerang saat Bajag meremas-remas gundukan payudaranya semakin gemas. Ia melenguh agak keras dan Bajag pun semakin giat meremas-remas dadanya yang montok itu.
Perlahan Bajag melepaskan ciumannya dan memandangi Aisyah yang kini duduk hanya dengan mengenakan bra hitam dan rok panjang selutut. Ia memandanginya tanpa berkedip, terlihat begitu mengagumi kecantikan dan pesona tubuh sintal gadis itu. Aisyah yang malu dipandangi seperti itu segera menunduk dan berupaya menyilangkan tangan di depan dada untuk sekedar menutupi apa yang ada.
Bajag yang tak ingin kesempatannya menghilang, segera bergerak cepat dengan kembali memeluk tubuh mungil Aisyah dan melumat bibirnya dengan begitu rakus. Sambil ber-french kiss ria, tangannya dengan cekatan melepas kaitan bra Aisyah yang sudah melonggar. Kini dada Aisyah benar-benar telanjang bulat. Bajag langsung mengarahkan tangan kesana dan mulai meremasi kedua payudara Aisyah secara bergantian. Aisyah memilih untuk memejamkan mata saja menikmatinya.
”Auw! Mas!” rintih Aisyah saat merasa putingnya yang sudah tegang akibat nafsu tiba-tiba menjadi basah.
Ternyata Bajag sudah asyik menaruh mulut disana, menjilatinya dengan lidahnya yang panjang dan tebal, menghisapnya begitu rakus bagai anak kecil yang haus akan sentuhan air susu ibu. ”Uhh…” tentu saja perbuatan itu membuat Aisyah jadi menggelinjang geli karenanya. Tanpa terasa ia mengeluarkan erangan yang lumayan keras, yang mana itu malah membuat Bajag jadi semakin bernafsu.
”Aisyah, kamu seksi sekali. Badan kamu bagus, terutama yang ini…” bisik Bajag sambil memelintir puting Aisyah yang semakin mencuat dan menegang. Berkali-kali pula ia melumat, mencium, menarik dan menghisap-hisapnya secara bergantian, kiri dan kanan.
”Ahh… Mas… gelii…!” balas Aisyah manja. Ia hanya dapat mengelus dan menjambak rambut Bajag dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya berusaha berpegangan pada sandaran kursi untuk menopang tubuhnya agar tidak jatuh ke depan.
Aisyah merasa badannya mulai mengejang serta cairan vaginanya terasa mulai meleleh keluar, sementara Bajag terus mengerjai bagian depan tubuhnya hingga mereka sama-sama mendesah lemah tak lama kemudian. Tampak noda hitam membekas di depan celana Bajag yang menggembung besar, yang dipandangi oleh Aisyah dengan penuh rasa jengah sekaligus penasaran. Sementara Aisyah sendiri juga merasa celana dalamnya menjadi begitu basah, namun tentu saja Bajag tidak bisa mengetahuinya karena itu tersembunyi di balik gaun.
Terengah-engah, mereka sama-sama puas meski tidak sampai saling memasukkan. Cuma meraba-raba dan saling bersentuhan, itu sudah cukup bagi keduanya untuk saat ini. Aisyah memejamkan mata dan memeluk Bajag dengan tubuh setengah telanjang. Dibiarkannya Bajag terus membelai dan meremas-remas gundukan payudaranya yang besar, sampai Bajag puas dan lelah hati datang melanda beberapa saat kemudian.
“Tok-tok-tok!!” terdengar ketukan pelan di pintu depan.
Bajag dan Aisyah terperanjat dan segera mengenakan pakaian masing-masing. Mereka berpandangan sejenak sebelum Aisyah lari masuk ke dalam kamarnya, sedang Bajag bergegas ke depan untuk membukakan pintu dan melihat siapa yang datang. Ternyata Ningsih.
“Selamat sore, Jag.” sapa tetangga sekaligus teman Bajag itu.
“Ningsih, kukira siapa. Ayo masuk.” balas Bajag.
“Tidak usah. Ngobrol di teras saja lebih enak.” kata Ningsih.
“Baiklah. Kupanggil Aisyah dulu ya.” sahut Bajag.
“Tidak perlu. Aisyah pasti masih istirahat. Kita ngobrol berdua saja.” sela Ningsih.
“Ya sudah. Bagaimana kesanmu dengan suasana komplek?” tanya Bajag membuka obrolan saat mereka sudah duduk di teras.
“Memang tidak seperti dulu saat kita masih kecil. Tapi aku sungguh senang bisa kembali kesini, Jag. Kembali ke tanah kelahiranku.” jawab Ningsih.
“Jadi nostalgia nih,” Bajag tersenyum.
“Mauku sih begitu. Tapi rupanya anak-anak sebaya kita sudah pada kawin semua. Jadi malas mau main ke rumah mereka.” kata Ningsih.
“Makanya buruan kawin juga. Kita seusia, Ningsih. Aku saja sudah jadi duda.” balas Bajag.
“Hahaha, biar duda tapi kamu masih keren, Jag. Pria idamanku ya yang seperti kamu.” kata Ningsih dengan muka bersemu merah.
”Tidak baik membanding-bandingkan orang. Kesibukanmu apa, Ningsih?” Bajag berupaya mengalihkan topik.
“Macam-macam.” jawab Ningsih. ”Tapi aku paling sibuk kalau sudah memikirkan seseorang.”
“Siapa itu?” tanya Bajag penasaran.
“Kamu,” jawab Ningsih pendek.
Bajag tertawa mendengar kata-kata Ningsih yang dianggapnya lelucon belaka. Tawanya sampai terdengar ke dalam rumah, memancing aisyah untuk keluar dari kamarnya dan mengintai apa gerangan yang membuat Bajag tertawa. Demi melihat Bajag berdua dengan Ningsih, Aisyah seakan tidak rela. Tapi ia tidak cemburu buta. Ia biarkan saja Bajag bersama Ningsih sementara ia sendiri mencari kesibukan di dapur.
Aisyah merasa aneh melihat rumah Pak Camat yang sepi. Aisyah juga aneh dengan ketidak-munculan Murti sejak tadi pagi. Rekan sesama gurunya itu tidak mengajar, malah meminjam motornya dan pergi entah kemana. Sampai sekarang motornya belum kembali. Aisyah coba menghubungi handphone Murti tapi tidak aktif. Maka ketika Bajag datang menghampirinya, Aisyah langsung bertanya.
“Sudah selesai ngobrolnya dengan Mbak Ningsih?” tanyanya dengan nada sedikit ketus.
“Sudah. Ningsih sudah pulang.” jawab Bajag tanpa merasa bersalah.
“Apa Mas Bajag tahu apakah Bu Murti juga sudah pulang?” tanya Aisyah lagi.
“Aisyah, kamu belum tahu apa yang menimpa Murti?” bukannya menjawab, Bajag malah balik bertanya.
“Belum, Mas. Cuma Bu Murti tadi pagi tidak mengajar dan meminjam motorku. Eh sampai sekarang motorku belum balik.” seru Aisyah.
“Murti sedang susah, Aisyah. Dia bertengkar hebat dengan Pak Camat.” jelas Bajag.
“Lho, masalahnya apa, Mas? Bukankah mereka rukun-rukun saja?” tanya Aisyah tak percaya.
“Murti memergoki Pak Camat selingkuh dengan istri mudanya. Makanya mereka bertengkar dan Murti minta cerai.” jawab Bajag.
“Benarkah begitu, Mas?” Aisyah melongo.
“Benar. Dan motormu masih ada di perumahan Residence. Nanti kuambil ya?” tawar Bajag.
“Sungguh menyesal kalau mereka sampai cerai ya, Mas.” Aisyah menggeleng-gelengkan kepala.
Bajag mengangguk. “Oh ya, Aisyah, aku juga sudah berhenti kerja di rumah Pak Camat.” Ia memberi tahu.
“Apa ada kerjaan lain, Mas? Bagaimana dengan hutang Mas Bajag ke Pak Camat?” tanya Aisyah.
“Akan kuusahakan, Aisyah. Apalagi hutang itu juga menyangkut rumah ini.” kata Bajag penuh tekad.
“Mas Bajag, saya ada sedikit tabungan yang bisa mas pakai. Saya ikhlas, Mas.” kata Aisyah.
“Kamu sudah terlalu banyak berkorban, Aisyah. Simpan saja uangmu ya,” tolak Bajag.
“Saya hanya tidak ingin rumah ini jatuh ke tangan orang lain, Mas. Aku sudah anggap ini rumahku sendiri.” sahut Aisyah.
“Tidak akan pernah, Aisyah. Rumah ini akan tetap milikku, dan jika Tuhan mengijinkan, akan jadi milikmu juga. Milik kita.” kata Bajag sambil tersenyum dan memandang Aisyah penuh cinta.
“Makanya kubantu bayar ya hutang Mas Bajag ke Pak Camat.” Aisyah membalas senyum itu.
Bajag mengacak rambut Aisyah dengan gemas. Ia memeluk Aisyah dari belakang, mencium kepala gadis itu. “Adakah perasaan itu di hatimu, Aisyah?” tanya Bajag.
Aisyah berbalik dan balas memeluk Bajag, menyembunyikan wajah ayunya di balik ketiak Bajag. “Rasa itu sudah tumbuh sejak kali pertama saya melihat Mas Bajag. Dan kengototan saya pindah kemari semata demi rasa itu, Mas.” terang Aisyah.
Mereka berpelukan semakin erat seakan tidak memberi ruang bagi makhluk apapun menghalangi hangatnya pelukan itu. Mereka tidak peduli pada bau gosong ikan teri. Mereka hanya peduli pada perasaan hati.
“Apakah aku masih layak dan pantas, Aisyah?” kata gatot bertanya.
“Bagiku lebih dari pantas, Mas. Menjalani hidup bersama Mas Bajag adalah impianku.” jawab Aisyah lugas.
“Bagaimana jika mimpimu itu tidak terwujud?” tanya Bajag.
“Saya akan sangat membenci Mas Bajag. Aku kan sudah memberikan apapun, Mas.” yakin Aisyah.
“Aku akan mewujudkan mimpimu, Aisyah, tapi tidak sekarang. Sabar ya?” jawab Bajag.
Dua hati telah bicara. Maka lebih mudah untuk meneruskan semua yang tertunda. Bajag memagut bibir Aisyah dan lebur dalam ciuman membara. Hanya sekedar berciuman karena Bajag sudah bersumpah untuk tidak merusak kesucian Aisyah sampai pada saatnya nanti tiba. Setelah puas, merekapun melepaskan pelukan. Aisyah mengangkat ikan teri yang hangus sementara Bajag mengisi air di bak mandi.
***
Kekhusyukan sholat maghrib Bajag yang berjamaah dengan Aisyah buyar ketika dikejutkan oleh teriakan dan raungan sangat keras dari rumah Pak Camat. Bajag sangat hapal itu adalah suara Murti. Ternyata bukan hanya Bajag saja yang mendengar, tetapi hampir semua tetangga yang berdekatan dengan rumah Pak Camat juga mendengar. Bajag mengajak Aisyah untuk melihat apa yang terjadi. Ia berkerumun bersama puluhan warga komplek yang memenuhi halaman rumah Pak Camat. Beberapa orang mencoba membuka pintu rumah yang terkunci, sementara raungan Murti dari dalam rumah tidak kunjung berhenti. Orang-orang semakin panik dan berpikir macam-macam, menduga-duga apa yang terjadi dalam rumah itu.
Bajag mendekat dan orang-orang memberinya jalan. “Dobrak saja pintunya, Jag!” beberapa warga memberi usul.
“Sabar, Pak. Siapa tahu Murti dengar suara saya,” Bajag mengetuk pintu berkali-kali sambil berteriak-teriak memanggil Murti. Tapi sampai suaranya serak, pintu tak kunjung terkuak. Sementara orang-orang mulai tidak sabar.
Bajag juga hilang kesabaran karena di dalam sana murti makin histeris. Lima orang pemuda coba mendobrak pintu tapi tidak berhasil. Cuma Bajag yang tahu seberapa kuat dan tebalnya daun pintu rumah Pak Camat, juga cuma Bajag seorang yang tahu kunci bagian dalam dari pintu rumah Pak Camat. Ia meminta lima orang pemuda itu menyingkir. Ia mundur jauh ke belakang dan mengumpulkan tenaga lalu berlari cepat menerjang pintu itu. Sukses, daun pintu itu bukan cuma terbuka, tapi sampai patah jadi dua bagai di gergaji. Orang-orangpun percaya bahwa Bajag masih punya kekuatan yang hebat meski sudah tobat.
Beberapa orang tua bergegas masuk dan langsung menuju kamar dimana sumber suara Murti. Sekali lagi Bajag mendobrak pintu dan semuanya berdiri terpaku menyaksikan apa yang terjadi di dalam kamar. Murti langsung menghambur memeluk Bajag dan Bajag langsung membawa Murti ke rumahnya dengan ditemani oleh Aisyah dan Ningsih.
“Aisyah, Ningsih, tolong jaga Murti ya. Usahakan agar dia tenang,” kata Bajag lalu kembali lagi ke rumah Pak Camat.
“Pak Camat gantung diri! Pak Camat bunuh diri!!”
Berita itu langsung menyebar luas. Bukan hanya warga sekitar komplek, tapi sudah merambah hingga penjuru kota. Siapa yang tidak kenal Pak Camat, salah satu pejabat yang digadang-gadang bakal jadi bupati. Dari abang tukang becak sampai mbah-mbah juru pijat, semua kenal Pak Camat. Maka ketika berita hangat itu menyeruak di malam yang baru mulai, berduyun-duyunlah orang-orang berdatangan.
Bajag menyebar-luaskan berita tragis itu ke pegawai kantor kecamatan yang dikenalnya. Kini jalan menuju komplek telah macet total dan terpaksa ditutup. Ratusan mobil berjajar di sepanjang jalan mulai dari mobil plat merah milik pemerintah sampai mobil pickup yang mengangkut warga dari pelosok desa. Dan sebagian warga komplek memanfaatkan momen yang tidak bakal datang dua kali itu untuk mencari keuntungan.
Banyak warung dadakan di tepian jalan komplek. Banyak areal parkir beragam tarif yang ditawarkan pemuda-pemuda desa. Sebagian pemuda bahkan nekad menjadikan halaman rumah Bajag sebagai areal parkir. Untung Bajag mengijinkan. Suara sirene meraung-raung dari jauh dan satu ambulans masuk halaman rumah Pak Camat. Suara sirene terdengar lagi dan mobil mewah Pak Bupati melesat dikawal tiga motor petugas polisi. Bajag menemani Pak RT menerima setiap tamu di rumah duka.
Murti masih belum bisa diajak bicara. Masih menangis dan meraung lirih. Aisyah melihat beberapa bagian tubuh Murti memar dan lebam seperti bekas mengalami siksaan. Yang lebih membuat Aisyah miris adalah rambut Murti yang sudah tak berbentuk lagi. Ningsih juga dilanda kesedihan. Bagaimanapun Murti adalah sahabat kecilnya. Ningsih merengkuhnya penuh penyesalan.
“Istighfar, Mur. Ingat pada Allah,” bisik Ningsih di telinga Murti.
“Iya, Bu Murti. Serahkan semua pada kekuasaanNYA.” kata Aisyah memberi nasehat.
Murti terkulai lesu. Dua orang petugas kepolisian yang ingin meminta keterangan darinya mengurungkan niat karena Murti masih shock, masih terguncang dan pucat pasi. Wajah Murti datar tanpa ekspresi dan tatapan matanya kosong, hampa.
“Maaf ya, bapak-bapak. Bu Murti masih shock.” kata Aisyah.
“Tidak apa, Mbak. Kami hanya ingin meminta ijin untuk mengotopsi jenasah Pak Camat.” jawab salah satu dari mereka.
“Tidak perlu. Langsung kubur saja!” kata Murti pelan tapi tegas.
Maka malam itu juga pemakaman segera disiapkan. Polisi sudah selesai melakukan investigasi dan identifikasi. Hasilnya Pak Camat memang murni bunuh diri. Tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan dan tanda-tanda keracunan pada diri Pak Camat. Murti juga sedikit memberi informasi bahwa ia sama sekali tidak tahu yang menimpa suaminya karena sedang pingsan. Murti juga menunjukkan bekas-bekas penyiksaan yang ia alami, membuat polisi tidak lagi memaksanya ikut ke kantor. Murti dinyatakan tidak bersalah. Jelas sudah Pak Camat murni bunuh diri dengan cara gantung diri. Tidak ada unsur-unsur kriminal, begitu penjelasan dari Pak Kapolres.
Setengah jam kemudian pemakaman dilaksanakan. Murti bersikeras tidak mau hadir ke pemakaman suaminya meski Aisyah dan Ningsih memaksa. Hati Murti telah beku. Pintu maafnya telah tertutup. Bahkan Murti tidak bersedia menerima karangan bunga dari Pak Bupati. Cintanya pada Pak Camat telah lama mati. Pengkhianatan suaminya tak termaafkan lagi. Biar saja Pak Camat mati, sekalipun nanti suaminya itu menjadi hantu yang membayanginya tiap hari.
Bajag datang bersama Dewi. Setelah pemakaman selesai, Bajag mengajak Dewi bicara empat mata di rumah Pak Camat. Ia mengajak Dewi ke garasi yang menjadi tempat paling aman tanpa gangguan orang-orang yang banyak berlalu lalang.
“Ini semua salah Mbak Dewi,” kata Bajag terus terang.
Karuan saja Dewi kaget disalahkan seperti itu. “Apa maksudmu, Jag? Apa hubunganku dengan kejadian ini?”
“Mbak Dewi bicara terlalu banyak bicara pada Murti. Mbak telah membuat kehidupan dan rahasia Pak Camat terbongkar.” jelas Bajag.
“Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu, Jag. Bicara langsung saja ke intinya.” tegas Dewi.
“Mbak Dewi kan yang bilang ke Murti tentang perumahan residence?” tanya Bajag.
“Itu memang benar,” Dewi mengangguk.
“Mbak Dewi tahu itu rumah istri muda Pak Camat?” tanya Bajag lagi.
“Tidak. Aku malah baru tahu malam ini kalau Pak Camat punya istri muda.” terang Dewi jujur.
“Itulah, Mbak. Tadi pagi Murti langsung ke perumahan residence dan memergoki suaminya disana. Bisa mbak bayangkan apa yang terjadi?” tanya Bajag.
Dewi menyandarkan diri ke tembok garasi. Wajahnya pias dan serba tak tahu harus berkata apa lagi setelah mendengar cerita Bajag. Dewi menyesal setengah mati karena secara tidak sadar dirinyalah yang membuka jalan bagi terbongkarnya perselingkuhan Pak Camat yang berujung maut.
“Aku menyesal sekali, Jag. Aku yang menyebabkan Mbak Murti kehilangan suaminya.” kata Dewi lirih.
“Sudah tidak ada gunanya, Mbak. Pak Camat sudah mati dan Murti terlanjur sakit hati.” sahut Bajag.
Memang sudah tidak ada gunanya menyesali yang telah terlanjur terjadi. Pak Camat tidak mungkin hidup lagi. Seandainya Pak Camat hidup sekalipun, Murti sudah pasti tidak akan sudi melanjutkan hidup bersama Pak Camat.
Bajag mengajak Dewi ke rumahnya. Kini Bajag berada di tengah-tengah para wanita pembelenggu. Tapi Bajag sadar hanya ada dua dari keempat wanita itu yang benar-benar kuat menanamkan belenggu dalam jiwanya. Murti dan Aisyah, dua wanita yang sama-sama ia cintai. Selebihnya hanya sesaat numpang lewat saja, seperti Dewi dan Ningsih.
Bersambung…