Setelah seminggu dirawat di rumah sakit, Bajag menunjukkan kemajuan pesat. Ia sudah bisa membuka mata dan bicara meski terbata-bata. Yang paling melegakan bagi semua adalah bahwa Bajag tidak hilang ingatan. Bajag masih bisa mengenali orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Yang paling merasa beruntung adalah Murti. Sakitnya Bajag bersamaan dengan liburan sekolah. Ia mendapat libur selama dua minggu dimulai hari ini. Ia jadi punya banyak waktu luang dan ia tidak ingin waktu luang itu terbuang begitu saja. Ditambah ia sudah mendapat restu dari suaminya untuk mengunjungi Bajag kapan saja. Murti jelas bahagia. Pak Camat suaminya bilang bahwa ia boleh menunggui Bajag mengingat Bajag tidak punya sanak saudara dan kerabat dekat. Orang yang paling dekat dengan Bajag ya cuma mereka saja.
“Kamu tidak mengajar?” tanya Bajag dengan suara masih gemetar. Kini Bajag sudah dipindahkan ke paviliun kelas satu. Masa-masa kritis yang dialaminya telah lewat, tinggal masa penyembuhan dan pemulihan.
“Aku libur, Jag, dua minggu.” kata Murti sambil menyuapkan sesendok demi sesendok makanan ke mulut Bajag. “kamu juga sudah seminggu lho di sini,” tambahnya.
“Aku ingin pulang, Mur. Aku mau di rumah saja.” kata Bajag.
“Jangan buru-buru. Tunggu sampai kamu benar-benar sehat.” sergah Murti.
“Aku tidak punya uang buat bayar biayanya,” Bajag merenung.
“Jangan dipikirkan. Aku dan Mas Joko yang menanggung biaya sampai kamu sembuh.” kata Murti.
“Aku selalu merepotkanmu ya, Mur?” Bajag berbisik malu.
“Sudahlah. Kita ini sudah sehati, Jag.” Murti memberi Bajag minum lalu duduk persis di samping laki-laki itu. “Aku mencintaimu!” bisiknya perlahan.
“Akupun begitu, Mur. Tapi kamu punya suami.” sahut Bajag getir.
“Sekarang jelaskan bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi. Kamu tidak mabuk minuman keras kan?” tanya Murti.
“Aku sempat minum susu di rumah teman. Entah apa karena susu itu atau ada hal lain, tiba-tiba aku pusing. Kupaksakan untuk pulang sampai rumah, tapi ya begitu, di tengah jalan aku tak tahan lagi dan nabrak tronton.” Bajag berkilah.
“Darimana dan siapa yang memberikan susu itu?” todong Murti.
“Kawanku,” Bajag menjawab pendek.
“Bohong. Pas kejadian itu ada yang memergoki mobil dinas suamiku di perumahan residence.” sanggah Murti.
“Aku memang kesana, Mur. Rumah kawanku ada disana,” Bajag tetap bersikukuh.
“Rumah kawanmu atau rumah kawan Mas Joko, suamiku?” tanya Murti.
Bajag terdiam, tapi Murti ingin mendapat penjelasan sejelas-jelasnya. Dia sudah akan bertanya lagi saat dokter yang bertugas memeriksa datang.
“Kapan saya bisa pulang, Dok?” tanya Bajag pada laki-laki itu.
“Sebenarnya hari ini bisa. Tapi demi kesembuhanmu, mungkin dua hari lagi kamu bisa pulang.” kata pak Dokter
“Saya bosan tidur terus.” balas Bajag.
“Cobalah jalan-jalan sekitar rumah sakit. Kamu perlu melatih kakimu.” kata Pak Dokter.
“Kaki saya baik-baik saja. Memang agak nyeri, tapi tidak masalah.” Bajag berkata meyakinkan.
“Akan aku diskusikan dulu dengan tim dokter. Permisi,” dokter itu berbalik, pamit untuk meninggalkan ruangan.
Murti membantu Bajag berdiri dan memapahnya ke kamar mandi. Ia tidak malu menelanjangi Bajag dan memandikan pria itu. Bukankah sudah sering mereka telanjang berdua seperti ini?!
“Aku ingat masa-masa saat kita sering mandi bareng, Jag.” kata Murti dengan wajah bersemu merah. Ia ikut-ikutan basah tersiram air. Tubuhnya yang sintal tampak begitu menggoda di pandangan Bajag.
“Tapi kita bukan anak kecil lagi, Mur.” sela Bajag sambil berusaha menutupi tonjolan penisnya yang sudah mulai menegang panjang.
“Yah, setidaknya masa itu masih bisa kukenang bersamamu, Jag.” Murti berbisik lirih, lalu mendekatkan mulutnya ke bibir Bajag.
“Ada masa yang lebih penting untuk kamu kenang, Mur. Pernikahanmu dan rumah tanggamu.” Bajag berusaha untuk mengelak saat Murti ingin mencium bibirnya.
“Apalah arti pernikahan tanpa ada lagi kesetiaan.” Murti mengalihkan wajah, kecewa.
“Kamu yang tidak setia pada suamimu. Kamu mencintai lelaki lain selain suamimu. Bahkan kamu telah berzinah.” kata Bajag mengenang kebersamaan mereka yang sudah sangat kebablasan.
“Mas Joko lah yang memulai. Aku hanya mengikuti alur, Jag. Perselingkuhan harus dibalas dengan perselingkuhan juga.” balas Murti penuh tekad.
“Darimana kamu tahu kalau suamimu selingkuh?” tanya Bajag.
“Tidak ada yang tertinggal, Mbak Murti?” tanya Dewi tanpa merasa bersalah sedikitpun.
“Tidak ada, Dewi. Langsung saja ke rumah.” jawab Murti sedikit ketus, masih marah dengan peristiwa barusan.
“Rumah yang mana? Rumah Pak Camat atau rumah Bajag?” lagi-lagi Dewi bertanya menggoda.
“Ke rumahku saja, Mbak Dewi.” potong Bajag sebelum Murti sempat membuka suara.
“Baiklah, Jag. Biar aku yang nyetir. Mbak Murti kan belum bisa bawa mobil.” sambut Dewi.
Murti ingin menampar mulut Dewi yang terkesan menyepelekannya. Ia memang belum bisa nyetir, tapi tak selayaknya Dewi bicara begitu, terlebih dengan nada yang angkuh. Murti kini duduk bersebelahan dengan Bajag di dalam mobil, tetapi ada dinding yang seakan memisahkan mereka berdua. Dinding itu berupa tatapan mata Dewi yang membuat Murti tidak berani melakukan apapun terhadap Bajag. Ia tidak berani walau sekedar tersenyum pada Bajag. Tatapan mata Dewi terlalu berbahaya.
“Memangnya tidak ada sopir lelaki di kantor ya, Dewi?” tanya Murti memecah keheningan.
“Ada sih, Mbak. Tapi Pak Camat nyuruh aku, ya kuterima.” sahut Dewi tanpa menoleh.
“Bagaimana dengan rencanamu ke depan? Maksudku, kapan kamu mau nikah?” tanya Murti.
“Waduh, Mbak Murti ini ada-ada saja.” Dewi tertawa.
“Bukannya mengada-ada, Dewi. Usiamu kan sudah cukup. Masa depanmu juga sudah mapan. Tunggu apa lagi?” kejar Murti.
“Saya nunggu jodoh, Mbak. Nikah itu kan nggak bisa dipaksa-paksa. Nikah karena terpaksa itu rawan bencana, Mbak Murti.” jawab Dewi seperti menyindir.
Murti manggut-manggut, namun dalam hati sebenarnya merengut kalang kabut. Perkataan Dewi telah menohoknya dari belakang. Entah disengaja atau tidak, tetapi Dewi telah mengingatkan Murti pada kisah hidupnya sendiri. Ia memang menikah karena terpaksa, bukan atas dasar cinta. Mahligai perkawinannya dengan Pak Camat tak lebih demi untuk menyenangkan hati orangtua. Ia belum puas menikmati masa muda ketika Pak Camat datang melamar. Belum pernah pacaran sampai Pak Camat mengajaknya kencan.
Sampai akhirnya benar-benar menikah, ia sama sekali masih buta arti rumah tangga. Kini ia mengerti betul bahwa berumah tangga sangatlah susah. Ada banyak hal yang membuat hati tersiksa. Seperti yang dikatakan oleh Dewi bahwa menikah karena terpaksa rawan bencana. Kini Murti sadar bencana itu sudah membayang di pelupuk mata. Pak Camat suaminya ada tanda-tanda punya daun muda. Tetapi itu masih sebatas prasangka Murti, belum benar-benar jadi nyata.
“Sudah sampai, Mbak. Saya cuma disuruh nganter saja oleh Pak Camat. Setelah ini saya harus balik ke kantor,” kata Dewi.
“Ya sudah, balik saja sekarang. Biar Bajag saya yang menangani. Terima kasih ya, Dewi.” Murti tersenyum malas.
“Sama-sama, Mbak. Mungkin nanti malam saya kesini,” kata Dewi. Habis berkata begitu, dia langsung pergi berlalu.
Murti bersyukur Dewi tidak ikut masuk ke dalam rumah Bajag. Justru Bajag yang terheran-heran karena rumahnya sangat bersih. Dan ia semakin heran saja karena bukan hanya bersih, namun juga tertata rapi. Sama sekali tidak ada yang berserakan. Ia menoleh pada Murti, tapi Murti cuma mengangkat bahu dan sibuk sendiri. Bajag jadi tak tahan untuk bertanya.
“Kamu yang membersihkan rumahku ya?”
“Bukan. Bersihkan rumahku sendiri saja malas, apalagi bersihkan rumahmu.” kata Murti.
“Lalu siapa yang merawat rumahku ini?” tanya Bajag bingung.
“Aisyah. Dia tiap hari sepulang mengajar mampir kesini, membersihkan rumahmu.” jawab Murti.
“Aisyah? Kok mau dia bersusah payah membersihkan rumahku?” Bajag semakin tak mengerti.
“Karena dia ada maunya.” Murti tersenyum menyeringai. ”Sudahlah, Jag. Kasihan juga Aisyah tiap hari bolak-balik ke Cemorosewu. Terima saja dia tinggal di rumahmu.”
“Apa Pak Camat sudah kamu beritahu soal itu?” tanyanya.
“Sudah berkali-kali dan Mas Joko sepertinya tidak mempermasalahkannya. Bahkan Pak RT juga memberi lampu hijau.” jawab Murti.
“Baiklah, Mur. Mungkin memang ada baiknya Aisyah tinggal disini.” Bajag mengangguk.
“Dia pasti kesini. Aku pulang dulu ya, kalau ada apa-apa panggil saja dari belakang.” Murti pamit.
“Iya, Mur. Aku juga mau istirahat. Kangen sama kasurku sendiri” Bajag tersenyum.
“Dasar kamu,” kata Murti sambil mengantar Bajag ke kamarnya.
Setelah itu Murti pulang lewat pintu belakang. Sekarang ia sudah ada di rumahnya sendiri. Murti meringis menahan sesuatu yang sangat mengganggu. Perutnya terasa mual dan ingin muntah. Iapun pergi ke kamar mandi, mencoba mengeluarkan isi perut, tetapi tidak ada yang keluar. Murti ingat bahwa ia belum makan apapun sejak pagi tadi. Ah, mungkin sakit mag-nya kambuh, pikirnya. Ia menghabiskan siang dengan tidur sepuas-puasnya.
Namun baru satu jam terlelap, Murti terkesiap karena merasakan seseorang menyelinap masuk ke dalam rumah. Tapi setelah tahu yang datang adalah Pak Camat, Murti melanjutkan tidurnya. Pak Camat menyusul tidur di sampingnya.
“Kok sudah pulang, Mas?” tanya Murti.
“Iya, Mur. Aku pusing,” sahut Pak Camat.
“Sudah minum obat?” tanya Murti lagi.
“Sudah, tapi tetap nggak ada efeknya. Makanya aku ijin pulang,” Pak Camat menyahut malas.
“Ya istirahat saja, Mas. Mungkin Mas Joko juga perlu mengajukan cuti.” Murti membelai bahu suaminya.
“Pembangunan di desa-desa semakin meningkat, Mur. Tidak mungkin aku cuti.” kata Pak Camat.
“Bagaimana dengan pembangunan rumah tangga kita, Mas?” kejar Murti.
“Maksudmu apa, Mur?” Pak Camat mendelik.
“Tidak ada maksud apa-apa, Mas. Sudah, tidur saja.”
Murti ingin suaminya langsung tanggap dengan pembangunan rumah tangga yang ia maksudkan. Sayangnya Pak Camat tidak paham atau pura pura tidak mengerti maksud hati istrinya. Ini adalah siang pertama Murti tidur bersama suaminya setelah siang-siang sebelumnya yang lebih sering tidur bersama Bajag. Seharusnya ada usaha memperbaiki bangunan rumah tangga yang mulai lapuk digerus berbagai macam praduga dan rasa curiga. Namun Murti tidak mendapati suaminya punya keinginan untuk itu. Murti pun meneruskan tidurnya dan tidak bertanya ataupun ‘meminta’ pada suaminya. Ia tidur dengan hati kosong.
Ketika bangun jam lima sore, Murti sudah tidak mendapati suaminya. Ia mencari-cari ke sudut rumah tapi Pak Camat tidak ada. Yang ada malah selembar undangan yang tergeletak diatas meja. Murti membaca undangan itu. Bukan untuknya, tapi untuk Pak Camat. Kini Murti tahu kemana suaminya itu menghilang. Di undangan itu tercantum acara resepsi hari ini jam lima sore. Yang ia tak mengerti, kenapa suaminya tidak memberitahu dan bahkan tidak mengajaknya ke acara resepsi itu padahal selama ini mereka selalu berpasangan bila menghadiri acara-acara pernikahan. Apakah Pak Camat sudah punya pasangan lain? Murti cuma bisa menduga-duga saja.
Bajag juga baru saja terbangun dari tidurnya. Saking nyenyaknya tidur, ia sama sekali tidak merasakan apapun. Seluruh panca indranya ikutan tertidur. Ia mengucek mata dan menajamkan telinga, mencoba mendengar lebih jelas suara-suara berisik yang bersumber dari dapur. Bajag sudah sangat yakin bahwa yang ada di dapurnya adalah Murti karena hanya Murti yang bisa keluar masuk rumahnya dengan bebas. Bajag menerawang memikirkan hari-harinya bersama Murti yang juga semakin bebas, semakin tak ada batas. Ia ingin semua berakhir, namun sudah terlalu sulit untuk menghindari Murti. Ada nuansa hati bila ia bersama Murti, nuansa yang tidak pernah ia rasakan bila bersama wanita lain.
Bajag teringat saat-saat terakhir dirinya sebelum kecelakaan terjadi. Ia curiga jangan-jangan susu yang ia minum di rumah Mbak Ayu telah dicampur sesuatu yang membuatnya pening. Tingkah laku Mbak Ayu juga bikin kepalanya pusing tujuh keliling. Sepengetahuan Bajag, istri simpanan Pak Camat itu memang bukan wanita baik-baik. Sebagai orang yang lama berkecimpung di dunia hitam, ia tahu dan mengenal hampir semua wanita penghuni lembah hitam. Mbak Ayu pernah ia lihat di salah satu lokalisasi paling elit di kota ini. Berarti Pak Camat juga pernah mengunjungi lokalisasi itu, lalu bertemu dengan Mbak Ayu, kesengsem berat pada wanita cantik itu, sampai akhirnya menjadikan Mbak Ayu sebagai istri simpanan.
”Sungguh malang nasibmu, Murti,” kata Bajag dalam hati. Selanjutnya ia bangkit menuju pintu dapur. “Murti, kamukah itu?” tanyanya dengan setengah berteriak.
Tidak ada jawaban, tapi Bajag bisa mendengar langkah-langkah kaki mendekat. Dan ketika seseorang berdiri diambang pintu kamar, iapun langsung terperanjat kaget.
“Aisyah?”
“Assalamualaikum, Mas. Maaf kalau mengejutkan.” sapa Aisyah dengan tersenyum ringan.
“Berapa lama kamu disini, Aisyah?” Bajag bertanya.
“Dua jam yang lalu. Saya dengar Mas Bajag sudah pulang, jadi saya kesini.” jawab Aisyah.
“Terima kasih, Aisyah. Kamu sudah banyak membantuku.”
“Semoga bantuan ini ada hikmahnya, Mas.” Aisyah mengangguk. “Mas Bajag makan dulu ya. Habis itu minum obat.”
“Aisyah, tinggallah disini kalau memang kamu mau. Ada satu kamar kosong yang bisa kamu tempati.”
“Syukurlah, Mas. Besok saya akan boyongan kesini. Makan saja dulu, Mas.” Aisyah mempersilahkan.
Seluruh jiwa Bajag bergetar hebat. Aisyah berada begitu dekat, membelenggu jiwanya dengan senyuman tulus yang menghangatkan aliran darah, sehangat bubur yang disuapkan Aisyah ke mulutnya. Aisyah telah membuat Bajag teringat pada mantan istrinya, Zulaikha. Begitu banyak kemiripan antara keduanya. Aisyah sangat lugu dan murni. Memang Aisyah tidak secantik Murti, tapi punya daya tarik tersendiri. Dibalik kerudung lebarnya, Bajag seakan melihat Zulaikha yang sedang tersenyum.
“Saya ganti perbannya ya, Mas.” Tawar Aisyah.
Bajag luluh. Jemari itu teramat halus. Bajag segera menghapus imajinasinya dan ikut membantu Aisyah melilitkan perban di kakinya. Setelah semua selesai, Aisyah membantunya berdiri, menggamit perutnya dan memapahnya keluar kamar.
“Sampai sini saja, Aisyah.” Bajag duduk di dapur, memperhatikan kesibukan Aisyah. Disinilah ia mendapati betapa berbedanya Aisyah dengan wanita-wanita lain, termasuk Murti. Bila wanita lain suka membuka diri dan memamerkan diri, maka tidak demikian halnya dengan Aisyah. Gadis itu menutup rapat dirinya, tidak membiarkan mata usil memelototi tubuhnya yang sintal menggoda. Aisyah hampir selalu mengenakan pakaian panjang yang longgar sehingga lekuk-lekuk raganya tidak mencolok mata. Bajag sempat melihat punggung Aisyah tersingkap, tapi gadis itu segera menarik pakaiannya ke bawah dan punggung itupun tertutup lagi tanpa menimbulkan pikiran-pikiran buruk di kepala Bajag.
“Kapan kamu mulai tinggal disini, Aisyah?” tanya Bajag.
“Mungkin besok, Mas.” jawab Aisyah. ”kebetulan saya libur dua minggu. Ada waktu buat membersihkan kamar itu.”
“Itu kamar almarhum ibuku, Aisyah. Tapi jangan takut.” hibur Bajag.
“Kita ini hanya perlu takut pada Tuhan, Mas. Manusia dan setan memang menakutkan, tetapi kekuasaan dan kebesaran Tuhan lah yang paling menakutkan.” jawab Aisyah bijak.
“Tidakkah kamu takut padaku, Aisyah?” tanya Bajag sedikit menyelidik.
“Sama sekali tidak, Mas.” Aisyah tersenyum.
“Itu karena kamu belum tahu siapa saya,” sela Bajag.
“Saya sedikit banyak tahu tentang Mas Bajag. Tapi saya harap Mas Bajag tetap seperti yang saya kenal sekarang.” Aisyah menyahut ringan.
“Kamu baik dan tulus, Aisyah.” Bajag tersenyum. ”Jadi kamu mau kembali ke cemorosewu malam ini?” tanyanya kemudian.
“Saya takut kalau malam-malam pulang, Mas. Cemorosewu kan jauh dan gelap. Saya mau menginap saja disini. Anggaplah ini hari pertama saya kos disini.” jawab Aisyah.
“Saya tidak keberatan, Aisyah. Silahkan kamu tinggal sesuka hati.”
“Terima kasih, Mas. Bagaimana pembayaran uang kosnya? Mas Bajag mau sekarang atau dibayar bulanan saja?”
“Tidak perlu ada pembayaran apapun, Aisyah. Saya ikhlas.” jawab Bajag.
“Tapi, Mas…” Aisyah tampak ragu.
“Sudahlah. Simpan saja uangmu.” Bajag mengangguk tulus.
”Saya sangat berterima kasih, Mas.” sambut Aisyah dengan mata berbinar. ”Saya mau ke kamar mandi dulu.” pamitnya kemudian.
“Silahkan, Aisyah.” Bajag mempersilahkan.
Sejak itulah, Bajag tinggal serumah bersama Aisyah. Kamarnya berdampingan. Bajag merenovasi beberapa bagian kamar yang ditempati oleh Aisyah. Aisyah cukup pintar. Karena Bajag menolak uang sewa, maka Aisyah memanfaatkan uang itu untuk membeli dua buah kasur baru, satu untuk Bajag dan satu buat dirinya sendiri. Aisyah juga melengkapi peralatan dapur, membeli televisi. Kini Bajag punya listrik sendiri, tidak lagi menumpang di rumah Murti. Pun demikian dengan air, tidak lagi jadi masalah karena Aisyah memasang pompa air baru.
Tapi Bajag masih tetap mengabdi di rumah Pak Camat, masih tetap mengantar Pak Camat dan Murti berangkat kerja, juga masih tetap berjaga malam di rumah Pak Camat. Yang beda adalah sekarang Bajag tidak terus- terusan ada di rumah Murti. Bajag sekarang lebih suka beristirahat di rumah sendiri. Ia sudah pulih seratus persen pasca kecelakaan hebat itu. Bajag juga mulai mengambil jatah libur di hari minggu yang diberikan oleh Pak Camat. Jadi setiap hari minggu, Bajag selalu ada di rumahnya dari pagi sampai pagi esoknya lagi.
Dan di suatu malam yang diselingi rinai hujan, Bajag duduk berdua bersama Aisyah menonton televisi, dengan ditemani segelas kopi dan setoples kacang kapri. Aisyah baru saja selesai mandi sehingga rambut basahnya dibiarkan tanpa lindungan kerudung, tergerai sebatas leher dan sangat wangi.
“Bagaimana kopinya, Mas?” tanya gadis manis itu.
“Nikmat sekali, Aisyah. Terima kasih ya,” Bajag tersenyum.
“Kalau kurang, nanti saya buatkan lagi, Mas.”
“Ini sudah cukup, Aisyah. Oh ya, kamu nggak pulang ke Cemorosewu? Ingat, besok kamu mulai kerja.”
“Tidak, Mas. Saya malas ke Cemorosewu. Ummi juga sudah tidak tinggal di sana.”
“Sebelumnya saya mohon maaf, Aisyah. Benarkah ibumu sudah kawin lagi?” tanya Bajag.
“Benar, Mas. Ummi kawin lagi, tapi nikahnya siri, tidak resmi.” jawab Aisyah.
“Jadi ibumu tinggal dengan suaminya yang baru?”
“Iya. Makanya saya sekarang jadi jarang pulang. Malah Ummi mau menjual rumah warisan abah.”
“Kamu sendiri bagaimana?”
“Saya ini hanya seorang anak, Mas. Sebenarnya saya ingin marah, tetapi saya sadar, berani melawan orangtua -terlebih ibu- adalah dosa besar.”
Bajag mengangguk mengerti. “Sudah dua minggu kamu tinggal disini, Aisyah. Sampaikan saja kalau ada yang tidak berkenan di hatimu.”
“Tidak ada, Mas. Saya malah senang bisa hidup mandiri seperti ini. Mumpung masih bujang, harus banyak belajar kan, Mas?”
“Kapan kamu akhiri masa bujangmu itu? Jangan sampai jadi perawan tua, Aisyah.” kata Bajag tanpa berniat untuk menggoda.
“Mas Bajag ini ada-ada saja,” tapi Aisyah malah tertawa mendengarnya.
Bajag mendengar tawa nan renyah itu serenyah kacang kapri yang sedang ia kunyah. Bajag sempat melihat wajah Aisyah membias merah jambu dan tampak malu-malu. Bajag ikut membalas tawa itu lalu menyimak acara televisi. Kadang-kadang saling lirik dan saling lempar senyum.
“Berbaring saja di kamarmu, Aisyah.” kata Bajag saat melihat Aisyah mulai menguap.
“Saya masih ingin nonton sinetron, Mas.” jawab Aisyah.
“Pindah ke berita saja ya?” tawar Bajag.
“Boleh,” Aisyah mengangguk.
Bajag memang sengaja menyuruh Aisyah berbaring di kamar daripada wanita itu berbaring di hadapannya. Selain merusak pandangan mata, juga merusak konsentrasi, terlebih lagi imannya. Itu karena Aisyah sama seperti Murti, tidak pernah pakai baju muslimah kalau lagi berada di rumah. Malam ini Aisyah hanya memakai baju terusan panjang tapi berkerah rendah, agak tipis pula sehingga isi tubuhnya membayang saat tersorot lampu neon.
Sampai jam sebelas malam, Bajag masih nongkrong di depan televisi, sedangkan Aisyah juga masih berbaring di karpet tapi sudah pasti terlelap dalam mimpi. Dengkur halusnya terdengar seperti lenguhan di telinga Bajag. Dada gadis itu bergerak turun naik secara teratur seirama dengan tarikan napasnya. Bajag menghela napas, lalu mematikan televisi dan membopong tubuh molek Aisyah ke dalam kamar.
Sejenak ia terdiam setelah menaruh tubuh Aisyah ke atas ranjang, tertegun Bajag menatapnya, jantungnya berdegup kencang menyaksikan pemandangan yang baru pertama kali ini ia lihat. Kini di depannya, berbaring sesosok tubuh perempuan cantik dengan kulit putih mulus dan kaki jenjang menggiurkan, menantinya untuk melakukan sesuatu yang sangat-sangat dilarang oleh agama.
Dada Bajag semakin berdetak kencang saat memperhatikan bahwa daster tidur yang dikenakan oleh Aisyah telah tertarik ke atas, hanya menutupi sebatas pinggulnya saja, memperlihatkan area kemaluannya yang meski dilapisi oleh celana dalam, tapi jelas menunjukkan rambut hitam yang tumbuh cukup lebat disana. Mata Bajag beralih ke atas, menatap ke arah dada Aisyah yang berpotongan rendah. Disana terlihat sebagian besar gunung kembarnya, membuat puting Aisyah yang mungil hampir menyembul keluar.
Bajag gugup melihat semua itu, gemetar ia menyaksikan indahnya pemandangan ini. Takut kalo seandainya Aisyah tiba-tiba sadar dan terbangun, serta menyaksikan ia berada di sampingnya sambil menatap takjub pada dirinya. Sadarkah Aisyah dengan keadaan dirinya ? Apakah dia memang benar-benar tertidur pulas sehingga tidak menyadari bahwa kehormatannya sedang terancam sekarang?
Ada keinginan yang bertolak belakang di hati Bajag. Keinginan yang pertama adalah segera pergi dan keluar dari kamar itu, meninggalkan Aisyah tidur sendirian. Namun disisi lain ada keinginan untuk tetap berada disitu, menikmati apa yang disuguhkan Aisyah kepadanya, dengan alasan bahwa ini adalah pengalaman pertama dan satu-satunya bagi dirinya dan mungkin tidak ada kesempatan lain untuk menikmatinya di lain waktu.
Bajag tertegun sejenak, melihat sekeliling, memastikan bahwa keadaan telah benar-benar aman. Entah apa yang membuat keberaniannya meningkat, tahu-tahu ia sudah memegang kaki Aisyah dan menariknya menjauh, membuat posisi kaki Aisyah sekarang terbuka lebar. Bajag lalu beringsut duduk diantara celah paha Aisyah, mengambil posisi senyaman mungkin disana.
Pelan ia mulai menelusuri bagian dalam paha Aisyah yang putih mulus, mulai dari lutut, dan terus naik dan semakin naik hingga jari-jarinya mencapai pangkal paha Aisyah dan berujung di pinggiran bukit kemaluan gadis cantik itu. Menggunakan jari telunjuk, ia geser kain celana dalam Aisyah agak ke tepi hingga bisa menyentuh daging lunak berbelahan sempit yang ada di baliknya. Gemetar Bajag menggerakkan ibu jarinya untuk menggesek bibir kemaluan Aisyah, mengetes reaksinya, sebelum menarik lagi tangannya saat didengarnya Aisyah sedikit mengeluh.
Tapi saat dilihatnya Aisyah masih tetap tertidur pulas, Bajag pun mengulang lagi aksi bejatnya. Ia urut belahan sempit yang terasa lengket itu hingga bibir kemaluan Aisyah jadi semakin terbuka lebar sekarang. Bentuknya sungguh sangat menggoda; tidak seperti milik Murti yang sudah menghitam karena sudah sering dipakai, vagina Aisyah masih tampak utuh dan sempurna. Dengan warna merah menyala dan belahan yang masih sangat sempit, Bajag yakin kalau Aisyah benar-benar masih perawan. Membuat Bajag jadi ragu, haruskah ia meneruskan perbuatan ini?
Tapi setan terus berbisik dan merayu imannya, hingga Bajag yang pada dasarnya masih labil, dengan mudah terbujuk. Tanpa bisa membantah, iapun menerus aksinya, tapi kali ini sambil memperlihatkan sikap waspada. Diperhatikannya wajah Aisyah yang masih terpejam rapat, suara dengkuran gadis itu terdengar halus dengan dada naik turun tak beraturan. Aisyah tersenyum dalam tidurnya, seolah ikut menikmati sensasi yang diberikan oleh Bajag. Sementara di bawah, vaginanya yang semula kering, kini mulai menjadi sedikit basah, seolah ada yang menyiramnya dengan cairan licin tak berwarna.
Tak tahan melihat semua itu, cepat Bajag melepas celana. Ia biarkan batang penisnya yang sudah menegang dahsyat mengacung tegak ke depan hingga bisa menyentuh belahan kewanitaan Aisyah. Terasa sangat geli sekali saat ia mulai menggesek-gesekkan ujung penisnya dengan bagian luar kewanitaan Aisyah. Bajag juga memberanikan diri dengan menjulurkan tangannya ke depan, menyentuh halus bagian atas dada Aisyah yang tidak tertutup oleh baju tidurnya. Hanya menyentuh, tidak lebih. Bajag tidak ingin membuat Aisyah terbangun.
Tapi entah bagaimana, mungkin akibat gesekan atau akibat dari nafsu Bajag yang sudah meledak-ledak, penisnya yang semakin keras dan tegang mulai mencari jalan untuk mencari kenikmatan lebih. Tanpa sadar -meski dari awal tidak berniat untuk menyetubuhi Aisyah- perlahan Bajag menggeser lutut dan paha Aisyah untuk semakin melebarkan celah mungil yang ada di selangkangannya. Tanpa disuruh dan diminta, penis Bajag yang semula hanya menggesek-gesek bagian luar kewanitaan Aisyah, kini mulai menyeruduk masuk menuju lubang kenikmatan perempuan cantik itu.
”Ups,” Bajag tercekat atas meluncurnya sang penis di luar kendalinya, menelusuri jalan licin dan sempit di belahan kewanitaan Aisyah. Ingin ia menarik kembali, namun Bajag takut kalau gerakannya yang tiba-tiba malah akan membuat Aisyah terbangun. Bisa celaka dia kalau dipergoki dalam keadaan seperti ini.
Maka Bajag menahan diri, sambil menahan nafas juga, menunggu reaksi dari Aisyah. Namun ternyata gadis itu diam saja, tidurnya masih terus berlanjut, membiarkan Bajag bertarung sendirian melawan hawa nafsunya. Dan tentu saja setan selalu menang; bukannya mencabut batang penisnya, Bajag malah mendorongnya semakin jauh ke dalam. Perlahan-perlahan ia terus menusukkannya hingga tiba-tiba saja Bajag merasakan ada sebuah dinding tebal yang menghalangi jalannya.
”Ok, cukup!” Bajag berkata dalam hati. Ia tidak ingin mengambil keperawanan Aisyah. Baginya begini sudah cukup. Bajag sudah merasa nikmat. Tanpa perlu merusak kehormatan Aisyah, Bajag merasa sudah bisa menyalurkan hasrat seksualnya.
Pelan Bajag mulai menggoyangkan pantatnya, menarik dan mendorong penisnya di sekitar bibir kewanitaan Aisyah. Hanya ujung penisnya yang masuk, namun sudah sanggup membuat Bajag melenguh nikmat. Ia terus melakukannya sambil berusaha mencari sensasi lebih. Dia arahkan tangan ke dada Aisyah yang masih tertutup baju tidur dan menyentuhnya perlahan. Bajag mulai meraba dan mengelus-elusnya lebih kuat saat dilihatnya Aisyah masih tetap tertidur dengan begitu pulasnya. Wajah cantiknya tampak damai, tidak ada perubahan apapun.
Semakin berani, Bajag segera menyingkap bagian baju tidur Aisyah yang menutupi sebagian kecil area payudaranya. Ia menarik dan menurunkannya, memaksanya agar jadi sedikit mengendur. Dengan begitu bisa memperlihatkan semua bagian yang tadi tersembunyi disana. Tampak puting mungil Aisyah yang berwarna merah muda, dengan dikelilingi lingkaran sewarna yang berdiameter sekitar dua cm.
Bajag segera mencium dan mengulumnya sambil terus memaju-mundurkan pantatnya, mendorong agar batang penisnya mendapatkan kenikmatan lebih. Ia juga mulai meremas-remas bulatan payudara Aisyah saat dilihatnya gadis itu masih tetap tertidur pulas. Terasa puting Aisyah mulai sedikit mengeras di dalam mulutnya.
Memandangi wajah cantik dan bibir indah Aisyah, membuat Bajag jadi penasaran ingin mengecupnya. Sambil terus melakukan dorongan-dorongan lembut ke vagina Aisyah, ia pun mendekatkan mulutnya kesana. Bajag memajukan bibir untuk mengecup bibir indah Aisyah.
”Hmm…” sensasinya sungguh luar biasa. Apalagi dalam tidurnya, Aisyah ternyata juga membalas kecupan itu. Bajag terus mempertahankan posisi sebelum akhirnya ia mulai turun untuk beralih ke arah payudara Aisyah yang padat dan indah. Ia kecup dengan lembut kedua puting Aisyah secara bergantian, lalu mulai menghisap-hisapnya secara rakus saat dilihatnya Aisyah masih tetap tertidur pulas dalam balutan mimpi indah.
Waktu terus berlalu. Entah berapa menit kemudian -mungkin karena penis Bajag sudah sangat terangsang- penetrasi yang ia lakukan nampaknya akan segera berakhir. Bajag merasakan seperti ada sesuatu yang akan meledak di ujung penisnya. Secara otomatis ia pun mempercepat gerakan, namun juga sedikit ia tahan karena takut Aisyah akan terbangun nantinya. Maka begitulah, tanpa dapat ditahan lagi, Bajag menyemburkan spermanya ke perut Aisyah.
Sengaja ia tidak mengeluarkan di dalam rahim Aisyah karena tidak ingin membuat gadis itu hamil. Tampak lelehan spermanya berceceran di perut Aisyah yang mulus dan ramping. Bajag segera melepas kaos yang dikenakannya untuk dipakai membersihkan cairan putih kental itu sebelum jatuh ke atas sprei. Sisa-sisanya yang masih menempel di ujung penisnya, juga ia lap pelan pelan. Baru kemudian Bajag bisa terduduk lemas.
Ada perasaan menyesal setelah melakukan ini, tapi juga lega karena tidak sampai merusak selaput dara Aisyah. Gadis itu masih tetap perawan! Ia perhatikan wajah cantik Aisyah yang masih tersenyum tipis dalam tidur pulasnya, gadis itu diam terpejam seolah tak menyadari apa yang telah terjadi. Menghela nafas puas, pelan Bajag beringsut turun dari ranjang. Setelah merapikan kembali baju Aisyah, tanpa bersuara ia berjalan ke arah pintu dan balik ke dalam kamarnya.
Bajag menghempaskan badan ke atas tempat tidur, ia merebahkan diri sambil mendengarkan suara rintik hujan yang tiba-tiba datang, membuat suasana yang hening jadi bertambah sepi. Sepi yang membungkus kedamaian hati.
Bersambung…