Selesai mandi, Ceysa duduk di depan televisi memutar channel favorite-nya yang menayangkan acara pernikahan dari berbagai Negara. Banyak konsep unik yang biasanya bisa dia jadikan referensi untuk bisnis WO-nya supaya lebih bervariasi.
“Itu rambutnya dikeringin dulu biar nggak masuk angin,” gerutu Vale. Dia begitu telaten mengambil hair dryer, lalu mengerjakannya untuk Ceysa.
“Kalau aku masuk angin, kamu yang aku salahin karena ngajakin mandi tengah malem.” Ceysa mengulum senyum.
“Ini aku tanggung jawab.” Vale tidak pernah belajar cara mengeringkan rambut, tapi ternyata sangat mudah. Dia mengambil sebagian rambut lalu mengeringkannya, seperti itu sampai semua merata.
“Manis banget sih, adik gemes.” Ceysa memuji, tapi juga mengejek.
“Bilang apa tadi?” Vale mematikan pengering itu dan menaruh dagunya ke atas bahu Ceysa. Pipinya terasa sejuk akibat menempel pada rambut wanita itu.
“Apa?” Ceysa berpura-pura lupa.
“Tadi, kamu panggil aku apa?” ulang Vale.
“Adik gemes?”
“Geli.” Vale berpura-pura merinding jijik pada panggilan itu.
Ceysa terbahak.
“Aku itu lebih tinggi dari kamu, mana bisa dibilang adik gemes. Ukur coba tinggi kamu aja cuma sedagu aku.”
“Hei kisanak, usia nggak bisa bohong. Jangan ngeles kayak kang bajai,” ejek Ceysa.
“Hei nenek lampir, walau usia aku lebih muda, tapi pemikiran aku jauh lebih dewasa. Tanamkan itu di kepala kamu, ya!” balas Vale.
“Ihhh, kok nenek lampir, sih?” Ceysa memelototi Vale. “Emang aku setua itu buat kamu?”
Vale tertawa, “iya nggak. Cantik gini mana mungkin kayak nenek lampir.”
“Terus kayak apa?” Ceysa berharap dipuji, terlihat dari ekspresi ngarep yang dia tunjukkan itu.
“Penyihir?”
Wajah Ceysa kembali cemberut. “Kok nggak perinya aja?” protesnya.
Vale menggeleng. “Aku ngebayangin kalau kamu jadi penyihir pasti cantik banget. Soalnya, penyihir mukanya jutek, sama kayak kamu,” kekehnya kemudian.
“Mana ada muka aku jutek.”
“Kamu nggak ngerasa di awal-awal kita ketemu, sejutek apa kamu sama aku?” Vale mencebik.
“Habisnya dideketin sama brondong yang kelewat ngegas, gimana nggak kesel coba?”
Vale terkekeh. “Tapi akhirnya kamu menyerah juga, kan? Vale gitu loh …” ucapnya dengan bangga.
Ceysa tidak ingin mengakuinya, tapi senyum di wajahnya itu sudah cukup sebagai pengakuan. Vale benar, dia menyerah pada akhirnya.
Setelah selesai mengeringkan rambut Ceysa, Vale ke dapur mengambil nasi goreng yang dibelinya tadi. Perutnya sudah terasa lapar, sampai berbunyi terus menerus. Dia duduk di samping kekasihnya itu, benar-benar dekat.
“Suapan pertama buat pacar aku yang cantik,” ujarnya sembari menyodorkan sendok ke mulut Ceysa.
“Nggak mau, aku kenyang.” Ceysa menutup mulutnya dengan telapak tangan.
“Makan,” paksa Vale.
Ceysa menggeleng.
“Kalau nggak makan, aku marah.”
“Val, ini udah jam berapa coba? Kamu mau aku gendut makan masih goreng tengah malem?” Ceysa menunjuk jam digital di atas buffet.
“Nggak papa gendut, aku tetep cinta.” Vale tetap memaksa.
“Kamu tau nggak sih timbangan aku udah naik drastis sejak pacaran sama kamu?” keluh Ceysa, terpaksa membuka mulutnya.
“Bagus dong kalau gitu, artinya kamu bahagia sama aku. Nggak makan hati kayak yang suka diomongin tetangga julid.”
Ceysa tertawa mendengarnya. “Kamu pasti sering dengerin ibu-ibu lagi ngerumpi ya?” cibirnya. Tanpa sadar dia membuka mulut lagi saat Vale terus menyuapi.
“Bukannya sengaja dengerin, tapi tiap pagi ibu-ibu di kompleks sana tuh beli sayur depan kos, setiap harus kalau nggak Ibu Susan, ya Ibu Hana yang mereka omongin.”
“Siapa tuh Ibu Susan, Ibu Hana?”
Vale mengangkat bahu. “Katanya ya, lihat deh Bu Hana badannya makin kurus, pasti karena makan hati punya suami pengangguran. Besoknya, eh kalian udah denger kabar belum suami Bu Hana ketahuan selingkuh? Itu pasti karena nggak betah punya istri badannya kayak baskom.”
Ceysa tertawa lepas mendengar cara Vale bicara yang benar-benar mirip ibu-ibu sedang bergosip. Ekspresinya juga begitu total, dengan gerakan bibir nyinyir khas tukang gosip.
“Makanya, nggak usah dengerin omongan orang. Mau kita kurus atau gemuk, kalau orang udah nggak suka ya bakalan tetep nggak suka. Mereka nggak akan memuji sekalipun kita ngelakuin hal baik, tapi nomor satu menghujat kalau sekecil apapun kesalahan yang kita lakuin.”
Ceysa mengangguk setuju kalau itu. “Tapi serius deh, kamu udah cocok kalau mau masuk geng ibu-ibu tadi,” ejeknya tertawa kembali.
“Sialan.” Vale memiting kepala Ceysa, lalu menyuapinya lagi.
Tidak terasa satu piring malah Ceysa yang menghabiskan semuanya. Vale hanya kebagian dua suapan, padahal dia yang sangat kelaparan.
Setelah menaruh piring ke dapur dan mencucinya, Vale kembali duduk di samping Ceysa dan menaruh kepala wanita itu ke dadanya. “Kamu mau tidur sekarang?” tanyanya.
Ceysa menggeleng.
“Kepalanya masih sakit nggak?” tanya Vale sembari memperhatikan memar di kening Ceysa itu. Perbannya sudah dibuka karena mandi tadi, terdapat sedikit lecet kebiruan.
“Udah nggak.” Ceysa merapatkan tubuhnya, cuaca sangatlah dingin. “Tadi selesai dari cafe Mas Adam, kamu kenapa nggak nelepon aku?”
Vale diam.
“Kenapa sih kalau marah gitu banget, sampai nggak mau nelepon. Nggak bales chat juga. Ngeselin, tau?” Ceysa masih kesal soal ini.
“Maaf, tadi aku lagi ada urusan.”
“Urusan apa?”
“Bentar.” Vale lantas berdiri, mencari keberadaan tasnya. Setelah ketemu, dia mengeluarkan sesuatu dari dalam situ dan membawanya pada Ceysa.
Dari bentuknya, Ceysa sepertinya tahu apa isinya. “Kado buat aku?” tanyanya.
Vale mengangguk.
Ceysa dengan antusias mengambil kotak kecil berbentuk hati itu, lalu membukanya. Tadi dia tebak isinya cincin, dan memang benar. Hanya saja ada dua cincin di dalamnya, satu berukuran agak besar dan satunya lagi kecil. Dia terpaku menatapnya, kehilangan kata-kata.
“Gara-gara terbawa emosi lihat kamu deket-deket Mas Adam tadi, aku beli cincin itu maksudnya buat melamar kamu. Biar kamu nggak berpaling ke laki-laki lain. Biar kamu nggak bisa ke mana-mana lagi, cuma sama aku.” Vale berkata sejujurnya. Lalu, “tapi setelah emosi aku cukup reda, aku rasa itu pemikiran yang konyol. Aku nggak sadar kalau aku belum punya apa-apa untuk …”
“Aku mau,” potong Ceysa.
Vale menatap Ceysa lekat.
“Aku terima lamaran kamu,” perjelas Ceysa dengan serius.
“Tapi Cey, itu … aku nggak …” Vale jadi bingung sendiri sekarang. Benarkah Ceysa mau?
Ceysa menunggu kelanjutannya, alis kanannya menukik ke atas.
“Kamu nggak lagi salah paham, kan?” tanya Vale.
“Apa sih?”
“Maksud aku, ini aku ngelamar kamu loh. Aku … mau nikahin kamu.”
“I know, kamu udah bilang tadi.”
Vale terhenyak beberapa saat.
“Kenapa malah kamu yang jadi ragu sekarang? Ini kamu serius nggak sih, atau cuma aku yang berharap terlalu berlebihan?” Ceysa mendesah.
“Aku serius. Aku serius.” Vale lantas memegang tangan Ceysa. “Tapi kamu yakin, mau nerima lamaran aku dengan segala kekurangan yang aku punya?”
Ceysa mengangguk.
“Aku nggak punya apa-apa, Cey. Gaji aku nggak akan cukup untuk penuhi kebutuhan hidup kamu. Aku cuma …”
Ceysa menutup mulut Vale dengan satu ciuman. “Kita bisa berjuang dari nol sama-sama, aku bakal setia sama kamu,” ucapnya meyakinkan.
“Cey …” Vale ingin menangis rasanya.
“Lamar aku sekali lagi, dengan cara yang lebih serius,” minta Ceysa sambil menaruh kotak cincin itu ke tangan Vale.
Vale gemetar. Dia lantas berlutut di hadapan Ceysa, sungguh kehilangan kata-kata yang biasanya sangat mudah terlempar dari mulutnya. Dia mencoba menenangkan diri, menarik napas dan membuangnya perlahan.
Ceysa menunggu dengan debar jantung yang begitu cepat. Beginikah rasanya dilamar? Dia yang sudah sering mengurus pernikahan pasangan lain, namun tidak pernah tahu seperti apa rasanya.
“Ceysa Aleiza, pertemuan kita sangat singkat, tapi aku benar-benar yakin kalau aku ingin menghabiskan waktu bersama kamu. Kamu wanita terakhir yang sangat aku inginkan menjadi ibu dari anak-anakku nanti. Aku nggak bisa janjikan sesuatu yang belum aku miliki, tapi aku bisa pastikan apapun yang aku dapatkan nanti akan aku berikan semuanya sama kamu.” Vale tidak lagi merasa gugup, malah sangat yakin. “Will you marry me?”
Ceysa menggigit bibir bawanya, lalu tanpa ragu mengangguk. Dia tidak bisa menahan air matanya jatuh saat cincin itu dipasangkan ke jari manis sebelah kirinya. Semua kenangan di awal pertemuan mereka bagai sedang diputar kembali, sangat singkat tapi berkesan.
Vale memeluk Ceysa dengan erat, dan berkata, “Aku janji nggak akan bikin kamu sedih, apalagi kecewa. Makasih udah percaya sama aku.”
Ceysa mengangguk.
“NIKAH?!”
Blaire dan Allura sontak saja terkejut begitu mendengar kabar yang Ceysa sampaikan. Tidak ada embusan angin soal rencana pernikahan sebelumnya, tapi tiba-tiba wanita itu bilang akan menikah Minggu depan. Bahkan, Allura dan Onyx yang sudah memberi statement akan menikah satu bulan yang lalu saja belum pasti kapan momen bahagia itu akan terwujud.
Allura merendahkan suaranya, “Cey, Lo nggak lagi itu, kan?” tanyanya.
“Itu apa?” Ceysa tidak mengerti arah pembicaraan Allura.
Allura berdeham, lalu lebih mendekat agar suaranya tidak didengar selain oleh mereka bertiga di cafe itu. “Lo … nggak lagi hamil, kan?” bisiknya lagi.
Blaire pun refleks memandang perut Ceysa, lantas mulai curiga lantaran wanita itu memakai kaus berukuran besar. “Ya ampun Cey, kenapa nggak main aman sih? Iya kita tau Lo sama Vale udah dewasa, tapi …”
“Heh, mikir apa sih kalian?” potong Ceysa. Dia ikut merendahkan suara, karena terlalu hening di sana. “Gue nggak hamil, jangan aneh-aneh deh.”
“Terus kenapa tiba-tiba mau nikah?” tanya Blaire dan Allura bersamaan.
“Emang salah ya gue memutuskan menikah di usia ini? Bukannya kalian sendiri yang nyuruh gue cepet-cepet melepas status lajang?” Ceysa merasa kedua sahabatnya ini tidak konsisten. Dulu, saat dia belum tertarik memiliki hubungan serius dengan laki-laki, mereka mendesak untuk segera cari pasangan yang serius.
“Ya nggak salah sih.” Blaire akhirnya merasa reaksinya sudah berlebihan.
“Kita tuh cuma shock aja Cey. Tapi ya emang Lo banget sih ini, kalau bikin keputusan selalu yang tiba-tiba tanpa bertele-tele dulu.” Allura mengesah.
Blaire tertawa geli.
Ceysa menyesap air jeruknya dengan ekspresi tenang. “Kita berdua pengen pernikahan ini nantinya dirahasiakan dan yang tau cuma sahabat terdekat aja,” beritahunya.
“Nggak dirayain?” tanya Allura makin tak habis pikir.
Ceysa menggeleng.
Blaire dan Allura saling pandang.
“Kalian tau, kan, kondisi Vale seperti apa? Gue pikir, kalau pernikahan ini diketahui banyak orang, mereka akan mulai nyari tau siapa suami gue, terus apa latar belakangnya. Kalian ngerti maksud gue, kan?”
Blaire dan Allura mengangguk.
“Makanya untuk sementara gue mau ini dirahasiakan dulu. Gue mau kasih kesempatan buat Vale berkembang, tanpa harus terbeban dengan apa yang orang lain pikirkan.” Ceysa tidak main-main, ini bentuk keseriusan cintanya. “Gue cuma mau melindungi harga diri Vale, karena pasti nggak mudah buat dia berdiri di samping gue.”
Blaire dan Allura terharu mendengar itu. Mereka memegang tangan Ceysa dengan dukungan penuh.
“Sumpah ya, baru kali ini gue bangga banget bisa jadi temen Lo.” Allura tak kuasa menahan air matanya.
“Lo keren Cey,” puji Blaire.
“Kalian apaan sih, jangan bikin kabar baik ini kesannya jadi menyedihkan deh,” tepis Ceysa, tak mau ikutan melow seperti kedua sahabatnya itu.
“Kita tuh kelewat bahagia tau, Cey!” pekik Allura lebih lepas. Dia langsung berdiri dan memeluk Ceysa dari samping.
Blaire juga melakukan hal yang sama, memeluk Ceysa dari arah berbeda. “Selamat ya Cey, ini berita yang nggak sederhana, dan berkesan banget buat gue,” ucapnya.
Allura mengangguk. “Gue dukung Lo sama Vale. You both should be happy, okay?”
“Nyebelin, kenapa malah bikin gue jadi pengen nangis sih?” lirih Ceysa.
Ketiganya berpelukan penuh haru, tak lagi memedulikan padangan para pengunjung cafe di sana. Bahkan Vale yang sedang mondar-mandir bekerja, ikut bingung menyaksikan luapan perasaan ketiganya saat ini.
“Kenapa?” tanya Vale dengan gerakan bibir, dari posisinya berdiri di dekat meja kasir.
Ceysa tersenyum dan menjawab, “I love you,” juga lewat gerakan bibir.
Vale menunduk dan tersenyum.
***
Hari ini, Vale dan Ceysa akan pergi ke kota kelahiran wanita itu. Vale ingin meminta restu secara langsung pada Papi Ceysa, meski berulangkali Ceysa katakan tidak perlu. Wanita itu bilang cukup ditelepon saja, tapi Vale merasa itu terlalu tidak sopan. Meski dia tahu hubungan Ceysa dan Papinya sedang bermasalah, sebagai laki-laki Vale ingin menunjukkan itikad baik.
“Kita ke makam Mami dulu aja,” ajak Ceysa begitu turun dari pesawat.
“Boleh,” sahut Vale setuju.
“Kita masih ngejar pesawat sore ini, jadi nanti di rumah Papi kamu nggak perlu basa-basi. To the point aja, terus kita pulang,” ucap Ceysa memberikan arahan.
“Kok gitu sih?” Vale merangkul Ceysa. “Ini kita mau minta restu loh, bukan nagih hutang. Jangan terlalu keras, walau gimanapun itu Papi kandung kamu.”
Ceysa diam saja.
“Cey, gimana kalau nanti Papi kamu nggak setuju sama aku?” tanya Vale di taksi menuju ke pemakaman Mami Ceysa.
“Dia nggak punya hak untuk nggak setuju, karena ini hidup aku,” jawab Ceysa tanpa ekspresi.
“Hei … jangan bersikap kayak gini.” Vale menggenggam tangan Ceysa.
“Kenyataannya emang udah lama sejak aku ninggalin rumah, perannya sebagai orang tua udah nggak ada.”
“Itu karena kamu yang menjaga jarak dari Papi kamu.” Vale pernah melihat beberapa kali panggilan masuk dari nomor Papi Ceysa, tapi tidak pernah wanita itu terima.
Ceysa melengos.
Vale memutar otak mencari cara agar suasana hati Ceysa lebih tenang. Dia tahu wanita itu sedang bergelut dengan banyak pikiran, ketakutan dan kecemasan pada sesuatu yang sudah lama dia hindari.
“Tapi aku yakin Papi kamu bakalan nerima aku sebagai menantunya. Aku ganteng gini, mana bisa ditolak,” ucap Vale menyombongkan diri.
“Pede banget,” ejek Ceysa.
“Loh, aku ini idola para orang tua loh, Cey. Apalagi ibu-ibu tuh ya kalau lihat aku pasti gemes.”
“Mainnya sama ibu-ibu sih, wajar ya diidolain,” sindir Ceysa.
Vale tertawa, jadi ingat kembali Ceysa mengejeknya suka berkumpul dengan ibu-ibu sekitar kos yang suka bergosip saat membeli sayur.
Begitu sampai di lokasi pemakaman, Ceysa yang sudah lama tidak datang ke sini pun cukup terkejut melihat makam ibunya sangat terawat. Malah sepertinya baru saja dikunjungi oleh pelayat, karena ada hamparan bunga yang belum terlalu layu di atasnya.
“Hai Mi, udah lama aku nggak ke sini. Kangen banget …” ucap Ceysa sambil mengusap ukiran nama sang Mami di batu nisan itu.
“Aku dateng nggak sendirian, Mi. Tapi sama calon menantu Mami, kenalin namanya Vale.” Ceysa berusaha tegar.
“Halo Tante,” sapa Vale.
“Dia tipe Mami, kan?” tanya Ceysa diiringi tawa yang sarat kesedihan. Dia menahan air matanya, tak ingin menangis.
“Dulu Mami pernah bilang kalau nanti punya menantu harus yang ganteng, biar bisa dipamerin ke temen-temen arisan Mami. Sekarang aku bawain menantu idaman Mami, nggak mengecewakan, kan?” Ceysa tetap berusaha tertawa.
“Kalau tipe menantu ideal yang Tante mau harus ganteng, saya udah pilihan yang paling tepat, Tan.” Vale sedikit menyambar.
Ceysa tertawa lagi.
“Tante, saya datang ke sini mau minta restu menikahi Ceysa. Saya berjanji akan membahagiakan Ceysa sebaik mungkin. Tante bisa tenang di sana, karena ada saya yang selanjutnya akan menjaga Ceysa.”
Ceysa terharu, air matanya pun jatuh. Dalam hati dia berkata, Mami pasti bahagia, kan, dengan pilihan Ceysa? Dia pria terbaik yang Ceysa temukan.
***
Saat Ceysa pikir kedatangannya tidak akan disambut dengan baik oleh sang Papi, dia salah besar. Malah, Sadam terlihat begitu bahagia sampai tanpa rasa sungkan memeluk putrinya itu di depan pintu, menangis terharu.
“Kamu akhirnya datang, Nak. Papi rindu sekali sama kamu,” lirih Sadam memeluk Ceysa makin erat.
Ceysa hanya bisa membeku, otaknya terasa tidak berfungsi. Dia mengenali dengan baik kehangatan dari pelukan ini, di mana saat kecil sering sekali mendapatkannya.
“Mas, kenapa cuma berdiri di luar? Ajak Ceysa sama temennya masuk dulu,” tegur seorang wanita dengan nada yang sangat lembut.
“Oh iya. Papi terlalu bahagia sampai lupa kalau ini masih di luar.” Sadam melepaskan pelukan, menghapus air matanya yang membasahi pipi. Dia lalu menoleh pada Vale, “ayo masuk.”
“Makasih om,” sahut Vale dengan senyum ramah.
Ceysa tetap diam saja, bagian kakinya melangkah pun karena ditarik oleh Vale. Dia masih merasa berat masuk ke kehidupan baru papinya yang sudah bersama wanita lain.
“Ayo duduk, Tante siapkan minum untuk kalian,” ujar wanita itu.
“Nggak usah repot-repot, Tante.” Vale sedikit berbasa-basi.
“Nggak repot, tenang aja.” Ibu tiri Ceysa itu langsung ke dapur, terlihat sekali dari raut wajahnya dia juga bahagia.
Ceysa lebih memilih duduk di samping Vale, ketimbang di samping Papinya. Dia bagian tak mau melihat wajah Papinya itu, berusaha terus menghindar.
“Gimana perjalanan ke sini?” tanya Sadam pada Vale.
“Lancar Om. Tadi kita mampir dulu ke pemakaman, makanya nyampe sini udah siangan,” beritahu Vale.
“Kamu tadi ke makam mendiangnya Mami Ceysa?”
“Iya Om.”
“Om juga baru aja dari sana tiga hari yang lalu,” beritahu Sadam.
Barulah mata Ceysa terangkat untuk menatap Papinya itu. Dia bisa melihat kerutan halus di wajah sang Papi, menandakan pertambahan usianya yang tak muda lagi. Rasanya terakhir bertemu, kerutan itu belum ada.
“Ini diminum dulu.” Wanita bernama Jenaka itu menaruh dua gelas orange juice ke atas meja, lalu duduk di sebelah suaminya.
“Wah, pas banget lagi haus Tante.” Vale mengambil gelas pertama, tapi diberikan pada Ceysa. Dengan mimik wajahnya dia memaksa wanita itu minum.
Ceysa hanya menurut.
“Ceysa, kamu nginep ya di sini? Nanti Tante masakin yang enak-enak.” Jenaka berusaha mendekati Ceysa. Ini yang pertama dia bertemu dengan anak tirinya itu, tapi sejak awal sudah tahu kalau kehadirannya tidaklah diterima.
“Kita mau langsung pulang sebentar lagi,” jawab Ceysa tanpa basa-basi.
Vale langsung membenarkan dengan kalimat yang sopan, “Sebenarnya kita ke sini tanpa perencanaan juga, Om, Tante. Jadi mungkin lain kali kita bisa menginap.”
“Oh gitu, iya nggak papa. Kita sangat menunggu dan berharap kalian bisa tinggal satu malam di sini ya, Mas?”
Sadam mengangguk. “Jadi, apa yang membuat kalian tiba-tiba datang ke sini?” tanyanya.
“Saya ingin melamar Ceysa, Om.”
Sadam dan istrinya saling pandang dengan ekspresi kaget, tapi sekaligus tidak bisa menutupi rasa bahagia.
Vale dengan sikap santunnya meminta restu, juga menjelaskan rencana pernikahan yang akan mereka gelar. Dia mengatakan dengan jelas segalanya, termasuk seperti apa latar belakangnya.
Selama itu, Ceysa benar-benar hanya diam. Dia sudah membulatkan tekad, dengan atau tanpa restu Papinya dia akan tetap menikah dengan Vale.
Bersambung…