Vale tidak ada lembur malam ini, jadi bisa menemani Ceysa dari sore. Tidak lupa dia mampir ke toko boneka yang berada tak jauh dari rumah sakit, lalu membeli boneka kelinci kecil. Di sana, ada begitu banyak jenis boneka berukuran besar, namun sayangnya uang Vale tidak cukup. Kondisi keuangannya benar-benar sedang terjepit dan gajiannya masih lama.
“Semoga kamu suka,” ucapnya penuh harap. Dia masukkan boneka itu ke dalam ransel, lalu kembali melaju.
Sesampainya di depan pintu kamar VIP tempat Ceysa dirawat, Vale mengeluarkan boneka yang dibelinya tadi. Dia tersenyum membayangkan Ceysa akan begitu senang menerima boneka lucu ini.
Saat membuka pintu, terdengar suara tawa seorang laki-laki. Vale kira Ceysa masih ditemani oleh para sahabatnya, namun saat melihat siapa sosok di balik tawa renyah itu, hatinya sontak diliputi rasa cemburu. Adam lah yang duduk di samping ranjang Ceysa.
Selain Adam, ada boneka teddy bear berukuran besar, sebuket bunga mawar merah yang sangat cantik, beserta keranjang buah. Semuanya pasti dari Adam.
“Val?” Ceysa melihat Vale berdiri di dekat pintu.
Vale dengan cepat memasukkan boneka yang dibelinya tadi ke dalam ransel, merasa malu memberikannya pada Ceysa. Boneka kecil itu terlihat seperti selembar uang lima puluh ribu di atas tumpukan dollar. Dia berpura-pura tersenyum, sambil mendekati keduanya.
“Hei Val,” sapa Adam.
“Mas Adam,” sapa Vale balik.
Adam melihat arlojinya, lalu berdiri. “Cey, aku pulang dulu, ya? Get well soon,” pamitnya.
“Makasih ya,” ucap Ceysa.
Adam mengangguk. “Val, duluan ya.” Dia menepuk pundak Vale.
Vale hanya mengangguk.
Adam pun pergi dari sana.
Vale menaruh ranselnya ke lantai, sejenak melirik buket bunga mawar merah yang ada di atas lemari. Terdapat kartu ucapan bertuliskan, get well soon beautiful. Selain itu, boneka teddy bear super besar yang duduk di samping Ceysa, terlihat sedang memeluk bantal berbentuk love. Terdapat ukiran nama Ceysa di tengah-tengah bantal itu.
“Kamu udah makan?” tanya Vale.
Ceysa menggeleng.
“Kenapa?”
“Kan, belum jam makan malem. Baru jam setengah enam,” beritahu Ceysa.
“Oh, iya.” Vale memang tidak fokus. “Aku bersih-bersih ke kamar mandi dulu, sekalian ganti baju,” pamitnya.
Ceysa mengangguk.
Lima belas menit setelah mandi kilat, berganti pakaian bersih, Vale kembali mendekati Ceysa. Wanita itu dengan senyum cantiknya merentangkan tangan minta dipeluk, dia pun tidak menolaknya.
“Kangen …” rengek Ceysa menambah erat pelukannya.
“Aku juga,” balas Vale. “Kamu nggak nakal, kan, selama aku nggak ada?”
“Nakal sih … tapi dikit,” kekeh Ceysa.
Vale melepaskan pelukan. “Apa yang kamu lakuin hari ini?” interogasinya.
“Setelah Bi sama Allura pulang, suster di sini yang nemenin aku. Kita sedikit ngegosipin kamu tadi.” Ceysa cekikikan.
“Ngegosipin aku?”
“Kata suster yang nemenin aku tadi, para suster jaga di paviliun ini sering caper sama kamu. Mereka tuh pengen kenalan, tapi katanya muka kamu tuh nggak pernah ramah, jadi ya mereka nggak berani.”
“Masa sih? Aku ngerasa biasa aja.”
“Beneran. Coba deh ini muka jangan jutek gini.” Ceysa mencubit pipi Vale.
“Yang penting kalau lagi sama kamu, nggak, kan?” Vale memang seperti itu, tidak suka tebar pesona.
“Iya sih … tengil malah.” Ceysa tertawa renyah.
Vale terkekeh.
“Tadi kamu bawa apa?” tanya Ceysa.
“Nggak bawa apa-apa,” bohong Vale.
“Bohong banget. Jelas-jelas tadi kamu masukin ke dalam tas, aku lihat tau. Sini, kasih ke aku,” minta Ceysa sambil menadahkan tangan.
“Bukan apa-apa,” tolak Vale. Rasanya, dia tidak sanggup memberikan boneka mungil itu, sementara ada boneka besar ini di samping Ceysa.
Ceysa bisa merasakan perubahan Vale sejak kedatangannya tadi. Dia pun tahu apa penyebabnya, karena tidak sengaja melihat kekasihnya itu memasukkan sesuatu ke dalam tas.
“Nggak mau tau, mana sini aku mau lihat,” paksa Ceysa. Sesaat dia seperti anak kecil yang manja.
Vale mendesah. Dia pun mengambil ranselnya, namun sedikit ragu-ragu saat ingin mengeluarkan boneka itu. “Ini cuma …”
“Lucu banget!” jerit Ceysa, yang langsung merampas boneka itu dengan wajah riang. Dia mengajak boneka itu bicara, sembari mencubit hidungnya yang menggemaskan.
Vale terpana. Sungguh tidak menyangka Ceysa akan sesenang itu menerima boneka kecil, padahal ada boneka besar pembelian Adam yang jauh lebih nyaman dipeluk.
Ceysa melambaikan tangan agar Vale mendekatkan telinganya. Pria itu membungkuk. Dia pun berbisik, “makasih ya.” Lalu mencium pipinya.
Vale lebih terpana lagi.
“Aku kasih kamu nama siapa, ya?” tanya Ceysa pada boneka itu. Dia berpikir dengan serius, lalu wajahnya semringah. “Cici! Nama kamu, Cici!” serunya.
“Kok Cici?” Vale jadi penasaran.
“Dulu waktu kecil aku pernah punya kelinci namanya Cici, tapi tiba-tiba meninggal padahal aku baru aja kasih dia makan sebelum pergi ke sekolah. Aku sedih banget, sama Mami dibeliin boneka kelinci sebagai gantinya. Kata Mami, kalau boneka hidupnya abadi, jadi aku nggak akan sedih lagi.” Ceysa mengambil jeda bernapas sebentar. “Tapi pas Mami meninggal, aku nggak ngurusin bonekanya lagi, terus hilang nggak tau ke mana.”
Vale tersentuh mendengarnya, tapi sekaligus tersenyum geli.
“Kamu kok malah senyum gitu sih?” protes Ceysa.
“Kamu sadar nggak, selama beberapa bulan kita kenal, ini pertama kalinya kamu ngomong panjang banget ke aku?” kekeh Vale. “Terus ngomongnya juga ngalir banget, bikin gemes.”
“Masa?” Ceysa sebagai pelaku tentu tidak menyadarinya. Dia kembali mengajak boneka cicinya berbicara, mengabaikan Vale sesaat.
“Makasih ya …” ucap Vale dengan sepenuh hati.
“Kok malah kamu sih yang bilang makasih? Aku yang dikasih boneka, juga.” Ceysa mengerutkan kening.
“Makasih karena kamu selalu menghargai usaha aku, sekalipun itu sangat kecil,” perjelas Vale.
“Usaha yang disertai dengan niat yang tulus, nggak akan sia-sia, Val. Kalau kamu pikir aku akan lebih senang dengan boneka dari Adam ini, kamu salah.” Ceysa mendorong boneka itu hingga terguling ke lantai. “Itu nggak ada artinya buat aku, karena dia bukan siapa-siapa.”
Vale benar-benar speechless.
Ceysa pulang hari ini, tapi Vale tidak bisa mengantar karena harus bekerja. Pria itu tadinya mau mengganti hari off, tapi ternyata tidak bisa karena cafe kekurangan orang. Dengan berat hati dia menitipkan Ceysa pada Jevan dan Blaire yang kebetulan free.
“Aku kerja dulu, ya? Nanti kalau udah sampai apartemen, kabarin. Aku pasti baca pas jam istirahat,” ucap Vale.
Ceysa mengangguk. “Jangan khawatir, kerja aja yang fokus,” balasnya.
Vale mencium kening Ceysa.
Jevan dan Blaire saling pandang, lalu mengulum senyum. Isi kepala mereka pasti sama, Vale dan Ceysa sangat sweet.
“Lagi-lagi gue harus ngerepotin kalian buat nganterin Ceysa, makasih banget udah bantuin,” ucap Vale pada Jevan dan Blaire.
“Jangan sungkan, Val. Ceysa sahabat kita, tanpa Lo minta pun bakal tetep kita jagain,” balas Blaire.
Jevan mengangguk.
“Gue permisi dulu kalau gitu.” Vale menoleh pada Ceysa dan tersenyum. Dengan berat hati pria itu melangkah pergi.
“Allura mana?” tanya Ceysa.
“Dia diminta Mamanya pulang, mau ngomongin soal pernikahan dia sama Onyx kayaknya,” beritahu Blaire.
“Oh.” Ceysa mengangguk.
Jevan dengan inisiatifnya sendiri, mengemban tugas membawa semua barang Ceysa untuk ditaruh di mobil. Dia sudah seperti tukang angkut di pasar, memikul dua kantong besar yang cukup berat. “Lo bawa apaan sih sampe sebanyak ini,” gerutunya.
“Salahin aja mereka yang besuk gue, ngasih barang-barang sebanyak itu.” Ceysa sendiri tidak mungkin menolak pemberian para klien yang kebetulan datang membesuknya.
“Berasa ulang tahun ya, Cey?” Blaire tertawa geli.
“Iya.” Ceysa berdecak.
“Gimana kalau nanti Lo sama Vale nikah, bisa-bisa gedung resepsi Lo dipenuhi kado,” goda Blaire.
“Jauh banget sih Lo mikirnya. Masih lama.” Ceysa menggeleng.
“Kodein kali,” sindir Blaire.
Ceysa hanya mencebik.
“Ladies, let’s go!” panggil Jevan setelah kembali dari mengantar dua kantong besar tadi.
“Kursi rodanya mana?” tanya Blaire.
“Ih, nggak usah. Gue udah sehat, bisa jalan sendiri.” Ceysa melangkah bebas ke luar dari kamar itu.
Jevan merangkul Blaire. “Bukan obat yang bikin Ceysa sembuh,” bisiknya.
“Tapi Vale,” sahut Blaire cekikikan.
“Nggak usah ngomongin gue,” omel Ceysa.
“Tapi emang beneran Cey, sejak sama Vale aura loh tuh beda. Nggak kayak gunung es lagi, tapi sehangat sunset.”
“Gue setuju sama Bi,” sahut Jevan.
Ceysa diam saja, namun Jevan dan Blaire tidak melihat dia tersenyum mengakui. Vale memang membawa banyak perubahan dalam hidupnya.
“Cey, berhubung Allura nggak pulang malam ini, Lo nginep di apartemen kita aja, ya?” ajak Blaire. “Biar gue juga lebih tenang bisa pantau kondisi Lo terus.”
“Gue nggak mau jadi obat nyamuk ya. Biar gue di apartemen gue sendiri aja, nggak usah berlebihan khawatirnya. Gue udah gede.” Ceysa menolak.
“Iya deh yang maunya ditemenin Vale doang,” sindir Blaire.
“Emang Vale sering nginep?” tanya Jevan polos.
“Coba tanya orangnya langsung.”
Ceysa mempercepat langkah, malas mendengar sepasang suami istri itu yang terus menggodanya.
***
Ceysa terbangun saat sebuah kecupan mendarat di keningnya. Melihat Vale, bibirnya pun tersenyum. Dia meraih satu tangan pria itu, lalu memeluknya dengan erat. Efek obat membuatnya sangat mengantuk, padahal biasanya dia sangat anti tidur sore.
“Kamu tidur lagi aja,” suruh Vale.
“Temenin,” rengek Ceysa.
“Aku bersih-bersih dulu. Tadi bantuin di dapur, jadi pasti bau.” Vale malah masih memakai seragam kerjanya.
“Hem-em, bau asep.” Lantaran sudah terbiasa menciumnya, Ceysa tidak lagi terganggu dengan aroma asap di tubuh Vale.
Vale mencium bibir Ceysa sekilas, lalu melangkah ke kamar mandi. Dia tidak ingin membuat kekasihnya itu terlalu lama menunggu, sehingga mandi ala bebek saja yang penting aroma asap tadi hilang.
Ceysa tadinya mengantuk, tapi saat melihat Vale menanggalkan pakaian, matanya langsung terasa segar. Dia sangat suka bentuk tubuh Vale yang berotot. Suka dada bidangnya. Suka bulu-bulu halus yang merambat dari bawah pusar. Semuanya terasa pas di tubuh atletis pria itu.
Vale yang menyadari Ceysa sedang menatapnya, lantas menaikkan alis sebagai ganti, “ada apa?”
“Kamu sering nge-gym ya?” tanya Ceysa.
Vale naik ke kasur, lalu berbaring di samping Ceysa dan membawanya ke pelukan. “Nggak ada waktu,” jawabnya.
Ceysa menyelipkan tangannya ke dalam kaus yang Vale kenalan, mengusap perut berotot itu mengikuti lekuknya. “Kok bisa kayak roti sobek gini?” tanyanya.
“Setiap pagi kalau nggak capek, aku selalu nyempetin olahraga di kos,” jawab Vale.
“Di kos kamu ada alat-alat olahraga?”
“Nggak pake alat, tapi yang ada aja. Misalnya, angkat air pake ember dari sumur terus dipindahin ke kamar mandi. Itu bisa membentuk otot lengan dan perut,” beritahu Vale.
“Emang di kos kamu nggak ada air ledeng gitu?”
“Ada, tapi kadang nggak ngalir. Jadi ya ambil di sumur kalau mau mandi,” jawab Vale.
“Oh.” Ceysa paham, dia pernah merasakan hal serupa saat air ledeng di rumah kontrakan tidak menyala. Untungnya ada Jevan dan Onyx yang mengambilkan air dari sumur milik ibu kontrakan yang posisinya sebelahan.
“Terus, selain itu apalagi?” tanya Ceysa sambil usapannya merayap ke dada Vale. Dia berhenti saat sampai di puncak dada pria itu, mengusapnya perlahan.
“Push up. Bebannya ditambahin Juan. Dia duduk di belakang aku,” kekeh Vale.
“Emang nggak berat?”
“Berat lah, tapi manfaatnya banyak. Jadi ya … lama-lama terbiasa.”
“Gantian nggak?”
“Mana kuat dia.”
Ceysa tertawa. “Pengen deh ketemu sama temen kamu itu, kayaknya dia lucu,” ujarnya.
“Main ke kosan kalau gitu. Dia juga penasaran sama kamu.”
“Emang kamu udah cerita apa aja ke dia tentang aku?”
“Aku cuma bilang kalau aku punya pacar yang cantik, menyerupai bidadari. Makanya dia penasaran.” Vale tertawa lagi.
“Ihh, berlebihan.”
“Siapa bilang berlebihan? Aku bilang yang sebenarnya sama dia. Kamu itu cantik banget. Andai bidadari emang beneran ada, pasti kamu jadi salah satunya,” puji Vale.
Ceysa mencebik.
“Kamu gantian dong bikin aku seneng dengan sedikit memuji, jangan pelit.” Vale menuntut.
“Boleh dengan tindakan aja nggak?” tanya Ceysa dengan sebelah alis yang terangkat.
Vale mengangkat kedua alisnya, dan tahu maksud wanita itu. Sejurus kemudian, Ceysa sudah merangkak naik ke atasnya. Kausnya ditarik ke atas, lalu Ceysa membungkuk menciumi perutnya.
Ceysa berbaring nyaman di dada Vale, sampai malas untuk bergerak. Namun saat ponselnya terus berbunyi, dia terpaksa harus mengambilnya. Benda pipih itu menunjukkan begitu banyak notifikasi dari grup empat sehat lima sempurna.
Allura: ATTENTION PLEASE!
Allura: Diharapkan untuk semua yang menghuni grup ini agar segera muncul.
Jevan: Berisik!
Onyx: Hadir!
Blaire: Nyimak
Allura: Berhubung gue sama Onyx mau married, kita berencana bikin bridal shower yang beda dari yang lain.
Allura: Kita mau sewa private yacht buat kita semua.
Blaire: Wow!
Blaire: Ini serius?
Jevan: Sekalian honeymoon kita, Bi.
Jevan: Hehe
Allura: Ceysa mana nih? Muncul dong Bebs!
“Kenapa?” tanya Vale saat Ceysa terlalu fokus menatap layar ponsel.
“Ini, Allura sama Onyx mau ngadain bridal shower,” beritahu Ceysa. “Mau nyewa private yacht segala.”
Valen sudah tahu rencana teman-teman Ceysa yang ingin memberikan kejutan di hari ulang tahunnya. Dia yakin bridal shower hanya alasan agar Ceysa tidak curiga. Ternyata beneran jadi! gumamnya dalam hati.
Ceysa menulis sesuatu di grup itu.
Ceysa: Emang kapan?
Allura: Sabtu
Allura: Boleh ajak pasangan, biar Lo nggak merasa jadi nyamuk
Onyx: Hahaha
Blaire: Ajak si brondong manis, Cey.
Jevan: Bi -__-
Blaire: Becanda, Je -__-
Allura: Ceysa kenapa ngilang mulu dah
Onyx: Lagi dikekepin Vale, kali
Jevan: 2
Ceysa mendongak menatap Vale. “Ini katanya kamu boleh ikut. Mau nggak? Sekalian liburan,” ajaknya.
“Kayaknya aku nggak bisa deh,” ucap Vale dengan wajah memelas.
“Kenapa? Karena nggak bisa libur di hari weekend?” tanya Ceysa.
“Kurang lebih,” jawab Vale.
“Gimana kalau aku bantu ngomong ke Adam? Aku yakin dia pasti izinin kamu ambil cuti dua hari,” usul Ceysa.
“Aku belum bilang ya ke kamu?”
Alis Ceysa terangkat.
“Sebenernya mulai besok aku kerja di dua tempat,” beritahu Vale.
“Hah? Gimana-gimana?” Ceysa tidak begitu paham maksud Vale barusan.
“Jadi, aku ngelamar kerja di cafe lain sebagai singer buat sesi live musik di sana. Boss cafenya minta aku mulai kerja besok malem, setelah selesai dari cafe Mas Adam.”
Ceysa diam cukup lama, menatap Vale begitu lekat.
“Kerjanya fleksibel, aku bisa sesuaikan dengan jam kerja di cafe Mas Adam. Jadi, kalau pas lagi dapet shif pagi, aku bisa kerja di sana pas malem. Begitu juga sebaliknya.”
“Emang nggak capek?” tanya Ceysa, hanya itu yang dia pikirkan. Selain … mungkin Vale butuh uang lebih.
“Kerjanya nyantai kok, cuma duduk modal suara doang. Kayaknya nggak bakalan capek,” kekeh Vale.
Ceysa kembali diam.
“Seperti kata kamu, aku harus serius kalau mau sukses.” Vale meyakinkan dia akan baik-baik saja menjalani dua pekerjaan sekaligus.
“Kamu butuh uang, ya?” tebak Ceysa dengan nada yang berhati-hati, tidak ingin Vale tersinggung.
Vale mengangguk. “Kerja di cafe gajinya emang lumayan kalau untuk biaya hidup sehari-hari. Tapi nggak ada lebihnya. Aku pengen bisa kasih sesuatu ke kamu,” jujurnya.
“Val, aku nggak …”
“Aku yang mau, Cey.” Vale memotong. “Aku tau kamu bisa nerima aku apa adanya. Kamu nggak pernah nuntut macem-macem. Tapi sebagai laki-laki, masa aku nggak berusaha?”
Ceysa tidak bisa berkata-kata lagi.
Vale membawa Ceysa ke pelukannya lagi. “Kamu udah masuk ke dunia aku tanpa mengeluh sedikit pun. Giliran aku yang harus berusaha masuk ke dunia kamu,” ucapnya.
“Aku nggak tau harus ngomong apa,” lirih Ceysa.
“Aku cuma butuh dukungan, jangan kasihani aku,” minta Vale.
Setelah lama diam, Ceysa pun akhirnya mengangguk. Dia tidak bisa mengubah keputusan Vale karena alasan pria itu membuatnya tak berdaya. “Tapi Val, kamu harus tau kalau aku beneran nggak nuntut apa-apa,” ucapnya.
“Aku tau. Makasih,” sahut Vale.
Keduanya mulai larut dalam pikiran masing-masing. Detik jam berlomba dengan nada notifikasi ponsel Ceysa, mengganggu heningnya malam.
***
Paginya, Ceysa mengantar Vale ke kos karena lagi-lagi motor pria itu mogok. Obrolan tadi malam tidak lagi mereka bahas agar suasana hati tetap nyaman dan tenang.
“Kamu kenapa nggak istirahat dulu aja sih? Baru juga keluar dari rumah sakit, udah kerja aja,” protes Vale.
“Aku baik-baik aja. Kalau cuma diem di rumah malah bakal tambah sakit. Mending kerja,” sahut Ceysa.
“Tapi awas ya telat makan, apalagi sampe minum kopi lagi. Aku beneran marah kalau kamu sakit lagi,” ancam Vale.
“Kok pacarnya sakit dimarahin sih?” Ceysa berpura-pura sedih.
“Habisnya kamu bandel.” Vale lantas merangkul Ceysa. “Aku nggak mau lihat kamu sakit lagi.”
Tibalah mereka di depan kos-kosan Vale. Suasana pagi selalu ramai oleh para penghuni kos yang akan pergi bekerja. Entah itu suara knalpot motor atau teriakan memanggil teman yang tak kunjung ke luar.
“Mau mampir nggak?” tanya Vale.
Ceysa melirik arlojinya. “Boleh!” sahutnya tersenyum.
“Beneran?” Vale agak ragu, dia hanya basa-basi tadi. Tidak mengira Ceysa akan menyambutnya.
“Gimana sih, kamu yang nawarin tapi malah kamu juga terkesan nggak mau aku mampir.” Ceysa mengesah.
“Kosan aku …”
“Lama deh.” Ceysa turun lebih dulu.
Vale mematikan mesin mobil dan menyusul Ceysa ke luar. Mata semua penghuni kos yang sedang di luar pagar pun mulai terarah pada mereka. Pasti merasa penasaran siapa yang Vale bawa.
“Vale bawa cewek, oi!” teriak teman kos Vale, si cungkring.
Vale menggandeng Ceysa sebagai tanda hak miliknya.
“Cieee, Vale udah gede ternyata,” goda teman wanitanya.
Vale terkekeh.
Kedatangan Ceysa menghebohkan seisi kos, sampai yang sedang mandi pun nekat ke luar untuk ikut melihat. Kos-kosan yang cukup bebas itu, terlihat makin ramai setelah masuk ke area dalam.
Vale langsung membawa Ceysa ke kamar kosnya, tidak meladeni setiap godaan para penghuni kos di sana. Dia tidak begitu akrab dengan mereka semua, hanya bersosialisasi alakadarnya.
Lantaran kamar itu berukuran kecil, hanya dengan satu pandangan Ceysa bisa melihat semua yang ada di dalam sana. Terdapat dua dipan berseberangan yang terbuat dari kayu dan lemari pakaian kecil sebagai pembatas antara dua dipan itu. Khas kamar kos laki-laki. Meski sederhana, ventilasi udara di sana cukup baik sehingga tidak terasa pengap.
“Emm, duduk Cey. Di mana aja boleh,” tunjuk Vale sembari menggaruk kepalanya.
“Tempat tidur kamu yang mana?” tanya Ceysa.
“Itu,” tunjuk Vale di sebelah kiri.
Ceysa pun memilih duduk di situ.
“Maaf ya, berantakan.” Vale meringis saat melihat Ceysa hampir duduk di atas celana dalam. “Ini punya Juan,” beritahunya sebelum Ceysa berpikir dirinya ceroboh.
Ceysa hanya mengulum senyum.
“Val, Lo udah pulang? Dari mana aja sih Lo …” Juan yang tidak tahu Vale membawa seorang wanita, kini sangat terkejut melihat Ceysa di sana. Dia yang ke luar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk, langsung masuk kembali sembari mengumpat. “Sialan ya Lo Val, kasih kode kek!”
Ceysa kembali mengulum senyum.
“Baru gue tinggal beberapa hari, Lo apain sih nih kamar?” gerutu Vale sembari memunguti pakaian kotor Juan yang bertebaran tidak karuan di sekitar sana.
Juan sudah ke luar dari kamar mandi dengan kaus dan celana pendek. Dia tersenyum malu-malu saat melihat Ceysa, sembari tangannya secepat kilat menarik jemuran celana dalam di hanger bulat yang tergantung depan pintu kamar mandi.
“Ngomong dong kalau mau bawa cewek ke sini, kan, gue bisa beberes dulu biar nggak jelek gini kesan pertamanya,” bisik Juan pada Vale.
“Biar dia tau Lo itu jorok,” cibir Vale.
Juan mengelap tangannya, lalu mengulurkannya pada Ceysa. “Juan,” ajaknya berkenalan.
“Ceysa,” dengan ramah Ceysa menyambutnya.
“Sorry ya Cey, kamarnya nggak enak dilihat. Kalau aja Vale bilang mau ajak ceweknya ke sini, pasti gue bakalan beresin dengan segenap hati,” ujar Juan panjang lebar.
Ceysa tertawa, “Its okay.”
Juan lantas mendekati Vale yang masih sibuk beberes. “Bener yang Lo bilang, cantik banget cewek Lo. Dapet di mana, sih?” bisiknya.
Ceysa mengedarkan pandangan lagi sementara Juan dan Vale sedang mengobrol tidak jelas. Sebagian dari cat dinding sudah terkelupas. Warna tirai jendela hitam, pasti agar tidak terlihat kalau kotor.
“Kamu mau minum nggak?” tanya Vale yang tiba-tiba saja sudah duduk di depan Ceysa, berlutut.
“Air putih aja,” minta Ceysa.
“Emang adanya cuma itu,” kekeh Vale. “Bentar ya aku ambilkan,” ucapnya sembari mengusap puncak kepala kekasihnya itu.
Saat Vale ke luar, Juan salah tingkah karena masih malu pada Ceysa. Dia berusaha keras mencari topik untuk mencairkan suasana.
“Kalian udah lama tinggal di sini?” tanya Ceysa.
“Udah lama juga sih, lumayan …” jawab Juan sembari menggaruk kepala.
Ceysa mengangguk.
“Dari kemaren Vale tuh ribut banget muji-muji ceweknya yang katanya kayak Bidadari. Gue sempet nggak percaya, tapi …”
“Tapi?” Ceysa menunggu kelanjutan cerita Juan.
“Tapi ternyata dia nggak bohong, Lo emang secantik bidadari,” kekeh Juan. Dia menggaruk kepala kembali.
Ceysa tertawa.
Setelah melihat Ceysa cukup santai, Juan mulai menemukan topik yang menarik untuk dibicarakan. Entah itu membuka aib Vale, atau justru aibnya sendiri. Keduanya dalam sekejap menjadi sangat akrab.
Vale kembali membawa segelas air mineral, lalu memberikannya pada Ceysa. “Itu gelasnya udah aku cuci berkali-kali, terus aku rendam air panas,” beritahunya.
“Segitunya.” Ceysa mengejek. Dia meminum air di gelas itu tanpa rasa jijik sekalipun tidak tahu asalnya dari mana.
Vale mengambil gelasnya setelah Ceysa selesai minum, menaruhnya ke sudut lantai.
“Aku berangkat sekarang ya,” pamit Ceysa sembari melirik arlojinya.
“Buru-buru banget Cey,” ujar Juan.
“Iya nih, kerajaan menanti,” canda Ceysa.
“Nanti kapan-kapan ketemu lagi ya,” ucap Juan.
Ceysa mengangguk.
“Aku anter ke depan,” kata Vale sembari mengambil gelas untuk sekalian dibawa ke luar.
Ceysa mengangguk.
Vale mengantar Ceysa sampai mobil. Wanita itu duduk di balik kemudi, memasang kacamata hitam karena silau matahari di depan. Lalu setelah itu, Ceysa melambaikan tangan memintanya mendekat.
Cup.
Sebuah kecupan mendarat di pipi Vale. “Aku pergi ya,” pamitnya dengan senyum manis.
Vale ikut tersenyum, lalu mengangguk. “Hati-hati,” ucapnya.
Vale tetap berdiri di sana sampai mobil Ceysa tidak terlihat lagi. Saat masuk ke kamar, Juan menginterogasinya habis-habisan.
Bersambung…