Tak terasa aku sudah seminggu menjadi pembimbing konseling di SMA Cendekia. Selama itu pula belum ada stupun siswa yang mendatangiku untuk berkonsultasi secara pribadi. Satu-satunya kasus yang sempat aku tangani adalah saat tiga hari lalu Pak Hamdan datang ke ruang kerja dengan membawa dua orang murid yang ketauan melompati pagar sekolah karena datang terlambat. Dion dan Raka, dua nama murid itu.
Dion Hanggara, siswa kelas 12 IPA memang terkenal sejak dulu sebagai salah satu siswa yang sering melakukan pelanggaran. Dari mulai bolos sekolah hingga ketauan merokok di kantin. Bukan jenis pelanggaran berat memang, tapi Dion seringkali keluar masuk ruang bimbingan konseling karena hal tersebut. Bahkan Bu Zubaedah menjuluki siswa tersebut dengan panggilan pelanggan tetap.
Dari profil yang aku baca, Dion berasal dari keluarga yang cukup berada. Ayahnya adalah salah satu pengusaha batubara sukses, sementara Ibunya adalah seorang diplomat yang sering pergi ke luar negeri untuk menjalankan tugas negara.
Karena karier yang cemerlang tersebut, kedua orang tua Dion seringkali meninggalkan pemuda itu di rumah seorang diri. Tak banyak kasih sayang yang dia dapatkan karena kedua orang tuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku menduga salah satu penyebab kenakalan Dion selama ini adalah bentuk aktualisasi dirinya yang mengharapkan perhatian dari orang terdekat.
Berbeda dengan Dion, Raka sebenarnya tak pernah punya rekam jejak pelanggaran di sekolah selama ini. Teman satu kelas Dion itu baru kali ini kedapatan melakukan pelanggaran. Aku menduga hari itu dia hanya berda di tempat dan waktu yang salah saja.
Apalagi dari profil dan laporan akademik yang aku baca, Raka adalah salah satu siswa berprestasi di sekolah ini. Beberapa kali Raka mewakili SMA Cendekia dalam olimpiade sains. Hari itu aku hanya memberikan beberapa motivasi pada Dion dan Raka untuk segera membenahi perilaku mereka, khususnya pada Dion.
Hari ini seperti biasa, aku hanya menghabiskan waktu di ruang kerja bersama Bu Zubaedah. Janda satu anak itu kali ini menceritakan bagaimana Pak Hamdan kembali mencoba mendekati dirinya. Tak seperti dulu waktu awal bertemu, aku mulai bisa menikmati cerita rekan kerjaku itu. Entah kenapa aku jadi tertarik saat menyimak cerita-cerita vulgar Bu Zubaedah tentang Pak Hamdan.
“Nih liat Rum, masa kemarin malam Pak Hamdan ngirimin aku foto kayak gini.” Ujar Bu Zubaedah seraya menunjukkan salah satu isi galery di ponselnya padaku.
“Astagfirullah!!” Pekikku terdengar cukup keras.
Di layar ponselnya bisa kulihat dengan jelas foto telanjang Pak Hamdan. Petugas keamanan sekolah itu bahkan sengaja berpose sembari memamerkan alat vitalnya yang mengeras. Buru-buru aku mengalihkan pandangan mataku, melihat responku yang seperti itu Bu Zubaedah justru tertawa terpingkal-pingkal.
“Kamu kenapa sih Rum? Kok kayak liat hantu aja. Hahahahaha!” Perasaanku saat ini jadi tak karuan, kombinasi antara shock dan exited bercampur menjadi satu. Bu Zubaedah menyingkirkan ponselnya dariku, wanita bertubuh sintal itu kemudian mendekatiku.
“Maaf ya Rum, aku cuma becanda. Tapi responmu itu loh yang bikin makin lucu.” Ujarnya.
“Iya Bu, nggak apa-apa. Saya nggak terbiasa liat yang kayak gitu-gitu.” Sahutku sedikit kesal.
“Hah serius? Kamu belum pernah lihat foto cowok telanjang?” Tanya Bu Zubaedah penasaran, aku menggeleng pelan.
“Nonton film bokep?” Tanyanya sekali lagi, aku kembali menggelengkan kepalaku.
“Ya Allah, kamu hidup dimana sih Rum selama ini???” Belum sempat aku menjawab pertanyaan Bu Zubaedah, dari pintu
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam…” Aku dan Bu Zubaedah menjawab salam nyaris secara bersamaan.
Kami berdua melihat Pak Hamdan sudah berdiri di depan pintu bersama Dion. Aku terhenyak untuk beberapa saat, apalagi saat tak sengaja bertatapan langsung dengan Pak Hamdan. Baru beberapa saat lalu aku menyaksikan foto bugilnya di ponsel Bu Zubaedah dan sekarang petugas kemanan itu sudah ada di ruang kerjaku.
Bu Zubaedah beranjak dari duduknya dan menghampiri Pak Hamdan, sementara aku masih duduk di kursi kerja sembari mencoba menenangkan diri.
“Dion lagi…Dion lagi…Ayo masuk dulu. Bikin ulah apalagi dia?” Tanya Bu Zubaedah.
“Biasa, ketauan merokok lagi di kantin.” Jawab Pak Hamdan seraya menyerahkan sebungkus rokok pada Bu Zubaedah.
“Rum, sekarang tugasmu ya? Aku udah bosen ketemu anak ini lagi.”
“Ba-Baik Bu..Eh..Ustadzah..” Sahutku tergugup sedikit. Karena adanya Dion, aku harus mengubah panggilanku pada Bu Zubaidah dengan sebutan ustadzah. Siswa 12 IPA itu melangkah pelan menuju meja kerjaku, kepalanya tertunduk dengan raut wajah datar.
“Rum aku tinggal dulu ya.” Ujar Bu Zubaedah sembari mengerlingkan matanya padaku, Pak Hamdan yang berdiri di sampingnya juga mengangguk ramah ke arahku.
“Loh mau kemana ustadzah?”
“Ada yang harus aku urus dengan Pak Hamdan. Penting, hihihihi…” Tanpa menunggu lagi wanita bertubuh sintal itu kemudian melangkah pergi meninggalkan aku bersama Dion di ruang konseling. Aku hanya melongo saat punggungnya menghilang dari pandangan.
Entah kenapa firasatku mengatakan jika dua orang itu akan melakukan hal yang tak senonoh. Ah, kenapa pula dengan isi kepalaku ini?
“Silahkan duduk Dion.” Siswa itu duduk tenang di hadapanku, kepalanya masih tertunduk sama sekali tak berani menatapku.
“Ini kedua kalinya dalam minggu ini kamu harus menemui saya lagi. Kali ini pelanggaranmu lebih berat Dion. Kamu tau kan kalau merokok itu akan merugikan kesehatanmu sendiri? Apalagi ini kamu lakukan di lingkungan sekolah, akan jadi contoh buruk buat teman-temanmu yang lain.” Kataku panjang lebar. Dion masih tertunduk lesu.
“Lihat ustadzah kalo sedang bicara.” Kataku dengan nada yang lebih tinggi. Kali ini Dion sigap mengangkat kepalanya.
“Maafkan saya ustadzah.” Ujarnya pelan.
“Sekarang lihat ini…” Aku menunjukkan selembar kertas pada Dion, kertas tersebut menunjukkan beberapa poin pelanggaran yang telah dilakukan oleh Dion dalam satu semester terakhir.
“Kamu sudah melakukan banyak pelanggaran Dion, dan ini akan mempengaruhi kelulusanmu nantinya. Kamu tau kan kalo di sekolah ini syarat kelulusan bukan hanya dilihat dari nilai akademik saja, tapi juga perilakumu juga.” Dion hanya terdiam mendengarkanku.
“Kalo kamu tidak mau berubah mulai sekarang, ustadzah akan merekomendasikan untuk memanggil orang tuamu ke sekolah.” Kataku lagi, raut wajah Dion seketika berubah, ada semacam kepanikan di sana.
“Ja-Jangan ustadzah…Saya berjanji nggak akan mengulanginya lagi.” Ucapnya.
“Saya nggak butuh janjimu Dion, tapi ustadzah pengen lihat buktinya langsung.” Dion menarik nafas dalam-dalam, dan aku tahu dari ekspresi wajahnya bahwa dia sedang berpikir apakah dia perlu mengutarakan sesuatu padaku atau tidak. Ada keraguan di wajahnya.
“Kamu ada masalah apa Dion? Ustadzah pengen kamu jujur.” Tanyaku, sengaja kutekan suaraku sedalam mungkin untuk memberi kesan serius padanya. Gerak tubuh Dion menjadi lebih gelisah.
“Kamu jangan khawatir, ustadzah tidak akan menceritakannya pada orang lain. Kamu bisa percaya pada ustadzah.” Kataku mencoba meyakinkannya. Dion kemudian mengangkat kepalanya, kami saling bertatapan untuk beberapa saat, entah kenapa pipiku sedikit terasa sedikit hangat menerima pandangan itu.
“Se-Sebenarnya saya punya masalah yang cukup berat, tapi saya bingung harus menceritakannya darimana karena ini berlangsung cukup lama.” Meskipun suaranya terdengar lirih tapi telingaku yang tertutup hijab panjang masih bisa mendengarnya.
“Oke, ustadzah akan mendengarkannya. Ceritakan Dion, kamu ada masalah apa?” Kataku, Dion menarik nafas dalam kembali sebelum kemudian mengangkat kepalanya, kami kembali bertatapan mata.
“Sa-Saya kecanduan nonton film bokep dan onani…” Kata Dion perlahan, Aku terhenyak, bahkan mungkin Dion bisa melihat perubahan raut wajahku yang smeula tenang menjadi kembali tegang seperti halnya saat tadi aku ditunjukkan foto bugil Pak Hamdan. Gila! Aku harus segera menguasai diriku sekarang juga!
Kali ini giliranku yang menarik nafas dalam-dalam, raut wajahku sedikit berubah menjadi sedikit memerah, sama sekali tidak menyangka jika Dion akan mengutarakan masalahnya seperti ini. Di dalam kepalaku berputar beribu argumen untuk memcahkan masalah tersebut dan tentu saja menyembunyikan kegugupanku di hadapan bocah kelas 12 IPA tersebut.
“Oke, kalau ustadzah boleh tau, bagaimana awalnya kamu bisa kecanduan seperti itu?” Tanyaku, sebagai seorang pembimbing konseling aku harus mengetahui akar masalahnya terlebih dahulu. Dion kembali menundukkan kepalanya ke bawah.
“Dari teman, saya diajak nonton teman.” Jawab Dion, suaranya kembali terdengar lirih. Aku yakin dia juga merasa tak nyaman saat meceritakan hal ini padaku. Tapi aku tidak boleh membiarkannya berlarut-larut, aku harus bisa menumbuhkan kepercayaan dalam dirinya dan mau terbuka kepadaku.
“Teman sekolah?” Tanyaku menyelidik.
“Bukan ustadzah, temen main di rumah.” Jawabnya. Aku mulai bisa mengambil kesimpulan dari akar masalah Dion, remaja ini bisa saja salah memilih pergaulan hingga menyebabkannya menjadi kecanduan melihat video mesum dan onani.
“Kalian dekat?” Tanyaku lagi kembali mengorek informasi. Dion menggeleng pelan.
“Nggak ustadzah, dia sekarang sudah tinggal di luar kota karena kuliah.” Ujarnya.
Ah, satu poin lagi yang aku dapatkan. Rupanya tak hanya salah pergaulan, Dion juga bergaul dengan orang yang usianya jauh lebih tua dibanding dengan dirinya. Ini bisa saja membawa pengaruh buruk bagi anak ini dan memang sudah terbukti.
Jujur, sebenarnya sejak dulu aku tak pernah sekalipun melihat film vulgar seperti halnya yang Dion lakukan, maka aku menghindari pertanyaan tentang film-film tersebut, itu hanya akan menunjukkan kepolosanku sebagai wanita yang usianya jauh lebih dewasa dibanding dirinya.
“Lalu sekarang ustadzah mau tanya, seberapa sering melakukannya?” Tanyaku kembali, kali ini Dion kembali mengangkat kepalanya, mata kami kembali saling bertatapan dan entah kenapa aku merasa tatapan matanya seperti sedang menjelajahi tubuhku.
“Nonton film bokepnya atau…”
“Dua-duanya.” Kataku memotong ucapan Dion.
“Ehm…Hampir setiap hari ustadzah. Kalau saya ada di kamar sendirian, saya pasti nonton bokep sambil onani. Setiap hari saya lakukan itu, bisa dua hingga tiga kali saya melakaunnya setiap hari.” Jawabnya perlahan. Aku kembali terhenyak, apakah ini juga sebab Dion jadi begitu sering melakukan pelanggaran di sekolah? Dion jadi tak terkontrol saat nafsunya tak bisa lagi dia tahan?
“Apa yang terjadi kalau kamu tidak melakukannya sehari saja?” Tanyaku penasaran.
“Emosi saya jadi tidak stabil, saya gampang uring-uringan, dan….” Dion mengambil jeda, matanya kembali menatapku, kali ini pandangannya jadi lebih berbeda dari sebelumnya.
“Dan apa Dion?” Tanyaku kembali.
“Dan saya akan jadi horni sekali, seperti sekarang.”
“Maksudnya?” Dion menatap wajahku lekat-lekat, seutas senyum tersungging di bibirnya.
“Saya ingin onani di depan ustadzah Arum…”
Bersambung…