Warning: Novel 21+
Bijaklah dalam memilih bacaan yang sesuai dengan usia anda!.Ceysa tidak lagi percaya cinta sejak pernah sangat terluka. Baginya, kebutuhannya pada seorang pria hanya untuk menghangatkan malamnya. Tidak ada komitmen, hanya untuk bersenang-senang.
Suatu ketika dia terjebak dengan seorang pria yang jauh lebih muda, yang dibayarnya untuk satu malam lewat sebuah aplikasi dating online. Ceysa pikir, dia tidak beruntung malam itu. Namun siapa sangka, itu menjadi malam yang paling berkesan untuknya.
Akankah Ceysa membutuhkan pria itu lebih dari satu malam?
Ngocoks Di usia kepala tiga, karir Ceysa makin bersinar. Usaha Wedding organizer yang dibangunnya dari nol, kini telah memiliki cabang di mana-mana. Tapi, di balik kesuksesan itu ada kegagalan yang selalu dipertanyakan, yaitu soal percintaannya. Dalam hal ini, Ceysa sangat tidak beruntung.
Ceysa adalah tipe wanita yang sangat sulit untuk jatuh cinta. Sekalinya dia menyukai seorang pria, malah harus berakhir dengan terluka. Sejak saat itu Ceysa tidak mau percaya lagi pada yang namanya cinta.
Ting!. Ceysa melirik ponselnya yang ada di sebelah mouse pad, membuatnya sejenak beristirahat dari kesibukan yang menyita waktu sejak pagi. Ada sebuah notifikasi dari aplikasi dating online, yang memang sedang ditunggu.
Jangan bayangkan Ceysa sudah putus asa sehingga memilih mencari pacar lewat aplikasi kencan, ini bukan yang seperti itu. Aplikasi dating online ini ibarat perantara dalam menemukan teman tidur, hanya sebatas itu. Ya, dia memang gila untuk urusan yang satu ini, tapi membutuhkannya sebagai wanita normal berusia tiga puluh tahun.
Bukannya tidak bisa mencari sendiri, tapi kebanyakan pria di luar sana ingin lebih. Sementara dia hanya membutuhkan hubungan satu malam tanpa harus repot-repot berkomitmen atau basa-basi.
“Vale,” ucap Ceysa menyebut nama pria yang baru saja mengirimkan ketertarikan pada tawarannya di aplikasi itu.
Tidak bisa dipastikan itu nama yang asli atau hanya samaran, dan Ceysa tidak begitu peduli. Toh, dia juga tidak memakai identitas asli. Tidak ada foto atau hal pribadi apapun yang akan muncul, sehingga semuanya aman.
Ceysa membuka profil pria bernama Vale itu. Akunnya terverifikasi, yang artinya bukan seorang penipu. Tidak ada foto, karena memang aplikasi ini sangat menjaga privasi seseorang. Namun di sana tertera detail ciri-ciri fisiknya, meski berpotensi tidak jujur.
Di situ, pria itu hanya menulis kalau dia memiliki kulit yang bersih dan aroma tubuh yang wangi. Tidak ada yang dilebih-lebihkan, tapi justru itu dua hal penting yang Ceysa inginkan.
Dari awal, Ceysa sudah cukup tertarik dengan namanya. Vale, nama yang unik. Lalu profilnya yang sederhana, patut dicoba. Dia pun menekan accept sebagai tanda kalau hubungan mereka bisa dilanjutkan. Selanjutnya tinggal mengirim undangan mengenai waktu dan tempatnya.
Begitu saja.
Ceysa sudah kembali sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk. Tidak ada waktu untuk berangan-angan membayangkan seperti apa pria yang akan ditemuinya nanti. Toh, hanya untuk satu malam. Sejauh ini belum ada yang benar-benar membuatnya puas, hingga ingin mengulang malam bersama beberapa pria sebelumnya. Semua hanya untuk satu malam, malah ada yang berakhir sebelum dimulai lantaran prianya menjijikkan.
Tok. Tok. Tok.
“Bu, Pak Fredy dan Ibu Fidya sudah datang,” beritahu asisten Ceysa.
Ceysa pun berdiri, langsung ke luar menyambut dua orang tamu penting yang sudah ditunggu-tunggu. Untuk saat ini, hanya pekerjaan yang bisa membuatnya lebih bahagia. Kala mendapat job besar dari calon pengantin, itu merupakan pencapaian yang luar biasa.
***
Setelah mengirimkan chat pada Blaire kalau dia tidak akan pulang malam ini, Ceysa pun memacu mobilnya. Dia ingin me time di tempat perawatan tubuh lebih dulu, melakukan body spa secara menyeluruh. Secara fisik, harus diakui Ceysa sangat terawat.
Ponselnya berbunyi, Blaire yang menelepon. Ceysa pun memasang ear phone ke telinganya, lalu menerima panggilan itu.
“Halo, Bi?” sapanya.
“Cey, emangnya Lo mau ke mana kok nggak pulang?” tanya Blaire.
“Ada kerjaan nih di luar kota,” bohong Ceysa. Dia tidak mungkin jujur pada sahabatnya itu, bisa-bisa heboh satu kelurahan kalau mereka semua tahu kebiasaan apa yang dimilikinya selama ini.
“Yah … padahal gue sama Allura mau ngajakin Lo shopping malam ini. Lagi ada sale tau, Cey.”
“Kenapa nggak besok malam aja?”
“Cuma malem ini doang sale-nya.”
“Ya udah kalian pergi aja tanpa gue.” Ceysa memutar setir ke kiri, memasuki halaman parkir tempat spa langganannya.
“Ya udah deh, mau diapain lagi kalau Lo sibuk. Ini weekend loh Cey, jangan terlalu keras gitu kerjanya. Sesekali kasih badan Lo istirahat,” omel Blaire.
“Iyaaa. Bawel banget sih.”
“Ya udah, hati-hati ya. Kabarin kalau ada apa-apa.”
“Sip.” Ceysa mematikan mesin mobil. Dia turun dari mobil setelah selesai teleponan.
“Selamat sore Mbak Ceysa,” sapa seorang pegawai tempat spa itu.
Ceysa membalas dengan senyuman. Dia sudah sering ke sana, merupakan pelanggan tetap juga sehingga setiap datang pasti disambut dengan baik.
“Di ruangan VIP kosong tiga ya, Mbak. Silakan,” ucap seseorang.
Ceysa pun mengikuti seorang terapis langganannya. Dia dibawa ke sebuah kamar yang sangat nyaman.
“Hari ini ambil paket komplit ya, Mbak?” tanya terapis bernama Ayu itu.
“Iya, sekalian waxing ya.”
“Oke, Mbak.”
***
Ceysa sudah mengatur tempat untuk malam ini di sebuah hotel berbintang yang terletak cukup jauh. Dia juga telah mengirimkan lokasinya, nomor kamar, serta jam berapa Vale harus datang. Tidak ada basa-basi, pria itu cukup menjalankan perannya sesuai bayaran, lalu pergi.
Selagi Vale belum datang, Ceysa lebih dulu mandi merilekskan pikirannya. Dia hanya mengenakan bathrobe, membiarkan rambutnya tetap basah. Tidak perlu berdandan atau memakai lingerie berlebihan, karena hubungan yang terjadi malam ini hanya sebatas kepuasan.
Ting tong!
Ceysa cukup terkesan Vale datang di waktu yang benar-benar pas, tidak terlalu cepat ataupun terlambat. Dia pun membuka pintu cukup lebar, tapi kemudian terpaku menatap pria yang berdiri di depan pintu.
Dia … Vale?
“Vale,” ucap pria itu sembari memberi setangkai bunga mawar merah dan tersenyum memikat.
Sungguh, Ceysa tidak memungkiri pria berkemeja kotak-kotak ini sangat tampan. Namun yang jadi persoalan, bukankah dia terlihat terlalu muda?
“Hei …” Vale melambaikan tangan di depan wajah Ceysa.
Ceysa tersentak, lalu dengan cepat mengambil bunga itu dan mundur. Pria itu masuk ke dalam, tingginya pas dengan postur tubuh yang ideal. Saat lewat, aromanya benar-benar jenis kesukaan Ceysa, maskulin dan segar.
“Silakan duduk,” suruh Ceysa.
Vale tersenyum dan duduk di sofa itu, sembari matanya melihat-lihat seisi kamar berfasilitas mewah itu. “Kamu harusnya nggak perlu sewa kamar semahal ini,” ucapnya.
Ceysa duduk berhadapan dengan Vale dan menaruh bunga itu ke meja. “Ini demi kenyamanan,” ucapnya tenang.
Vale, si pemilik mata elang itu lantas menatap Ceysa begitu dalam. “Kamu sudah makan?” tanyanya.
“Berapa usia kamu?” tanya Ceysa to the point.
Vale sedikit mengerutkan kening, tapi kemudian terkekeh. “Emangnya kamu nggak lihat di profil aku?” tanyanya.
Ceysa rasanya melihat kalau usia pria itu di profilnya tiga puluh lima tahun. Tapi dia yakin usia Vale lebih muda dari itu. “Bisa tolong dijawab aja?” mintanya datar.
“Aku dua tiga,” jawab Vale. “Sorry, aku sengaja palsuin umur di profil biar nggak diincar sama Tante-tante.”
Shit!
Ceysa memijat keningnya. Dia tidak pernah membayangkan akan tidur dengan pria yang tujuh tahun lebih muda darinya. Jadinya, dia seperti Tante-tante yang mencari kepuasan pada seorang brondong.
“Ada masalah?” tanya Vale bingung.
“Saya udah bayar kamu sesuai kesepakatan. Tapi, bisa kita akhiri sampai di sini?” tegas Ceysa tanpa basa-basi.
Vale mengerutkan kening. “Kenapa?” tanyanya.
“Kamu nggak perlu tau alasannya.” Ceysa kemudian berdiri, “silakan ke luar.”
“Karena usia aku?” Alih-alih menuruti keinginan Ceysa, Vale tetap duduk di sana.
“Saya mohon, kamu pergi sekarang,” ulang Ceysa penuh penekanan.
Vale tersenyum geli. “Aku nggak suka dibayar tanpa bekerja. Kamu udah keluarkan banyak uang untuk semua ini, kenapa harus diakhiri?” tanyanya keras kepala.
“Maaf, saya tidak terbiasa bermain dengan anak kecil,” ucap Ceysa agak kasar.
Vale terkekeh. “Kamu harus mencoba lebih dulu anak kecil ini, baru nanti putuskan apakah permainannya akan menyenangkan atau tidak,” ucapnya menantang.
Saat Vale berdiri, Ceysa merasa gugup dan jantungnya berdebar keras. Dia bisa mencium kembali aroma pria itu. “Sa-saya minta kamu pergi sekarang. Saya tidak …” Ucapan Ceysa terhenti ketika tubuhnya didesak ke tembok, dan dikunci dengan kedua tangan Vale yang kekar.
“Try me,” bisik Vale.
Jantung Ceysa berdebar makin keras ketika bibirnya dilumat oleh Vale. Dia tidak pernah mengizinkan pria mana pun menyentuh wajahnya, tapi kali ini ciuman Vale melemahkannya. Dia tak berdaya dalam permainan bibir dan lidah Vale.
Vale menarik Ceysa menuju ranjang, lalu membaringkannya. Dia melepas kemejanya, memamerkan otot-otot di perut. Lalu dia membungkuk di atas wanita itu dan mencium bibirnya kembali.
Kali ini, Ceysa membalasnya.
“Kamu nggak mau pulang?”
Vale mengancingkan celananya. Lalu memicingkan mata, “ngusir banget nih?” kekehnya.
“Nggak berniat nginep, kan?” sindir Ceysa. Dia tidak pernah membiarkan pria manapun ikut menginap, karena kebutuhannya telah terpenuhi.
“Kalau diizinin sih …” Melihat tatapan tajam Ceysa, Vale tertawa. “Galak banget sih. Ngobrol dulu gimana? Tenang, gratis kok.”
Ceysa mencebik.
Sebotol red wine dan dua gelas telah disediakan di atas meja. Ceysa tidak pernah berpikir akan menjamu pria satu malamnya seperti ini, namun itulah yang terjadi. Mereka duduk di balkon kamar menikmati udara yang menyejukkan.
“Kamu udah lama kerja kayak gini?” tanya Ceysa.
“Nggak juga. Aku baru jadi member di aplikasi itu tiga bulanan,” jawab Vale.
“Oh.” Baru tiga bulan tapi keahlian bercintanya sudah expert, haruskah Ceysa percaya?
“Kamu sendiri?”
“Baru enam bulan,” jawab Ceysa.
“Bukan itu pertanyaannya,” ledek Vale. Dia terkekeh, tapi Ceysa tetap dengan ekspresi tenangnya. “Kenapa pakai jasa aplikasi dating? Aku yakin kamu bisa dapetin pria manapun dengan mudah.”
“Pria manapun yang kamu maksud nggak akan setuju dengan hubungan satu malam. Mereka pasti menuntut hal lainnya,” jawab Ceysa.
Vale menatap Ceysa begitu dalam. Entah apa yang dia pikirkan. “Emang nggak bisa lebih dari satu malam?” tanyanya.
Ceysa balas menatap Vale. “Ini akan jadi pertemuan pertama dan terakhir kita,” tegasnya.
“Kejam banget,” ledek Vale.
Ceysa hanya mencebik. Dia menyesap wine sedikit demi sedikit. Matanya memandang ke langit, begitu banyak bintang di sana. Malam ini cerah.
“By the way, nama kamu siapa?” tanya Vale. “Kita belum kenalan secara resmi.” Dia menyodorkan tangan.
“Kamu nggak perlu tau apapun tentang saya. Apapun yang terjadi di antara kita, jangan dianggap serius,” ucap Ceysa.
Vale menghela napas dan menarik tangannya. “Kamu membutuhkan lebih dari sekedar teman tidur,” ucapnya sok tahu.
“Kayaknya kita udah melewati batas. Aku harap kamu bisa pergi sekarang,” usir Ceysa sembari berdiri.
Saat Ceysa akan masuk ke dalam, Vale menarik tangannya hingga wanita itu duduk di pangkuannya. Protes Ceysa dibungkam oleh ciuman Vale.
Awalnya Ceysa berniat menolak, tapi pria itu membuatnya kembali tak berdaya. Dia pun mengalungkan tangan ke lehernya, membalas ciuman itu sama bersemangatnya. Belum satu jam mereka beristirahat dari lelah, nafsu sudah kembali datang.
Vale menciumi leher Ceysa dengan rakus. Dia suka aroma tubuh wanita itu, manis dan menyegarkan. “Kamu jangan pakai parfum ini saat bersama pria lain,” bisiknya sembari mencium daun telinganya.
Ceysa tidak begitu menggubrisnya, karena yang ada di kepalanya hanya nafsu yang membara. Hasratnya bagai tidak pernah padam, anehnya itu hanya terjadi saat bersama Vale. Laki-laki sebelumnya, lebih banyak membuat Ceysa ilfeel.
***
Ceysa terbangun setelah mentari pagi menampakkan cahayanya lewat tirai jendela yang terbuka. Dia tidak bisa bergerak karena tangan Vale sedang memeluknya. Semalaman mereka tidur di ranjang yang sama dengan posisi seperti ini. Dia sendiri lupa apa yang membuatnya mengizinkan Vale menginap, mungkin karena kelelahan jadi tidak bisa berpikir jernih.
Pelan-pelan Ceysa memindahkan tangan Vale dari tubuhnya. Dia duduk sembari memijat kepala. Masih terasa mengantuk, tapi tidak bisa tetap di sini. Selain alasan pekerjaan yang telah menunggu, dia juga tidak ingin sampai terjebak dengan seorang brondong.
Dengan sangat hati-hati, Ceysa turun dari ranjang. Dia tidak menciptakan suara apapun hingga selesai bersiap. Sebelum pergi, lebih dulu ditulisnya sesuatu di sebuah kertas. Sejenak dia memandang wajah pulas Vale.
“Kamu cukup mengagumkan, tapi sorry kita harus akhiri sampai di sini.” Ceysa bergumam dalam hati.
Setelah itu Ceysa meninggalkan hotel. Dia telah berpesan pada resepsionis untuk membangunkan Vale bila hingga waktunya check out pria itu belum juga pergi.
Selama perjalanan, ingatan tentang percintaannya dengan Vale terus gentayangan di kepala. Sosok itu telah membuatnya terpuaskan semalaman. Bila harus dibandingkan dengan pria lain yang pernah tidur dengannya, Vale yang terbaik.
Andai usia Vale sama dengannya atau jauh di atasnya, mungkin dia akan mempertimbangkan untuk bertemu lagi dengan pria itu. Sayangnya, Ceysa tidak tertarik berhubungan dengan seseorang yang lebih pantas menjadi adiknya. Tujuh tahun perbedaan yang sangat tidak masuk akal untuk bisa dimaklumi.
“Wake up Ceysa, Lo nggak seharusnya mikirin anak kecil itu.”
Bersambung…