“Pak, berhenti di sini aja!”
“Loh, kok berhenti di sini?” tanya Ceysa sembari memastikan lagi kalau mereka benar-benar belum sampai di apartemennya.
“Kita turun sini aja, jalan kaki sampai apartemen kamu,” ajak Vale.
Sopir taksi itu menuruti perintah Vale yang ingin berhenti di persimpangan jalan. Hujan baru saja turun, jejaknya masih tertinggal di jalanan. Vale dan Ceysa melangkah ringan, menikmati sejuknya udara sembari bergandeng tangan.
“Kenapa tiba-tiba ngajakin jalan kaki? Kita bukan lagi di drama Korea loh,” ledek Ceysa. Tiba-tiba saja ingat pada drama-drama Korea yang pernah dia tonton bersama Allura dan Blaire, di mana para tokoh utamanya jalan kaki sepulang dari berkencan.
Vale terkekeh, “Anggap aja sama.” Dia pun pernah melihat adegan seperti ini. “Aku … pengen gandengan kayak gini lebih lama.”
Ceysa tersenyum.
“Cey, aku merasa ini terlalu mudah.”
“Apanya?”
“Kita.”
“Maksudnya?” Ceysa menatap Vale lekat.
“Aku jadi mikir, kok kayaknya jalan aku buat nikahin kamu tuh dipermudah banget, ya. Aku nggak harus berjuang mati-matian, tapi semuanya berjalan lancar.” Vale berpikir sebentar. “Kemaren, kamu tanpa pikir panjang langsung nerima lamaran aku. Terus sekarang, Papi kamu ngerestuin gitu aja tanpa ngasih syarat apapun ke aku.”
“Bukannya itu bagus, ya?”
“Terlalu bagus malah, jadi bikin aku agak takut.” Vale mengesah. “Aku takut Tuhan cuma lagi becanda sama aku.”
“Nggak boleh berprasangka buruk sama Tuhan, kamu sendiri yang bilang.”
“Iya sih …” Vale mengesah kembali. “Tapi Cey, kamu beneran nggak mau mikir-mikir lagi? Ini mumpung kita belum siapin semuanya.”
“Kamu mau mencampakkan aku?” Ceysa memicingkan mata.
“Bukan. Bukan itu,” tepis Vale cepat. “Aku cuma nggak mau kamu nyesel ambil keputusan secepat ini. Aku juga yakin banyak laki-laki yang lebih baik di dunia ini yang suka sama kamu, tapi kenapa pilihan kamu malah aku yang banyak kekurangan ini?”
“Kamu bener, yang lebih baik emang banyak. Tapi masalahnya aku nggak cinta sama mereka.” Ceysa berhenti berjalan, lalu menghadap Vale. “Aku juga tau kamu banyak kekurangan, tapi bukan berarti kamu nggak punya kelebihan. Dan yang paling penting, aku cinta sama kamu. That’s enough.”
“Makan cinta doang nggak kenyang, Cey.” Vale terkekeh.
“Ya, kamu bener. Untuk mereka yang berpikir soal nominal, makan cinta itu emang bulshit. Tapi … untuk mereka yang berpikir pakai hati …” Ceysa menunjuk dada Vale, “cinta itu nggak akan bisa diukur dengan berapapun nominalnya. Hewan buas kelaparan sekalipun, mereka nggak akan makan pasangannya sendiri.”
Vale terpana mendengarnya.
“So … Valegano Ratama, berhenti overthinking. Aku nggak akan berubah pikiran, karena keputusan yang aku ambil udah bener-bener final. Kamu pilihan hati aku, sekarang dan selamanya. No debat.”
Vale tertegun cukup lama, sampai akhirnya menghela napas keras. Dia menangkup pipi Ceysa yang terasa dingin. “Inget ya, kamu sendiri yang udah nekat masuk ke kehidupan aku. Jangan pernah berpikir bisa kabur, karena aku akan kunci kamu selamanya di sini.” Ditaruhnya telapak tangan Ceysa ke dadanya.
Ceysa mengangguk.
Saat Vale mendekatkan wajah, Ceysa mendorongnya. “Terlena boleh, tapi jangan lupa juga dong kita lagi di jalan raya,” cibirnya.
Vale meringis, baru sadar kalau ini bukan tempat yang pas untuk berciuman. Dia menggaruk kepalanya, lalu menggandeng Ceysa kembali.
Keduanya melangkah dengan senyum menghiasi bibir. Sama-sama menatap ujung sepatu yang memercikkan air. Hal sederhana seperti ini tidak akan bisa dibeli.
***
Hari ini Ceysa akan mengganti status lajangnya menjadi bersuami. Namun anehnya, wanita itu tampak biasa saja dan malah sibuk mengurus pekerjaan di detik-detik prosesi sakralnya. Lebih menggelikan lagi, malah Blaire dan Allura yang berkeringat dingin dan gugup setengah mati. Mereka sedang menunggu prosesi sakral pengesahan status Ceysa dan Vale sebagai suami istri di depan penghulu.
“Ini sebenernya yang mau nikah kita atau Ceysa sih, Bi?” tanya Allura tak habis pikir.
“Bisa-bisanya dia setenang itu, di saat tangan gue udah kayak es gini.” Blaire menggeleng heran.
Ceysa menutup telepon begitu selesai menjelaskan berbagai hal pada salah seorang pegawai perusahaannya. Dia sedang menjadi pengantin wanita, namun masih harus mengurus acara pernikahan wanita lain. “Udah selesai belum?” tanyanya bagai yang sedang terjadi di luar sana hanya sekadar akad jual beli tanah.
“Daebak!” Mulut Allura menganga.
Ceysa mengerutkan kening.
“Cey, gue tau Lo emang nggak punya ekspresi dalam menjalani hidup ini. Mau seneng atau sedih kadang muka Lo gitu-gitu aja. Tapi bisa nggak kali ini Lo bersikap normal sedikit aja?” cerocos Allura.
Blaire mengulum senyum, mencoba untuk tidak tertawa karena dia tahu Allura sedang serius.
“Apaan sih?” Ceysa memandang lekat kedua sahabatnya itu bergantian.
“Ini Lo mau nikah Ceysa Aleiza! Why Lo nggak tegang atau gemeter? Gue aja mau mati berdiri loh ini rasanya!” pekik Allura histeris.
Meledakkan tawa Blaire.
“Emang kenapa gue harus tegang? Gue emang mau nikah, bukan mau ujian jadi ngapain gemeter?” tanya Ceysa polos.
“Capek gue.” Allura duduk sembari memegang kepalanya, frustasi.
Tawa Blaire semakin kencang. Kalau saja tidak ingat sedang hamil, dia pasti sudah bereaksi berlebihan hingga perutnya kram.
Tok. Tok. Tok.
“Ladies, udah waktunya ke luar.” Itu suara Onyx.
Allura dengan cepat membuka pintu dan bertanya, “Udah sah?” Matanya berbinar.
Onyx mengangguk.
“Yeayyy!” Blaire dan Allura langsung bersukacita. Keduanya berpelukan, bahagia luar biasa.
“Buruan ya ke luar,” ucap Onyx sebelum pergi.
Blaire dan Allura langsung mendekati Ceysa dan memeluknya, memberi ucapan selamat bertubi-tubi. Mereka sangat terharu, meski sang pengantin biasa saja ekspresinya.
“Coba sini gue periksa lagi ada yang kurang nggak?” Blaire memandang wajah Ceysa dengan teliti.
Allura bertugas mengamati pakaian Ceysa, jangan sampai ada yang tidak enak dilihat.
Setelah Ceysa disiapkan sepenuhnya, Blaire dan Allura mengantarnya ke tempat berlangsungnya akad nikah tadi. Di sana, Vale sedang duduk berhadapan dengan penghulu dan Papi Ceysa. Tidak banyak orang yang hadir, hanya keluarga inti dari pihak Ceysa, dan sahabat terdekat mereka saja. Tentu saja, Pak RT dan pemilik rumah kontrakan juga hadir sebagai saksi.
Vale tampak terpana melihat Ceysa memakai kebaya putih yang melekat pas di tubuh wanita itu. Rambutnya disanggul sederhana, dipaduk make up yang sangat memesona. Rasanya semua rasa gugup yang melanda saat melangsungkan ijab kabul tadi telah terbayarkan dengan hadirnya wanita itu di sampingnya.
“Kamu cantik banget,” bisik Vale tak bisa menahan diri.
Ceysa menoleh dan tersenyum.
Pernikahan ini benar-benar sangat sederhana, hanya makan-makan dan foto bersama alakadarnya. Meski begitu, semua yang hadir ikut bahagia untuk Vale dan Ceysa. Tidak terlihat sedikit pun perbedaan status sosial di sini, semua menyatu dalam rangkaian kehangatan penuh sukacita.
Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, Ceysa mau memeluk Papinya. Dia sebenarnya sudah berdamai dengan masa lalu sejak Papinya itu merestui hubungannya dengan Vale. Hanya saja hari ini, perdamaian antara Ayah dan anak itu baru terlihat secara nyata. Air mata bahagia mengiringi momen ini, sampai Ceysa juga mau memanggil Ibu tirinya dengan panggilan Mami.
“Doa Papi hanya satu, Papi ingin lihat kamu selalu bahagia,” isak Sadam.
Ceysa mengangguk sembari menyeka air matanya, “Makasih, Pi.”
Tak ingin berlama-lama bersedih, teman-teman Ceysa pun satu persatu memeluk keduanya.
Ting! Ting! Ting!
“Attention, please!” seru Allura sambil membunyikan suara dari sendok ke gelas.
Semua yang tadinya sibuk mengobrol kini terfokus pada wanita berlesung pipi itu.
“Gue mewakili semua teman-teman yang ada di sini, ingin mengucapkan sekali lagi selamat atas pernikahan Ceysa dan Vale,” ucap Allura.
Semua bertepuk tangan.
Vale dan Ceysa tersenyum, sembari membungkuk sebagai balasan terima kasih.
“Ceysa, Vale, kita tau kalian bahagia banget sekarang dan nggak butuh hal lainnya lagi. Tapi sebagai sahabat kita tetep ingin ngasih sesuatu ke kalian, dan tolong jangan ditolak.”
Ceysa dan Vale memandang mereka semua yang tiba-tiba kompak dengan wajah penasaran. Bahkan Dandi dan Zidan, terlihat sudah sangat akrab dengan para sahabat Ceysa.
Blaire kemudian memberikan sebuah amplop berukuran panjang kepada Ceysa dan Vale. “Ini persembahan dari kita semua buat kalian,” ucapnya.
“Apa nih?” Ceysa yang penasaran dan tanpa rasa malu langsung membuka tutup amplop itu. Matanya seketika terbelalak melihat dua tiket pesawat tujuan Bali, beserta voucher tiga hari tiga malam menginap di resort dan akomodasinya lengkap.
Vale pun speechless melihat itu.
“Sebenernya tiga hari tuh kurang buat honeymoon, tapi berhubung kalian nggak bisa ninggalin kerjaan terlalu lama, jadi ya …” goda Allura.
“Tiga hari dipuas-puasin ya, Bro!” pekik Dandi penuh maksud, disambut tawa semua sahabat.
Ceysa tidak tahu lagi harus bilang apa pada mereka semua, rasanya sangat terharu. Dipeluknya Blaire dan Allura dengan penuh sayang. “Makasih,” bisiknya.
Vale jadi ikut memeluk kedua sahabat dekatnya, Dandi dan Zidan.
“Guys, berhubung Ceysa dan Vale harus ngejar pesawat, gimana kalau kita lepasin mereka dulu,” seru Jevan sembari menepuk tangan.
Ceysa dan Vale tidak diberikan waktu untuk bersantai, bahkan Ceysa tidak sempat melepas kebaya mendiang Maminya itu.
Ceysa tidak bisa berhenti tersenyum sejak tadi. Momen lari-lari di Bandara karena nyaris ketinggalan pesawat, benar-benar menggelikan baginya. Di tengah tatapan heran orang-orang, dia berusaha menjaga keseimbangan langkahnya agar tidak jatuh karena kain sialan yang dikenakannya ini. Demi apapun, itu akan menjadi momen yang tidak terlupakan seumur hidupnya.
“Kamu kenapa sih senyum-senyum?” tanya Vale.
“Val, kamu ngerasa nggak sih kita tuh kayak lagi kawin lari?” bisik Ceysa.
“Ha?”
“Lihat penampilan aku. Masih pake kebaya, kain ribet gini, sanggulan. Kamu nggak merasa kayak lagi bawa kabur calon pengantin wanita?” Tawa Ceysa pun pecah, tapi masih dengan volume yang pelan.
Vale pun ikut tertawa begitu paham maksud istrinya itu. “Iya juga ya. Pantesan dari pas masuk Bandara orang-orang ngeliatinnya kayak aneh gitu.” Saking terburu-burunya tadi, mereka sampai tidak menyadarinya.
“Mana pake acara nyangkut pula ini kain di eskalator,” decak Ceysa, yang bila ingat seheboh apa orang-orang membantunya tadi, sungguh sangat memalukan.
Vale benar-benar tidak bisa berhenti tertawa sekarang, membayangkan itu kembali membuat perutnya terasa sakit.
“Semoga nggak ada yang video-in, itu tadi malu-maluin banget.” Ceysa menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Di tengah kekehannya, Vale meraih tangan Ceysa dan menggenggamnya. “Ini baru disebut kawin lari dalam artian yang sebenarnya nggak sih? Capek, ngos-ngosan,” kekehnya.
Ceysa tertawa kembali.
“Tapi Cey, ini bakalan jadi kenangan paling berkesan buat aku.” Vale lantas mencium punggung tangan istrinya itu. “Aku bersyukur banget jodoh aku itu kamu.”
Ceysa tersenyum. “Aku juga. Ini akan aku kenang dan syukuri selamanya. Mungkin kalau bukan sama kamu, aku nggak akan ngelewatin momen unik kayak gini pas menikah.” Lalu tertawa geli kembali.
Vale menarik wajah Ceysa dan tanpa memikirkan sekitar, dia mencium bibir istrinya itu.
“Permisi Bapak, Ibu, tolong kenakan sabuk pengamannya kembali,” ujar seorang pramugari yang tiba-tiba muncul.
Vale dan Ceysa refleks melepaskan ciuman, dan mengikuti arahan dari pramugari cantik itu. Keduanya tidak bisa berhenti tersenyum, lagi-lagi ada saja hal memalukan yang mereka lakukan.
“I love you,” bisik Vale dengan tatapan lurus ke depan.
“I love you too,” balas Ceysa.
Begitu sampai di Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, keduanya dijemput sopir yang telah disiapkan oleh resort. Hari sudah malam saat mereka tiba di penginapan, namun sambutannya sungguh mengesankan. Mereka sampai tercengang melihat dekorasi kamar yang dibuat sangat romantis.
“Selamat beristirahat Bapak dan Ibu,” ucap seorang petugas resort yang tadi mengantar keduanya.
“Ini total banget mereka bikinnya,” ujar Vale saat melihat seisi ruangan yang dipenuhi bunga dan lilin.
Ceysa sendiri sudah biasa melihat hal yang seperti ini, karena terkadang dia juga menyiapkannya untuk klien saat ada yang request minta dibuatkan suasana romantis di kamar pengantin. Namun tidak menyangka akan merasakannya juga.
Di atas kasur berukuran besar itu, ada hiasan berbentuk hati dari kelopak mawar merah. Terdapat dua angsa di atasnya, terlihat sangat mesra.
Selain itu, ada sebuah bathub yang berhadapan dengan ranjang. Di atas genangan airnya, terhampar kelopak mawar merah dengan bentuk hati di bagian tengahnya dengan warna yang berbeda. Lilin-lilin kecil mengelilingi bathub itu, aromanya terasa sangat menenangkan.
***
“Nanti saya kirim ke email …”
Vale mendekati Ceysa yang sejak tadi sangat sibuk menerima telepon dari karyawannya. Tak peduli wanita itu masih bicara, dia ambil ponsel itu dan mematikannya.
“Val, aku belum selesai …”
“Bisa nggak tiga hari ini jangan urusin kerjaan dulu?” minta Vale sembari memeluk Ceysa dari belakang. “Kamu nggak aku izinin kerja, fokus ke aku aja.”
Jantung Ceysa berdebar keras, napas Vale menyentuh lehernya. “Aku nggak kerja, tadi cuma bentar aja mau kirim hasil meeting sama klien ke asisten aku,” ucapnya membela diri.
“Tapi ini malam pertama kita, emang nggak bisa besok aja kirim email-nya? Aku nggak mau ada yang ganggu.” Vale mengecup leher Ceysa, membuat wanita itu merinding.
Tubuh Ceysa dibalik dengan cepat, lalu bibirnya diserang dengan ciuman cepat dan penuh hasrat. Vale melepas jas hitamnya dan melemparnya ke sembarang arah. Nafsunya sudah tidak dibendung lagi, Ceysa membuatnya menunggu terlalu lama.
Ceysa mengingatkan dirinya ini bukan yang pertama, namun tetap saja jantungnya berdebar keras. Dia menggigil ketika lidahnya diisap, lalu bibirnya dilumat kembali. Tubuhnya mulai terasa dingin saat satu persatu penutupnya terlepas.
“Aku mau ngelakuin sesuatu yang mungkin bakalan bikin kamu kaget, tapi percaya sama aku ini aku lakuin buat nyenengin kamu,” bisik Vale sembari menggigit daun telinga Ceysa.
“Ha?” Ceysa tidak paham maksudnya.
Vale melepas dasinya. Dia berdiri di belakang Ceysa, lalu menutup mata wanita itu dengan dasi tadi.
Ceysa gugup bukan main saat semua menjadi gelap. Telinganya berusaha mencaritahu apa yang akan Vale lakukan selanjutnya, karena pria itu cukup lama membiarkannya dalam kondisi membingungkan seperti ini.
“Ahh!” Ceysa memekik ringan ketika tiba-tiba tubuhnya terdorong ke atas ranjang. Tangannya dibawa ke atas, lalu sepertinya diikat. “Kamu ngapain ngiket aku gini?” tanyanya takut.
“Trust me,” bisik Vale yang kemudian mengecup singkat bibir Ceysa.
Vale mengamati tubuh Ceysa yang telentang tanpa busana, membuat bagian bawahnya meronta ingin segera menikmatinya. Namun tujuan utamanya melakukan ini bukan untuk menyenangkan diri sendiri, tapi memberikan kenangan yang tidak akan istrinya itu lupakan dari malam pertama mereka.
Ceysa menajamkan pendengarannya saat mendengarkan suara getaran halus yang mendekatinya. Bibirnya dilumat kembali, dibalasnya dengan reaksi ragu dan bingung. Saat mulai terlena dengan ciuman Vale, pria itu malah berhenti hingga membuat bibirnya mencari-cari kenikmatan tadi.
Vale menekuk kedua kaki Ceysa, lalu mengarahkan benda berbentuk kecil seperti lipstik itu ke bagian intimnya.
“Ahh.” Ceysa mendongak, getaran halus yang tadi menyentuh di sana membuatnya menggila. Dia tidak bisa membuka ikatan matanya, bahkan tangannya terkunci di atas kepala.
“Nikmati,” bisik Vale.
Entahlah Ceysa harus merasa malu atau justru berterima kasih pada Vale. Rasanya hasrat sudah membuatnya lupa diri, sampai desahan suaranya tak mampu lagi ditahan. Dia bergerak gelisah karena kenikmatan yang tak memberi jeda.
Vale menggigit bibir bawahnya saat Ceysa terlihat sangat menikmati apa yang dia lakukan. Bibir wanita itu terbuka menantang ketika mendesah. Dadanya membusung, membuatnya tak tahan mengisapnya.
“Ahh.” Bagian bawah Ceysa bergetar ketika sampai pada klimaksnya. Dia tidak pernah merasa senikmat ini, Vale telah memberinya sensasi klimaks yang menakjubkan.
Vale membuka penutup mata Ceysa, lalu tersenyum. “Kamu seksi banget tadi,” pujinya, kemudian mencium bibir istrinya itu dengan rakus.
Ceysa kembali merasakan hasratnya membara, yang kali ini diberikan langsung oleh Vale. Jari-jari tangan dan lidah pria itu bermain pada tempat yang tepat, menghasilkan gelombang kenikmatan di sekujur tubuhnya. Selama mereka pernah bercinta, kali ini benar-benar berbeda.
Sepanjang malam, Vale masih penuh stamina memberikan kepuasan pada Ceysa. Pria itu memakai segala cara unik yang tidak pernah mereka coba sebelumnya, dan entah sudah berapa kali Ceysa meraih puncak nikmatnya.
Vale terus memompa. Mendesak dalam dan penuh.