Sejak pagi, ada begitu banyak kiriman kado dari orang-orang terdekat Ceysa, dan juga para kliennya. Ruang tamu dipenuhi tumpukan paper bag, bunga dan juga berbagai jenis cake. Namun di antara semua itu, salah satunya ada yang menarik perhatian Vale, yaitu kiriman bunga dari Adam. Tak hanya bunga tentu saja, tapi terselip sebuah box kecil persegi empat beserta kartu ucapannya.
“Mas Adam tau tanggal ulang tahun kamu?” tanya Vale.
“Hmm?” Ceysa tidak begitu mengerti arah pertanyaan Vale itu, karena dia sedang fokus membaca email.
Vale mengambil hadiah dari Adam itu dan duduk di samping Ceysa. “Ini dari Mas Adam,” beritahunya.
“Oh ya?” Lantaran semua hadiah itu Vale yang mengambilnya dari kurir yang mengantar tadi, Ceysa belum sempat melihat satu persatu siapa saja pengirimnya.
Ceysa membuka lipatan kartu ucapan yang tertempel di bunga pemberian Adam.
Dear Ceysa …
Happy happy birthday
You are a very special person to me
I hope you never forget what we’ve been through together
With lots of prayers, I hope you are happy
From: Adam
Setelah membacanya, Ceysa beralih membuka box kecil berwarna pastel itu. Terdapat sebuah kalung dengan liontin berbentuk hati.
“Hadiah yang spesial banget ya,” sindir Vale.
“Tapi ada yang lebih spesial dari ini,” ucap Ceysa sembari menaruh hadiah dari Adam itu ke atas meja.
Vale diam saja, tidak berminat tahu.
“Tadi malem, ada yang ngasih hadiah pasta gosong dari orang pertama yang ngucapin happy birthday.” Ceysa mengulum senyum.
Vale tak bisa menahan senyumnya, sebab bila mengingat itu benar-benar menggelikan. “Apa spesialnya? Kamu nyindir, ya?”
“Spesial, karena itu pertama kalinya aku dapet hadiah pasta gosong,” cibir Ceysa penuh tawa.
Vale menunduk sembari tertawa geli. Lalu menatap Ceysa kembali, mencubit gemas pipi wanita itu. “Aku nggak fokus juga, kan, karena kamu,” ujarnya menyalahkan.
“Kok nyalahin aku? Siapa yang ngajak duluan?” Ceysa pindah ke pangkuan Vale.
Vale terkekeh lagi. “Tapi beneran deh, aku malu banget sama kamu. Nggak bisa kasih kado mahal, malah kado yang modalnya cuma jadi koki aja gagal,” sesalnya.
“Kamu tau nggak, kalau sebenernya minta dimasakin itu cuma alasan aku aja?”
“Maksudnya?”
“Aku jadiin masak sebagai alasan biar bisa bareng kamu terus di hari ulang tahun aku.”
“Karena kamu tau di kos nggak ada apa-apa untuk dimasak dan besar kemungkinan Juan bakal jadi orang ketiga, makanya sengaja minta aku masakin yang aneh-aneh biar bisa ke apartemen kamu?” tebak Vale.
Ceysa tersenyum geli dan mengangguk.
Vale benar-benar masih harus kaget dengan karakter Ceysa ini. “Kenapa nggak tinggal bilang aja sih? Tau gitu, kan, aku nggak akan bikin pastanya sampe gosong,” protesnya gemas.
Ceysa tertawa.
Vale menatapnya lama, menunggu hingga tawa yang memesona itu berhenti. “Kamu beneran nggak mau kado yang istimewa dari aku? Kalau ada yang kamu mau, bilang aja. Aku bakal usahain,” ucapnya.
“Kamu udah kado yang paling istimewa buat aku, jadi itu cukup.” Ceysa menekan ujung hidung Vale dengan jarinya.
Vale menghela napas dengan keras.
“Kok hela napas gitu sih?” protes Ceysa. Menghela napas itu ciri orang yang sedang tidak puas pada sesuatu atau sedang mengeluh, kan?
“Jadi pacar kamu tuh berat ya,” ucap Vale disertai helaan napas yang lebih ringan.
“Berat gimana?”
“Berat mikirin gimana caranya biar kamu tetap stay sama aku, karena aku yakin yang berusaha merebut kamu dari aku tuh banyak banget.” Vale mengusap bibir Ceysa. “Tapi aku bisa pastiin, mereka nggak akan berhasil. Aku, Valegano Ratama nggak akan pernah melepaskan Ceysa Aleiza untuk seumur.”
Ceysa tersenyum mendengarnya, lalu dalam hitungan detik mereka sudah saling bercumbu begitu mesra.
***
“Dibatalin?”
Ceysa benar-benar terkejut saat Adam bilang rencana pernikahannya telah dibatalkan secara sepihak oleh calon istrinya. Dia pikir, pria itu mengajak bertemu siang ini di cafe karena ingin melanjutkan persiapan yang sudah berjalan hingga lima puluh persen itu.
Adam mengangguk lesu. “Sejak awal, aku emang udah ngerasa dia nggak antusias dengan rencana pernikahan kami. Bahkan, dia tetep ambil job saat seharusnya lebih fokus ke persiapan pernikahan,” keluhnya.
“Tapi persiapannya udah jalan lima puluh persen loh, Dam. Gedung udah siap, dekorasi hampir rampung. Terus undangan pun udah selesai,” beritahu Ceysa.
“Kalau soal itu, aku akan tetep bayar sesuai kesepakatan Cey. Terlepas dari jadi atau nggaknya,” ucap Adam meyakinkan.
“No.” Ceysa menggeleng. “Ini bukan soal bayaran, tapi maksud aku emang nggak bisa coba dibicarakan lagi gitu? Mungkin saat dia bilang itu, mood-nya lagi nggak bagus. You can try to fix it.”
“Dia selingkuh, Cey.”
Ceysa speechless.
“Selama ini aku selalu bilang ke kamu alasan dia nggak pernah bisa datang setiap kali kita meeting, karena dia ada kerjaan di luar kota. Ternyata dia ada di Jakarta selama ini, nggak ke mana-mana.” Adam tampak sangat terpukul. “Tadi malem, aku mergokin dia masuk ke Hotel dengan pria itu. Bukannya merasa bersalah, dia malah batalin rencana pernikahan kami dan bilang …”
Ceysa mengusap lengan Adam.
“Dia bilang kalau pria itu udah janji bakal bikin karirnya lebih cemerlang. Dia nggak bisa lepasin kesempatan itu dan minta aku buat cari wanita lain.”
Kalau ceritanya sudah begini, Ceysa tentu mengerti kenapa Adam tidak ingin mempertahankannya lagi. Siapa yang mau memaafkan pasangan yang terang-terangan berselingkuh?
“Aku jelas kalah jauh sama selingkuhan dia, Cey. Jauh banget …” lirih Adam.
“Kalau tolak ukurnya cuma sebatas kekuasaan, kamu justru beruntung dia nggak milih kamu, Dam. Kalau dia sayang sama kamu, dia pasti lebih milih berjuang sama kamu, dibanding terima yang instan kayak gitu.”
“Memangnya masih ada wanita yang kayak gitu, Cey?” Adam tersenyum miris.
“Pasti ada.” Ceysa meyakinkan.
Di tempatnya berdiri, Vale menahan ledakan rasa cemburu melihat Ceysa begitu dekat dengan Adam. Meski dia tahu Boss cafe itu sedang ada masalah dan berita pernikahannya dibatalkan juga sudah menyebar tadi pagi, tetap saja tidak rela Ceysa menghiburnya.
“Cieeee ada yang terbakar nih,” goda Zidan sembari lewat.
“Harus siap-siap fire extinguisher nih, Dan. ngeri cafe hangus.” Widya ikut menggoda dari arah kasih.
Vale masuk ke dalam, kebetulan siang ini cafe tidak terlalu ramai. Dia nekat membuka loker dan mengambil ponselnya. Meski ada CCTV di sana, dan berpotensi kena SP kalau ketahuan, dia tetap melakukannya.
Sementara itu, Ceysa mengedarkan pandangan mencari keberadaan Vale yang kini sedang meneleponnya. Dia tahu aturan cafe tidak boleh bermain ponsel di jam kerja, jadi kenapa pria itu menelepon?
“Bentar ya,” ucap Ceysa pada Adam. Dia menerima telepon dengan tenang, meski rasanya deg-degan juga kalau Adam tahu Vale yang menelepon.
Adam mengangguk.
“Kamu ngapain sih peluk dia? Kamu nggak menghargai aku di sini?” cecar Vale langsung.
Ceysa melirik Adam, pria itu sedang menatap kosong ke luar cafe lewat jendela. Dia memelankan suara, “Aku punya alasan,” tegasnya.
“Menghibur dia karena nggak jadi nikah?” Vale mendengkus. “Nggak harus peluk juga, Cey. Kamu pegang tangan dia aja udah cukup, itu pun aku cemburu.”
Ceysa menggaruk alisnya. “Bisa kita obrolin nanti setelah pulang nggak?” mintanya.
“Nggak bisa.”
Ceysa berdiri. “Dam, bentar ya? Mau ke toilet dulu,” pamitnya.
Adam mengangguk pengertian.
Ceysa pergi ke toilet, lebih leluasa menelepon bila tidak di depan Adam. Dia hanya takut tak sadar menyebut nama Vale, sehingga Adam tahu kalau Vale sedang menelepon.
“Val, kamu bisa sedikit berempati dengan kondisinya Adam nggak sih?” Ceysa mendesah.
“Nggak bisa.” Suara Vale terdengar di luar telepon, karena sekarang pria itu sudah berdiri di belakang Ceysa.
“Ini toilet cewek,” desis Ceysa panik. Dia hendak memasukkan ponselnya ke saku celana, saat tiba-tiba Vale mendorongnya ke salah satu bilik di dalam sana.
Vale yang tengah dikuasai cemburu dan emosi, mencium bibir Ceysa cepat dan kasar. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan di mana Ceysa sedang memeluk Adam tadi.
Ceysa yang tidak suka perlakuan kasar Vale langsung mendorongnya. “Apaan sih, Val?” desisnya kesal.
“Kamu pulang sekarang, tunggu aku di apartemen. Urusan kamu sama Mas Adam udah selesai,” suruh Vale.
Setelah mengatakan itu, Vale pergi meninggalkan Ceysa. Emosinya masih belum bisa dikendalikan sehingga dia tidak mau berbuat lebih buruk pada wanita itu.
Ceysa mengurut keningnya.
Ceysa sedang galau.
Biasanya, Vale akan menelepon setiap kali selesai bekerja di cafe Adam, lalu minta ditemani mengobrol sepanjang perjalanan menuju tempat kerjanya yang lain. Tapi kali ini, Vale tidak ada kabarnya hingga malam. Malah chat terakhir Ceysa yang mengabari kalau dia sudah sampai di apartemen saja hanya dibaca.
“Gini nih pacaran sama anak kecil. Lo juga sih mau, udah tau bedanya tujuh tahun.”
“Lagian kenapa juga gue galau nggak jelas gini? Biarin aja dia ngambek.”
“Lihat aja, palingan nanti dia sendiri yang ngemis-ngemis ngajak baikan.”
Ceysa sudah seperti orang gila, bicara pada diri sendiri di depan cermin. Dia ingin mengabaikan Vale, namun tidak bisa bertahan lama. Setiap kali suara notifikasi ponsel berbunyi, tangannya begitu cepat memeriksa. Namun saat melihat bukan dari Vale, efek galau jadi kian menumpuk.
“Arrgghh!” Ceysa menggaruk kepala dengan kasar, alhasil rambut yang sudah disisir rapi tapi berantakan lagi.
Pada akhirnya, Ceysa menyerah.
Dia berganti pakaian, mengambil tas beserta kunci mobil, lalu ke luar dari apartemen. Sikap dewasanya muncul di detik-detik terakhir, masalah tidak akan selesai bila hanya berdiam diri.
Di tengah kemacetan dan hujan yang mengguyur, semangat Ceysa untuk sampai ke cafe tempat Vale manggung tetap berkobar.
CIITTTT!
Tiba-tiba saja sebuah motor terjatuh di depan mobil Ceysa, membuatnya refleks mengerem. Keningnya dengan keras membentur roda setir, rasanya sakit sekali. Suara klakson terdengar riuh dari depan dan belakang, sampai kaca jendela mobil pun digedor keras. Entah apa yang mereka katakan, dia tidak begitu jelas mendengarnya.
Sesaat sebelum pandangannya gelap, Ceysa membuka kunci pintu mobil.
***
Selesai manggung, Vale mengambil barang-barangnya di loker, termasuk ponselnya. Dia melihat begitu banyak panggilan tidak terjawab dari nomor asing. Lantaran penasaran, dia pun menelepon salah satu nomor berkode area +621 itu.
“Rumah Sakit Kesehatan Jakarta, ada yang bisa dibantu?” sapa seseorang di sana.
Rumah sakit? Kening Vale berkerut. “Mbak, tadi saya mendapat beberapa kali panggilan dari nomor ini. Kira-kira ada apa ya menghubungi saya?” tanyanya.
“Maaf, dengan Bapak siapa?”
“Vale.”
“Tunggu sebentar ya.”
Vale menunggu, ekspresinya masih bingung.
“Pak Vale, ini kita mau konfirmasi apakah Bapak mengenal pasien kami yang bernama Ceysa Aleiza?”
“Kenapa dengan Ceysa?!” Vale langsung berlari ke luar, melupakan niat awalnya berpamitan dengan Boss cafe sebelum pulang.
“Mbak Ceysa mengalami kecelakaan, dan saat itu sedang …”
Vale tidak menunggu kelanjutannya, karena langsung naik ke motor dan melaju kencang. Pikirannya terfokus hanya pada Ceysa, khawatir bukan main hingga tubuhnya gemetar.
Rumah sakit yang dimaksud berjarak sangat dekat dengan cafe, Vale hanya butuh sekitar lima menit kalau saja tidak macet. Merasa tidak tahan lagi, dia pun memarkirkan motornya di depan mini market dua puluh empat jam, lalu berlari menerobos manusia yang sedang melakukan aksi tawuran tidak berfaedah itu.
Begitu sampai di rumah sakit, Vale melihat ada begitu banyak pasien di instalasi gawat darurat itu. Dengan napas tersengal dia bertanya pada seorang perawat yang sedang lewat. “Sus, di sini ada pasien yang bernama Ceysa Aleiza? Dia baik-baik aja, kan?” todongnya cepat.
“Bisa ditanyakan ke bagian …”
Tidak perlu, Vale sudah melihat Ceysa saat ini. Wanita itu sedang duduk di salah satu ranjang pasien, meminum secangkir teh. Keningnya terpasang perban kecil, selain itu tak terlihat luka-luka parah lainnya. Napas Vale yang tadinya tercekat di tenggorokan, kini bisa dihela dengan lega.
Vale berjalan cepat pada Ceysa, lalu dengan cepat memeluknya. Gelas yang Ceysa pegang bergoyang hingga air teh di dalamnya tumpah, terasa panas mengenai punggung Vale. “Apa yang kamu lakuin di luar jam segini, sih?” omelnya.
“Aku mau ke cafe kamu,” beritahu Ceysa.
Vale melepaskan pelukan. “Kenapa selalu aja bikin aku khawatir sih, Cey? Emangnya kamu nggak bisa nunggu aja di apartemen sampai aku dateng?” desahnya.
“Aku mana tenang nungguin kalau kamu aja nggak jelas bakalan dateng atau nggak.”
“Aku pasti dateng.”
Ceysa diam saja.
Vale rasanya masih ingin marah, tapi kalah dengan rasa khawatir. Dia amati tubuh Ceysa dari atas hingga ke bawah. “Kamu baik-baik aja, kan? Ini kenapa?” tanyanya menunjuk perban kecil itu.
“Ada motor jatuh di depan mobil, jadi aku ngerem. Kebentur setir,” beritahu Ceysa.
“Nggak ada luka lain, kan?” tanyanya sembari memeriksa kembali. “Dokter bilang apa?”
Ceysa menggeleng. “Cuma luka ringan nggak berbahaya. Tadi udah CT Scan juga, nggak ada apa-apa,” beritahunya dengan jelas.
“Terus pengendara motor yang jatuh gimana keadaannya?”
“Baik-baik aja, nggak sampe ketabrak mobil aku. Itu karena jalannya licin, jadi kegelincir.” Ceysa terlihat masih gemetar, “aku nggak bisa bayangin kalau tadi dia ketabrak.”
Vale memeluk Ceysa kembali. “Tuhan masih sayang sama kamu, nggak usah dipikirin lagi,” bujuknya.
“Kamu kenapa datengnya lama sih? Aku takut banget tadi,” lirih Ceysa, mulai terisak. Dia sempat pingsan di lokasi kejadian tadi, dan saat bangun sudah di rumah sakit bersama orang-orang yang tidak dikenal, dia pun menjadi panik.
“Maaf. Hapenya, kan, nggak dibawa pas kerja.” Vale mengeratkan pelukan. Dia merasa sangat menyesal karena sudah mengabaikan wanita itu, sehingga terjadilah hal seperti ini.
“Mbak Ceysa, gimana keadaannya sekarang?” tanya seorang perawat yang ingin memeriksa kembali.
Vale melepaskan pelukannya.
“Udah lebih baik Sus,” jawab Ceysa.
“Udah lebih tenang ya, sekarang?”
Ceysa mengangguk.
“Sus, apa sudah boleh diajak pulang?” tanya Vale.
“Iya, bisa Mas. Tadi kita nggak izinkan pulang dulu karena kondisinya masih agak shock. Sebenarnya nggak ada masalah, hanya benturan ringan yang menghasilkan sedikit memar.”
“Makasih Sus,” ucap Vale dan Ceysa bersamaan.
“Saya permisi, ya.” Perawat itu pun pergi.
Saat Ceysa akan turun dari ranjang itu, Vale malah menggendongnya. Ini dilakukan di depan banyak mata yang melihat. “Val, kamu ngapain sih gendong aku segala?” bisiknya.
“Kamu masih pasien selama belum ke luar dari sini,” sahut Vale. “Jangan banyak gerak, nanti jatuh.” Layaknya seorang pria sejati, Vale membawa Ceysa ke luar dari tempat itu.
“Kita dilihatin orang,” bisik Ceysa lagi, terpaksa menyembunyikan wajahnya di balik pundak pria itu karena malu.
Vale tidak peduli, langkahnya tetap gagah. “Mobil kamu di mana?” tanyanya begitu sampai di luar.
“Tadi kata yang nganter aku ke sini, mobilnya ada di parkiran,” beritahu Ceysa.
Vale menoleh Ceysa curiga, “Bukan cowok, kan?”
“Kalau cowok, kamu mau ngajak aku berantem lagi?” keluh Ceysa. “Emang aku yang lagi pingsan bisa milih mau dianter cewek atau cowok gitu?”
Vale meringis.
“Turunin, bawa mobilnya ke sini.” Ceysa pegang kendali, Vale tidak akan bisa memarahinya lagi. Alasan sakit ternyata memang mujarab.
Vale menitipkan tas ranselnya pada Ceysa, setelah itu dia berlari menuju parkiran mobil.
***
Vale menepikan mobilnya di pinggir warung tenda penjual nasi goreng. Dia mengeluarkan dompetnya, lalu hendak membuka pintu mobil saat Ceysa menahan tangannya yang satu lagi.
“Mau ke mana?” tanya Ceysa.
“Beli makan buat kamu.”
“Aku udah makan, nggak usah.”
“Kapan?” Vale sangsi pada kejujuran Ceysa, efek dari sering dibohongi.
“Tadi jam tujuh.”
“Pasti laper lagi, kan? Biasanya orang yang habis shock, bakalan kelaperan karena energinya terkuras.”
Ceysa bersikeras ingin menolak tapi Vale tetap turun. Pria itu nekat lari ke warung tenda itu hujan-hujanan, tak bisa dia halangi lagi. Padahal yang Ceysa inginkan saat ini hanyalah berbaring di ranjang empuknya, dan dipeluk oleh Vale.
Tak lama, Vale kembali membawakan segelas teh hangat. “Ini diminum, biar anget badannya,” suruhnya.
Ceysa menurut, diambilnya teh itu dan menyesapnya sedikit, lalu refleks menjulurkan lidah lantaran terasa panas, bukan hangat. “Ini airnya baru dimasak banget, ya?” protesnya.
“Nggak tau,” jawab Vale polos.
“Kamu cari apa sih?” tanya Ceysa saat Vale begitu sibuk membongkar isi ranselnya, hingga semua yang ada di dalam dikeluarkan.
“Hape aku lihat nggak?” tanya Vale.
“Dasar pikun. Kan, dikasih ke aku tadi pas di rumah sakit.”
“Astaga iya.” Vale tercengir. Bagi orang biasa seperti Vale, kehilangan ponsel tentu bukan hal yang biasa saja. Dia harus bersusah payah dulu melunasi cicilan hape itu, jadi jangan sampai hilang.
“Ini tehnya panas banget,” beritahu Ceysa lagi.
“Sini aku tiupin.” Saat tangan Vale bergerak tanpa melihat, Ceysa sedang minum. Akibat senggolan ringan itu, air teh sedikit tumpah mengenai separuh wajah wanita itu.
“Val, ih!”
“Ya ampun maaf. Ada tisu nggak?” Vale mengambil gelas itu dan menaruhnya ke atas dashboard. Dia mencari tisu di tempat biasa Ceysa menaruhnya, tapi hanya ada wadah kosong. “Yah, habis.”
“Panas tau,” keluh Ceysa. Untungnya tidak sepanas tadi saat pertama kali minum, kalau tidak wajahnya pasti sudah melepuh.
Saat Ceysa hendak mengelap air yang basah di wajahnya, Vale langsung menahan tangannya. “Aku bantu lap,” ujarnya sembari menurunkan tangan wanita itu.
Ceysa pikir, Vale ingin menggunakan jaketnya, tapi ternyata … dengan mulutnya. Jantungnya berdebar tidak karuan saat pria itu menghapus air di bibir dan bagian basah lainnya dengan kecupan lembutnya.
“Val …” desis Ceysa menahan napas. Kedua tangannya terangkat di atas kepala pria itu, tak mampu bergerak akibat terlalu shock dengan apa yang trjadi.
Vale tidak berhenti, malah sekarang kecupannya mengikuti semua area basah hingga ke leher. Mengisapnya dengan lembut. “Manis,” gumamnya.
Entah teh, atau aroma tubuh Ceysa yang manis.
Bersambung…