Dia merekomendasikan hidangan “ndas mayung””Kepala ikan mayung . Ini rasanya pas benar. Aku tentu saja tidak tahu alamat yang ditunjuk Dodo, tetapi dengan bantuan becak dan pengetahuan Resti yang agak terbatas, akhirnya ketemu juga warung yang menyediakan menu kepala ikan mayung dimasak mangut. Yakni berkuah santan dengan rasa agak pedas.
Lumayan sedap santapan yang direkomendasikan Dodo. Paling tidak tempat ini menjadi catatanku kalau kelak kembali ke Pati.
Kuperhatikan Resti memiliki HP yang sudah ketinggalan zaman dengan layar masih hitam putih, padahal anak seusia dia, paling senang kutak-katik HP. Yah mungkin dia dari keluarga yang kemampuannya terbatas, sehingga tidak sempat mengeluarkan biaya untuk membeli HP model terbaru.
Aku menanyakan dimana banyak orang menjual HP. Resti menunjuk satu lokasi lalu kami kesana. Dia sempat bertanya, mau cari apa kok nanya tempat penjualan HP. Aku bilang aja mau beli baterai HP ku karena sudah kurang bagus. Ngocoks.com
Di tempat tujuan aku memilih satu toko yang kelihatannya mempunyai cukup lengkap koleksi HP Nokia. Resti heran melihat aku memilih-milih HP Nokia. Aku minta kepada penjual, tipe yang tipis, ada radio, ada kamera, bisa dengar lagu banyak dan modelnya candy bar. Aku ditunjukkan satu model yang kelihatannya ok. Lalu setuju aku beli. Setelah meninggalkan toko, Resti bertanya, “Lho tadi katanya mo beli baterai, kok malah beli HP toh oom,” tanyanya heran.
“ Iya ini untuk kamu, “ kataku sambil menyerahkan bag berisi kotak HP.
“Yang bener Oom, makasih yaaa, makasih, “ katanya dengan raut wajah kegembiraan.
Resti lulus SMA tahun lalu, tetapi tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Selain tidak ada biaya dia merasa kemampuannya tidak nyampe untuk kuliah, apalagi harus ke Pati, atau ke Semarang.
Dengan kendaraan umum kami kembali ke Dukuhseti, tepatnya ke Desa Pendem. Resti tidak sabar ingin melihat HP barunya. Dia segera mengeluarkan HP itu dari kotaknya dan mengutak-kutik sepanjang perjalanan pulang. Sampai-sampai hampir kelewatan kami turun dari angkutan.
Sesampai di rumah Resti langsung melapor ke orang tuanya bahwa aku membelikannya HP baru. Naluri cewek terhadap HP memang luar biasa. Tanpa kuajari dia sudah paham soal menu dan penggunaan HP. Sesampainya di rumah Resti, aku merasa gerah dan ingin mandi.
Kamar mandi di rumah ini agak kebelakang dan sepertinya di bagian luar rumah mendekati sumur. Setelah badanku segar, aku dipersilakan oleh kedua orang tua Resti untuk beristirahat di kamar. Kamar untukku sudah dipersiapkan rapi, ada kelambunya segala. Enak sekali rasanya berbaring menghilangkan kepenatan jalan ke Pati tadi. Tanpa kusadari ternyata aku tertidur.
Aku terbangun setelah mungkin tertidur sejam, karena merasa kakiku dipijati. Ternyata Resti dengan hanya berkemben sarung duduk di bagian kakiku memijati kakiku kiri dan kanan. Segera dia kutarik untuk berbaring disampingku. Kupeluk dan kuciumi pipi dan lehernya. Resti bereaksi dengan mendongakkan kepala.
Sarungnya kubuka, ternyata Resti tidak mengenakan BH. Buah dadanya mancung dengan puting yang kecil. Kenyal sekali ketika kuremas-remas. Aku melepaskan sarungnya melalui cara memelorotkan ke bawah. Ternyata dia juga tidak mengenakan celana dalam. Terasa tersentuh jembut tipis dari memek yang mentul. Jari tengahku segera beroperasi di belahan memeknya yang sudah mulai basah.
Kedua tetek ranumnya kuciumi dan pentilnya sekali-kali kuhisap dan kugigit pelan. Resti sudah terangsang. Kakinya dibukanya lebar-lebar. Aku ingin mencicipi rasa memek abg 18 tahun ini. Aku segera menjilati seputaran turuk mentulnya. Resti menggeliat-geliat.Apalagi ketika itilnya kujilat. Dia makin gelisah.aku terus bertahan menyerang klitorisnya sampai akhirnya dia mencapai orgasme.
Giliran berikutnya aku menancapkan batang penisku dan memompanya. Resti terengah-engah menikmati sodokanku. Aku berganti posisi dogy, setelah itu posisi WOT, akhirnya kembali lagi ke posisi MOT sampai aku melepaskan tembakan mani di dalam memeknya.
Kami berbaring berdampingan. Resti kelihatan kelelahan karena dia langsung tertidur nyenyak. Aku kembali mengenakan pakaian untuk ke kamar mandi belakang. Di dapur kulihat ibu Resti sedang sibuk menyiapkan masakan. Tadi siang sebelum aku berangkat ke Pati sudah sempat menyelipkan uang jasa untuk Resti ke ibunya. Mungkin saja dari uang itu dia menyiapkan hidangan untuk nanti malam.
Aku kembali ke kamar dan tidur disamping Resti. Anak ini pulas sekali tidurnya. Mungkinkah dia mencapai orgasme yang paripurna, karena biasanya cewek kalau mendapat kepuasan sex yang tinggi akan mengantuk dan tidurnya sampai ngorok. Nah si Resti juga ngorok halus, sambil tetap telanjang.
Tidak ada yang dapat kukerjakan kecuali ikut tidur lagi. Aku terbangun hari sudah malam dan yang membangunkanku adalah Resti. Dia mengajakku makan malam. Hidangan soto kemiri, yang khas Pati sudah terhidang di meja dalam keadaan berasap. Aku memang sudah keroncongan dari tadi, tanpa rasa sungkan aku langsung menyendok nasi dan soto. Nikmat sekali rasanya. Ibu Si Resti pintar masak rupanya.
Selepas makan malam aku duduk di depan dengan hidangan kopi panas tubruk, mengobol dengan Bapak. Dia bercerita tentang pertanian dan nelayan. Kedua bidang itu sekarang makin berat dijadikan sandaran hidup. Pertanian selalu dipermainkan oleh harga, sementara mencari ikan makin sulit.
Aku menimpali seadanya, sesuai dengan pengetahuanku. Namun si ayah bersemangat sekali cerita. Aku merasa heran juga, dia sama sekali tidak jengah kepadaku, padahal, jelas-jelas anaknya baru kutiduri, dan itu dirumahnya. Suasana seperti ini sebenarnya yang kucari sampai jauh-jauh datang ke Dukuhseti.
Kalau sekedar mencari, cewe, banyak yang cantik di Jakarta, tempat menginap di sana juga jauh lebih nyaman, tetapi aku tidak mendapatkan suasana apa-apa, kecuali menikmati tubuh lawan mainku. Aku merasa menyelami isi hati masyarakat setempat, sampai mereka bisa menerima “tamu” untuk main dirumahnya sendiri.
Kami ngobrol sampai jam 11 malam dan ayah Resti mempersilakan aku untuk istirahat, karena besok akan melakukan perjalanan jauh kembali ke Jakarta. Aku masuk ke kamar, kulihat Resti sudah tidur tergolek, lampu sudah dipadamkan . Sumber cahaya hanya dari celah-celah lubang angin. Kuperhatikan Resti sudah mengenakan kemben sarung seperti tadi sore. Aku pun mengikuti mengenakan sarung langsung tidur di sebelahnya.
Begitu aku berbaring, Resti langsung memelukku. Sambil berpelukan aku ngobrol mengenai kehidupan di desa ini terutama soal cewek yang bisa diajak tidur. Banyak temen-temen Resti yang tamat SMA, atau malah yang masih sekolah sudah menerima “tamu” di rumahnya.
Menurut dia tradisi itu sudah berlangsung lama, mungkin sejak neneknya mereka sudah melakukan hal itu. Makanya mereka sampai sekarang mewarisi tradisi itu. Aku malam itu hanya kuhabiskan dengan ngobrol sampai tertidur. Mau bertempur rasanya lagi hilang selera. Kami tidur berpelukan .
Paginya ternyata penisku masih bisa berdiri. Aku mulai mencumbu Resti. Dia terbangun dan menanggapi cumbuanku. Pagi itu sekitar jam 5 kami menuntaskan nafsu birahi kami, sampai aku jatuh tertidur lagi.
Entah jam berapa aku dibangunkan Resti, katanya Dodo sudah datang.
Biasanya dia nelpon aku kalau mau datang, kali ini kenapa dia langsung nongol, padahal aku belum mandi.
Dodo mempersilakan aku mandi dan membereskan barang-barang. Dia memang sengaja datang tanpa menelpon. Katanya ada informasi penting.
Bikin penasaran saja sampai sarapan yang dihidangkan ibunya Resti tidak bisa kunikmati. Setelah berbasa-basi sejenak. Aku pamit meninggalkan kediaman keluarga Resti.
“Ada apa sih Do, kamu kok kelihatannya penting banget,” tanyaku.
“Sabar bos, nanti saja dirumah saya jelaskan,” katanya.
Sesampai dirumah, Dodo menghidangkan kopi tubruk. Memang mantap menghirup kopi, sambil menyedot rokok kretek.
“Ini bos ada cewek yang masih segelan, lagi butuh uang. Orangnya cakep masih 16 tahun. Saya kemarin sore kerumahnya. Ini fotonya,” kata Dodo sambil menunjukkan gambar di HP nya.
Memang bener anaknya masih imut, putih, rambutnya lurus. “Nggak banyak kok mintanya, “kata Dodo sambil terus menyebutkan angkanya. Aku membatin dalam hati, jumlah yang disebutkan Dodo itu tidak jauh dengan harga HP yang kubelikan untuk Resti, kemarin. Di Jakarta kalau pun ada cewek yang masih segelan (perawan), harganya jauh di atas itu dan parasnya tidak pula semanis dengan cewek yang ditawarkan Dodo.
“Bener dia mau buka segel, anaknya apa udah mau, jangan-jangan karena dipaksa orang tuanya,” tanyaku.
“Enggak bos, anaknya udah siap, saya sudah tanyai anaknya langsung kok, pokoknya kalau bos berminat kita bisa kesana sekarang,” katanya.
Aku berpikir sejenak, cutiku yang kuhabiskan di Dukuhseti ini bakal sempurna, karena mendapatkan multi source. Aku menyetujui.
Tunggu bos nggak bisa sekarang, anaknya masih sekolah di SMP kelas 3. Biasanya anak SMP pulang jam 2 an. Nanti jam 3 saja kita kesana. Sekarang santai aja dulu katanya.
Sekitar jam 2 lebih, HP Dodo berdering. Ternyata dari keluarga si perawan itu. Mereka menanyakan apakah aku jadi menginap dirumahnya. Dodo menjawab sambil jempolnya diacungkan. Mungkin maksudnya dia juga berkomunikasi dengan ku. Paling tidak dia ingin mengatakan, siiip.
Kami berdua lalu meluncur dengan sepeda motor Dodo ke sasaran. Sebuah rumah yang sederhana, agak terpencil dari tetangganya. Halamannya luas bersih dari tanaman rumput, karena terlindung oleh rimbunnya pohon mangga.
Rumahnya tidak jauh mutunya dari rumah Resti. Aku segera disambut, oleh keluarga Pak Santo suami istri. Tidak lama kemudian muncul gadis yang akan menjual segelnya masih berseragam SMP dengan rok biru. Badannya belum berkembang penuh, meski teteknya sudah kelihatan tumbuh. Namun tubuhnya agak bongsor, maksudnya tinggi. Mungkin sekitar 160 cm. Dengan malu-malu dia menyalamiku.
Kami akhirnya masuk ke ruang tamu. Disitu, Pak Santo, istrinya dan cewek itu yang kemudian kuketahui bernama Nurmala. Dengan bahasa Jawa Dodo mengkonfirmasi bahwa memang benar Fani, begitu panggilannya akan menjual keperawanannya. Kedua orang tuanya menggangguk. Fani ketika ditanya soal kesiapannya juga mengangguk. “ Tuh bos, sudah lihat sendiri kan, mereka sudah rela, sekarang tingal bos sendiri memutuskan,” kata Dodo.
Aku memutuskan setuju dan deal dengan harga yang mereka minta. Hati kecilku sesungguhnya merasa tidak tega. Betapa mereka mengorbankan barang demikian berharga untuk harga yang menurutku tak seberapa. Tapi pikiran lainku mengatakan, kalau bukan aku yang mengambil kesempatan ini, pasti ada orang lain yang akan mengambilnya.
Aku mengode Dodo dengan kedipan, dia mengerti dan beranjak keluar bersamaku. “do aku nggak punya amplop,” kataku.
“Sudah langsung aja, di kampung gak perlu amplop-amplopan,” kata Dodo. Aku segera menyerahkan sejumlah uang yang mereka minta kepada Pak Santo,. Aku memintanya dia menghitung kembali uang itu, tetapi dia menolak. Katanya dia tidak pandai menghitung uang.
Aku dipersilakan langsung masuk ke kamar tidur, tetapi tawaran itu kutolak halus. Aku katakan aku ingin mandi dulu.
Rumah di desa ini kebanyakan memiliki kamar mandi di luar rumah. Aku minta izin mau menyegarkan diri dulu. Pak Santo minta aku menunggu sebentar, karena dia akan mengisi air untukku mandi. Pintu kamar mandi hanya berupa korden . Sesungguhnya aku malu juga bertelanjang bulat di kamar mandi ini.
Sebetulnya dibilang kamar mandi juga kurang tepat, karena hanya berupa ruangan dengan plesteran semen dan ada 2 ember plastik lebar yang penuh berisi air dan ada pompa tangan. Ketika aku sedang asyik buka baju, tiba-tiba Fani masuk kedalam, katanya dia juga mau mandi, karena gerah habis sekolah.
Aku terbengong-bengong,. Bagaimana jadinya kok bisa begini. Fani tenang saja membuka baju sekolahnya sehingga tinggal BH dan celana dalam. BHnya , mungkin kurang tepat disebut BH, tetapi mungkin miniset, dan celana dalamnya terbuat dari kain katun. Dia membelakangiku dan mencopot miniset dan celana dalamnya lalu langsung berjongkok di dekat ember.
Aku masih terbengong-bengong dan masih memakai celana dalam. Mungkin aturannya disini kalau mandi harus jongkok di samping ember. Tapi aku nggak pernah begitu. Rasanya kalau jongkok ada bagian tubuh yang tidak terguyur air. Jadinya ya aku terpaksa harus berdiri, dan apa boleh buat harus mempertontonkan kemalauanku ke Fani, sebelum bendera start dikibarkan.
Fani tenang saja telanjang sambil jongkok menghadapku. Meski telanjang aku juga tidak leluasa mengamati tubuhnya, karena sebagian susunya tertutup lututnya dan kemaluannya tertutup ember dan jepitan kedua pahanya. Tadinya aku berharap kalau dia sabunan akan berdiri, tetapi nyatanya tidak dia tetap jongkok sambil menyabuni tubuhnya.
Mungkin kalau kamar mandi ini tidak hanya ditutup kain korden di pintunya aku sudah menawarkan diri menyabuninya. Tapi rasanya jadi malu kalau ketauan orang tuanya diluar. Akhirnya aku cuek aja menyabuni diriku dan alat vitalku. Herannya Fani kok tidak tertarik memperhatikan kelaminku. Pandangannya biasa saja. Aneh juga.
Selesai mandi Fani hanya berbalut handuk keluar dan aku berpakaian lengkap dengan celana panjang jins dan kaus oblong.
Sekeluar dari kamar mandi aku diarahkan oleh Pak Santo untuk masuk kamarku. Dia lalu menutup pintu. Di dalam aku melihat Fani sedang duduk dipinggir tempat tidur masih berbalut handuk yang dia pakai keluar kamar mandi tadi.
Aku duduk disampingnya. “ Kamu sudah siap,”
Dia menjawab dengan menggangguk.
“Apa kamu nggak takut”
Fani mengelengkan kepala.
“Kamu sudah punya pacar ?”
Dia kembali menggelengkan kepala.
“Sudah pernah pacaran ?”
Kembali kepalanya digelengkan.
“Kok kamu berani memberikan keperawanan kamu ke saya, tanyaku.
“Aku nggak mau kayak teman-temanku keperawannya diambil oleh pacarnya lalu ditinggal. Mendingkan kayak gini aku dapat duit,” katanya.
Jawaban yang diluar perkiraanku ini masuk akal juga. Dia tidak mau melepaskan keperawanannya secara gratis, apalagi ke pacarnya seperti teman-temannya lalu ditinggal . Fani kupeluk. Dia diam saja. Lalu kuajak rebahan. Dia menurut. Aku mulai menciumi keningnya, pipinya, telinganya kiri dan kanan. Terasa sekali kalau gelagatnya dia masih kaku.
Handuknya kubuka, maka terpampanglah kedua payudaranya yang baru tumbuh. Pentilnya masih kecil dan aerolanya juga belum lebar. Kedua susunya menjadi sasaran ciuman dan kenyotan mulutku. Fani diam saja pasrah. Tanganku pun beroperasi kebawah menjangkau kemaluannya, Tanganku merasa di sana belum ada ditumbuhi bulu. Yang terasa hanya bulu-bulu halus.
Ketika handuknya kubuka, terlihat memeknya memang masih relatif gundul dan menggembung. Kuciumi susunya lalu perutnya dan perlahan-lahan turun ke gundukan memeknya. Fani mengenluh geli. Aku tidak memperdulikan, Kedua kakinya kurenggangkan sehingga belahan memeknya agak terbuka sedikit.
Warnanya merah muda. Jilatanku langsung menuju belahan itu. Fani mengeluh karena rasanya geli. Aku minta dia bertahan sebentar, karena rasa geli itu nanti akan hilang. Lidahku beroperasi di belahan memek Fani dan ujung clitorisnya terlihat agak mencuat. Aku menjilati ujung itil itu, Fani menggeliat, geli sekali katanya.
Aku bersabar tidak langsung menjilat ujung itilnya lagi, tetapi di seputar itilnya sampai dia merasa tidak geli lagi. Badannya berjingkat-jingkat menandakan ada rasa nikmat yang dia rasakan. Dengan sentuhan halus lidahku mulai bermain di itilnya. Fani mendesis tertahan. Dia melonjak-lonjak setiap kali itilnya kusapu dengan lidah. Lama sekali aku bermain oral di kemaluannya tetapi aku tidak merasakan dia mencapai orgasme.
Akhirnya aku bosan dan aku mulai menindihnya . Kepala penisku ku posisikan di depan lubang kemaluan Fani. Dia kelihatan tegang. Aku minta agar jangan tegang, karena nanti akan terasa sakit. Penisku berkali-kali kepeleset gagal memasuki lubang tujuan.
Aku bangkit dan membasahi ujung penisku dengan ludah. Sambil duduk kubuka lebar belahan memeknya dan kepala penisku kudorongkan ke liang vaginanya.
“Oom pelan-pelan oom, sakit,” katanya.
Aku minta dia menahan sakit itu sebentar. Kepala penisku mulai berhasil menerobos masuk, meski hanya bagian kepala saja. Kudorong lebih jauh, tetapi terasa sukar. Aku tidak menyerah, dan terus mendorong, sampai masuk agak dalam dan akhirnya tertahan. Mungkin selaput daranya menahan laju masuknya penisku. Kutarik sedikit penisku lalu didorong lagi. Begitu berkali kali sampai jalannya agak lancar.
Tetapi untuk masuk terus masih ada halangan. Aku mengeraskan penisku dan mendorong sedikit agak kuat. Terasa ada sesuatu yang pecah di dalam. Fani menjerit kecil sambil mengatakan sakit. Aku terus mendorong, dan penisku bisa makin dalam memasuki liang vaginanya yang masih perawan. Ketika semua batang penisku sudah ambles. Terasa lubang vaginanya sangat mencekam. Ketat sekali rasanya.
Ketika kutarik sedikit Fani meringis, menahan sakit lalu kudorong lagi, sampai akhirnya gerakanku agak lancar baru aku berani memompa dengan gerakan agak panjang. Memeknya sempit banget, maklum masih perawan. Sehingga aku pun tidak mampu bertahan lama dan pecahlah spermaku di dalam memek mala. Kubiarkan penisku di dalam memeknya sampai akhirnya susut dan pelan-pelan kutarik keluar. Mani tidak terlalu banyak, karena selama 2 malam ini terus-terusan bertempur.
Kulihat di penisku ada sedikit darah. Dan di sprei juga ada sedikit mani bercampur darah . Fani mengatakan memeknya perih. Aku jelaskan bahwa memecahkan perawan memang selalu terasa perih. Untuk selanjutnya kuyakinkan bahwa rasanya tidak akan sesakit itu lagi. Cerita dewasa ini di upload oleh situs ngocoks.com
Aku beristirahat . Fani bangkit dengan berkemben handuk dia keluar kamar. Dia kelihatannya mencuci memeknya. Aku pun membersihkan penisku yang agak belepotan mani dan darah dengan tissu lalu kembali mengenakan pakaian lengkap.
Aku berbaring saja di kamar untuk beristirahat. Mungkin karena kelelahan aku tertidur. Aku dibangunkan Fani ketika hari sudah mulai gelap. Setelah membersihkan diri ke kamar mandi aku dipersilakan makan malam.
Tidak ada rasa canggung baik Pak Santo maupun istrinya, juga Fani berhadapan denganku. Kami ngobrol dan meneruskan obrolan ke ruang tamu.
Belum jam 10 aku dan Fani sudah digiring lagi oleh Pak Santo masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar Fani hanya tidur terbujur. Aku mengorek informasi mengenai lingkungannya dan akhirnya malam itu aku main sekali lagi. Agak lama meski memeknya yang kuterjang masih sempit. Rasanya dia belum bisa menikmati persetubuhan, karena katanya memeknya masih agak perih.
Selesai “bermain” kami tertidur lelap. Paginya sebetulnya aku masih ingin menggenjot sekali lagi. Tetapi seleraku sudah hilang, sehingga niat itu urung. Aku bangun pagi langsung mandi kebelakang dan memompa sendiri air. Tak lama kemudian Fani pun menyusul. Kami kembali mandi berdua. Tapi kali ini aku tidak canggung-canggung memandikan Fani dan menyabuninya.
Dia pun mau ketika kuminta menyabuni tubuhku. Aku tidak perduli jika pun ada yang melihat sekilas dari luar aktifitas kami di kamar mandi. Sebelum aku pamit, aku sempat menyelipkan sejumlah uang sebesar setengah dari harga yang diminta kemarin langsung ke Fani. Pesanku, “ ini untuk beli HP baru.”
Tak lama kemudian Dodo sudah muncul. Aku langsung naik ke boncengannya dan dia kembali membawaku kerumahnya. “ Gimana bos masih kuat. “ aku bilang aku sudah menyerah, gak kuat lagi.
Aku diantar Dodo ke pemberhentian angkutan dan dengan itu aku kembali ke Semarang dengan berganti bus di Pati. Di semarang aku sempat meningap semalam, baru keesokan siangnya aku terbang kembali ke Jakarta.