Murti menjanda. Sudah genap seratus hari sejak kematian Pak Camat, Murti menyandang status barunya. Bahkan orang-orang menambahi embel-embel di belakang status barunya sehingga lengkap sudah; Murti si janda kembang. Sudah menjanda, kaya pula.
Tidak heran kalau banyak lelaki yang antri, baik yang terang-terangan ataupun yang sembunyi-sembunyi. Tapi Murti tetap setia bersama Bajag dan orang-orang komplek mulai yakin kalau Murti dan Bajag memang ditakdirkan untuk menjadi pasangan dewa-dewi. Sang dewa seorang duda, sang dewi baru saja menjanda. Cocok sekali.
Sekarang Murti sudah mau belajar nyetir dan gurunya adalah Bajag. Tiap hari sepulang dari mengajar, Murti langsung memanggil Bajag lewat dapur rumahnya. Kadang yang muncul adalah Bajag sendiri, tetapi kadang pula Aisyah. Seperti sore ini, ketika ia memanggil Bajag, yang nongol malah Aisyah.
“Mana Bajag, Aisyah?” tanya Murti penuh harap.
“Masih sholat, Bu Murti.” jawab Aisyah.
“Kalau sudah suruh ke rumah ya.” pesan Murti.
“Baik, Bu.” Aisyah mengangguk, lalu masuk ke dalam dan menuju kamar Bajag. Perlahan ia membuka pintu dan duduk di tepi tempat tidur dimana Bajag sedang berbaring. Bajag tidak sedang sholat seperti yang Aisyah katakan pada Murti, laki-laki itu masih tidur.
“Mas Bajag, bangun!” panggil Aisyah dengan suara merdu.
Bajag menggeliat malas dan entah sengaja atau tidak, tangannya hinggap di paha Aisyah. Bajag mengelusnya pelan sambil bergerak bangun. “Ada apa, Aisyah?” tanyanya dengan suara serak.
“Mas dipanggil Bu Murti di rumahnya.” kata Aisyah.
“Baiklah. Aku kesana ya,” sahut Bajag.
“Mas…” Aisyah memanggil.
“Apa lagi, Aisyah?” tanya Bajag penuh rasa sayang.
“Ah, tidak apa-apa. Hati-hati saja di jalan ya, Mas.” pesan Aisyah menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
“Hati-hati di jalan atau hati-hati bersama Murti?” goda Bajag seperti mengetahui isi batin Aisyah.
“Mas Bajag ini…” Aisyah tersenyum merajuk. ”Sudah pergi sana. Kasihan Bu Murti lama menunggu.”
Bajag mencium kening Aisyah sebelum pergi, tangannya juga sempat mampir ke dada Aisyah dan meremasnya pelan satu persatu, merasakan betapa empuk dan padatnya benda bulat itu. Ukurannya juga menjadi semakin besar karena keseringan dipegangi oleh Bajag. Memang belum ada ikatan resmi diantara mereka, tapi hal-hal semacam tadi sudah menjadi rutinitas yang Bajag dan Aisyah lakukan setiap hari.
“Hati-hati di rumah ya, Aisyah. Kunci saja pintunya.” pesan Bajag sebelum pergi.
“Baik, Mas.” Aisyah mengangguk, dan sekali lagi membiarkan Bajag meremas gundukan payudaranya.
Bajag meninggalkan Aisyah dan menuju rumah Murti. Tinggallah Aisyah seorang diri, duduk termenung di depan cermin sambil memperhatikan dirinya sendiri. Aisyah membandingkan keadaannya sebelum dan sesudah tinggal di rumah Bajag. Aisyah merasakan perubahan besar yang terjadi. Dulu sewaktu masih menetap di Cemorosewu, ia adalah sosok yang taat beribadah, tidak pernah melakukan hal-hal tabu yang melanggar norma agama dan norma susila. Ia dulu adalah sosok wanita yang benar-benar bersih dan suci, tanpa pernah tersentuh sedikitpun oleh tangan lelaki.
Tapi tidak dengan sekarang. Ia memang masih taat menjalankan sholat lima waktu, namun juga rajin melakukan hal-hal yang dulunya ia anggap tabu. Norma susila dan agama telah ia langgar. Tubuhnya telah tersentuh oleh tangan seorang lelaki. Kebersihan dan kesucian dirinya telah luntur digerus sensasi yang sangat menggoda hati.
“Masih pantaskah aku mengenakan kerudung ini?” pikirnya seorang diri.
Sementara Bajag sudah bersama Murti. Sejenak Bajag teringat Aisyah, tapi terganggu oleh suara Murti yang mendesah. Bajag berpaling dan mendapati seraut wajah Murti yang semakin bening. Ia kembali memfokuskan diri ke jalan raya.
“Apa yang kamu rasakan saat ini, Murti?” tanya Bajag membuka obrolan.
”Aku merasa bebas, Jag. Benar-benar sangat bebas.” kata Murti sambil merentangkan kedua tangannya, seperti berusaha memamerkan tonjolan buah dadanya yang besar kepada Bajag.
“Kamu memang bebas, tapi harus kamu ingat jangan sampai kebebasan itu membuatmu bablas.” pesan Bajag.
“Jangan mengajariku, Jag. Bukankah kebebasanku ini menguntungkanmu juga, menguntungkan kita?” sahut Murti tidak terima.
“Aku tidak berharap keuntungan apapun dari keadaanmu ini, Mur.” tegas Bajag.
“Munafik.” Murti mencibir. ”berapa kali kamu tidur denganku selama Pak Camat masih hidup? Sekarang Pak Camat sontoloyo itu sudah mati dan kamu bebas meniduriku kapan saja, berapa kalipun yang kamu inginkan. Bukankah begitu?” tuduh Murti.
“Pikiranmu tidak sama dengan pikiranku, Mur.” Bajag menggeleng. ”Aku malah ingin kebobrokan ini berhenti.” katanya kemudian.
“Oh, jadi begitu ya?” Murti berkata ketus. ”Setelah kamu puas mencabik-cabik hati dan tubuhku ini, kamu mau meninggalkanku begitu saja? Jangan sampai aku menganggapmu pengkhianat, Jag!” ancamnya.
“Aku tidak berkhianat, Mur. Ini demi mengakhiri jalan kita yang sesat.” jelas Bajag.
Murti mendengus. Ia pindah posisi dan duduk di depan Bajag, masih dalam satu jok. Ia mengambil alih kemudi dari kekuasaan Bajag sementara pantatnya ia tancapkan di pangkuan Bajag. Pantaslah kalau Aisyah khawatir bila Bajag sudah bersama Murti karena setelah menjadi janda, Murti semakin terang-terangan dan semakin berani. Contohnya ya kali ini.
“Pegangi pahaku, Jag!” pinta Murti tegas.
“Kamu nggak bakalan jatuh, Mur. Ini belajar mobil, bukan belajar motor.” jelas Bajag santai.
“Apa sih susahnya membantu aku?” sungut Murti ngambek.
“Kamu sudah mulai mahir, Mur. Cobalah berani nyetir sendiri.” kata Bajag.
Murti mendorong Bajag kesal. Bajag jadi tidak punya ruang untuk sekedar melonggarkan badan. Mau tidak mau ia harus memegangi pinggul Murti agar tidak merosot ke bawah. Pinggul yang semakin bulat bagai biola. Murti memang telah tampil beda dan bergaya anak muda. Rambutnya dipotong pendek. Bulu matanya dibikin lentik. Bajunya model tank top tanpa lengan. Bawahnya dipadu dengan rok mini. Murti yang cantik jadi makin menarik. Tidak ada sama sekali kerut kerut di wajah dan kulitnya. Semua sama seperti puluhan tahun silam. Masih sangat kencang.
“Semakin muda saja kamu, Mur.” bisik Bajag.
“Semakin membuatmu tergoda kan?” Murti tersenyum.
Wanita pembelenggu memang punya seribu cara dan seribu pesona untuk membuat pria terjatuh. Itulah Murti, wanita pembelenggu paling berani yang membuat Bajag tak kuat hati. Kalau sudah begitu, Bajag langsung membayangkan wajah Aisyah. Ia harus bertahan demi cintanya pada Aisyah.
“Sudah cukup untuk hari ini, Mur. Dan kamu sudah bisa kemana-mana tanpa sopir lagi. Kamu bisa jadi sopir buat dirimu sendiri.” kata Bajag sambil menjauhkan tubuhnya.
“Bagaimana kalau kamu kuberi gaji tiga kali lipat?” tantang Murti.
“Aku menghargai jasa dan pengorbananmu padaku, Mur. Tapi aku harus mulai memikirkan diriku sendiri, hidupku sendiri.” tampik Bajag.
“Kita bisa hidup bersama sampai mati, Jag. Aku mencintaimu.” Murti memandang Bajag penuh rasa sayang.
“Akupun pernah mencintaimu, Mur. Tapi itu sudah lama sekali. Dan sekarang aku mencintai orang lain.” kata Bajag terus terang.
“Siapa dia, Jag! Siapa yang berani merenggut hatimu dariku?” seru Murti tak terima.
“Kelak kamu akan tahu siapa dia.” Bajag berkilah, tidak ingin menyeret Aisyah dalam masalah ini.
“Aku tidak sabar untuk tahu siapa dia. Biar aku cari sendiri.” tekad Murti. Ia mengantar Bajag sampai depan rumahnya. Murti berbasa-basi sejenak dengan Aisyah lalu pergi lagi entah kemana, sama sekali tidak curiga kalau gadis di depannya inilah yang sudah merebut hati pujaan hatinya..
Bajag senang karena Murti sudah pintar menyetir. Tapi melihat wajah Aisyah yang mendung, kesedihannya langsung menggantung. Bajag merangkul bahu Aisyah dan membawanya masuk ke dalam rumah. Mendung di wajah Aisyah masih belum sirna. Senyum di bibir merah itu tak kunjung merekah. Dan mata bening itu seakan menahan airmata agar tidak tumpah. Tapi itu gagal. Airmata Aisyah jatuh di dada Bajag.
“Menangislah sepuasmu, Aisyah. Habiskan kesedihanmu,” kata Bajag sabar.
“Mas Bajag jahat,” lirih suara Aisyah tersendat-sendat di sela tangis.
“Aku memang jahat, Aisyah. Aku membuatmu cemburu kan?” tebak Bajag.
“Bu Murti, Mas. Kenapa Mas Bajag tidak bisa lepas darinya?” tanya Aisyah.
“Aku ingin seperti itu, Aisyah. Tapi kebaikan Murti belum sempat kubalas.” sahut Bajag.
“Tidak adakah cara lain yang bisa mengurangi cemburu ini, Mas?” Aisyah semakin masuk ke dalam rengkuhan Bajag, menumpahkan cemburu yang serasa menghanguskan jiwa. Dihelanya napas lalu mendongak, sesaat diam begitu keningnya dikucup oleh Bajag.
“Bu Murti semakin cantik ya, Mas?” tanya Aisyah dengan suara lebih jelas.
“Itu penilaianmu?” Bajag bertanya balik.
“Juga semakin berani berpakaian, Mas.” tambah Aisyah.
“Kamu iri?” Bajag tersenyum sambil membelai wajah cantik Aisyah.
“Aah, Mas Bajag ini. Aku serius, Mas.” Aisyah merajuk.
Murti memang semakin berani, bukan hanya dalam hal penampilan, juga sudah semakin berani pergi sendiri. Masa-masa bebas ia nikmati dengan puas. Kini Murti sudah berada di dalam ruang karaoke salah satu kafe. Ia menyanyi sampai puas dengan ditemani sebotol minuman kelas atas. Pengunjung bersorak dan sebagian ikut berkaraoke dan berjoget bersamanya. Murti bagai bintang baru yang menyihir pecinta karaoke. Sampai larut malam Murti berada di kafe.
Murti bukan lagi seorang guru dan bukan pegawai negeri. Seisi kota sudah tahu kabar itu. Murti dipecat karena sering mangkir dari tugasnya mengajar. Dipecat karena murid-muridnya sering memergoki gurunya tiap malam keluyuran di kafe-kafe. Murtipun dipecat karena dianggap merusak citra pegawai negeri sipil. Tapi Murti tidak serta merta melarat. Malah kini menjadi salah satu konglomerat.
Rumahnya yang di komplek sudah dijual pada Aisyah. Murti kini tinggal di pusat kota, di perumahan residence dan menempati rumah super mewah bertingkat tiga. Hanya untuk dirinya sendiri. Apa pekerjaan Murti setelah dipecat tidak ada yang tahu dengan jelas. Yang pasti Murti sering didatangi orang dan wartawan. Sampai seisi komplek akhirnya tahu kalau Murti jadi bintang film dan penyanyi. Itu setelah warga komplek menonton sinetron yang dibintangi oleh Murti.
“Itu kan Bu Murti ya, Mas?” kata Aisyah pada Bajag saat nonton tv berdua. Seperti biasa, pakaian atasnya terbuka, menampakkan gundukan payudaranya yang besar, yang selalu jadi mainan favorit Bajag dikala senggang.
“Iya. Dia sudah merubah nasibnya, Aisyah.” kata Bajag sambil terus meremas dan mengusap-usapnya pelan. Putingnya yang mungil ia pilin-pilin ringan sambil sesekali menjilat dan mengecupnya lembut kalau sudah merasa tak tahan.
“Uhh… juga sikapnya ya, Mas. Ikut berubah,” lirih Aisyah diantara rintihannya. Hisapan Bajag pada ujung buah dadanya terasa geli sekali, namun Aisyah sama sekali tidak berniat untuk menghentikannya karena terus terang ia juga menikmatinya.
”Iya,” Bajag membenarkan perkataan Aisyah. Sikap Murti memang berubah seiring perubahan nasibnya. Setiap kali bertemu di jalan atau di pusat perbelanjaan, Murti hanya mau melambaikan tangan tanpa mau bertegur sapa, apalagi berbagi senyuman. Bajag sadar senyum Murti kini mahal dan berharga puluhan juta. Murti hanya mau tersenyum di televisi, tersenyum kepada orang-orang yang telah membayarnya berjuta-juta.
Seperti kacang lupa akan kulitnya, lupa pada komplek dan tanah kelahirannya, tempat nenek buyut dan orangtua serta suaminya dikubur. Murti tidak sekalipun mengunjungi komplek sejak namanya melejit. Lebih suka mengunjungi tempat dimana banyak orang mengagumi dan mengelu-elukan namanya. Bajag tentu makin senang karena perubahan nasib dan sikap Murti berimbas sangat besar pada diri dan kehidupannya. Ia kini bisa lebih mendekatkan diri dan memadukan hati bersama Aisyah.
“Apa kita perlu mengundang Bu Murti, Mas?” tanya Aisyah sambil mengusap mesra puncak kepala Bajag yang masih asyik menyusu.
“Tidak usah, Aisyah. Kita gelar resepsi sederhana saja. Cukup orang-orang komplek dan kerabatmu dari Cemorosewu.” jawab Bajag dengan mulut penuh bongkahan payudara Aisyah. Ia terus mencucup dan mengulumnya tanpa pernah merasa bosan.
“Saya sudah pesan dua ratus undangan, Mas. Semoga memberi restu pada pernikahan kita nanti.” wajah Aisyah memerah, tampak sangat menikmati sekali apa yang dilakukan Bajag pada tubuh sintalnya.
“Puji syukur, Aisyah. Sudah mantapkah hatimu?” tanya Bajag sambil mencucup puting susu kiri Aisyah kuat-kuat.
“Auw!” Aisyah menggelinjang geli, namun segera meminta Bajag agar melakukan juga pada yang kanan. ”Ehm… sudah, Mas. Saya ikhlas lahir batin menjadi istri Mas Bajag.” bisiknya dengan paras berbinar.
“Terima kasih, Aisyah. Aku akan berjuang menjadi suami yang baik buatmu.” Setelah mengangguk, Bajag melanjutkan kembali jilatan dan hisapannya di buah dada Aisyah.
“Saya percaya mas pasti bisa.” Yakin Aisyah. “Sudah ashar, Mas. Bukankah setelah ini Mas ada undangan ke musholla?” ingatnya sambil menarik kepala Bajag menjauh.
“Hampir aku lupa.” Bajag tersenyum, ”Terima kasih sudah mengingatkan.” katanya sambil kembali mencium puting Aisyah untuk yang terakhir kali.
Itulah Bajag yang sekarang. Ia telah menjelma kembali seperti saat masih kanak-kanak dulu. Ia kembali bahkan semakin rajin ke musholla untuk ikut pengajian dan sholat berjamaah. Suara merdu Bajag kembali terdengar lima kali dalam sehari mengumandangkan adzan. Dan di hari minggu seperti ini, Bajag punya aktivitas membantu Pak Ustadz mengajar anak-anak komplek mengaji dan qiroah.
Penduduk komplek sangat senang dan menaruh hormat padanya. Orang-orang mulai suka membandingkan Bajag dan Murti. Kata orang-orang komplek, lebih baik sesat terlebih dahulu lalu sungguh-sungguh tobat daripada sebaliknya. Kata orang-orang, Murti adalah contoh yang tidak baik. Kalau ingin jadi anak baik, tirulah Bajag, kata orang-orang tua pada anaknya. Tapi Bajag selalu meluruskan. Yang paling patut ditiru adalah hal-hal yang membawa kebaikan, jangan meniru jalan sesat yang pernah ia jalani. Itu selalu dikatakan Bajag.
Kebaikan itulah yang kini menulari komplek. Orang-orang tua pula yang menganjurkan Bajag agar segera menikahi Aisyah agar terhindar dari fitnah. Bajag tidak marah dan langsung memenuhi anjuran itu. Secara agama ia telah sah menjadi suami Aisyah disaksikan penghulu desa. Tinggal mengesahkan lewat jalur resmi. Dan resepsi pernikahan itu sudah dirancang, tinggal tunggu sebar undangan.
Lain ladang lain pula belalang. Lain Bajag tentu lain pula Murti. Sekarang Murti ada di salah satu pantai terkenal untuk menjalani sesi pemotretan. Ia dijadikan model sebuah majalah dewasa. Murti sudah siap dengan kostumnya berupa bikini merah hati. Gambarnya diambil beberapa kali dalam berbagai pose dan gaya yang berani nan menantang. Berlatar belakang pantai biru dan pantulan jingga mentari yang hampir tenggelam, lekukan tubuhnya sungguh indah dan mempesona, membuat fotografer tidak sedetikpun memicingkan mata.
“Lebih lebar, cut!” teriak sang pengarah gaya.
“Kakiku sakit,” rintih Murti.
“Sekali lagi. Setelah ini selesai.” kata laki-laki berkaca mata itu.
Murti kembali berpose, kali ini berbaring telentang di hamparan pasir putih. Tangan dan kakinya terentang lebar-lebar, membuat dadanya menghujam tajam dan menjulang ke langit. Kakinya membentang sangat lebar dan sudut-sudut selangkangannya sangat jelas membayang. Sang pengarah gaya tertawa puas, fotografer juga puas.
“Mbak Murti adalah model paling berani yang kami kontrak,” kata pengarah gaya.
“Saya hanya berusaha profesional, Mas. Sesuai perjanjian dalam kontrak.” kata Murti sambil membersihkan punggungnya dari pasir.
“Kami yakin edisi terbaru kami nanti laku keras. Silahkan kalau Mbak Murti mau mandi.”
“Terima kasih. Saya mau langsung pulang saja.” sahut Murti.
Selesai pemotretan, Murti langsung meninggalkan pantai. Entah kenapa ada sebuah kerinduan menyelinap. Ia rindu pada orang-orang yang telah terlupakan, terutama sekali rindu pada Bajag. Ingin sekali berkunjung ke komplek, tapi takut dan ragu. Takut akan dihujat oleh warga komplek yang telah membencinya. Ragu apakah Bajag masih mau menerimanya seperti dulu atau sudah berubah. Bagaimana pula dengan Aisyah, masihkah Aisyah menganggapnya seorang ibu dan kakak. Murti terbayang-bayang semua itu dan matanya berlinang. Ia memutar mobil dan mengurungkan niat berkunjung ke komplek.
Ditolehnya jam yang melingkar di lengan lalu menggumam pelan, “Aku harus syuting film.”
Syuting dan syuting terus, itulah kesibukan sehari-hari Murti. Tak peduli siang malam ia harus menjalani semuanya demi mendapatkan uang. Dengan cepat uang bisa ia dapat, namun secepat itu pula uang itu lenyap. Murti selalu merasa serba kurang. Kurang cantik, kurang seksi, dan kurang yang lain yang membuatnya rajin ke salon, rajin ke pusat-pusat senam demi menjaga tubuh.
“Mbak Murti,” sebuah suara memanggil.
Murti terhenyak. Ia membuka kaca mobil dan mendapati wajah yang sangat dikenalnya. Sayang sekali ia berada di lampu merah. “Hai, Dewi.” balasnya sambil melambaikan tangan.
“Mbak, ini undangan buat mbak. Datang ya,” kata Dewi.
“Kamu mau nikah?” tanya Murti.
“Iya. Maaf, saya buru buru. Ayo, Mbak.” Dewi pamit permisi.
Murti menyimpan undangan dari Dewi dan kembali menjalankan mobil karena lampu telah berubah hijau. Masih ada kawan lama yang tidak membencinya. Dewi masih sudi mengundangnya ke pesta pernikahan. Apakah Dewi juga mengundang Bajag? pertanyaan itu berseliweran di kepala Murti.
Tentu saja Dewi juga mengundang Bajag karena kini mereka bertetangga. Dewi telah membeli rumah di komplek, rumah milik almarhum Mbah Surti. Bahkan kini telah sampai di depan rumah Bajag. Kemudian memarkir mobilnya dan berjalan ke pintu rumah Bajag.
“Assalamualaikum,” teriaknya memberi salam dan mengetuk pintu.
“Waalaikum salam,” terdengar suara renyah menjawab salam. Tak lama kemudian pintu terbuka bersama seraut wajah cantik. “Mbak Dewi, silahkan masuk, Mbak.” kata Aisyah ramah
“Mana Bajag, Aisyah?” tanya Dewi.
“Tadi diajak Pak RT. Mbak Dewi ada perlu apa?” tanya Aisyah.
“Nih undangan buat kalian. Jangan sampai nggak datang ya?” Dewi mengancam sambil tersenyum.
“Mbak Dewi nikah? Kenapa nggak bilang-bilang, Mbak?” Aisyah terlihat ikut senang.
“Sengaja kubuat surprise buat kamu dan Bajag.” jawab Dewi.
“Selamat ya, Mbak. Kami pasti hadir.” janji Aisyah.
“Oh ya, Aisyah. Baru saja aku bertemu, Murti. Jadi sekalian kuundang dia.” terang Dewi.
“Bagaimana kabar Bu Murti, Mbak?” tanya Aisyah penasaran.
“Sepertinya baik baik saja. Murti semakin sering ada di tv ya,” kata Dewi.
“Iya, Mbak.” Aisyah mengangguk. ”Karirnya semakin maju. Saya ikut bersyukur.”
“Tapi Murti juga berubah, Aisyah. Aku sekarang jadi asing dengannya.” Dewi menggumam.
“Itulah, Mbak. Bukan cuma Mbak Dewi saja yang merasakan perubahan itu, saya dan Mas Bajag juga.” dukung Aisyah.
“Sangat disayangkan ya, Aisyah. Padahal kalian, terutama Bajag, adalah orang-orang terdekat Murti.” sahut Dewi. ”Sudah ah. Aku pulang dulu. Sampaikan salam ke Bajag. Assalamualaikum,” wanita itu kemudian pamit. “Waalaikumsalam,” jawab Aisyah sambil mengantar ke depan pintu.
Sepeninggal Dewi, tak sampai sepuluh menit kemudian, Bajag pulang. Bahkan Aisyah masih belum menyimpan undangan yang tergeletak di atas meja. Aisyah segera membawa undangan itu dan menyusul Bajag ke dalam ruang tengah. Ia menggelar karpet dan memberi Bajag bantal.
“Ada undangan dari Mbak Dewi, Mas.” bisiknya mesra.
“Undangan apa, Aisyah. Biar jelas, bicara dekat sini.” kata Bajag.
Aisyah menggeser duduknya dan merapat ke telinga Bajag, membisikkan sesuatu yang membuat Bajag terkejut. Bajag segera menyambar undangan dari tangan Aisyah, tapi Aisyah mempermainkan undangan itu hingga Bajag jadi gemas. Sekali tubruk, Aisyah terguling-guling di karpet dan Bajag memungut undangan yang terlepas dari tangan Aisyah.
“Akhirnya menikah juga si Dewi.” kata Bajag gembira.
“Mas kenal calon suaminya?” tanya Aisyah.
“Tidak terlalu kenal, tapi aku tahu Aldo adalah pegawai kecamatan juga.” jawab Bajag.
“Berarti cinta lokasi dong. Enak ya, Mas, mereka sama-sama pegawai negeri.”