ISTRIKU MENGINGINKAN ANAK
Charlotte buru – buru menenangkan Elliot, “Tidak ada yang menggangguku! Kamu salah paham!”
“Bohong, kalau tidak ada yang mengganggumu, kenapa kamu menangis?”
Charlotte akhirnya terdiam, merasa enggan untuk menceritakan masalah yang menimpanya kepada Elliot. Dia hanya tidak mau menambah beban masalah Elliot dengan membagi keluh kesahnya selama ini.
“Charlotte, katakan kepadaku ada apa,” Elliot menahan kepala Charlotte sehingga wanita itu tidak dapat mengalihkan pandangannya. “Aku akan terus bertanya sampai kamu mengatakannya.”
Elliot menatap Charlotte dengan lekat, membuat wanita itu semakin tidak nyaman. Pada akhirnya, Charlotte menghela napas dan memutuskan untuk memberitahu Elliot kejadian di ruangan Aria.
“Ketika bertemu dengan Aria, aku dan dia sempat membicarakan masa lalu. Ingatan itu terlalu emosional buatku, sehingga aku menangis bersama Aria.”
“Elliot, aku tidak mau menambah beban pikiranmu. Jadi, aku ragu untuk menceritakan masa laluku sekarang,” tambah Charlotte.
Tatapan mata Elliot melembut, “Charlotte, berapa kali harus kukatakan, kamu bukanlah beban dan aku sama sekali tidak terganggu meski kamu membagikan seluruh keluh kesah kamu kepadaku. Aku malah lebih senang apabila kamu bisa terbuka denganku alih – alih lebih terbuka dengan orang lain.”
Sesungguhnya, Elliot tidak mengetahui apa – apa tentang Charlotte karena memang Charlotte jarang membuka diri dan berbagi cerita. Ketika tahu Charlotte bisa menangis di hadapan Aria, Elliot baru sadar kalau Charlotte mungkin masih tidak nyaman bercerita dengan Elliot.
Mereka masih mempunyai jarak tersendiri dan hal itu sangat mengganggu Elliot.
“Charlotte, aku harap kamu lebih mempercayai aku sebagai suami kamu.”
Ucapan Elliot langsung menyadarkan Charlotte. Mereka sekarang sudah menikah, sudah sepatutnya saling berbagi kebahagiaan dan penderitaan bersama. Bila Charlotte selalu menyembunyikan penderitaannya sendirian, maka dia tidak dapat disebut sebagai istri yang baik.
“Elliot, tadi aku bercerita tentang insiden di masa lalu yang membuat aku tidak lagi mempunyai rahim.”
Charlotte menundukkan kepalanya, rasanya terlalu berat untuk menceritakan kisah tentang ketidakmampuannya dalam mengandung anak kepada suaminya sendiri. Perlahan cerita itu mengalir begitu saja dari mulut Charlotte, hatinya kembali terasa sakit dan intonasi suaranya semakin melemah seiring cerita.
Tatkala Charlotte kembali menangis, Elliot segera menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Dia tidak lagi meminta Charlotte untuk bercerita karena tidak mau menyakiti hati istrinya lebih dalam. Ketika berada di dalam rengkuhan Elliot, Charlotte merasa pelukan itu lebih hangat dan menenangkan dibanding dengan pelukan Aria.
Bagi Charlotte, pelukan hangat yang diberikan oleh Elliot membuatnya merasa begitu aman, seolah wanita itu tidak akan merasa sakit selama dia berada di dalam rengkuhan Elliot.
“Charlotte, apa kamu enggan bercerita kepadaku karena takut membuatku kecewa?”
Charlotte mengusapkan air matanya ke kemeja Elliot, lalu menjawab. “Walau kamu pernah bilang kalau kamu tidak perduli bisa mempunyai anak atau tidak. Aku tetap saja merasa gagal sebagai istri karena tidak mampu mengandung anak.”
“Charlotte! Berhenti berkata seperti itu! Nilaimu sebagai seorang istri tidak akan pernah turun di mataku meski kamu tidak bisa mengandung anak.”
“Tapi tanpa anak kehidupan rumah tangga kita tidak akan lengkap,” balas Charlotte.
“Pemikiranmu itu keliru, Charlotte. Rumah tangga itu sudah lengkap asalkan ada suami dan istri, sedangkan anak hanyalah sebuah tambahan. Jadi dengan atau tanpa anak seharusnya sebuah rumah tangga tetap lengkap,” jelas Elliot.
Elliot mencium kening Charlotte sebelum berbisik. “Selama kita selalu bersama, rumah tangga kita tidak akan pernah terasa kurang.”
Charlotte tidak mengatakan apapun, tetapi dia mengeratkan pelukannya kepada Elliot seakan sedang mencari tempat perlindungan. Namun Charlotte terlonjak tatkala mendengar Elliot yang tiba – tiba berkata, “Asal kamu tahu, kita tetap bisa memiliki anak kandung selama kamu masih mempunyai sel telur.”
“Bagaimana mungkin? Tanpa rahim, aku tidak akan bisa membuahi janin.”
Elliot tertawa, kemudian memperlihatkan hasil pencarian ponselnya pada Charlotte. “Kita bisa menggunakan metode IVF untuk melakukan pembuahan di luar rahim, kemudian embrio tersebut akan diletakkan di dalam rahim ibu pengganti sampai dia melahirkan. Cara seperti ini sudah banyak dilakukan oleh pasangan yang juga kesulitan melakukan pembuahan embrio secara tradisional. Kalau kamu mau, kita bisa—”
“Aku mau!” Charlotte menarik kemeja Elliot sampai pria itu harus menunduk. “Aku ingin melakukan itu, Elliot.”
Elliot segera memulihkan keterkejutannya dari tindakan reflek Charlotte, kemudian memberi pengertian kepada Charlotte. “Baiklah, kita bisa melakukan itu. Tapi kita tidak bisa melakukannya sekarang, kamu masih kuliah dan akan kerepotan apabila harus menjalani operasi pengambilan sel telur. Lebih baik kita melakukannya setelah kamu lulus kuliah, saat itu juga usiamu sudah cukup dewasa untuk mengurus anak bayi.”
“Aku pernah menjadi baby sitter saat masih sekolah, jadi seharusnya aku mampu mengurus bayi,” kata Charlotte, berusaha meyakinkan Elliot bahwa dia siap untuk mempunyai bayi di usia sekarang.
“Saat menjadi baby sitter kamu hanya mengurus bayi selama beberapa jam, tapi saat kamu menjadi seorang ibu, kamu akan mengurus bayi sampai dia beranjak dewasa. Tidak hanya mengurus, kita pun harus mendidiknya baik secara pengetahuan ataupun moralitas. Jadi lebih baik mengurus bayi saat kamu sudah lebih dewasa, oke?”
Charlotte menekuk wajahnya, perkataan Elliot memang ada benarnya namun tetap saja Charlotte merasa sedikit kesal karena harus menunggu lebih lama lagi. “Baiklah.”
Melihat istrinya menampakkan ekspresi kesal, Elliot segera mencubit pipi Charlotte. “Lihat ini, kamu masih suka merajuk tapi sudah ingin mempunyai anak. Jika anakmu cemberut, apa kamu juga akan cemberut bersamanya?”
Charlotte menggerutu, “Aku tidak merajuk!”
Elliot melepaskan tawa, merasa senang karena akhirnya Charlotte bisa lebih mengekspresikan dirinya di hadapan Elliot meski dengan merajuk.
Karena tidak tahan, akhirnya Elliot mencium pipi Charlotte beberapa kali akibat gemas. Membuat senyuman Charlotte berangsur – angsur muncul karena merasa geli.
“Berhenti, nanti bedakku bisa luntur,” kata Charlotte seraya tertawa.
“Bagaimana kalau aku merusak liptickmu saja?”
Bahkan tanpa menunggu jawaban Charlotte, Elliot sudah lebih dahulu menempelkan bibir mereka berdua. Aroma lipstik Charlotte yang berbau seperti kue menguar ke dalam rongga hidung Elliot, membuat pria itu berpikir tengah menyantap kue alih – alih bibir Charlotte.
Perlahan Elliot menjilat bibir Charlotte dan melesakkan lidahnya ke dalam rongga mulut Charlotte. Suhu tubuh mereka memanas sehingga Elliot melepaskan dasi yang melekat di kemejanya. Ceritasex.site
Tangan Elliot juga dengan cekatan melepas blazzer milik Charlotte dan berusaha melepaskan kancing pada bagian kerah istrinya. Namun gerakan tangannya terhenti tatkala mendengar suara ketukan pintu.
“Tuan, pesanan makan siang Anda sudah datang,” kata Erland dari luar ruangan.
Elliot mendecih, kemudian mengusap noda lipstik yang berantakan di sekitar bibir Charlotte. “Ya, masuklah.”
Elliot sengaja memesan makanan ke dalam kantor agar mereka tidak perlu makan di luar dan dilihat oleh beberapa karyawan. Setelah makanan diletakkan di meja, mereka segera menyantapnya bersama. Namun sepertinya Charlotte sedang tidak berselera makan hari ini karena habis menangis. Dia hanya makan setengah dari makanannya, kemudian meletakkan alat makannya ke pinggir.
“Kenapa tidak dihabiskan? Rasanya tidak enak?”
Charlotte, “Aku hanya sedang tidak berselera.”
Sejak dahulu Charlotte memang sering tidak berselera makan ketika suasana hatinya sedang kacau, oleh karena itu dia selalu mempunyai tubuh kurus sebelum menikah dengan Elliot.
“Jangan seperti itu, kamu bisa sakit kalau hanya makan sedikit,” Elliot mengarahkan sesendok makanan ke depan mulut Charlotte, tapi Charlotte mendorong sendok itu perlahan. “Aku benar – benar tidak mau makan lagi.”
Elliot menghela napas, lalu mengambil roti bagel dengan krim serta blueberry di atasnya. “Bagaimana jika makan sesuatu yang manis?”
Charlotte berpikir sejenak dan memutuskan untuk memakan snack manis saja daripada menghabiskan makanan utama.
“Habiskan snacknya.”
“Mhm,” Charlotte kemudian bertanya, “Kamu akan pulang jam berapa?”
“Hari ini sepertinya akan pulang malam. Kamu tidak perlu menungguku, setelah makan siang pulang saja terlebih dahulu.”
Charlotte sedikit kecewa karena mereka tidak bisa makan malam bersama, tapi dia berusaha mengerti. “Kapan aku bisa mulai magang?”
“Sesuka hati kamu.”
“Elliot, aku serius,” kesal Charlotte.
Elliot tertawa, kemudian mengelus rambut Charlotte. “Nanti malam HRD akan menghubungi kamu, jadi besok kamu boleh langsung masuk.”
Ketika mendengar hal itu, Charlotte mulai gugup. “Apa saja yang harus kupersiapkan untuk besok?”
“Tidak perlu menyiapkan apa – apa, kamu hanya harus datang. Nanti akan ada karyawan senior yang membimbing kamu.”
“Charlotte, jika ada yang bersikap tidak baik kepadamu, kamu harus segera beritahu aku,” lanjut Elliot.
Charlotte mengangguk, kemudian tersenyum, “Aku akan melaporkan kegiatanku setiap hari.”
Ketika jam makan siang berakhir, Charlotte memutuskan untuk pulang ke rumah karena tidak mau mengganggu Elliot yang sedang bekerja.
Begitu Charlotte menutup pintu, Elliot segera berbicara serius dengan Erland. “Erland, apa kasus kekerasan yang sudah ditutup beberapa tahun lalu bisa diusut lagi?”
Erland, “Tentu bisa, kita bisa mengajukan penyidikan ulang kepada pihak kepolisian.”
“Jangan libatkan polisi,” Elliot berkata, “Sewa saja detektif swasta dan usut secara tuntas. Aku ingin mereka menyelidiki dalang dari insiden penusukan Charlotte beberapa tahun silam.”
Jika Elliot melibatkan polisi, pihak kepolisian pasti akan mengadu kepada Keluarga Baxter dan Elliot tidak mau berurusan dengan Keluarga Baxter yang kerap memperlakukan Charlotte dengan buruk.
Erland mengangguk, “Akan segera saya lakukan.”
Elliot bersumpah, dia tidak akan membiarkan orang – orang yang pernah menyakiti Charlotte hidup dengan tenang.
Bersambung…