Saat jam istirahat makan malam, selagi ada kesempatan Vale membuka situs pencari kerja. Dia ingin mencari uang tambahan, karena gaji yang sekarang sangat tidak cukup. Tidak mudah bagi Vale menyesuaikan diri dengan Ceysa yang punya punya segalanya. Meski wanita itu tidak pernah menuntut apa-apa, namun sebagai laki-laki dia tetap ingin memberikan sesuatu yang tidak hanya sekadar cinta.
Ingat, makan cinta itu tidak kenyang!
“Lagi ngapain Lo?” Zidan mengintip layar ponsel Vale. “Loker?”
Vale mengangguk.
“Lo mau berhenti kerja di sini?” tanya Zidan kaget.
“Nggak. Gue nyari tambahan,” jawab Vale sembari menggulir layar. Dari semua loker yang ada, tidak satupun sesuai dengan kualifikasinya.
“Lo masih muda tapi beban Lo kayak udah banyak banget, Bro. Buat apaan sih nyari duit banyak-banyak?”
“Mumpung masih muda harus kerja keras. Biar nanti pas tua tinggal santai nikmati hasilnya,” sahut Vale dengan tepukan ringan di pundak Zidan.
“Gue Aminin deh yang keras!” seru Zidan sembari mengangkat kedua tangan layaknya muslim berdoa.
Vale tersenyum tipis.
“Emang Lo mau nyari kerjaan yang kayak gimana?” tanya Zidan kembali serius.
“Gue sih apa aja, asal nggak ganggu kerjaan yang sekarang. Lo punya info nggak?”
Zidan tampak berpikir sejenak. Lalu menepuk pundak Vale, “gue baru inget kemaren ada temen gue bilang kalau di cafe tempat dia kerja lagi nyari singer buat live music. Lo, kan, jago nyanyi, coba aja.”
“Jam kerjanya gimana?” tanya Vale menunjukkan ketertarikan.
“Gue tanyain dulu.” Zidan menggulir layar ponselnya, mencari nomor temannya.
Vale diam menunggu.
“Halo Sob, lagi sibuk nggak Lo?” Zidan menyalakan loud speaker agar Vale bisa mendengar.
“Nggak kok, lagi free. Ada apa, Sob?”
“Gini, kemaren Lo pernah bilang ke gue kalau di cafe tempat Lo kerja lagi nyari singer. Masih nggak?”
“Masih, butuh satu orang lagi. Punya kandidat Lo?”
“Ada nih, temen gue. Suaranya bagus, gue jamin.”
“Boleh tuh, coba ketemu sama Mas Bimbim aja besok. Emang lagi urgent banget, kalau oke pasti bisa langsung masuk.”
“Tapi Sob, kira-kira jadwal kerjanya gimana? Soalnya jujur aja temen gue ini juga masih kerja.”
“Kalau itu tenang, kerjanya fleksibel kok. Kan, ada dua orang tuh, nanti bisa atur jadwal aja berdua.”
Vale begitu senang mendengarnya. Dia memberikan kode anggukan kepala pada Zidan pertanda bersedia datang besok.
“Oke deh sob, besok gue suruh dia ke cafe Lo. Ketemu Mas siapa tadi?”
“Mas Bimbim, nanti langsung aja. Die orangnya baik kok.”
“Sip. Thanks ya sob.”
“Sama-sama, sob.”
“Tuh Val, Lo udah denger sendiri. Jadi Lo beneran tertarik?”
“Bakal gue coba,” sahut Vale. “Thanks ya!”
“Nanti gaji pertama manggung, beliin gue makan yang enak,” canda Zidan.
“Tenang aja.” Vale menjentikkan jari. Makan enak versi Zidan sangatlah pas di kantong, cukup bawa ke rumah makan Padang yang ada di dekat cafe saja.
“Dah, gue mau makan dulu. Lo nggak makan?”
“Nanti gue nyusul. Mau nelepon doi dulu,” kekeh Vale.
“Sumpah ya, gue penasaran siapa sih doi lo. Kapan dong dikenalin?”
“Udah sana makan.” Vale menendang bokong Zidan.
Setelah Zidan pergi, Vale menelepon Ceysa. Rasa rindunya memuncak saat mendengar suara kekasihnya itu.
“Lagi ngapain?” tanyanya.
“Ini lagi siapin bahan buat meeting.” Ceysa menjawab apa adanya, namun Vale sudah terbiasa.
“Jam segini masih meeting?” Vale pikir Ceysa sudah di apartemen atau di rumah kontrakan, sebab ini sudah jam setengah delapan malam.
“Iya, klien bisanya jam segini. Jadi ya mau nggak mau.”
“Udah makan?”
“Udah barusan.” Jeda sebentar. Vale sengaja diam, menunggu apakah Ceysa bisa lebih perhatian padanya atau tidak. “Kamu lagi ngapain? Udah makan?”
Vale tersenyum, hanya ditanya seperti itu saja senangnya bukan main. “Aku lagi istirahat. Nanti habis telepon kamu, baru makan,” jawabnya.
“Emang waktunya keburu?”
“Aku makan cepet, sat set beres.”
Ceysa tertawa merdu.
“Kangen banget. Sayangnya malam ini aku harus lembur. Kalau aja nggak pasti aku udah ke sana.”
Tidak ada sahutan dari Ceysa, entah wanita itu mendengar atau tidak yang dia katakan barusan. Setelahnya, terdengar suara bising yang cukup mengganggu.
“Kamu lagi di mana?”
“Val, ini aku lagi on the way mau ke lokasi meeting. Nanti telepon lagi, oke?”
Nanti itu … kapan?
Vale saja baru pulang jam dua belas malam, sementara biasanya Ceysa sudah tidur di jam itu.
“Val?”
“Iya. Sukses ya meeting-nya,” ucap Vale kemudian.
“Iya. Bye.”
“Bye.”
***
Malam ini, cafe sangat ramai sehingga Vale terlihat sibuk dari satu meja ke meja lain melayani para pengunjung. Pria itu belum menyadari kehadiran Ceysa yang sudah lima menit duduk di meja nomor lima belas.
“Ceysa?” tegur seorang pria dengan ekspresi yang sedikit kaget.
Ceysa mendongak, mencoba menggali ingatan tentang pria berkemeja putih bersih itu. “Adam?” tebaknya sembari berdiri.
Adam lantas tertawa. “Kamu pemilik C.A Wedding Organizer?” tebaknya.
Ceysa tersenyum dan mengangguk. Kebetulan sekali dia akan meeting dengan pemilik cafe ini, dan baru tahu kalau ternyata klien-nya Adam, teman kuliahnya dulu.
“Ayo, duduk Cey.” Adam menarik kursi di hadapan Ceysa.
Ceysa kembali duduk.
“Belum pesan makan?” tanya Adam.
Ceysa menggeleng.
Adam pun menoleh ke sekitar untuk mencari karyawan cafenya yang free. “Vale!” panggilnya.
Ceysa ikut menoleh ke arah yang sama, sembari mengulum senyum. Dia yakin Vale pasti terkejut melihat kehadirannya di sini.
Dan benar saja, Vale terkejut melihat Ceysa di sana, sekaligus penasaran kenapa pemilik cafe ini duduk di sana juga. Dia mendekati mereka berdua layaknya seorang pelayan profesional.
Ceysa tersenyum, menaikkan sebelah alisnya saat Vale menoleh ke arahnya. Wanita itu pasti berniat iseng, karena sudah jelas Vale tidak bisa bersikap tidak profesional saat sedang bekerja, terlebih di depan Adam. Dia memberi buku menu ke atas meja.
“Cey, kamu boleh pesan apa aja. Menu spesial di sini ada …” Adam melihat menu, lalu menunjuk spaghetti yang ditandai merah sebagai menu spesial. “Kamu cobain, ini enak banget.”
“Next time kali ya aku nyobain itu. Ini udah jam terlarang untuk makan yang tinggi kalori,” kekehnya.
“Ada cara khusus untuk menurunkan kalori tanpa olahraga berat Mbak,” ucap Vale dengan sengaja menyindir Ceysa, sebab tadi malam mereka telah mencobanya.
Diam-diam Ceysa melotot pada Vale.
Vale mengulum senyum.
Adam yang tidak mengerti apa yang keduanya lakukan, lantas berdeham.
“Saya pesan salad dan orange juice,” ucap Ceysa pada Vale. “Oh iya, tanpa gula.”
“Udah ketebak,” cicit Vale dengan suara pelan, untungnya tidak didengar oleh Adam yang sedang menerima telepon.
Ceysa kembali memelototi Vale, tapi dengan cara yang menggemaskan.
Vale mengulum senyum kembali. “Mas Adam, mau pesan sesuatu?” tanyanya beralih ke Boss cafe itu.
“Orange juice aja,” jawab Adam.
Vale mengangguk. Dia pergi dari sana untuk memberikan pesanan mereka berdua ke bagian dapur.
“Beneran dunia itu sempit ya, Cey. Kita udah seminggu teleponan, tapi nggak ngeh satu sama lain,” kekeh Adam.
Ceysa tertawa dan mengangguk.
“Kamu makin cantik, Cey.”
“Jangan sampai didengar calon istri kamu,” canda Ceysa, membuat Adam tertawa. “By the way, mana calon istri kamu?” tanyanya.
“Dia nggak bisa dateng. Masih sibuk dengan kerjaannya,” jawab Adam.
Ceysa bisa melihat kekecewaan dari ekspresi Adam. “Kalau pertemuannya mau ditunda sampai calon istri kamu punya waktu, nggak papa kok. Nanti kita atur lagi aja,” ujarnya pengertian.
“Oh, nggak Cey. Kita lanjutin aja. Dia udah percayakan semua sama aku,” sahut Adam.
“Oke.” Ceysa mengangguk.
Ceysa mengeluarkan tabletnya, lalu menunjukkan beberapa konsep yang sudah dia persiapkan untuk rencana pernikahan Adam. “Kamu lihat-lihat dulu aja konsep yang udah jadi sebagai gambaran. Nanti, bisa kita sesuaikan dengan keinginan kalian,” ucapnya.
“Oke.”
Ting!
Ceysa mengeluarkan ponselnya selagi Adam masih melihat-lihat konsep pernikahan di tabletnya.
Vale: Kok ke sini nggak ngabarin sih?
Vale: Bikin shock
Vale: Awas aja aku hukum kamu nanti
Ceysa tersenyum membacanya.
Ceysa: Aku ke sini buat kerja, bukan buat kamu :p
Vale: Ngeselin ya
Ceysa: Hahaha
Vale: Jangan genit sama Mas Adam
Vale: Bisa jangan terlalu cantik nggak?
Ceysa melirik ke sekitar, mencari keberadaan Vale, tapi pria itu tidak ada di sana. Pasti sekarang Vale sedang sembunyi-sembunyi bermain ponsel, karena kalau ketahuan bisa kena SP.
“Cey, kayaknya aku suka konsep yang ini deh. Kesannya lebih santai, terus juga nuansa alamnya dapet banget.”
Ceysa menaruh ponselnya ke meja, tidak sempat membalas chat terakhir Vale tadi. Dia melihat ke layar tablet yang Adam tunjukkan. “Kayaknya kamu masih pecinta alam ya, Dam?” sindirnya.
Adam tertawa. “Kamu masih inget?”
“Nggak mungkin lupa lah, kamu pernah maksa aku ikut naik gunung. Aku hampir mati karena hipotermia,” cebik Ceysa. Itu pengalaman paling mengerikan seumur hidupnya dan dia kapok berurusan dengan pendakian.
Adam tertawa. “Tapi ,kan, aku juga yang bantuin kamu,” ujarnya sambil menatap penuh arti.
Ceysa hanya tersenyum.
“Ehm, pesanannya Mbak.” Vale sudah datang membawakan makanan dan minuman untuk Ceysa, juga Adam.
“Loh kok?” Ceysa menunjuk makanan yang Vale taruh ke meja, “saya nggak pesan ini loh, Mas.”
Adam ikut menoleh Vale. “Kayaknya kamu salah catat. Tadi dia pesan Salad, bukan spaghetti,” ujarnya agak kesal.
“Nggak kok Mas, saya emang sengaja kasih iga bakar karena salad nggak bikin kenyang,” sahut Vale tanpa rasa bersalah.
“Tapi kalorinya …”
Vale tiba-tiba mendekati wajah Ceysa dan berkata, “Aku nggak mau kamu sakit, jadi makan yang lebih waras.” Lalu, diambilnya tisu untuk mengelap lipstik merah di bibir Ceysa, “nggak usah terlalu cantik, bisa?”
Saking dekatnya, Ceysa bisa merasakan embusan napas Vale di wajahnya. Begini saja jantungnya sudah berdebar.
Adam melongo melihat aksi Vale yang begitu berani pada Ceysa. Tapi dia cukup pintar menilai kalau di antara keduanya ada sesuatu yang nanti akan dia tanya kejelasannya.
Selesai meeting dengan Adam, Ceysa memilih tetap di sana menunggu jam kerja Vale selesai. Meski rasanya lelah dari seharian bekerja, tapi melihat Vale begitu senang ditemani, dia pun tidak keberatan.
“Your coffee, miss.” Vale membungkuk hormat, menaruh segelas espresso ke atas meja.
“Thank you,” balas Ceysa tersenyum.
“Kamu yakin mau nungguin aku? Ini baru jam sepuluh loh, masih dua jam lagi.” Vale tidak tega membiarkan Ceysa menunggu selama itu.
“Selama ada kopi, aku kuat.” Ceysa mengangkat gelas ketiga kopi hitam itu, lalu menyesapnya sedikit.
Segerombolan anak muda datang dan duduk di meja sebelah Ceysa. Begitu melihat Vale, salah satunya langsung memanggil dengan cara yang kurang sopan. “Pelayan, sini dong!” Sembari melambaikan tangan.
Ceysa menatap tajam pemuda itu.
“Aku kerja dulu ya,” ucap Vale.
Ceysa menoleh ke meja itu, menatap tidak suka pada para pemuda yang tidak tahu sopan santun itu.
Vale mendatangi meja itu, dengan sopan memberikan menu. “Silakan,” ucapnya ramah.
“Lo … Vale, kan?” tanya salah seorang berbadan paling kurus.
Semua jadi ikut memandang serius ke arah Vale. “Ya ampun, Val, nasib Lo dari dulu masih nggak berubah?” ejek pemuda lainnya.
“Hahaha.”
Vale diam saja, karena tidak mungkin untuknya melawan pelanggan cafe. Kalau Vale tidak salah ingat, mereka semua teman satu sekolahnya di SMA namun tidak dekat dengannya.
“Kalian jangan ngerendahin dia gitu dong. Inget nggak dulu waktu SMA dia paling digilai sama cewek-cewek. Sampe si Rina aja tega putusin Lo,” ucap pemuda cungkring itu.
“Halah … Rina aja yang seleranya emang kampungan. Beruntung gue diputusin sama dia,” elak si pemuda penuh gengsi itu.
“Hahaha.”
“Eh, tapi itu, kan, dulu. Cewek-cewek ngeliat tampangnya aja. Coba kalau sekarang, gue yakin mana ada yang mau sama pelayan cafe. Makan cinta nggak kenyang, Man.” Tawa kembali terdengar.
Ceysa bisa melihat usaha keras Vale dalam menahan diri. Tangan pria itu terkepal di samping tubuh, pertanda emosinya sudah bergumpal di sana. Bukan status sosial yang mengukur nilai seorang manusia, tetapi caranya bicara. Ceysa yakin, kelima pemuda itu tidak pernah diajarkan tentang arti sebuah kesopanan.
“Maaf, bisa disebutkan pesanannya?” minta Vale pada mereka semua. Dia sudah berdiri cukup lama di sini, dan harus profesional.
Kelima pemuda itu masih mengejek, malah menertawakan Vale dengan meniru gaya bicaranya. Sayangnya, mereka tidak akan berhasil bila ingin memancing emosi pria itu, hingga bosan sendiri.
“Kita mau pesan makanan yang paling enak dan mahal di sini,” ucap pemuda sombong itu.
“Lo pasti belum pernah nyobain yang enak dan mahal meski kerja di sini, kan?” ledek mereka lagi.
Vale merespons dengan senyum. “Ditunggu untuk pesanannya,” ucapnya sebagai penutup.
“Jangan lama ya Pelayan,” ucap pria tadi lagi, empat lainnya menertawakan.
Vale memilih tetap diam dan pergi dari sana. Dia sempat menoleh Ceysa saat melintasinya, memberi seulas senyum untuk memberitahu wanita itu kalau dia baik-baik saja.
Setelah Vale pergi, salah satu dari pria itu tak sengaja melihat Ceysa. Dari reaksinya, terlihat jelas kalau dia terpana pada kecantikan wanita itu. Dia langsung memberi kode pada empat temannya, yang begitu melihat juga bereaksi sama. Mereka saling sikut.
Salah seorang berdiri dengan penuh percaya diri, seakan paling tampan di situ.
Ceysa memasang wajah jutek saat pria kasar yang paling banyak menghina Vale tadi mendekatinya.
“Hai, sendirian aja?” tanya pria itu.
Ceysa diam saja, jenis tatapannya begitu dingin.
“Gue Aldo.” Pria bernama Aldo itu mengulurkan tangan mengajak Ceysa berkenalan. Karena tak mendapat balasan, dia pun menarik tangannya. “Boleh minta nomor hape kamu?” Dia mengeluarkan ponselnya, belum menyerah.
Ceysa tetap tak merespons.
Teman-teman Aldo terdengar berbisik dan menertawakan Aldo yang tidak digubris oleh Ceysa.
Merasa sangat malu diabaikan oleh Ceysa, Aldo pun kembali ke mejanya. Wajahnya terlihat kesal, mungkin ini pertama kalinya dia ditolak oleh wanita.
“Kayaknya aura Lo udah kadaluarsa, Do. Coba isi ulang dulu biar mempan sama tuh cewek,” ledek temannya.
“Baru kali ini gue lihat Aldo ditolak sama cewek.”
“Hahaha.”
Ceysa cuek saja saat Aldo menatapnya dengan begitu sangar. Pria seperti itu bukanlah tipenya.
***
Vale mengantarkan makanan untuk kelima temannya. Dia taruh dengan sopan ke atas meja. Berbagai ledekan kembali diterima, namun sikapnya tetap tenang. Meladeni mereka tidak ada untungnya, malah dia bisa dipecat karena bertengkar dengan pelanggan.
“Pesanannya sudah semua. Apa masih ada yang bisa dibantu?” tanya Vale.
“Val, Lo mau nggak kerja sama gue? Kebetulan perusahaan gue lagi nyari office boy. Kalau Lo mau gue bakalan kasih privilege khusus biar Lo bisa langsung kerja.” Aldo merendahkan Vale kembali.
“Parah Lo Do, masa disuruh jadi OB. Kasih jabatan yang lebih tinggi dong,” sahut yang duduk di sebelah Aldo.
“Ck, itu jabatan yang paling pas untuk tamatan SMA. Dia, kan, nggak pernah ngerasain bangku kuliah. Iya, kan, Val?”
Tawa bergema.
“Sayang!” panggil Ceysa.
Kelima pemuda itu refleks menoleh pada Ceysa, lalu mengikuti arah tatapan Ceysa, yaitu Vale. Antara percaya dan tidak saat tadi mereka mendengar wanita cantik itu memanggil Vale sayang.
“Kalau sudah tidak ada yang dibutuhkan, saya permisi dulu,” ucap Vale pada mereka semua.
Vale mendekati Ceysa. “Tadi kamu panggil aku apa?” godanya, namun sangat senang.
Ceysa melambaikan tangan meminta Vale mendekatinya. Pria itu sedikit membungkuk, lalu dengan gerakan cepat Ceysa menarik kerah kausnya dan mencium bibirnya.
Vale tersentak.
Kelima pria di sana membelalakkan mata. Mulut mereka yang bagaikan sampah tadi, mendadak hanya bisa menganga.
“Semangat ya kerjanya,” ucap Ceysa sembari mengelap bibir Vale dengan ibu jarinya.
Vale tersenyum penuh arti, mengerti kenapa Ceysa melakukan ini di depan umum. Dia pun mendekatkan bibirnya ke telinga wanita itu, “makasih ya.” Lalu setelah itu mengusap puncak kepalanya.
Ceysa tersenyum.
Tak hanya kelima pria itu yang terkejut, tapi teman-teman kerja Vale yang kebetulan melihat pun sampai melongo. Berita pun dengan cepat menyebar, membuat semua pegawai cafe di bagian dapur bergantian ke luar ingin melihat siapa pacar Vale.
Vale tersenyum begitu senang.
***
Ceysa menghabiskan sisa kopinya di gelas kelima. Satu jam lagi Vale akan selesai bekerja, dia berniat memesan kopi lagi tapi perutnya mulai tidak enak. Tak sengaja dia mendengar dan melihat kelima pria itu sedang patungan untuk membayar makanan yang mereka pesan.
“Eh Do, uang Lo kurang nih.”
“Ya elah, kurang dua puluh ribu doang. Tambahin napa,” sahut Aldo.
“Kebiasaan Lo, Do.”
Ceysa tersenyum sinis. Dia memanggil salah seorang pelayan cafe yang tidak sedang melayani pelanggan.
“Butuh sesuatu, Mbak?” tanya wanita berseragam serba hitam yang sama persis dengan Vale.
“Saya mau bayar, boleh minta bill?” Ceysa mengeluarkan kartu hitamnya dari dompet.
“Semua pesanan Mbak udah dibayar sama Vale,” beritahu wanita itu.
“Ha?” Ceysa terkejut. Vale tidak ada di sana, membuatnya harus menahan omelan. “Kalau gitu saya mau bayar semua pesanan di meja sebelah,” ucapnya pelan.
“Meja lima belas, Mbak?”
Ceysa mengangguk. “Kalau mereka nanya, bilang aja Vale yang traktir,” ucapnya.
Meski merasa bingung, wanita itu tetap menuruti perintah Ceysa. Dia ke kasir membawa kartu milik Ceysa. Transaksi selesai dalam waktu tidak lebih dari dua menit.
Vale yang telah berganti pakaian, langsung menemui Ceysa.
“Kok kamu pulang duluan?” tanya Ceysa.
“Tadi Mas Adam yang nyuruh aku pulang duluan, katanya kasihan kamu nunggu terlalu lama,” kekeh Vale.
Ceysa begitu senang mendengarnya. “Aku bakal bilang makasih ke Adam nanti,” ucapnya.
“Tenang aja, udah aku bilangin lebih dulu,” sahut Vale.
Di meja sebelah, terdengar Aldo memanggil pelayan wanita meminta bill. Gayanya terlihat sangat sombong seakan dia yang membayar semua pesanan di sana. Padahal Ceysa sudah tau seperti apa wataknya.
“Iya, Mas?” Wanita yang tadi Ceysa perintahkan mendatangi meja itu.
“Minta bill, saya mau bayar cash,” ucap Aldo. Pundaknya tegal, kepala terangkat begitu angkuh.
“Maaf Mas, tapi semua pesanan di meja ini sudah dibayar oleh Mas Vale,” beritahu wanita itu.
“Ha?” Kelima pria itu terkejut, lalu menoleh pada Vale.
Vale sendiri juga sangat terkejut karena tidak merasa membayarnya. Mana punya dia uang sebanyak itu untuk lima porsi makanan paling mahal di cafe ini. Setelah berpikir keras, akhirnya dia menyadari siapa pelakunya. Dia langsung menoleh pada Ceysa.
Ceysa tersenyum dengan sebelah alis terangkat. Dirangkulnya lengan Vale, “pulang yuk.”
Kelima pria itu benar-benar tidak bisa mengeluarkan kalimat sampahnya lagi. Mereka bungkam ketika Vale lewat bersama Ceysa yang bergelayut mesra di lengannya. Fakta kalau Vale membayar semua pesanan mereka telah membunuh segala keangkuhan tadi.
Bersambung…