Detik – detik bergant jadi menit dan menit pun silih berganti.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Eh sudah pulang nak.”
“Iya. Aduh…”
“Kenapa sayang?”
“Cepet berlutut mah?”
“Berlutut?”
“Iya, sudah, jangan banyak tanya dulu.”
Saat Fania berlutut, Vina melepas rok birunya hingga kini terlihat cd putihnya, yang meski tak seputih salju namun tetap sedap dipandang. Vina berdiri agak jauh dari mama yang berlutut sambil melihatnya. Setelah itu Vina ngompol. Cairan urin merembes menuruni kakinya. Ada juga yang menetes langsung ke lantai.
“Diam dulu ya mah, jangan ngapa – ngapain sebelum Vina bilang.”
“Iya sayang.”
Hidung Fania begitu dekat dengan selangkangan putrinya, namun tidak mengenai. Terasa elusan sayang di rambutnya dari tangan putri kecilnya itu.
“Ayo mah, hirup saja, tapi jangan kena ya.”
Fania menurut. Fania menghirup tanpa terasa waktu berjalan.
“Sekarang hisap mah, puas – puasin mama.”
Fania menghisap cd putrinya hingga urin yang ada masuk dan ditelan. Fania tetap menghisap dan menjilat cd putrinya meski kini sudah tak ada lagi cairan urinnya.
“Masih ingin mah?”
“Iya sayang.”
“Kalau begitu, jilatin saja yang tadi mengalir di kaki Vina.”
Tanpa menjawab, Fania langsung menjilati kaki putrinya.
“Geli mah…” namun Vina tak menghentikan jilatan mama. “Sudah mah, Vina gak tahan kalau berdiri.” Kini tangan Vina sedikit menjambak rambut mama. Saat mulai melangkah, Vina merasa mama akan berdiri.
“Mama jangan berdiri, majunya berlutut aja, atau merangkak sekalian. Kan biar Vina pandu ini pake rambut mama.”
Fania hanya mampu menurut saat dibimbing merangkak hingga ke ruang tv. Di sana, putrinya duduk dan kepalanya kembali di arahkan ke selangkangan putrinya.
“Lepasin dong celana Vina mah.”
Vina memegang cd anaknya, namun tangannya langsung ditampar oleh putrinya.
“Jangan memakai tangan. Gigit saja mah!”
Vina menggigit cd anaknya, pelan dan perlahan, hingga lepas.
“Jilatin lagi mah!”
Jilatan dan jilatan kembali dilancarkan oleh Vina.
“Enghh… terus…” rintih Fania sambil menggerakkan selangkangan hingga turut menggesek hidung mamanya. Rintihannya berubah jadi lolongan saat kepalan tangannya menjambak rambut mama dan menekannya.
“Enak mah,” ritih Fania sambil terengah – engah.
***
Detik – detik berganti jadi menit dan menit pun silih berganti.
Aktifitas Vina dan anaknya berlanjut tanpa sepengetahuan yang lain. Bagi Vina, menikmati urin putrinya serasa menikmati obat pengharmonis rumah tangga. Karena, suami makin sering menjamah dirinya, bahkan pernah suatu ketika mengatakan kalau dia merasa istrinya makin bVinafsu.
Tentu saja segala hasrat yang ditimbulkan putrinya harus mendapat pelampiasan. Dan dalam kasusnya, suamilah yang menjadi pelampiasannya.
Vina pun melihat putrinya lebih riang. Suatu ketika, Vina melihat putrinya sedang nonton tv sambil nungging.
“Kamu kenapa sayang, kok nonton tvnya sambil begitu?”
“Iya mah, nunggu mama. Sengaja.”
“Sengaja?”
Vina melihat putrinya menepuk – nepuk pantatnya sendiri.
“Sini mah, bukain celana Fania!”
“Hah, digigit lagi?”
“Boleh, tapi terserah mama saja.”
Vina menurut. Vina mendekat. Vina melorotkan celana pendek lantas cd putrinya. Saat sudah mencapai lutut, satu lutut Fania diangkat sehingga bagian kirinya bisa dilorotkan lagi. Pun dengan bagian kanan, hingga akhirnya tidak bercelana, pendek maupun dalam.
Vina mengelus pantat putrinya, melebarkan hingga anusnya terpampang jelas.
“Cantiknya…” Vina menghirupnya “hm… segar…”
“Masa sih mah?”
“Iya sayang.”
“Duh rasanya mau kencing nih. Mama mau gak?”
Vina menganggukan kepala?
“Mau gak mah? Kok gak jawab?”
“Iya.”
“Iya apa?”
“Iya mau.”
“Iya mau apa?”
“Iya, mama mau minum kencing kamu.”
“Oh, kalau begitu, coba berbaring mah. Mulutnya taruh dibawah selangkangan Fania!”
Vina melakukan apa kata putrinya. Vina berbaring di, kepalanya ada di bawah selangkangan putrinya. Sementara itu, putrinya kini jongkok lantas.
“Buka mulutnya mah. Tapi jangan dulu ditelan, meski nanti mungkin penuh.”
Vina merasakan urin putrinya mulai membasahi wajah, mengisi mulutnya hingga penuh dan luber.
Setelah selesai kencing, Fania melihat mulut mama penuh dengan urinnya. Fania lantas menutup hidung mama dengan jemarinya.
Vina bingung saat tangan putrinya menutup hidungnya.
“Kalau Fania tutup hidung mama, berarti mama harus menelan kencing Fania.”
Setelah mendengar penjelasan putrinya, Vina lantas menutup mulut dan minum hingga tegukannya terdengar oleh putrinya.
“Udah habis mah? Sekarang tolong jilatin memek Fania hingga bersih ya mah?”
Tanpa menunggu jawaban, Fania menurunkan memek hingga mengenai lidah mamanya. Memeknya kini dijilati.
“Bagus mah. Hayati, kalau gini kan Fania jadi punya toilet pribadi.”
Vina menjilati tetesan urin di paha putrinya, lantas di memeknya. Setelah itu di bagian jembut tipisnya.
Setelah merasa cukup, Fania berdiri dan duduk di kursi.
“Sudah mah, bersihin lantainya sekalian.”
Vina menurut dan membersihkan lantai, dengan mulutnya.
***
Detik – detik berganti dengan menit dan menit pun silih berganti. Keakraban ibu dan anak terus berlanjut. Rasa penasaran sang anak membuatnya menyentuh dan memainkan memek ibu. Seiring berjalannya waktu, sang anak akhirnya bisa mengetahui saat – saat sang ibu akan orgasme.
Setiap ada kesempatan, jemari lentik sang anak selalu bermain di memek sang ibu, permainannya begitu cekatan sehingga saat sang ibu akan orgasme, jemari lentik itu dicabut, meninggalkan sang ibu perasaan sange yang berlebih.
“Terus sayang, mama udah mau enak nih…”
“Emang enak. Udah, sekarang bikin Vina enak dulu,” kata Vina sambil membimbing kepala mama ke memeknya. Memek Vina lantas dimainkan oleh mulut mama hingga Vina orgasme.
“Nanti mama main aja sama papa!”
“Iya deh.”
Fania hanya bisa pasrah. Malamnya ketika suaminya meminta, Fania memberikan tubuhnya dengan senang hati. Mendapati Fania yang bergairah membuat suaminya menggebu – gebu hingga adegan ranjang pun tak bertahan lama.
***
Kejadian terus berulang. Fania dibawa ke puncak, namun saat akan orgasme, putrinya menghentikan permainan. Pelampiasan Fania otomatis hanya dengan suaminya.
Kejadian terus berulang. ketika suaminya meminta, Fania memberikan tubuhnya dengan senang hati. Mendapati Fania yang bergairah membuat suaminya menggebu – gebu hingga adegan ranjang pun tak bertahan lama.
Kehidupan ranjang yang bahagia membuat karir suami Fania cemerlang hingga mendapat posisi strategis. Kenaikan pangkat berimbas pada kenaikan penghasilan. Kenaikan penghasilan berimbas pada kenaikan tugas. Suami Fania mulai jarang di rumah.
***
“Papamu mulai jarang belai mama.”
“Lho, emang kenapa Mah?”
“Biasa, sibuk dengan pekerjaannya.”
“Ntar deh Vina bantu. Pokoknya, apa pun yang terjadi, mama diam saja. Pura – pura bego dan tak tahu apa – apa.”
“Oke deh.”
Setelah percakapan itu, Vina mulai memakai baju babydoll, dengan celana dalam yang berbeda warna sehingga terlihat mencolok.
“Sayang, kok bajunya kayak gitu sih?”
“Gerah sih pah.”
“Kan malu kalau dilihat orang.”
“Iyalah malu. Tapi kan lagi gak ada siapa – siapa. Pokoknya kalau lagi ada tamu, Vina ganti deh.”
“Ya, terserah kamu saja.”
Awalnya biasa, namun lama – lama Fania mulai melihat lirikan suaminya pada putrinya semakin lama.
Fania menyadari ayahnya mulai sering memperhatikannya. Kini Fania bahkan tidak memakai BH.
Perubahan cara berpakaian anaknya kembali memanaskan ranjang Fania. Namun, setelah beberapa minggu, panasnya ranjang mulai berkurang. Bahkan kini terasa kembali dingin.
Seolah dibuat secara tidak sengaja, Vina mulai dekat, secara fisik, dengan ayahnya. Saat menonton tv, Vina sengaja duduk di samping ayahnya. Ayahnya merasa risih, lantas bangkit dengan alasan minum.
Setelah minum, duduk di tempat lain. Vina biarkan. Namun, di hari yang lain, ketika ada kesempatan, Vina kembali melancarkan aksinya. Saat tidur, siang maupun malam, Vina mulai jarang menutup pintu.
Saat tidur, siang maupun malam, Vina mulai jarang menutup pintu. Vina membeli sebuah kamera mata – mata lantas memasangnya di tempat yang dia kira strategis.
***
Suatu sore, Vina sedang menonton acara tv sambil menikmati geli – geli yang diakibatkan oleh tangan dan lidah mama. Telinga Vina menjadi tempat bermain bagi lidah dan mulut mama, sedang tangan Vina sibuk mengarahkan tangan mama agar bermain di susu dan atau memeknya. Jilatan dan sentuhan itu baru berhenti setelah Vina orgasme.
“Mama jangan dulu ngentot sama ayah!”
“Emang kenapa?”
“Pokoknya, Vina punya rencana.”
***
Sudah dua bulan sang ayah tidak orgasme. Sebuah pertengkaran biasa membuat istrinya tak ingin disentuh. Melihat kemolekan tubuh putrinya membuat sang ayah tidak tahan lagi.
Suatu malam, sang ayah melewati kamar putrinya. Pintu yang tidak tertutup membuatnya bisa melihat sang putri tidur memakai kaos, hanya bercelana dalam dan selimut yang tidak menutupi tubuhnya.
Sang ayah masuk, mengelus paha putrinya lantas melorotkan celana dalam. Setelah itu, sang ayah melepas pakaiannya dan mulai menaiki tubuh putrinya. Karena ada yang menindih, sang putri bangun lantas berontak.
***
“Diam, diam,” hanya itu yang keluar dari mulut sang ayah.
Menyadari siapa yang sedang berada di atasnya membuat Vina sadar. Vina tetap berontak, namun hanya formalitas saja. Saat keperawanannya diambil sang ayah, Vina mengeluarkan air mata. Namun tidak jelas, apakah air mata itu keluar karena rasa sakit ataukah karena bahagia semua berjalan sesuai rencananya.
Puas melampiaskan nafsu, sang ayah lantas keluar dari kamar putrinya dan kembali ke kamarnya.
***
Fania terkejut dan marah mendengan cerita putrinya. Namun ia juga merasa aneh mendapati Vina yang bereaksi menenangkannya.
“Sudah mah, diam saja. Mama pura – pura tidak tahu. Vina sudah tahu dan bahkan berharap seperti ini.”
“Seperti ini bagaimana?”
“Pokoknya mama jangan bertindak apa – apa tanpa izin Vina.”
***
Detik – detik berganti jadi menit dan menit pun silih berganti. Sang ayah kembali mengulangi perbuatan bejatnya, dengan sedikit ancaman. Vina menuruti kemauan sang ayah, dengan sedikit meronta.
***
Karena memiliki niat, maka Vina mengoperasikan perangkat lunak pembuat dan atau perubah video. Hasil rekaman diam – diam saat dirinya dinikmati sang ayah dirubah sedemikian rupa sehingga terlihat jelas adegan rudapaksa.
Film tersebut diperlihatkan kepada sang ayah.
“Nah, apabila ayah mau menuruti semua kata – kata Vina, maka ayah tidak akan masuk bui. Namun, apabila ayah ingin mencoba masuk bui, ya silakan saja.”
“Iya nak, ayah akan menuruti kamu,” kata sang ayah gemetar melihat akibat dari perbuatannya.
“Nah, kalau ayah mau nurut, ayah boleh tiduri Vina. Bilang dulu kalau mau, ntar Vina kasih. Asal jangan kasih tahu siapa – siapa.”
“Iya.”
***
Vina merasa tentram. Nafsunya terpuaskan. Belajarnya terfokuskan. Dan bahkan karir ayahnya pun lancar.
Bersambung…