Ceysa baru saja pulang ke apartemen dan langsung merebahkan tubuhnya ke kasur. Rasanya sangat melelahkan hari ini, sampai untuk makan siang saja tidak sempat. Dia mengambil tas dan mengeluarkan ponselnya, baru sempat dinyalakan sekarang.
“Tumben nggak ada kabar,” ujarnya sembari mengecek apakah ada chat Vale yang terlewat. Bener tidak ada, chat terakhir pria itu tadi malam saat mengucapkan selamat tidur.
Ceysa mencoba menghubungi Vale, namun malah ponsel pria itu tidak aktif. Ini pertama kalinya Vale susah dihubungi, padahal biasanya paling cepat merespons.
Ponsel Ceysa berbunyi, dia tersenyum karena mengira itu dari Vale. Tapi senyum itu pudar begitu melihat yang menelepon justru Blaire. Bukan tidak senang, hanya sedang mengharapkan yang lain.
“Halo Bi,” sapanya sembari berbaring kembali.
“Cey, Lo di mana?”
“Baru aja nyampe apartemen.”
“Bagus kalau gitu, berarti ntar malem Lo bisa dateng ke restoran biasa, ya? Jam tujuh, on time.”
“Tumben. Emang ada perayaan apa? Jevan mau kawin lagi?” Restoran yang Blaire maksud terbilang mewah dan harganya mahal, biasanya mereka baru akan ke sana bila sedang merayakan sesuatu.
“Ih, amit-amit!”
Ceysa tertawa geli. “Ya terus apa dong?”
“Dateng aja deh, nanti gue kasih tau di sana.”
Ceysa melirik jam di dinding, ini baru jam lima sore. Vale mungkin sedang bekerja, karena pria itu masuk shift kedua dan baru pulang tengah malam nanti.
“Cey?”
“Iya nanti gue dateng,” sahutnya.
“Oke, inget ya on time.”
“Hmm.”
“Bye!”
“Bye.”
Ceysa menaruh ponselnya. Kemudian memejamkan mata sejenak. Tak lama terdengar suara bel, sangatlah mengganggu karena orang di luar sana menekannya terus menerus.
“Iya tunggu!” geram Ceysa sembari mendekati pintu. “Nggak sabaran banget sih.”
Saat pintu dibuka, Ceysa mematung melihat siapa yang berdiri di sana.
“Surprise,” ucap Vale dengan senyum lebar.
Tak ada kata-kata yang bisa mewakili betapa bahagianya Ceysa. Refleksnya adalah menarik Vale ke dalam, lalu mereka berciuman penuh semangat. Ini pelampiasan dari rasa rindu yang tertahan selama beberapa hari.
Vale menutup pintu dengan kakinya, lalu menarik Ceysa mendekat dan membawanya ke dalam. Menit terus bergerak, Bibir mereka belum sanggup memberi jarak, tetap saling melumat begitu dalamnya.
Tubuh keduanya terhempas ke atas kasur, Vale di atas dan tetap melumat bibir Ceysa.
Ceysa mengabaikan dering ponselnya yang berbunyi, tidak rela melepas kesenangan ini walau sesaat. Posisi tubuh mereka berpindah, kini Ceysa yang berada di atas.
Hingga oksigen sudah sangat menipis, keduanya melepas ciuman dengan napas tersengal.
“Kamu kok di sini?” tanya Ceysa.
“Aku tukeran shift sama temen hari ini, biar bisa ketemu kamu.” Vale menyelipkan rambut Ceysa ke belakang telinga, karena menutupi wajah cantiknya.
Ceysa tersenyum senang. Pantas saja Vale masih memakai seragam kerja, dan sedikit beraroma daging asap.
“Tapi besok aku harus lembur,” ucap Vale lagi. “So …” Dia menarik tengkuk Ceysa dan menjalin ciuman singkat.
Ceysa sudah akan terhanyut saat Vale tiba-tiba melepaskan ciuman. Bahkan bibirnya masih berusaha menggapai bibir pria itu.
“Aku boleh numpang mandi?” kekeh Vale. “Kamu nggak cium bau keringat emangnya?”
“Sedikit, tapi enak bau daging,” sahut Ceysa tertawa geli.
“Seharian ini aku di dapur jadi asisten koki, soalnya kekurangan orang dan cuma aku yang bisa masak,” beritahu Vale.
“Kamu bisa masak?” Ceysa terkejut.
“Lumayan. Nanti aku masakin, terus kamu nilai sendiri.” Vale membalik tubuh mereka, kini Ceysa di bawahnya. Diciumnya kembali bibir wanita itu.
“Aku mandi dulu biar nggak bau lagi.” Setelah itu Vale turun dari ranjang.
“Aku juga belum mandi,” ucap Ceysa.
Vale sontak membalikkan badan dan menatap Ceysa begitu dalam. Wanita itu tersenyum penuh arti.
***
“Katanya mau aku masakin.”
“Nggak malem ini. Kamu temenin aku ketemu sama temen-temen aku dulu,” sahut Ceysa.
“Bi sama Allura?” Vale memastikan, sebab bila selain kedua wanita itu dia tidak kenal teman Ceysa lainnya.
“Iya.” Ceysa duduk di depan cermin, merias wajahnya dengan sentuhan make up tipis.
“Tapi aku nggak bawa baju. Habis dari cafe, aku langsung ke sini. Masa pake seragam kerja ke sana?”
Ceysa tersenyum. “Kalau masalah itu kamu jangan khawatir, kebetulan aku punya banyak sample jas dari klien yang bisa kamu pake,” ucapnya dengan bangga.
Vale tidak banyak komentar, hanya menunggu Ceysa sedang mengambil pakaian yang dimaksud dari lemari.
Ceysa mengeluarkan jas warna navy, lalu mencocokkan tubuh Vale dan jas itu dengan matanya. “Kayaknya pas, dan ini nggak terlalu formal jadi bisa pake jeans,” ucapnya.
“Beneran nggak papa dipake?” tanya Vale ragu. Meski dia tidak paham soal merk, tapi jas itu sudah terlihat mahal dari luarnya.
“Nggak papa, ini dikasih ke aku. Jadi, mau aku apain ya terserah,” jawab Ceysa.
“Bukan punya laki-laki lain?”
Ceysa menatap Vale sangar.
“Hehehe, becanda.” Vale mengambil jas itu. Dia kenakan ke tubuhnya dan Ceysa seratus persen benar kalau ukurannya pas.
“Cakep,” puji Ceysa.
Vale berdiri di depan cermin lemari, tersenyum melihat penampilannya yang sedikit berubah. Dari pegawai cafe biasa, lalu tampak seperti pria yang lebih berkelas. Ternyata benar yang orang-orang bilang, segala hal akan terlihat dari apa yang dipakai.
Ceysa telah selesai berdandan, kini mengambil gaunnya. Dia memilih warna yang silver, lalu memakainya tanpa ragu di depan pria itu.
“Kamu pake itu?” tanya Vale.
Ceysa mengangguk sembari berusaha mengikat tali di tengkuknya. Bagian belakang gaun itu terbuka, punggung mulusnya terlihat jelas.
“Seksi banget Cey, nggak ada yang lain?” Vale tidak suka melihat Ceysa memakai gaun terlalu terbuka seperti itu.
“Ini biasa aja.”
“Biasa aja karena kamu yang pake. Tapi yang lihat penilaiannya bisa beda. Itu terlalu terbuka, bisa ganti aja nggak?” minta Vale dengan lembut.
Ceysa menurut.
Vale mendekati Ceysa lalu membantu mencarikan gaun yang tepat. Dia pilih warna yang sama dengan jasnya, “ini aja. Nggak terlalu seksi,” ucapnya.
Ceysa memakainya. Gaun itu tampak ketat di tubuh langsingnya, tapi tidak ada bagian yang terbuka berlebihan kecuali di pundak.
“Gimana sekarang?” tanya Ceysa sembari menghadap Vale.
“Cantik,” puji Vale.
Ceysa tersenyum. “Ya udah yuk kita berangkat sekarang, mereka pasti ngomel karena udah telat,” ajaknya.
“Aku ambil kunci motor dulu,” ucap Vale hendak mengambilnya di dalam saku seragam kerjanya.
“Kita pake mobil aja,” ucap Ceysa.
“Kenapa?”
“Di sana nggak ada parkiran motor.”
Vale tertegun, membayangkan seperti apa restoran itu sampai motor saja tidak diizinkan untuk parkir di sana.
“Lagian aku, kan, pake rok. Susah kalau naik motor,” ujar Ceysa lagi, agar Vale tidak merasa tersinggung.
“Oh iya, aku lupa.” Vale mengangguk. Meski benar tidak mungkin mengajak Ceysa naik motor dengan gaun itu, tapi tetap ada yang mengganggu pikirannya.
Ceysa menggandeng tangan Vale dan mengajaknya ke luar. Dia tahu apa yang ada di pikiran pria itu, tapi tidak ingin membahasnya.
Vale terpaku menatap deretan harga di setiap menu makanan di restoran itu. Hanya sekadar salad yang Ceysa pesan saja, isi dompetnya sudah tidak mampu. Seketika dia merasa sangat kecil berada di antara mereka yang bahkan tidak membaca menu ketika memesan.
“Mau pesan apa?” tanya Ceysa.
“Aku nggak tau, kamu aja yang pilih,” minta Vale dengan senyum kaku. Dia mengembalikan menu pada Ceysa.
Ceysa melihat-lihat sebentar. “Steak di sini enak,” ujarnya, menunjuk menu steak di buku itu.
“Ya udah itu boleh,” sahut Vale setelah melirik sedikit pada menu itu.
Ceysa menyebutkan pesanan Vale ke pelayan restoran yang menunggu. Dia juga menambahkan orange juice.
“Gemes banget sih Val, makan aja harus Ceysa yang pilihkan,” goda Blaire.
Vale hanya terkekeh.
Makan malam berlangsung santai. Dua kabar gembira yang diberikan oleh teman-teman Ceysa mendominasi obrolan. Vale hanya mendengarkan atau bereaksi sewajarnya saja, karena yang mereka obrolkan tidak begitu dia pahami.
“Kamu mau nyobain nggak?” tanya Vale menawarkan sepotong kecil steak miliknya.
“Dikit aja,” minta Ceysa.
Vale memotongnya lagi menjadi dua dan menyuapi Ceysa. Hal ini tak luput dari penglihatan empat orang teman Ceysa yang langsung menggoda mereka terang-terangan.
“Mau juga dong Beb, disuapin,” sindir Allura, diiringi tawa geli Blaire.
“Jangan rese deh. Gue biasa aja kalau lihat kalian suap-suapan,” erang Ceysa.
Vale lagi-lagi hanya terkekeh.
Ceysa mengelap mulutnya. “Mau ke toilet bentar,” pamitnya.
Semua mengangguk.
“Mumpung Ceysa ke toilet, kita bahas sekarang aja rencana kasih surprise buat ulang tahunnya Minggu depan,” ujar Allura setengah berbisik.
“Ceysa ulang tahun mingu depan?” tanya Vale sedikit terkejut.
“Ya ampun Val, Lo nggak tau Ceysa ulang tahun Minggu depan?” tanya Allura kaget.
Vale menggeleng polos. Dia belum sampai ke tahap memeriksa tanggal lahir Ceysa, karena mereka baru saja dekat.
“Tanggal empat belas bulan sembilan Ceysa ulang tahun,” beritahu Blaire. “Gue nggak perlu sebut tahun, kan?” kekehnya.
Vale terkekeh.
“Jadi, kita-kita punya rencana ngasih Ceysa kejutan. Kemaren udah sempet dibahas sih, cuma belum mencapai kesepakatan aja,” beritahu Blaire.
“Emang rencananya mau ngapain?” tanya Vale.
“Kalau usul si Jevan kemaren sih kita sewa private yacht gitu, terus rayain ultah Ceysa sambil liburan,” beritahu Allura.
“Gue sih yes,” ucap Blaire antusias.
“Menurut Lo gimana, Val?” Jevan tak ingin memutuskan sendiri, pendapat Vale tentu lebih utama karena pria itu berstatus kekasih Ceysa sekarang.
“Sewa private yacht?” ulang Vale.
Semua mengangguk.
Vale spontan menghitung harga sewa untuk sebuah kapal pesiar pribadi, itu pasti mahal sekali. “Gue …”
“Ceysa udah ke sini,” beritahu Onyx.
Vale urung mengutarakan pendapatnya. Dia menyesap sisa jus jeruknya, berusaha tetap nyaman. Sungguh, dia sadar perasaannya ini hanya bagian dari rasa rendah diri yang berlebihan. Temen-temen Ceysa sendiri sangat menyenangkan, tidak ada yang terlihat merendahkannya.
Semua mengalihkan topik ke rencana pernikahan Allura dan Onyx.
“Guys, kayaknya gue sama Vale harus pulang duluan deh,” ucap Ceysa tanpa duduk lagi.
“Loh, kok gitu?” protes Allura.
“Tau nih Cey, cepet banget. Baru juga jam delapan,” sambung Blaire.
“Gue sama Vale ada acara lain,” kekeh Ceysa.
Vale spontan mendongak menatap kekasihnya itu. Seingatnya mereka tidak punya rencana apapun.
“Iya deh iyaa yang mau berduaan aja, ngerti kok kita,” sindir Onyx.
“Oh gitu ternyata …” Blaire dan Allura mengangguk, ikut menggoda.
Ceysa hanya mencebik. Dia menoleh Vale, “yuk!” ajaknya.
Vale lantas berdiri. “Kita duluan ya,” pamitnya sedikit tidak enak. Pulang begitu saja tanpa ada basa-basi untuk membayar semua makanan yang sudah mereka makan, rasanya dia hanya bisa menebalkan muka.
“Val, nanti gue invite di grup kita ya!” seru Allura.
Vale baru akan menjawab, Ceysa sudah lebih dulu memotong, “Nggak usah diterima,” larang wanita itu.
“Dih, kok gitu?” protes Blaire.
“Gue tau banget kalian mau ngapain invite dia ke grup,” cibir Ceysa. Memangnya apalagi yang mau dilakukan kedua sahabatnya ini selain menggoda Vale?
Allura dan Blaire terbahak.
***
Ceysa melirik Vale yang sedang fokus menyetir. Entah apa yang sedang pria itu pikirkan sehingga hanya tubuhnya yang terlihat ada di sini. Di restoran tadi pun, Vale sangat pendiam. Itu sebabnya dia mengajaknya pergi, tak ingin kekasihnya itu makin tertekan.
“Ehm, kayaknya aku laper deh.” Ceysa sedang mencari cara mengalihkan pikiran Vale.
Vale menoleh. “Jelas laper lah, kamu makannya cuma salad,” desahnya.
Ceysa tercengir. “Gimana kalau kita makan lagi? Anggap aja, kali ini sesi dinner berdua,” ajaknya.
Vale diam beberapa detik, sepertinya sedang berpikir. Lalu bertanya, “Mau makan apa?” Dia berusaha mengingat berapa isi dompetnya, cukupkah bila Ceysa membawanya ke restoran?
“Makan situ aja!” Ceysa menunjuk warung tenda penjual nasi goreng di pinggir jalan.
Vale menepikan mobil lebih dulu, lalu menoleh ke tempat yang Ceysa tunjuk itu. “Makan di situ?” tunjuknya ingin memastikan lagi.
Ceysa mengangguk mantap.
“Tapi itu, kan, warung pinggir jalan, Cey. Kamu yakin mau makan di situ?”
“Emang kenapa? Makan di mana aja, kan, sama.” Ceysa membuka pintu mobil setelahnya, lalu turun sendiri.
Vale masih ragu. Dia memerhatikan Ceysa yang berlari kecil mendekati Bapak-bapak yang sedang memasak nasi goreng. Entah apa yang sedang wanita itu katakan sehingga si Bapak berkumis itu tertawa. Tak lama, Ceysa melambaikan tangan memintanya turun.
Vale pun turun, lalu mendekati Ceysa dan pemilik warung tenda itu.
“Val, aku mau nasi goreng spesial, tapi kamu yang masak,” minta Ceysa.
“Ha?” Vale terbengong.
“Kamu punya janji mau masakin aku, sekarang waktunya,” tagih Ceysa.
“Udah Mas, turutin aja. Kasihan, kan, istrinya lagi ngidam,” ujar si Bapak sembari menyelesaikan masakannya untuk pelanggan yang menunggu.
Vale sontak menoleh Ceysa. Wanita itu tersenyum penuh arti, sembari menaikkan sebelah alisnya.
“Demi istri Mas yang lagi hamil, saya serahkan sepenuhnya peralatan memasak ini,” ujar si Bapak sembari menarik langkah mundur.
“Ini serius?” tanya Vale masih belum percaya Ceysa melakukan hal segila ini.
“Buruan deh aku laper,” desak Ceysa. Dia duduk di kursi yang berhadapan dengan peralatan memasak itu untuk menonton Vale masak.
Vale benar-benar takjub pada Ceysa, tidak menyangka wanita itu punya sisi lain yang menggemaskan seperti ini. Dia pun lebih dulu melepas jas, lalu menyelimuti tubuh Ceysa yang menjadi tontonan para pria di sana.
Ceysa terpana melihat Vale menarik lengan kemeja ke siku, terlihat cool sekali. Bila tadi saat di restoran Vale tampak sangat tertekan, di sini pria itu jauh lebih lepas.
“Mas, pesan nasi gorengnya lima ya,” minta seorang wanita yang ingin makan di sana dengan teman-teman sebayanya.
“Ha? Tapi Mbak, saya …” Vale ingin menjelaskan, namun …
“Saya pesan dua dibungkus ya, Mas!” seru pembeli lainnya.
“Saya makan di sini aja deh Mas, satu ya jangan pedas,” tambah wanita lain lagi.
Vale melongo.
Ceysa mengulum senyum, pasti Vale dikira penjual nasi goreng. Dia melirik Bapak yang memberikan jempolnya, membuatnya cekikikan.
“Ganteng banget yang jual,” ucap salah seorang wanita.
“Besok-besok kita makan di sini lagi aja,” sahut yang lainnya.
Vale mendekati Ceysa, lalu memegang pipi wanita itu. “Kamu ngerjain aku ya?” tanyanya gemas.
“Itung-itung kamu bantuin bapaknya jualan, kasihan tadi sepi. Berkat kamu sekarang jadi rame,” kekeh Ceysa.
“Iseng banget sih.” Vale mencubit pipi Ceysa. Lalu sebelum mengerjakan “tugas”, diusapnya puncak kepala wanita itu.
Para wanita yang rata-rata masih muda sontak baper dengan tingkah manis Vale pada Ceysa. Mereka mulai berbisik satu sama lain.
Ceysa tersenyum melihat Vale menjadi dirinya sendiri di tempat ini. Sekarang dia paham, Vale bukannya berlebihan soal status sosial mereka yang jauh berbeda, hanya saja pria itu merasa tidak nyaman.
Setelah berhasil membuat tujuh porsi nasi goreng untuk para pelanggan si Bapak, Vale akhirnya bisa menyajikan yang spesial untuk “istrinya yang sedang ngidam” itu. Peluhnya sampai membasahi dahi, karena jujur saja berada di dekat wajan sebesar itu bukan main panasnya.
“Capek ya?” tanya Ceysa cekikikan.
“Menurut kamu?”
“Tapi kamu cocok loh jadi pedagang nasi goreng,” ledek Ceysa.
“Kasihan nanti para penjual nasi goreng pada nggak laku karena kalah saing sama aku,” balas Vale.
Ceysa tertawa, sembari meraup wajah Vale. “Terlalu pede ya Mas,” ejeknya.
Vale terkekeh.
“Cobain dong,” suruh Vale.
Ceysa mencoba satu suapan. Dia tahu rasanya pasti enak, karena beberapa wanita yang sudah lebih dulu makan tadi terdengar memuji hasil masakan Vale. Namun dia tidak menyangka kalau ternyata rasanya seenak ini.
“Gimana?” tanya Vale menatap Ceysa dengan serius.
“Emm, enak banget,” puji Ceysa.
Vale tersenyum, “Sekarang kamu percaya, kan, kalau aku bisa masak?” kekehnya.
Ceysa memberikan dua jempolnya.
Vale tersenyum dan mencubit pelan pipi Ceysa yang menggemaskan. “Tapi kamu beneran makan ini? Bukannya nggak makan yang berat kalau malem ya?” tanyanya.
Selera makan Ceysa sontak hilang saat Vale mengingatkan hal-hal yang tidak perlu seperti itu.
Vale tertawa melihat ekspresi Ceysa. “Ayo, makan yang banyak. Aku tetap cinta kalaupun kamu gendut,” ucapnya sembari menyodorkan satu suapan.
Ceysa memakannya dengan wajah yang masih cemberut. “Ingetin aku buat buang kalori sebelum tidur,” ucapnya dengan mulut penuh.
Vale lantas berbisik, “Nanti kita buang kalorinya sama-sama.”
Ceysa sontak tersedak.
Bersambung…