Ceysa berbaring dalam pelukan Vale, rasanya hangat dan nyaman. Sungguh dia tidak menyangka hatinya akan semudah itu berlabuh pada seorang pria yang usianya jauh lebih muda. Padahal, brondong berada di urutan pertama list pria yang tidak akan dia kencani.
“Lagi mikirin apa?” tanya Vale. Sejak tadi, tangannya mengusap lembut punggung wanita itu.
“Kok bisa ya …” ucap Ceysa.
“Bisa apa?” Vale memainkan rambut Ceysa.
“Aku luluh sama kamu.”
Vale terkekeh. “Sejak dulu pesona aku emang nggak pernah bisa ditepis, Cey. Kamu harus mengakuinya,” ujarnya sombong.
“Pulang gih, nanti kemaleman,” suruh Ceysa sembari mencebik.
Vale mengulum senyum. Bibir Ceysa memintanya pulang, tapi pelukannya malah makin erat. “Jadi ngusir nih?”
“Iya,” jawab Ceysa.
“Ya udah aku pulang.” Vale berniat bangun, tapi Ceysa malah memeluk kian erat. “Kok nggak dilepasin?”
Ceysa mengulum senyum.
Saat Vale tiba-tiba membungkuk di atasnya, Ceysa dengan cepat menaruh telapak tangan di bawah dada pria itu. “Mau ngapain?” tanyanya gugup.
Vale tersenyum miring, mendekatkan wajah dan menekan tubuh Ceysa. Dia bisa merasakan dorongan lembut dari tangan wanita itu, tapi kalah dengan tenaganya.
“Vale, aku lagi dateng bulan!” ucap Ceysa cepat.
Vale mengerutkan kening, “Emang kamu pikir aku mau ngapain?” Lalu tersenyum geli. “Aku cuma mau ambil ini,” ucapnya sembari mengambil ponselnya yang berada di nakas, tepat di samping Ceysa.
Wajah Ceysa sontak memerah.
Vale kembali berbaring di samping Ceysa dengan senyum dikulum. “Aku mau hapus akun aku di aplikasi dating,” beritahunya.
Ceysa yang berbaring di lengan Vale, di dalam lingkaran tangan pria itu. Dia senang melihat Vale menghapus akunnya pada aplikasi itu. “Permanen ya?” tanyanya.
“Iya.” Setelah berhasil menghapus akunnya, Vale meng-uninstall aplikasi itu dari ponselnya. “Sekarang, hanya ada kamu di hidup aku.”
Ceysa tersenyum.
“Giliran kamu dong,” suruh Vale.
Ceysa mengambil ponselnya. “Kamu aja yang hapus,” suruhnya.
Dengan senang hati Vale menghapus akun VIP milik Ceysa, sebab dia pun tak ingin wanita itu ada main dengan laki-laki lain lagi. “Hanya ada aku di hidup kamu sekarang,” bisiknya.
Ceysa mencebik.
Vale menaruh ponsel mereka ke atas nakas kembali. “Besok siang kamu sibuk nggak?” tanyanya.
“Besok sampe sore aku ada kerjaan di luar kota,” beritahu Ceysa.
“Yah …” Vale tampak kecewa.
“Ketemu malem aja, aku jam enam pasti udah pulang kok.”
“Besok aku dapet shift malem.”
“Oh.” Giliran Ceysa yang kecewa.
“Kalau lusa?”
“Sama. Aku harus ke luar kota sampai acaranya selesai. Kira-kira seminggu. Kamu?”
“Aku juga shift malam terus seminggu ini.”
Keduanya sama-sama mendesah.
“Kamu liburnya kapan sih? Weekend bisa?” tanya Ceysa.
“Weekend dilarang ambil off, soalnya rame. Malah biasanya ada lembur. Senin baru bisa free,” beritahu Vale.
“Senin justru aku sibuk banget.”
“Terus kita ketemunya kapan dong kalau waktunya nggak pas gini?”
Ceysa juga bingung.
***
Ceysa dan Vale turun bersama-sama menuju basement apartemen. Mereka tak sungkan bergandengan tangan di bawah tatapan orang-orang. Sesekali, Vale akan merangkul leher Ceysa dan mencium pipinya. Katanya, karena akan berpisah satu Minggu jadi harus dipuas-puasin dulu.
“Motor kamu parkir di mana?” tanya Ceysa begitu sampai di mobilnya.
“Di situ.” Vale menunjuk ke seberang, motornya parkir bersamaan dengan motor lainnya.
“Ya udah, hati-hati ya,” ucap Ceysa.
Vale memeluk Ceysa, bagai mereka akan berpisah lama. “Bales chat aku, dan angkat telepon aku,” mintanya.
“Hmm.” Ceysa mengangguk.
Walau rasanya ingin mencium bibir Ceysa, tapi Vale cukup tahu diri kalau sekarang mereka sedang berada di tempat umum. Dia tidak mau wanita itu dicap buruk oleh orang-orang. Dia pun hanya mengusap pipinya, lalu tersenyum lembut. “Ya udah sana masuk mobil,” suruhnya.
“Kamu juga sana,” suruh Ceysa balik.
“Iya.” Vale pun setengah berlari ke parkiran motornya, sembari sesekali berbalik dan melambaikan tangan.
Ceysa sudah masuk ke mobilnya, dan menunggu hingga Vale pergi duluan.
Namun sepertinya ada masalah, dari tadi motor Vale tidak menyala. Pria itu sampai turun naik dari motornya untuk mengecek.
Ceysa pun membawa mobilnya ke sana, berhenti persis di samping motor Vale. “Motor kamu kenapa?” tanyanya.
“Nggak tau nih, mogok lagi kayaknya. kamu duluan aja nggak papa, nanti telat ke Bandara,” suruh Vale.
Ceysa mana mungkin tega meninggalkan Vale dengan kondisi seperti ini. Sebuah ide melintas untuk menyelesaikan masalah yang sedang terjadi. “Gimana kalau aku anter aja kamu pulang? Motornya biar di sini dulu, nanti aku telepon orang bengkel buat ambil,” ujarnya.
Vale terlihat ragu, juga malu karena merepotkan Ceysa. Tapi di sisi lain, dia pun butuh pertolongan. Berbagai pertimbangan bergejolak di hatinya.
“Kok malah bengong sih, ayo naik,” paksa Ceysa.
“Beneran nggak papa kayak gitu?” tanya Vale memastikan lagi.
Ceysa memasang ekspresi yang seakan berkata, buruan deh!
Vale cengengesan. Dia pun naik ke mobil Ceysa, meninggalkan motornya di sana. “Aku jadi nggak enak kalau gini,” ucapnya.
“Nggak enak kenapa?” tanya Ceysa tanpa menoleh, dia fokus menyetir.
“Ngerepotin kamu.”
“Apaan sih cuma gini doang.”
“Kamu tau kos-kosan aku?”
Ceysa menggeleng.
“Nanti di depan belok kiri,” beritahu Vale.
“Oke.”
Vale pikir, Ceysa akan menodongnya dengan banyak pertanyaan mengenai kenapa dia tinggal di kos-kosan, atau di mana orang tuanya. Tapi ternyata wanita itu bersikap biasa saja, seakan bisa menerima apapun dirinya.
Harus Vale akui Ceysa wanita yang mengagumkan. Wanita itu sangat … cool. Tipe wanita yang tidak banyak bicara, sangat membuat penasaran.
“Habis ini ke mana?” tanya Ceysa menunjuk persimpangan di depan.
“Ke kiri lagi,” jawab Vale.
Ceysa mengambil kacamata di dalam laci dashboard, lalu memakainya. Dia tidak bermaksud gaya, namun cahaya matahari pagi sangat menyilaukan. Di mata Vale, kecantikan wanita itu makin terlihat.
“Cantik banget sih,” ucap Vale tak bisa menahan diri. Dia usap pipi Ceysa dengan lembut, “jangan tinggalin aku ya, Cey.”
Ceysa menoleh, diam sejenak, lalu tersenyum geli. “Kamu kenapa sih?” tanyanya heran.
“Takut aja kamu berubah pikiran,” ucap Vale serius.
“Harus ada alasan yang melatari aku sampai berubah pikiran,” balas Ceysa.
“Misalnya?”
“Aku nggak suka diduain, apalagi jadi yang kedua,” tegas Ceysa.
“Kalau itu, kamu nggak usah khawatir karena hati aku udah beneran stuck ke kamu aja.” Vale meyakinkan. “Tapi ada yang lebih aku takutkan.”
Ceysa menoleh sebentar, “Apa?” Lalu kembali fokus ke jalan.
“Status sosial kita.”
Ceysa kembali menoleh Vale, tapi tidak mengatakan apa-apa.
“Aku terlalu percaya diri nggak sih Cey jatuh cinta sama kamu yang status sosialnya jauh di atas aku?”
Ceysa menepikan mobil di depan toko yang masih tutup. Jalanan saat ini masih sepi. Saat Vale pikir wanita itu melakukannya agar mereka ngobrol lebih nyaman, nyatanya Ceysa malah menarik kerah kemeja Vale dan mencium bibirnya.
Itu cukup sebagai jawaban.
Vale tersenyum saat Ceysa melepas ciuman. Sekarang, giliran dia menarik tengkuk wanita itu dan menciumnya lebih dalam lagi.
Saat tiba-tiba terdengar sebuah keras dari samping mobil Ceysa, keduanya pun melepaskan ciuman. Seorang anak kecil baru saja melintas dengan sepeda dan menabrak kaca spion mobil.
“Kosan kamu di mana?” tanya Ceysa, kembali melanjutkan perjalanan.
“Di situ,” tunjuk Vale yang ternyata tidak jauh dari tempat berhenti tadi.
Mobil Ceysa berhenti di depan sebuah kos-kosan bertingkat dua yang cukup sederhana. “Ini kos-kosan khusus laki-laki?” tanyanya.
“Nggak, campur.”
“Oh.” Ceysa mengangguk.
“Jangan bilang kamu berpikir aku kos di sini pernah masukin perempuan ke kamar aku?” tebak Vale.
“Emangnya nggak pernah?” ejek Ceysa.
“Nggak pernah. Tapi kayaknya nanti iya. Itu juga kalau Nona Ceysa yang cantik berkenan mampir ke kosan sederhana ini,” kekeh Vale.
Ceysa mencebik. “Udah sana turun,” usirnya.
“Nggak mau mampir dulu? Kosan aku bersih kok.”
Ceysa melirik arlojinya. “Lain kali aja, aku udah lumayan telat,” ucapnya sambil ikut memperlihatkan jam ke Vale.
“Ya udah, jangan ngebut. Kabarin aku terus.” Vale mengusap puncak kepala Ceysa.
“Nanti motor kamu aku minta orang bengkel anter ke sini. Kamu kerja shift malem juga, kan?”
“Iya.”
“Ya udah.”
Vale mendekatkan wajahnya mencium kening Ceysa. Lama dan penuh perasaan. “I love you,” ucapnya setelah itu.
Ceysa mengangguk.
“Kok cuma ngangguk?”
“I love you too,” balas Ceysa dengan tawa geli. Haruskah dia bilang kalau di usianya ini, mengatakan itu terasa sedikit menggelikan?
Vale tersenyum dan melambaikan tangan. Dia turun dari mobil. Berdiri di tepi jalan untuk melihat kepergian Ceysa. Senyum di bibirnya terus mengembang, rasanya bahagia sekali hari ini.
Vale: Kamu sudah makan?
Vale: Lagi apa?
Vale: Kamu sibuk ya?
Vale: Jangan lupa istirahat
Vale: Udah sore masih nggak ada kabar. Sibuk banget ya?
Vale: I miss you
Ceysa tersenyum membaca deretan chat Vale dari pagi hingga sore. Hari ini dia memang sangat sibuk, sampai makan siang saja terlewat. Jam enam dia kembali ke kamar Hotel, dan setelah mandi baru sempat mengecek ponsel.
Alih-alih membalas chat, Ceysa lebih suka menelepon langsung. Dia tipe orang yang malas mengetik panjang lebar, selain itu terkadang makna yang terkandung dalam pesan kurang sama dengan yang ditangkap oleh pikiran ketika membacanya.
“Hai!” sapa Vale antusias.
“Hai,” sapa Ceysa balik. “Maaf ya aku baru ngasih kabar sekarang, tadi tuh hectic banget.”
“Iya nggak papa. Sekarang udah nggak sibuk?”
“Lagi nunggu makanan dateng.”
“Makan malam?” Vale bertanya pasti karena ini baru jam enam sore.
“Makan siang,” kekeh Ceysa.
“Astaga, Cey. Ini udah jam berapa?”
“Hehehe.” Ceysa berbaring, rasanya nyaman sekali setelah beraktivitas di luar seharian.
“Cey, sesibuk apapun kamu jangan sampai telat makan lah. Apalagi telat kebangetan ini namanya.”
“Tadi meeting sampai jam dua, terus langsung diajak cek gedung. Habis itu meeting lagi, kelarnya baru sekarang. Makanya nggak sempet makan.”
“Kalau sakit gimana?”
“Kalau soal itu kamu tenang aja, aku udah punya dokter pribadi yang luar biasa pinter.”
“Siapa?”
“Yang kemaren bantuin aku pas lagi sakit perut karena menstruasi.” Ceysa mengulum senyum.
Vale tertawa. “Tapi sekarang, kan, kita lagi jauhan. Gimana cara aku obati kamu kalau lagi sakit coba?” tanyanya sedikit memelas.
“Pake telepati?”
“Kiss virtual?”
Giliran Ceysa yang tertawa.
“Video call dong, kangen banget.”
Ceysa pun mengubah saluran telepon menjadi video call. Vale begitu cepat menerimanya. Sejenak, keduanya saling menatap dengan senyum yang menghiasi wajah.
“Cantik banget,” puji Vale.
“Aku belum mandi loh padahal.”
“Aku udah pernah beberapa kali lihat kamu bangun tidur pagi hari. Tetep aja cantik.”
Wajah Ceysa tersipu. “Eh, kamu lagi di tempat kerja?” tanyanya begitu melihat seragam yang Vale kenalan.
“Iya, tapi lagi istirahat sekarang. Nanti jam tujuh aku nggak pegang hape, sampai jam dua belas malem.”
“Oh.” Ceysa ingin mengeluh, tapi dia tidak mau egois. Vale saja tidak marah saat dirinya sibuk seharian.
“Kamu pulangnya kapan?”
“Jumat sore atau malem.”
“Yah, aku kerja.” Wajah Vale tampak sedih. “Baru nggak ketemu sehari aja aku udah kangen, gimana nungguin satu minggu ya.”
Ceysa hanya tersenyum.
Terdengar suara bel.
“Bentar, kayaknya makanan aku udah dateng,” beritahunya.
“Tunggu, pake baju dulu dong. Masa gitu doang?”
Ceysa memang hanya mengenakan gaun tidur bertali tipis di pundak, ternyata Vale memperhatikannya. Dia pun mengambil lapisan luar gaun itu, berbentuk kimono tangan panjang.
“Sekarang udah boleh buka pintu?” tanyanya sembari memperlihatkan apa yang dikenakannya.
Vale memberikan jempolnya.
Ceysa pun membukakan pintu. Seorang petugas room service menyapa dengan senyum hangat. Dia meminta makanannya ditaruh di dalam, lalu memberikan tip.
“Kamu makan apa?” tanya Vale.
Ceysa mengarahkan kamera ke salad dan jus alpukat yang dipesannya. Vale terlihat berdecak dan bertanya, “kenapa makannya itu doang? Emang kenyang?”
“Ini udah jam setengah tujuh, nggak boleh makan yang berlemak lagi.”
Vale mendesah. “Lihat aja nanti kalau lagi sama aku. Aku paksa makan yang enak, jangan kayak kambing,” omelnya.
Ceysa cemberut. “Kamu ngatain aku kambing?” protesnya.
“Kambing, kan, cuma makan sayuran. Sama kayak kamu.”
“Tapi, kan, sehat.”
“Kamu tau nggak di luar sana banyak orang yang pengen makan enak, tapi nggak punya uang buat beli. Kamu yang mampu, malah cuma makan gitu doang.”
Ceysa terkekeh geli sembari menikmati sayurannya. “Tapi kamu tau nggak di luar sana juga banyak wanita yang berharap bisa langsing kayak aku,” balasnya.
Vale pun harus mengakui bentuk tubuh Ceysa memang impian setiap wanita. “Tapi nggak sampe harus nyiksa diri juga dong, Cey. Kalau laper ya harus makan yang bikin kenyang.”
“Aku kalau siang tetep makan biasa kok, cuma kalau malem aja yang harus dikontrol.” Ceysa sudah selesai menyantap saladnya, itu pun tidak habis. “Jus alpukat less sugar udah bikin kenyang,” tambahnya terkekeh.
Sampai Vale kembali bekerja, mereka terus mengobrol. Pembahasannya ringan, namun menghangatkan hati. Vale sangat manis, setiap ucapannya pasti membuat Ceysa tersenyum dan tersipu.
***
Begitu selesai bekerja, Vale langsung mengeluarkan ponselnya dari loker. Dia begitu merindukan Ceysa, sampai di kepalanya hanya ada nama wanita itu. Terdapat satu chat yang membuat bibir Vale berkembang, mendadak semua lelahnya menghilang.
Ceysa: Semangat kerjanya :*
Hanya itu, tapi hati Vale sudah sejuk.
Vale tidak berharap banyak Ceysa akan mengiriminya chat setiap menit seperti wanita lain bila sedang jatuh cinta, karena sejak awal dia sudah paham karakter wanita itu.
Ceysa itu … dingin.
Saat Vale memutuskan ingin bersama Ceysa, itu artinya dia sudah siap dengan segala konsekuensinya, tidak boleh mengeluh apalagi protes.
“Siapa tuh?” Zidan, teman kerja Vale dengan sengaja mengintip layar ponsel Vale dan melihat riwayat chat yang tertera.
“Kepo.” Vale menutup lokernya.
“Main rahasia-rahasiaan nih?” sindir Zidan.
“Nanti gue kenalin.” Vale memukul pundak Zidan dengan tas kecilnya. “Gue duluan ya, mau kencan dulu di telepon.”
“Iya deh yang udah punya pacar.”
Vale terkekeh dan pergi.
Sesampainya di tempat kos, Vale tidak bisa menghubungi Ceysa. Ponsel wanita itu tidak aktif, padahal dia sudah ngebut pulang agar bisa menelepon. Dia pun mengirimkan chat, siapa tahu kalau sudah aktif Ceysa akan menelepon balik.
Vale: Aku udah sampe rumah
Vale: Kamu udah tidur?
Setelah mengirimkan itu, Vale segera mandi untuk menghilangkan penat semalaman bekerja. Dia bersiul dengan gembira sembari mengusap tubuhnya dengan sabun.
Tok. Tok. Tok.
“Jangan bersiul tengah malem, nanti setan dateng,” ucap suara di luar.
Vale mengenali suara itu, teman satu kamar kosnya yang juga baru pulang bekerja. “Iya, elo setannya,” sahutnya.
“Bahagia banget, dapet bonus gede ya Lo?” tanya Juan.
Vale ke luar dari kamar mandi, hanya memakai handuk di pinggangnya. Dia melempar handuk kecil bekas mengeringkan rambut ke wajah pria itu.
“Sialan, kotor bego! Muka gue sampe jerawatan tanggung jawab Lo.” Juan mengumpat sembari mengelap wajahnya dengan handuk miliknya.
“Ngaca, itu handuk Lo udah kayak apaan joroknya,” ejek Vale.
Juan melihat handuknya. “Bener juga. Kapan terakhir dicuci ya,” cicitnya sembari masuk ke kamar mandi.
Vale mengecek ponselnya, nomor Ceysa tetap tidak aktif. Terlihat dari chat-nya yang belum terkirim. Dia pun mengirimkan chat kembali.
Vale: Good night
Vale: Mimpiin aku ya
Setelah itu Vale berpakaian, naik ke ranjang dan berbaring. Tubuhnya baru terasa pegal sekarang efek dari hujan-hujanan kemarin malam. Dia tersenyum membayangkan hubungan asmaranya dengan Ceysa.
Sebuah handuk basah melayang di wajah Vale. “Bangsat,” makinya sembari menyingkirkan handuk Juan itu.
“Satu sama,” ledek Juan.
“Untung muka gue udah ganteng dari lahir,” ucap Vale angkuh. Dengan arti lain, wajahnya tercipta dengan sangat sempurna, tidak pernah disinggahi jerawat sejak lahir.
“Serius deh, Lo tuh kelihatanya lagi bahagia banget. Dapet bonus gede?” Juan yang penasaran duduk di dekat Vale berbaring.
“Lebih dari sekedar bonus,” jawab Vale.
“Naik jabatan? Jadi manajer cafe?” Mata Juan langsung berbinar.
Vale menggeleng.
“Lah terus?”
“Gue habis jadian sama bidadari,” beritahu Vale.
“Val, Lo kalau mau mimpi tuh tidur dulu. Mana ada orang mimpi mata masih melek gitu,” ledek Juan.
“Tunggu sampe gue bawa dia ke hadapan Lo,” ucap Vale begitu yakin Juan akan terpesona pada Ceysa.
“Oke. Awas aja kalau bohong.”
Vale menendang bokong Juan agar pergi dari kasurnya. Sahabatnya itu menggerutu sembari pindah ke kasur sendiri. Kamar kos itu berukuran kecil, terdapat dua spring bed ukuran single. Ada satu kamar mandi yang meski dihuni dua laki-laki, tapi sangat bersih. Hanya ada satu lemari di mana keduanya berbagi tempat untuk menaruh pakaian.
Vale kembali mengecek ponselnya dan nomor Ceysa masih tidak aktif. Dia pun menyerah untuk menunggu, matanya sudah mengantuk ditambah tubuhnya terasa pegal semua.
Bersambung…