“Selamat sore Pak, maaf ganggu. Lagi ngopi ya.”
“Eh, iya Pak RT, masuk Pak. Silakan duduk.
“Ada apa ya Pak?”
“Jadi begini, kebetulan saluran got kita akan diperbaiki. Ada bantuan pemerintah, jadi depan rumah Bapak termasuk yang diperbaiki.”
“Alhamdulillah. Tunggu sebentar Pak.”
Ayah lantas masuk rumah, meninggalkan Pak RT duduk sendirian di teras.
“Mah, bikinin kopi dong dua, ada Pak RT.”
“Iya Yah.”
“Ya udah, Ayah ke depan lagi.”
***
“Ada tamu siapa Mah?”
“Itu ada Pak RT lagi ngoborol sama Ayah.”
“Oh. Eh, tunggu mah, sini dulu sebentar…”
***
“Eh, gak usah repot – repot Bu, jadi malu nih.”
“Gak apa – apa kok Pak, lha wong cuma kopi.”
Senyum Pak RT berubah jadi kaget saat melihat pentil susu Vina yang tercetak jelas dari balik jilbab lebar yang menutupi dasternya. Apalagi daster longgar itu dijepit di bagian pinggang oleh jepit jemuran sehingga terlihat ketat.
“Ayo Pak, diminum kopinya.”
“Terimakasih Bu.”
***
Ekspresi terkejut Pak RT membuat Vina cekikian. Vina mulai memikirkan kemungikan ke depan yang tidak terbatas. Kini Vina menyuruh Ayah agar lebih akrab lagi dengan Pak RT.
“Silakan Pak, kopinya.”
“Terimakasih Bu, memang beruntung Bapak ini. Dapet istri yang cantik, perhatian lagi.”
“Ah Pak RT ini ada – ada saja.”
“Namanya juga jodoh Pak. Padahal dulu banyak saingannya.”
“Pantes Bapak menang, Bapak juga gagah dan tampan sih.”
“Pak RT ini bisa saja. Skak mat Pak.”
“Skak mat lagi? Bapak memang pintar bermain catur.”
“Ya, dulu gak ada hiburan lain lagi sih selain catur. Jadi ya sekedar bisa saja.”
“Terus kalau sekarang, hiburan nambah dong?”
“Ah, Pak RT bisa saja. Pak, nanti beli lampu ya, kamar mandi lampunya mati.”
“Iya Bu, nanti malam bapak ke mini market aja.”
“Lho, kebetulan saya kemarin beli lampu tiga, dipasang satu, sisa dua. Neon delapan watt. Kalau Bapak mau, buat Bapak saja satu.”
“Ah, gak enak Pak RT, biar nanti saja.”
“Kok gak enak. Saya yang seharusnya tidak enak, sering ngopi gratis di rumah Bapak. Sudah, saya ambil dulu.”
***
“Sekarang Ayah pergi dulu keluar sekitar jam sembilanan balik lagi?”
“Ke mana? Ngapain?”
“Bebas, pokoknya Vina punya rencana.”
“Iya deh.”
Ayah lantas pergi.
“Sekarang, mama usahakan agar Pak RT pasang lampu. Terus kalau di dalam rumah, buka jilbab mama.”
“Ntar makin jelajatan tuh Pak RT.”
“Biarin, pokoknya mama bikin tuh Pak RT berani. Misalnya terpeleset di kamar mandi.”
***
“Lho, Bapak ke mana Bu?”
“Tadi ada telepon mendadak dari kantornya.”
“Oh, ya sudah, ini bu neonnya. Mau sekalian saya pasang Bu?”
“Tidak usah, merepotkan.”
“Tidak merepotkan lho Bu.”
“Kalau tidak merepotkan, ya silakan Pak. Mari.”
“Eh, Pak RT.”
“Iya nak Vina, Bapak mau pasang neon.”
“Silakan Pak.”
“Tinggi juga ya bu. Ada tangga tidak? Atau kursi tinggi?”
“Ada Pak, di ruang makan.”
“Biar saya ambil Bu,”
“Silakan Pak.”
***
Saat tangan Pak RT menyentuh kursi tinggi, yang akan diambil, mendadak terdengar jeritan mengaduh dari kamar mandi. Tangan Pak RT tak jadi mengambil kursi lantas bergegas ke kamar mandi.
“Ada apa bu?”
“Saya terpeleset Pak.”
“Apanya yang sakit Bu?”
“Kaki saya sepertinya keseleo…
“Aduh…” erang Fania saat mencoba berdiri.
“Biar saya papah Bu.”
“Iya Pak, terimakasih.”
Vina lantas keluar sambil dipapah Pak RT.
“Sudah Pak, ke kursi saja.”
“Iya Bu. Ada balsem tidak, biar saya urut Bu.”
“Ada Pak, di meja itu.”
Lantas Pak RT mengambil balsem.
“Maaf ya Bu, biar saya urut.”
“Iya Pak silakan.”
“Yang mana Bu yang sakitnya?”
“Pergelangan kaki kiri Pak.”
“Oh ini Bu.”
“Wah, Pak RT bisa urut juga ya.”
“Ya, sedikitlah Bu.”
“Kalau begitu boleh dong kapan – kapan minta dipijat.”
“Boleh Bu, tinggal bilang saja.
“Nah, sudah selesai Bu.”
“Iya Pak, terimakasih.”
“Kalau begitu, saya pamit dulu Bu.”
***
“Gimana akting mama nak?”
“Bagus Mah.”
“Syukur kalau kamu suka.”
“Nah, nanti begini… begini… begini… Mah.”
“Hah? Ada – ada saja idemu itu.”
***
Sudah beberapa kali Pak RT memijat Ayah. Tiap ketika dipijat, Ayah selalu tidur meski pijatan Pak RT belum selesai. Tidurnya begitu lelap hingga tak jarang terdengar dengkurannya. Kini Pak RT tak lagi canggung saat memijat Ayah.
Hari itu ada yang berbeda. Saat Pak RT memijat, ayah memintanya untuk memijat istrinya juga. Tentu saja Pak RT tidak keberatan. Satu kali pijatan, Pak RT memijat dengan sopan. Tentu sambil diiringi obrolan ringan seputar Indonesia.
Kali berikutnya, sentuhan tangan Pak RT mulai menjamah bagian – bagian yang tidak patut disentuh. Sesuai instruksi Vina, Fania diam tak berontak saat sentuhan Pak RT mulai beda.
Tiap kali memijat, Pak RT semakin berani. Pijatan tersebut tentu tak luput dari mata kamera yang Vina pasang.
“Nak Vina ke mana Bu, kok gak ada?”
“Oh, iya, katanya lagi ada tugas. Jadi tidur di temannya.”
Menyadari suami Fania yang sedang pulas dan Vina yang sedang tidak ada di rumah membuat tangan Pak RT tidak bisa dikendalikan. Usapan tangan di sisi luar payudara Fania mulai berubah menjadi remasan kecil. Remasan – remasan tersebut tak membuat Fania bergerak, hingga jemari Pak RT mulai menyentuh putingnya.
Fania mengangkat sedikit dadanya hingga jemari Pak RT bisa bermain bebas di putingnya. Menyadari perubahan yang terjadi membuat mulut Pak RT terasa berat. Karenanya, Pak RT menurunkan mulut hingga menempel ke leher Fania.
Tak hanya jemari, kini lidah dan bibir Pak RT ikut bermain di tubuh Fania. Tangan Pak RT kini mencoba membalik tubuh Fania.
“Gini saja Pak, lepas saja sarungnya.”
“Iya bu,” Pak RT berkata lantas menurunkan sarung yang menutupi bagian tubuh Fania. “Wah, ternyata ibu gak pake celana dalam ya.”
“Mmmmm,” Fania hanya bergumam sambil menggoyangkan pantat.
Goyangan pantat itu bagaikan magnet yang menarik mulut Pak RT hingga mendekat, hingga bermain di dalamnya… jilatan demi jilatan terus membombardir Fania hingga Fania merasakan ujung batang kontol Pak RT mencoba melakukan penetrasi.
“Uh, enak Bu…”
“Iya, terus Pak.,” celoteh Fania yang kini mengangkat pantatnya hingga Pak RT menyetubuhi dengan gaya anjing. “Jambak rambut saya Pak.”
Tarikan tangan Pak RT di rambut kini membuat pergerakan kontolnya semakin kencang…
Persetubuhan yang mendebarkan ini membuat kedua insan orgasme dengan cepat, begitu cepatnya bagaikan perawan dan perjaka yang baru mengenal hubungan badan.
“Enak Pak?”
“Iya Bu…”
“Enak Pak?”
“Iya Bu…”
“Kalau begitu, saya pamit dulu.”
“Lho, mau ke mana?”
“Pulang, keburu Bapak bangun.”
***
“Pak, ini lho, Vina katanya pingin dipijat.”
“Eh, iya Nak Vina.”
Kini Vina pun ikut dipijat. Awalnya hanya pijatan wajar. Kali kedua, Pak RT mulai mencoba, namun Vina tidak bereaksi. Kali ketiga, percobaan Pak RT makin berlebih. Kali ini Vina mulai memberi sinyal, walau secuil.
Hingga tiba saatnya tangan Pak RT mengurut sisi pinggang kiri yang berbatasan dengan payudara, Vina agak mengangkat bagian kirinya sehingga tangan Pak RT mulai menjamah daerah yang belum dia jamah. Jari Pak RT mulai menyentuh puting Vina. Desahan Vina membuat jari itu seperti bolak-balik menyentuh puting hingga akhirnya jempol Pak RT ikut membantu.
“Jangan pake tangan Pak!”
“Eh, iya Nak, maaf.”
Vina membalikan tubuh hingga terlentang menantang.
“Pake mulut saja.”
Tanpa menjawab, Pak RT lantas menyusu.
“Buka celananya Pak!”
Mendapat perintah seperti itu membuat Pak RT tak kuasa menolak. Kontolnya kini terbebas dari siksa celana dalam.
“Cepet masukin Pak!”
“Iya Nak!”
Dengan gaya biasa, Pak RT menyetubuhi Vina. Sensasi menikmati daun muda membuat Pak RT lupa diri hingga ejakulasi dini.
“Hihihi… Lain kali lagi ya Pak.”
“Iya Nak.”
“Sekarang, tamatin pijatnya ya. Bener – bener pegel nih.”
“Eh iya.”
“Pakai lagi dulu celananya.”
Pak RT kini menyelesaikan pijatannya.
***
Kali pijatan kedua, Pak RT dibuat pasrah saat terlentang. Kontolnya dimainkan oleh memek Vina yang berputar liar sambil mencubit – cubit puting Pak RT.
***
Kali ke lima, di Fania dan suaminya sedang keluar.
“Jangan Pak, bosan,” celoteh Vina saat Pak RT mulai menyentuhnya.
“Bosan bagaimana?”
“Bosan yang biasa.”
“Terus maunya apa?”
“Kita main sandiwara yuk?”
“Sandiwara? Boleh.”
“Pura – puranya, Bapak perkosa Vina!”
“Boleh.”
Kini, Pak RT mencoba memperkosa Vina.
“Stop dulu Pak!”
“Kenapa?”
“Kurang liar Bapak mainnya.”
Kini, Pak RT mencoba memperkosa Vina, dengan agak liar.
“Stop dulu Pak!”
“Kenapa lagi?”
“Kurang seru, Bapak ngomong kasar dong.”
“Siap Nak!”
Kini, Pak RT mencoba memperkosa Vina, dengan agak liar, sambil berkata – kata kasar. Vina mencoba meronta dan meronta namun apa daya, tenaga Pak RT membuat Vina tak berdaya.
Pak RT menyetubuhi Vina sambil tangannya memegang kedua tangan Vina di atas kepala.
“Tampar pipi Vina Pak!”
“Hah, oh iya.”
Pak RT menampar Vina.
“Itu sih bukan tamparan Pak”
Pak RT kembali menampar Vina.
“Kurang keras Pak!”
Pak RT menampar Vina lagi. Namun kali ini, setelah tangannya menampar kontolnya menyemburkan peju.
“Jangan dicabut dulu Pak!”
“Terus?”
“Pan ceritanya pemerkosaan. Jadi bapak ancam ini itu.”
“Oh.”
Pak RT lantas mengancam Vina agar tak melaporkan perkosaan ini. Jika lapor maka nyawanya akan melayang.
Bersambung…