Sudah tiga hari tidak bertemu dengan Vale, Ceysa merasa rindu. Keduanya sedang sama-sama sibuk, apalagi Vale kini melakukan dua pekerjaan yang membuat waktu mereka makin sulit disatukan. Ceysa selalu rutin bekerja dari pagi hingga sore hari, sementara Vale dari pagi hingga tengah malam.
“Sayang banget Vale nggak bisa ikut,” ujar Blaire sedikit kecewa. “Padahal kita-kita udah niat banget ngadain ini karena formasi kita udah lengkap.”
“Dia sibuk banget ya, Cey?” Allura ikut bertanya.
“Dia kerja di dua tempat sekarang, jadi udah susah waktunya,” beritahu Ceysa.
“Ya ampun, Vale pekerja keras banget. Emang nggak capek dia?” Allura jadi terharu.
Blaire mengangguk, merasa kasihan.
Ceysa mengangkat bahu. Dia sendiri masih tidak tega Vale harus bekerja sekeras itu. Bayangkan saja dari jam delapan pagi hingga dua belas malam pria itu harus terus menguras tenaga. Bila dihitung, enam belas jam. Walau menurut Vale pekerjaan keduanya tidak sulit, tetap saja waktu istirahatnya jadi berkurang.
Saat ini, Ceysa dan teman-temannya itu sedang berada di Bandara. Mereka akan terbang ke Bali, setelah itu akan berlayar menuju Labuan Bajo dengan private yacht yang sudah disewa.
Melihat pesan terakhirnya sudah dibaca oleh Vale, Ceysa pun langsung menelepon. Sejak tadi yang membuatnya tidak tenang adalah karena belum bicara dengan pria itu sejak pagi, sementara dia harus pergi.
“Hai, nungguin ya?”
“Aku pikir nggak bakalan ketemu lagi waktunya. Untung penerbangannya delay, jadi bisa nungguin kamu.”
Vale terdengar batuk-batuk. “Maaf ya, aku baru selesai,” ucapnya dengan suara serak.
“Kamu sakit?” Ceysa jadi cemas.
“Nggak, cuma tenggorokan agak gatel. Minum juga hilang,” jawab Vale. “Aku minum bentar.”
Ceysa menunggu dengan perasaan yang teramat gelisah.
“Delay sampai berapa lama emang?” Suara Vale kembali terdengar, tidak serak lagi.
“Tiga puluh menit. Paling bentar lagi udah masuk,” beritahu Ceysa sambil melirik arlojinya.
“Take care, ya. Have fun di sana dan inget pesen aku, jangan telat makan. Obat kamu dibawa, kan?”
Ceysa tertawa, “Kamu lagi-lagi kayak Mami aku, cerewet banget.”
“Biarin cerewet, habisnya punya pacar bandel. Harus diomelin dulu …” Vale batuk kembali. “Baru didengerin.”
“Itu kayaknya kamu lagi sakit deh,” ujar Ceysa curiga.
“Nggak.” Vale meyakinkan.
“Beneran?”
“Iya, beneran.”
“Kalau kamu emang lagi nggak enak badan, nggak usah kerja dulu malam ini. Istirahat, biar fit besoknya.”
“Iya. Kok jadi kamu yang bawel sekarang?”
Ceysa tersenyum geli.
“Guys, yuk!” Onyx memanggil.
Blaire langsung mendekati Jevan, dan keduanya saling rangkul berjalan ke gate keberangkatan.
Ceysa rasanya masih ingin bicara dengan Vale, tapi sepertinya dia sudah harus terbang. “Val, aku harus pergi sekarang,” ucapnya.
“Ya udah, nanti begitu sampai kabarin aku ya. Kalau kamu belum tidur, aku telepon setelah selesai kerja.”
“Aku nggak akan tidur sebelum kamu nelepon,” janji Ceysa.
“Jangan dipaksain, kalau ngantuk ya tidur.”
“Cey, ayok!” panggil Allura.
Ceysa menarik kopernya menyusul ke-empat sahabatnya itu. “Bye,” pamitnya.
“Bye,” jawab Vale.
Jeda beberapa saat. Baik Ceysa atau Vale tidak ada yang menutup telepon duluan. Sampai akhirnya karena sudah harus masuk ke pesawat, Ceysa menekan tanda merah di layar ponsel dan memutus percakapan itu.
Ceysa duduk sendirian, sudah tentu teman-temannya duduk berpasangan. Dia mengecek ponselnya terlebih dulu sebelum mengaktifkan airplane mode. Entah apa yang mendorongnya untuk mengecek story Instagram, dibanding mengirim chat untuk Vale. Di urutan pertama, terdapat story Juan. Iseng-iseng dia melihatnya.
Story pertama, Juan merekam keadaan di tempat bekerjanya yang dipadati oleh pengunjung.
Story kedua, sama.
Story ketiga, tentang keluh kesah Juan tentang kemacetan.
Lalu, story terakhir …
Deg!
Jantung Ceysa berdebar keras karena di story itu Juan memperlihatkan Vale yang sedang terbaring lemah di kos, dengan caption … GWS Bro. Story itu baru di-posting lima menit yang lalu.
Ceysa dengan cepat menelepon Juan. Tangannya sampai gemetar. Sebentar lagi pesawat akan lepas landas, peringatan untuk mematikan telepon pun sudah terdengar.
“Halo Nona,” canda Juan.
“Gue lihat story IG Lo barusan. Vale sakit?” todong Ceysa langsung.
“I-iya …” Juan terdengar bingung.
“Bukannya dia lagi kerja?”
“Tadinya sih iya nekat mau kerja. Tapi gue larang, habis badannya panas banget kayak bara api. Sekarang lagi tidur tuh anak. Mau gue bangunin?”
“Nggak usah.” Ceysa mematikan telepon. Dia langsung melepas sabuk pengaman, berdiri dengan cepat.
“Eh eh, mau ke mana? Ini kita udah mau berangkat!” tegur Allura yang duduk di belakangnya.
“Gue nggak jadi ikut, sorry.” Ceysa langsung menerobos para pramugari yang sedang mengecek penumpang, berlari ke luar sebelum pintu pesawat ditutup.
Keempat sahabat Blaire bengong, bahkan tidak sempat bertanya ada apa. Tak lama setelah Ceysa ke luar, pintu pesawat sudah ditutup dan akan segera lepas landas.
***
Ceysa berlari di sepanjang area dalam bandara, lalu berhenti untuk antre di Walk Through Metal Detector. Dia sangat gelisah, sampai kakinya terus bergerak. Setelah melewati tahapan ini, dia kembali berlari menerobos orang-orang yang sedang berjalan pelan menuju eskalator
“Maaf,” ucapnya saat menabrak bahu seorang pria yang menatapnya sengit.
Tanpa rasa lelah, Ceysa terus berlari. Banyak yang memperhatikannya dengan wajah heran, juga ada yang tidak suka, lantaran dia menerobos sembarangan.
Ceysa beruntung langsung mendapat taksi. Dia makin gelisah saja, sampai terus menerus meminta sopir agar lebih cepat padahal jalanan sedang macet.
Tangan Ceysa gemetar, terlihat dari caranya memegang ponsel. Dia tidak terpikir menelepon siapapun, karena jantungnya berdebar hebat hingga membuat otaknya sulit berpikir. Ada rasa marah yang bercampur dengan khawatir, tapi bingung mana yang sebenarnya lebih kuat.
Taksi akhirnya sampai di depan kos Vale, bahkan belum berhenti dengan mulus saja Ceysa sudah membuka pintu. Dia turun terburu-buru dan masuk ke pagar kosan yang sepi. Hari sudah menjelang malam, mungkin itu sebabnya tempat ini tidak seramai di pagi hari.
Di depan pintu kamar Vale, Ceysa lebih dulu mengatur napas. Dia bagai habis lari sejauh satu kilometer tanpa henti. Ngos-ngosan. Baru saja akan mengetuk, pintu sudah dibuka lebih dulu oleh orang di dalam.
“Eh, Ceysa?” Juan terkejut melihat Ceysa berdiri di depan pintu.
Ceysa tersenyum, napasnya masih tersengal hingga sulit bicara.
“Lo nggak jalan kaki, kan, ke sini?” canda Juan tertawa geli.
Ceysa ikut tertawa dan menggeleng.
“Ayo masuk, masih tidur dia. Efek obat kayaknya,” beritahu Juan.
“Emang sejak kapan sih dia sakit?”
“Loh, dia nggak ngabarin Lo?” Juan membiarkan pintu tetap terbuka, tapi tidak terlalu besar.
Ceysa menggeleng.
“Parah tuh anak.” Juan berdecak. “Dia udah kayak gitu dari pagi, makanya pas mau kerja gue larang. Jalan aja sempoyongan.”
“Dari pagi?” rasanya ingin marah karena dibohongi, tapi melihat Vale tidur dengan wajah pucat seperti itu dia merasa kasihan.
Juan mengangguk. “Bangunin aja Cey, nggak papa. Sekalian suruh makan,” suruhnya.
Ceysa mengangguk.
Ceysa mendekati Vale. Dia duduk pelan-pelan di tepi kasur, lalu menempelkan telapak tangannya ke kening pria itu. “Panas banget,” gumamnya.
Tak ingin membangunkan Vale, Ceysa menghampiri Juan yang sedang merokok di luar. “Juan, kalau kalian masak di mana?” tanyanya.
“Di dapur lah.”
“Iya maksud gue dapurnya di mana.” Ceysa mendesah malas.
“Lurus aja dari sini, terus belok kanan mentok.” Juan terkekeh. “Tapi nggak tau ya ada yang bisa dimasak atau nggak, soalnya anak-anak di sini lebih suka beli.”
“Tapi kalau cuma beras sama telur ada, kan?”
“Oh kalau itu nggak pernah habis, apalagi pas bulan tua.” Juan terkekeh lagi.
Ceysa tersenyum. Dia pun pergi ke dapur yang Juan tunjuk. Meski tempat kos di sini memiliki banyak penghuni, tapi lingkungannya sangat bersih. Tidak ada sampah bertebaran di lantai, atau jemuran bergantungan sembarangan.
Di dapur yang sederhana itu pun keadaanya cukup bersih. Tidak ada tumpukan piring kotor, semua tapi pada tempatnya. Saat membuka kulkas, memang hanya ada telur dan air mineral.
Ceysa mengambil satu gelas takar beras, dimasukkan ke dalam panci, mencucinya sampai bersih. Lalu dia nyalakan kompor dan memasaknya. Bila dipikir-pikir, kenapa dia sampai repot-repot melakukan ini? Rasanya seperti bukan Ceysa.
Setelah selesai membuat bubur yang diberi campuran telur, Ceysa kembali ke kamar Vale. Pria itu masih tidur, dan batuk-batuk.
“Cey, gue ke luar bentar ya,” pamit Juan.
Ceysa mengangguk.
Dia duduk di tepi kasur, menyentuh pipi Vale dengan lembut. “Val,” panggilnya.
Vale membuka matanya sedikit demi sedikit, sempat bingung saat melihat Ceysa. Mengira mungkin sedang bermimpi.
“Aku masakin bubur,” beritahu Ceysa.
“Cey?” Vale langsung duduk menyadari Ceysa nyata ada di sana. Dia terbatuk-batuk, memalingkan wajah sebentar.
Ceysa mengusap punggung Vale.
“Kamu kok di sini? Bukannya udah di pesawat?” tanya Vale masih dengan ekspresi kagetnya.
“Aku nggak jadi pergi,” beritahu Ceysa.
“Loh, kenapa?”
“Menurut kamu?”
Vale menyadari kemarahan Ceysa di balik sikap penuh perhatiannya itu. Wanita itu menyuapinya bubur, lalu mengelap bibirnya yang belepotan. Namun tatapannya terasa dingin, juga tak mau bicara sepatah kata pun. Dari tadi dia sudah mencoba menarik perhatiannya, namun sia-sia.
“Obat kamu di mana?” tanya Ceysa setelah bubur yang Vale makan habis.
Saat Ceysa ingin berdiri menaruh mangkuk bubur itu, Vale menahan tangannya. Dia ambil alih mangkuk itu dan menaruhnya ke samping bantal. Digenggamnya tangan Ceysa yang terasa dingin, efek dari kulitnya yang sedang panas.
“Maaf …” ucap Vale. “Aku cuma nggak mau ganggu liburan kamu sama temen-temen kamu.”
Ceysa menatap Vale tajam. “Menurut kamu, aku bakal lebih milih liburan di sana terus ngebiarin kamu sakit di sini? Cuma segitu penilainan kamu tentang aku?” cecarnya.
“Nggak gitu.” Vale menarik kembali tangan Ceysa yang berusaha lepas.
“Coba sekarang kita tukar posisi, Val. Andai kamu yang berencana liburan, terus aku nggak ngasih tau kalau aku sakit dan kamu malah tau dari orang lain. Kamu bakal tetep pergi?” cecar Ceysa kembali.
“Nggak. Mana mungkin.” Vale dengan erat menggenggam tangan Ceysa yang masih berusaha melepaskan. “Maaf, aku salah.”
“Kamu mikir nggak sih gimana perasaan aku andai aku telat dikit aja tadi? Pesawat udah hampir take off, Val!” Emosi Ceysa yang tertahan lantas menyembur ke luar.
“Maaf maaf maaf.” Vale langsung memeluk Ceysa. “Aku janji nggak akan ulangin ini lagi.”
Ceysa berontak, tapi Vale lebih kuat.
Vale melepaskan pelukan, tapi malah mencium paksa bibir Ceysa. Sekuat apapun wanita itu ingin melepaskan diri, jauh lebih kuat lumatan bibirnya yang panas.
Ceysa menyerah, tidak lagi berontak. Dibalasnya ciuman Vale dengan sisa emosi yang ada. Panas dan dingin melebur jadi satu. Bila biasanya bibir Vale begitu lembut, kali ini terasa sedikit kasar efek dari panas tinggi yang membuat bibirnya kering.
Vale melepaskan ciuman, mengecup ringan beberapa kali. “Jangan marah, aku lagi sakit …” lirih Vale, memohon.
“Mana obat kamu?” tanya Ceysa lebih lembut.
“Kamu,” jawab Vale.
“Aku serius.”
“Aku juga serius. Nggak ada obat yang lebih ampuh selain kamu. Aku merasa lebih sehat sekarang,” ujar Vale tak main-main.
Ceysa mendesah.
Vale turun dari dipan itu, berjalan ke pintu dan menutupnya. Menarik slot agar terkunci.
“Kenapa dikunci?” Suara jantung Ceysa bagai sedang berlomba dengan detak jarum jam.
Vale menarik Ceysa berdiri, kemudian dibawanya lagi ke pangkuan. Posisi merek berhadapan, saling menatap begitu dalam. Direngkuhnya pipi wanita itu, dan menciumnya kembali.
“Kamu lagi sakit,” bisik Ceysa di sela ciuman panas itu.
“Sampai pagi pun aku kuat,” balas Vale terkekeh. Dia sedang begitu bernafsu sekarang, tak menerima penolakan.
Ceysa bisa merasakan sesuatu mulai membesar menyentuh pangkal pahanya. Dia membalas ciuman Vale dengan seimbang, meliukkan tubuh lebih menempel pada pria itu. Rasa panas di tubuh Vale, menghantam kulitnya.
Vale menarik kaus Ceysa ke atas dan melepas pengait bra hitamnya. Dia remas dada ranum itu, sembari bibirnya menjelajahi lekuk leher yang basah oleh keringat itu.
Keduanya tak mengubah posisi. Ceysa memimpin, bergerak di atas Vale mengatur iramanya. Desahan mereka berlomba, saling mengejar. Bibir tak henti-hentinya mencari jalan untuk saling bertaut. Suara basah dan napas yang terengah telah merampas hening malam.
Ceysa meremas punggung Vale, giginya menancap di pundak pria itu. Tubuhnya bergetar, kenikmatan itu meluruh hangat di dalamnya.
Vale baringkan tubuh Ceysa setelah itu, lalu menyatukan kembali tubuh mereka dalam kecepatan penuh. Dia mengerang, menuntut haknya yang sebentar lagi akan sampai. Sebelum matanya terpejam, sempat dia lihat bercak merah yang ditinggalkannya di sepanjang kulit Ceysa.
Vale membawa Ceysa ke pelukannya, keringat menjadi pengingat betapa tadi itu sangat … nikmat.
“Temen-temen kamu pasti kecewa,” ucap Vale memberanikan diri untuk membahasnya kembali.
“Mereka bakalan ngerti,” sahut Ceysa, tak lagi marah.
“Padahal liburan ini mereka siapkan untuk ngasih kamu kejutan.” Vale harus membongkarnya, karena sudah tidak ada yang perlu ditutupi lagi.
“Ha?” Ceysa mendongak menatap Vale. “Kejutan?”
“Besok hari ulang tahun kamu, kan?”
Ceysa terdiam. Dia benar-benar tidak mengingat hari ulang tahunnya jatuh pada tanggal besok. Kesibukan telah menyita ingatannya. “Astaga … kenapa aku bisa lupa, sampai nggak curiga sama sekali,” keluhnya. “Tapi kamu tau dari mana?”
Vale menceritakannya, rencana ini dia ketahui saat perayaan makan malam itu. Itu sebabnya dia tidak memberitahu kalau sedang sakit, karena menghargai usaha yang teman-teman Ceysa lakukan.
Seketika Ceysa merasa sedikit bersalah pada teman-temannya itu. “Aku bakal minta maaf ke mereka,” ucapnya.
Vale mendesah. “Kalau aku tau kamu bakalan batalin liburan itu dan ke sini, aku pasti udah siapin sesuatu buat kamu,” keluhnya. “Aku bahkan belum beli kado buat kamu.”
“Berhubung kamu belum beli, aku boleh request?” minta Ceysa dengan mata berbinar.
Vale sedikit takut Ceysa meminta yang tidak sanggup dibelinya. “Apa?” tanyanya sedikit ragu.
“Aku minta kamu bikinin aku makanan yang super enak.”
Vale menatap Ceysa lekat, benarkah sesederhana itu? Bukan barang atau liburan mewah? “Kamu beneran cuma minta itu?” tanyanya lagi.
“Iya. Kemaren kamu pernah masakin nasi goreng, enak sih tapi terlalu sederhana. Sekarang aku minta yang istimewa. Western … maybe.”
“Oke. Kita ke apartemen kamu sekarang. Di sini nggak ada apa-apa.” Vale beranjak duduk. Dia terlihat sangat bersemangat.
“Ehhh, kamu, kan, lagi sakit. Nggak harus sekarang juga,” larang Ceysa.
“Aku udah keringetan gini,” ucap Vale menunjukkan keringat yang banjir di otot-otot perutnya.
Ceysa mengapit selimut ke bawah ketiaknya, lalu menarik tangan Vale. Dia lebih dulu ingin memeriksa. Dan benar saja, suhu pria itu menurun drastis. Memang masih hangat, tapi lebih baik dibanding tadi.
“Udah sehat, kan?” Vale tersenyum.
“Kok bisa?”
“Dibilang kamu itu obat yang paling manjur. Nggak percaya sih.”
Vale memunguti pakaian Ceysa yang teronggok di lantai, memberikannya pada wanita itu.
***
“Have fun ya kalian di sana!”
Ceysa akhirnya bisa mengembuskan napas lega setelah menelepon Blaire dan menjelaskan semuanya. Tadinya, sahabatnya itu marah karena rencana yang telah dipersiapkan sedemikian rupa, telah gagal begitu saja. Namun setelah dijelaskan alasannya, mereka pun akhirnya mengerti.
Melihat Vale memasak, Ceysa dengan langkah tanpa suara mendekati. Lalu dia peluk pria itu dari belakang. Rasa bahagia tengah membuncah di dada, semua beban bagai telah terangkat.
“Mereka bilang apa?” tanya Vale.
“Awalnya sih marah, tapi setelah tau alasannya, mereka ngerti. Bahkan Bi aja bilang, kalau ada di posisi aku, dia pun akan melakukan hal yang sama.”
“Tapi tetep aja aku ngerasa nggak enak. Mereka udah siapin segalanya, malah berantakan gara-gara aku. Pasti mereka kecewa banget.”
“Siapa bilang mereka kecewa? Malah yang ada, mereka udah lupa niat awalnya apa. Sibuk sama pasangan masing-masing,” beritahu Ceysa. “Kalau aja tadi aku beneran ikut, aku bakal mati bosan di sana. Sekaligus muak lihat mereka pamer kemesraan. Habisnya, pacar aku nggak bisa ikut.”
Vale terkekeh.
“Alasan kamu nggak mau ikut, bukan semata-mata karena kerjaan, kan?” tebak Ceysa. “Karena kalau cuma karena kerjaan, aku pasti udah maksa kamu buat ikut.”
Vale terdiam beberapa saat. Lalu bertanya, “kamu nggak malu punya pacar yang nggak sepadan? Laki-laki yang nggak akan sanggup sewa yacht di hari ulang tahun pacarnya.”
“Kalau aku malu, aku nggak bakalan ada di sini sekarang. Aku bakal tetep pergi sama mereka, berlayar dengan yacht mewah sambil pamer di sosial media seakan-akan nggak punya pacar.”
Vale membalikkan badan, menatap Ceysa penuh cinta. “Makasih ya, Cey. Aku nggak pernah ketemu cewek setulus kamu,” jujurnya.
Ceysa memberikan jari kelingkingnya. “Mulai sekarang, jangan ada jarak di antara kita. Oke?” mintanya.
Vale menautkan jarinya, lalu tersenyum jahil. “Emangnya kita pernah berjarak?” godanya.
Melihat gelagat Vale itu, Ceysa tahu akan dibawa ke mana adegan selanjutnya. Dia menjerit ketika tubuhnya di angkat ke kitchen island dan diserang dengan bertubi-tubi ciuman.
“Kamu, kan, lagi masak,” ucap Ceysa dengan suara teredam oleh ciuman membara Vale.
“Hmppt … Valeee … Ah …”
Bersambung…