Vale menggerakkan tangan mencari sesuatu, tapi tak menemukannya. Dia pun membuka mata dan melihat ke sekeliling kamar, terasa sepi. Dengan wajah yang masih mengantuk, Vale turun dari ranjang, menuju ke kamar mandi hanya untuk memeriksa sesuatu.
“Ke mana dia?” gumamnya sembari berjalan menuju ke balkon. Mulutnya menguap lebar, masih mengantuk.
Saat matanya melihat sebuah kertas di atas nakas, niatnya ke balkon pun diurungkan. Dia mengambil kertas itu dan duduk di tepi ranjang. Selain itu juga terdapat amplop putih cukup tebal yang sepertinya berisi uang.
Ini uang tambahan sebagai bonus, thanks for a memorable night.
“Shit!” Vale bergerak cepat memakai pakaiannya.
Dia bergegas ke luar dari kamar dan langsung turun ke lobi, berharap masih bisa menemukan wanita yang telah bermalam dengannya itu. Tapi sialnya, sudah tidak ada. Dia pun ke meja resepsionis.
“Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanya seorang resepsionis cantik di meja itu.
“Mbak, saya bisa minta kontak atau mungkin alamat dari penyewa kamar lima belas nol lima?” minta Vale.
“Maaf sekali Bapak, kita tidak bisa memberikan data pribadi pelanggan,” ucap resepsionis itu dengan ramah.
Vale pasrah, jelas itu kebijakan yang paling sulit ditawar untuk semua Hotel, terlebih ini Hotel berkelas. Dia pun memberikan kunci kamar itu, “saya mau check out,” ucapnya.
“Baik, ditunggu sebentar.”
Setelah menunggu lebih kurang lima menit, Vale pun ke luar dari lobi hotel dan menuju ke parkiran motornya. Dia merasa sangat menyesal karena bangun terlambat, sehingga tidak bisa bertemu lagi dengan wanita itu.
“Bego, Lo bahkan nggak tau namanya siapa,” umpatnya pada diri sendiri.
Valegano Ratama, berusia 23 tahun dan merupakan seorang yatim piatu. Dia tidak melanjutkan pendidikan setelah lulus SMA, lantaran himpitan ekonomi dan memang malas belajar. Hingga tujuh belas tahun Vale tinggal di rumah tantenya, tapi kemudian memilih untuk mandiri.
Dia bekerja serabutan selama ini, melakukan apa saja demi menghasilkan uang untuk bayar kos dan makan. Namun karena ingin mendapat uang lebih, Vale pun mengikuti saran temannya untuk mendaftar di sebuah aplikasi dating online.
Kata orang, pekerjaannya itu sangat menyenangkan. Bisa menuntaskan hasrat seksual, sekaligus dapat uang. Tapi bagi Vale, tidak seperti itu. Dia malah lebih banyak terpaksa dalam melayani wanita, karena kebanyakan tidak menarik baginya.
Namun, kali ini berbeda. Wanita yang bersamanya semalam benar-benar tidak bisa dilupakan. Pada pandangan pertama saja, Vale dibuat terpana pada kecantikannya. Ditambah lagi sikap dinginnya yang buat penasaran, dia makin tergila-gila. Dan yang paling menakjubkan, wanita itu bisa membuat Vale on berkali-kali dalam waktu berdekatan. Tubuh wanita itu seperti candu yang ingin terus dia nikmati.
Sayangnya, dia kehilangan harapan setelah wanita itu pergi begitu saja tanpa meninggalkan jejak.
“Fuck!” Vale memukul tangki motor dengan keras. Dia merasa kesal saat ingat kalau wanita itu sudah tidak tahu di mana rimbanya.
Ada rasa banyak pertanyaan yang sangat ingin dia ketahui jawabannya. Kenapa wanita itu memakai jasa pria pemuas? Sudah berapa kali? Karena dia sadar … Dia bukan yang pertama.
***
“Astaga, Cey!”
Allura memekik nyaring ketika Ceysa secara tidak sadar memasukkan saos ke minuman.
“Oh my God!” Ceysa terkejut melihat kebodohannya saat ini.
“Lo lagi mikirin apa sih sampe nggak bisa bedain spaghetti sama orange juice?” cibir Blaire.
“Duh, nggak fokus banget gue.” Ceysa mendorong orange juice bersambal itu menjauh.
“Bukan cuma hari ini aja loh Cey, Lo kayak gini. Lagi ada masalah emang?” tanya Allura.
“Nggak ada.” Ceysa tidak mengaku. Dia mana mungkin cerita kalau selama tujuh hari ini otaknya sedang kacau balau memikirkan satu nama.
Vale.
Nama itu terus mengganggu dan merusak konsentrasi Ceysa. Meski dia sudah coba untuk melupakannya, tapi tetap saja selalu muncul dengan sendirinya.
“Kalau ada masalah tuh cerita Non, jangan dipendam sendiri,” ucap Blaire.
“Nggak ada kok. Cuma lagi hectic aja di kerjaan,” bohong Ceysa.
“Makanya cari pacar, biar hidup Lo nggak melulu soal kerjaan,” sindir Allura.
Ceysa mengabaikan Allura, memilih memanggil pelayan cafe untuk pesan minuman lagi. Seorang pria dengan seragam khas cafe datang mendekati Ceysa.
“Ada yang bisa dibantu, Mbak?” tanya pria itu dengan ramah.
“Mas, saya pesan …” Saat mengangkat pandangan ke sang waiters, matanya seketika melotot.
Sama halnya seperti Ceysa, pria itu pun terkejut melihatnya. Tapi lantas tersenyum, seperti sangat bersyukur atas pertemuan tidak terduga itu. “Hai,” sapanya.
Blaire dan Allura langsung menoleh si waiters dengan tatapan curiga, lalu bergantian menatap Ceysa, menuntut penjelasan.
Ceysa berdeham. “Tolong kasih saya satu orange juice,” mintanya dengan nada datar. Dia bersikap seakan tidak mengenal pria itu.
“Hanya itu?” tanya Vale.
“Hmm.” Ceysa mengangguk tanpa menoleh lagi pada Vale. Jantungnya berdebar sangat keras, takdir kalau sudah becanda memang tidak lucu.
Padahal tadi segalanya baik-baik saja. Pelayan pertama yang melayani mereka seorang wanita. Sama sekali tidak terlihat ada Vale di sana, tapi kenapa tiba-tiba pria itu muncul?
“Oke, ditunggu ya.” Vale tersenyum dan pergi dari sana.
“Siapa Cey?” tanya Allura langsung.
“Nggak tau,” jawab Ceysa asal.
“Kayaknya dia kenal deh sama Lo.” Allura bingung.
Ceysa tidak mau mengakuinya.
Tak lama Vale sudah datang kembali. Dia membawa segelas orange juice, menaruhnya di meja. “Ini orange juice pesanan kamu,” ucapnya.
Ceysa mengambil orange juice itu dan langsung meminumnya. Tenggorokan terasa hangat, membuatnya bingung. Sejak kapan ada orange juice hangat? “Kok hangat?” tanyanya menoleh pada Vale yang masih berdiri di sana.
“Soalnya kamu udah dingin,” jawab Vale.
Mata Ceysa melotot.
Allura dan Blaire berdeham, mereka sangat penasaran ada hubungan apa Ceysa dengan pelayan cafe setampan Song Kang itu.
“Halo,” sapa Vale pada kedua sahabat Ceysa. “Kenalin, nama gue Vale.”
“Hai, Blaire.” Blaire lebih dulu menyambut tangan Vale.
“Allura,” disusul Allura dengan wajah humble. “Lo … Siapa ya? Maksud gue kenal sama Ceysa?” tanyanya kepo.
Vale lantas menoleh pada wanita yang ternyata bernama Ceysa itu. Ini benar-benar hari keberuntungannya, siapa sangka pergantian shift yang tiba-tiba malah membawa berkah.
“Cuma kenal sepintas aja kok.” Ceysa yang menjawab. “Kamu nggak kerja?” tanyanya terdengar mengusir.
Vale mengeluarkan ponselnya dan menaruh itu ke atas meja. Dia lalu membungkuk. “Minta nomor kamu atau aku bakalan kasih tau mereka tentang kita,” bisiknya.
Ceysa menatap Vale garang.
“Duh, bisik-bisik apa nih?” sindir Allura.
Ceysa dengan cepat mengambil ponsel Vale dan mengetikkan nomornya di sana, lalu memberikan kembali pada pemiliknya.
Vale mengulum senyum. Lantaran tidak bisa percaya begitu saja dan keberuntungan jarang terulang, dia lebih dulu menelepon nomor yang Ceysa berikan sebagai pembuktian. Tak lama terdengar suara dering dan Ceysa terlihat mengambil ponselnya. Ternyata wanita itu tidak berbohong. “Kamu simpen nomor aku,” ujarnya sembari mengedipkan mata.
Ceysa mengabaikannya.
“Ya udah, kalian nikmati makanannya dan kalau butuh sesuatu panggil aja,” pamit Vale dengan senyum ramah.
“Okeee,” sahut Blaire dan Allura tak kalah ramah.
Ceysa memijat keningnya.
“Dia siapa sih, Cey? Gila ya, Lo nggak cerita kalau lagi deket sama cowok,” protes Allura setelah Vale pergi.
“Dibilang cuma kenal sepintas aja,” decak Ceysa.
“Masa sih?” Blaire memicingkan mata tak percaya. “Kok kayaknya dia punya kesan yang beda gitu.”
“Apaan sih,” elak Ceysa.
“Dia ganteng tau, Cey. Kayaknya suka sama Lo,” goda Allura.
“Gue sih yes,” timpal Blaire.
“Apaan sih Lo berdua. Nggak mungkin lah gue sama anak kecil kayak gitu,” tepis Ceysa kesal.
“Loh, emang umurnya berapa?”
“Dua tiga.” Ceysa menjawab ketus.
“Cuma tujuh tahun ini. Banyak kok yang langgeng aja meski beda usia puluhan tahun.” Allura mengompori.
“No way!” tegas Ceysa.
“Heh, nggak boleh gitu. Nanti malah bucin Lo sama dia,” ledek Allura.
Ceysa memutar bola matanya.
Sementara itu Blaire dan Allura terus memuji-muji Vale. Diam-diam Ceysa melirik Vale yang sedang sibuk ke sana kemari melayani pengunjung cafe lain. Saat pria itu menoleh, dia akan berpura-pura tidak melihat.
From: +62811223xxx
Kamu udah sampe rumah?
Lagi ngapain?
Kalau gak sibuk, aku boleh telepon?
Ceysa mengerutkan kening membaca pesan dari nomor tidak dikenal itu. Siapa yang iseng malam-malam kirim pesan yang seakan-akan teman dekat, memang tidak ada kerjaan. Dia pun mengabaikannya, kembali fokus pada layar laptop menyelesaikan pekerjaan untuk dipresentasikan ke klien besok.
From: +62811223xxx
Aku kepikiran kamu terus
Setelah diingat-ingat lagi, Ceysa jadi ingat tadi sore Vale meminta nomor ponselnya. Dia langsung mengecek riwayat panggilan, ada misscall dari nomor yang sama. Ternyata benar anak itu yang kurang kerjaan.
Mungkin karena terus diabaikan, nomor itu akhirnya menelepon. Ceysa membiarkannya saja, malah dengan sengaja mematikan nada deringnya agar tidak berisik.
From: +62811223xxx
Lagi sibuk ya?
Atau udah tidur?
Benar-benar anak muda yang tidak mudah menyerah. Harus Ceysa akui jantungnya berdetak, padahal Vale tidak masuk dalam hitungan kriteria pria yang disukainya dalam kategori usia.
Setelah pesan terakhir tadi, Vale tidak lagi berusaha menelepon atau kirim pesan berulang. Ceysa jadi galau tidak karuan, sebentar-sebentar mengecek ponsel. Dia tanpa sadar membaca lagi pesan-pesan Vale sebelumnya. Lalu mencoba mengetikkan balasan, tapi malah dihapus terus menerus.
“Gue ngapain sih?” geramnya, yang langsung melempar ponsel itu ke atas kasur.
“Ahh.” Ceysa meremas perutnya yang terasa kram. Dia menarik kedua kaki ke atas hingga lutut menyentuh perut.
Ini hari pertama periode menstruasi Ceysa, rasanya luar biasa. Dia lupa membeli peralatan tempur semacam obat pereda nyeri datang bulan, atau minuman sejenis jamu. Tanpa itu, dia bisa menderita semalaman.
“Bi,” ucapnya sembari meraih ponsel dan mencari kontak Blaire.
Tiga kali Ceysa menelepon, tapi tidak juga diangkat. Sejak menikah, Blaire mulai jarang memegang ponsel.
“Allura,” ucapnya lagi, beralih ke kontak Allura. Sialnya, malah tidak bisa dihubungi. Si pemalas itu pasti tidak men-charger ponselnya.
“Ahh.” Perutnya makin terasa sakit.
Di saat genting seperti ini, Vale malah menelepon. Ceysa tidak punya pilihan selain menerimanya, siapa tahu pria itu bisa membantunya.
“Finally, akhirnya diangkat juga. Aku pikir kamu block,” cerocos Vale tanpa menyapa lagi.
Ceysa merintih kesakitan sembari meremas perutnya.
“Kamu kenapa, Cey?” Nada suara Vale terdengar panik.
“Bisa bantuin aku nggak? Beliin obat pereda nyeri atau jamu datang bulan. Tapi kalau kamu nggak …”
“Share lokasi sekarang.” Vale langsung mematikan telepon.
Ceysa sempat tertegun beberapa saat karena reaksi Vale yang begitu cepat. Biasanya, pria akan banyak alasan bila diminta melakukan hal-hal yang akan membuatnya malu.
Setelah mengirimkan lokasinya pada Vale, beserta pin pintu apartemennya, Ceysa kembali meringkuk. Andai dia pulang ke rumah kontrakan malam ini, pasti tidak akan menderita seperti ini, Allura akan selalu siap membantu bila tengah malam sakitnya kambuh.
***
Vale membawa motornya ngebut di jalan raya yang cukup ramai. Dia tidak memedulikan hujan deras dan petir yang sedang melanda, karena yang ada di pikirannya adalah cepat sampai ke kediaman Ceysa.
Saat melihat apotek, Vale berhenti lebih dulu. “Mbak, beli obat pereda nyeri datang bulan,” mintanya.
Penjaga toko itu mengambilkan obat yang Vale minta. “Buat pacarnya ya, Mas?” tanyanya sembari menaruh obat itu ke atas etalase kaca.
“Iya.” Vale cengengesan.
“Sweet banget,” ucap si wanita.
“Emang beli ginian sweet ya, Mbak?” tanya Vale.
“Iyalah Mas. Jarang-jarang cowok tuh mau direpotin beli obat datang bulan. Pasti alasannya malu. Ini si masnya sama sekali nggak kelihatan malu, malah nekat lagi hujan-hujanan. Apa coba namanya kalau bukan sweet?”
Vale merasa sedikit bangga jadinya, bisa jadi nilai plus di mata Ceysa kalau begitu. “Tapi emang biasanya cewek kalau datang bulan harus banget minum obat ya, Mbak?” tanyanya penasaran.
“Nggak juga sih, Mas. Malah nggak bagus kalau ketergantungan sama obat. Ada cara lain yang sebenarnya lebih aman, nggak perlu obat-obatan.”
“Apa tuh, Mbak?”
“Perutnya dikompres sama air hangat aja, sama dikasih pijatan lembut. Di sini ada jual kantong kompres biar lebih praktis.”
“Mau deh mbak kalau gitu.”
“Saya ambilkan dulu ya.”
“Agak cepat ya Mbak,” minta Vale sembari melirik arlojinya. Dia sudah berhenti di sini sepuluh menit, pasti Ceysa sudah menunggu.
Setelah selesai dari apotek, Vale kembali ngebut menuju apartemen Ceysa. Untung saja jaraknya tidak terlalu jauh, dalam sepuluh menit dia sudah sampai di parkiran.
Ternyata, Ceysa sudah memberitahu pihak keamanan apartemen kalau Vale adalah temannya. Pria itu cukup meninggalkan KTP, kemudian diberi akses untuk masuk sebagai tamu.
Unit Ceysa berada di lantai lima belas, nomor 1505. Vale dengan mudah menemukannya. Tanpa mengetuk pintu lebih dulu, dia menekan pin untuk membuka seperti yang wanita itu berikan.
Terdengar suara beep, Vale mendorong pintu itu ke dalam. Dia lebih dulu melepas sepatunya yang basah, kemudian masuk ke dalam. Apartemen Ceysa ini ukurannya tidak terlalu besar sehingga bisa langsung menemukan pintu kamar tidur yang berhadapan dengan ruang tamu.
Saat Vale masuk ke kamar, dilihatnya Ceysa sedang bergulung di atas kasur. Dia dengan cepat mendekati. “Hei,” panggilnya sembari mengusap rambut wanita itu.
Ceysa mengangkat kepalanya. “Kamu udah dateng?” tanyanya dengan suara lemah. Wajahnya terlihat pucat, jelas dia sedang kesakitan.
Vale membantu Ceysa untuk duduk.
“Kok baju kamu basah?” tanya Ceysa seraya menyentuh lengan jaket Vale yang benar-benar basah. Dia baru sadar kalau di luar sedang hujan. “Kenapa nggak nunggu bukannya berhenti dulu sih?”
“Aku khawatir sama kamu. Lagian cuma nerobos hujan air. Kalau hujan api, baru ngeri.” Vale terkekeh.
Ceysa mencebik. Dalam hati dia salut pada pengorbanan Vale, sampai rela hujan-hujanan hanya untuk membeli obatnya. Eh, iya obat! “Obatnya mana?” mintanya.
“Gimana kalau nggak usah minum obat dulu?” tanya Vale.
“Nggak bisa, ini sakit banget. Kalau nggak minum obat, aku nggak akan bisa tidur.”
“Ada cara lain selain minum obat, mau coba nggak?”
“Apa?”
“Sebentar.” Vale mengeluarkan isi di dalam plastik, lalu ke luar dari kamar Ceysa.
Ceysa berbaring, meringkuk kembali untuk meredakan rasa sakit. Tak lama Vale kembali membaca sesuatu yang entah apa namanya, beserta mangkuk kecil berisi minyak kelapa.
“Katanya, kompres air hangat sama efektifnya dengan obat anti nyeri,” ujar Vale sembari duduk di tepi ranjang.
Ceysa tersentak saat Vale menaruh kantong hangat itu ke atas perutnya. Entah karena terlalu gugup atau cara ini memang efektif, Ceysa tidak merasakan apapun lagi kecuali detak jantungnya yang berpacu.
“Punya essential oil?” tanya Vale.
Ceysa cuma bisa menunjuk laci di samping tempat tidur. Vale menarik laci itu, mencari sebentar lalu mengambil sebotol minyak esensial aroma lavender. “Buat apa?” tanyanya.
Vale menaruh kantong hangat itu ke bagian atas perut Ceysa. “Maaf ya,” ucapnya sembari menarik ujung kaus Ceysa ke atas. Perut rata wanita itu terlihat.
Ceysa terkesiap, tapi tetap diam saja.
Vale meneteskan essential oil ke dalam wadah minyak kelapa yang dibawanya tadi. Lalu diaduknya kedua minyak itu dengan telapak tangan. Setelah itu, dipijatnya perut Ceysa dengan gerakan melingkar.
Ceysa sudah tahu cara-cara ini, tapi tidak pernah dia lakukan karena malas. Baginya, lebih praktis minum obat. “Kamu tau dari mana yang kayak gini?” tanyanya penasaran.
“Sebagian diajarin sama Mbak-mbak di apotek, sebagian lagi aku searching di internet.”
Ceysa benar-benar speechless.
“Gimana rasanya, udah enakan?”
Ceysa mengangguk jujur.
Vale tersenyum. “Makasih ya Cey,” ucapnya kemudian.
“Kok kamu yang makasih, sih? Kan, harusnya aku.” Ceysa jadi malu.
“Makasih, karena mau dibantu sama aku. This means a lot to me,” ucap Vale lembut.
Ceysa terdiam selama beberapa saat. Sampai akhirnya dia bicara, “usia aku udah tiga puluh tahun. Perbedaan usia kita tujuh tahun. Mungkin saat kamu sedang matang, aku udah nggak produktif,” ucapnya agar Vale mempertimbangkan lagi niat untuk mendekatinya.
Vale mendekatkan wajahnya di atas wajah Ceysa. “I don’t care. Sekalipun nanti perbedaan kita nggak cuma sebatas usia, I will keep fighting for you.”
Ceysa tidak bisa berkutik lagi saat Vale mengatakan itu.
“So … kita pacaran?” tanya Vale penuh keyakinan.
“Terserah,” jawab Ceysa tidak ada pilihan.
“Kok terserah? Kesannya kayak aku maksa banget,” protes Vale.
“Iya.”
“Ha? Nggak kedengaran.” Vale mulai berulah.
“Iya.” Ceysa sedikit meninggikan suaranya.
“Apa?” Vale mendekatkan telinga.
“Jangan sampai aku berubah pikiran dan …” Belum selesai Ceysa bicara, Vale sudah membungkam mulutnya dengan ciuman.
Kenapa rasanya … bahagia?
Bersambung…