Kami sampai di depan rumah Ira, ketika orang tuanya hendak berangkat kerja naik mobil.
Ira nyelonong masuk setelah mengucapkan selamat pagi.
“Oohh…Arif, Ira tadi malem dari mana sih?” tanya Ibunya
“Eehh…eemmm….dari…” aku tergagap, takut dan bingung mau menjawab.
“Hayoo…habis dari mana nih??” Ibunya semakin menggodaku
“Ira tadi malem nginap dirumahnya Arif Ma, Pa…kan udah bilang kemarin…” Ira keluar, telah berganti seragam osis dan langsung memutus percakapan kami
“Hah?? Gile ni anak!! Terus terang amat?!” pikirku
“Iya…nginap sih nginap…tapi nggak ngapa-ngapain Ira kan kamu?” tanya Ayah Ira dengan penuh selidik
“Ng..nggak dong Oom…haha…emang…emang mau ngapain? Hahaha…” aku semakin gugup
“Hahahahaha!! Ya kirain ngapaaaaiiinn gittuuuu….!” goda sang Ibu
“Nggak dong tante…hahaha…”
“Anjrit! Udah sono cepetan pergi! Ntar ketauan aku sering ML sama Ira bisa mampus!!
“Udah deh Mah, Pah, nggak usah khawatir berlebihan dong…sono berangkat” Ira tersenyum kepada orang tuanya
“Yaudah deh, Arif, Ira, Mama Papa berangkat dulu yaa” mereka melambaikan tangan
Brrrmmmm…..Mercedes itu pun melaju dengan mulus menjauhi kami.
Aku menstarter motorku.
Ketika Ira duduk dibelakangku, aku bertanya sambil berbisik
“What the hell was that?!”
Ira tersenyum…
Aku sampai di SMA tempat Ira bersekolah kira-kira pukul 06.45 AM.
Ternyata sekolahnya sudah cukup ramai oleh anak-anak. Aku berhenti di gerbang sekolah dan Ira turun disitu.
“Aku sekolah dulu ya Rif” pamitnya
“Iya…belajar yang pinter ya…oh iya, ada ulangan nggak?” tanyaku
“Mmm…ada…ulangan metematika…hehehe”
“Ya udah. Sukses yaa…ayo kamu bisa dapet 100” kataku menyemangatinya
Ira mengiyakan. Ketika ia berbalik dan hendak pergi, aku menarik tangannya.
“Hei…kok ngeloyor gitu aja?” aku tersenyum
“Uhh…masa disini sih?” tanyanya ragu-ragu
Setelah menengok ke kanan kiri, Ira mengecup bibirku dengan cepat.
“Makasih ya Rif” ia tersenyum dan berbalik kemudian masuk kedalam sekolah
Aku tersenyum memandanginya masuk kedalam sekolah. Ira sesekali menoleh ke arahku dan melambaikan tangan. Aku memutuskan untuk pulang. Hatiku dipenuhi kebahagiaan sehingga ketika perjalanan pulang aku tersenyum kepada siapa saja yang kutemui.
Namun aku tidak menyadari, bahwa kebahagiaanku ini tidak akan bertahan lama…dan itu terbukti beberapa hari kemudian.
3 hari kemudian…
SMA tempat Ira sekolah. 10:25 AM
“Ayolah Ra…apa sih susahnya buat kamu?” cowok itu memaksa
”Nggak. Aku nggak bisa.” Ira menggeleng tegas
Cowok itu uring-uringan dan kemudian meninggalkan Ira ketika melihat aku and the gank berjalan kearah mereka.
”Kenapa sayang?” tanyaku
“Dia nembak aku barusan…haha” Ira tersenyum pahit
”Oh…” aku berusaha terdengar seperti tidak tertarik, walaupun dadaku rasanya ngilu
“Aku tolak dia kok…lagian aku juga nggak ada rasa sama dia…”
Aku mengenal Ira sejak beberapa bulan lalu kami jadian. Dan memang kuakui, selama ia berpacaran denganku bahkan hingga detik ini sudah ratusan sms dan telepon yang masuk ke handphone nya 95% adalah sms pedekate dan ngajak kenalan.
Tapi aku tidak mempedulikan hal itu karena aku percaya sepenuhnya kepada Ira dan juga karena Ira tidak pernah membalas atau merespon sms dan telepon yang masuk itu.
”Rif? Kamu nggak percaya sama aku?” ia bertanya dengan hati-hati
”Ah…percaya kok” aku menjawab singkat walaupun hatiku berkata lain.
Aku menerawang ke langit, mencoba mengalihkan perhatianku.
Teman-temanku menunggu kami dengan sabar. Tidak ada dari mereka yang berusaha menginterupsi ataupun mengganggu percakapan kami.
“Rif, aku tau kamu nggak percaya sama aku. Tapi sungguh Rif, ga akan ada cowok lain selain kamu dihatiku…” ucapnya lirih
Aku tersenyum mendengar kata-katanya. Ah, rupanya Ira memang benar-benar mencintaiku sepenuh hati.
”Aku percaya kok Ira-ku sayang…” aku tersenyum.
Kutepuk kepalanya dengan lembut.
Ira menubrukku dengan keras dan memelukku. Aku merasa geli dalam hati melihat tingkahnya yang seperti anak kecil itu.
”Percaya deh sama aku…AKU NGGAK AKAN PERNAH NGEKHIANATIN KAMU” kalimat itu diucapkannya dengan mantap.
”Iya, aku percaya kok sayang…” kukecup bibirnya
”Oooooooooooowwww!! AGAK PANAS YA KAYAKNYA GUYS?!” Setyo bersorak keras kepada teman-temanku yang lain, menggodaku. Mereka semua tertawa
”Apaan sih kalian? Iri yah? Hahahahaha” aku balas mengejek
”Iya nih ngeganggu aja…hehehe” Ira terkekeh kepada mereka kemudian menarik krah seragamku dan mengecup bibirku lagi.
You and I together it just feels so right
Aku melepaskan pelukannya
”Oh iya sayang, kita mau pada kumpul bareng neh…biasa…hehehe…kamu ikut kan?”
”Mmmm…iya oke! Jam berapa?” tanya Ira
”Ini langsungan pulang sekolah…kebetulan Angel dll mau nyari jaket, mereka ngajak kamu sama Dian juga…” aku mengelus pipinya
”Aduhh…tapi aku musti nyerahin tugas ini dulu…mmmhh…gini aja, kalian kumpul aja dulu dirumah Angel, ntar aku nyusul bareng Dian…oke?” Ira tersenyum
”Oke deh…aku tunggu ya sayang…” aku kembali mengecup bibirnya
Setelah itu, aku, Setyo, Rangga dan Tama berjalan keluar kearah parkiran mobil, sementara Ira sibuk mengaduk-aduk tasnya mencari sesuatu.
”Tyo, Ngga, Tam, perasaanku kok nggak enak ya?” tanyaku kepada mereka
“Ah mungkin kamu kecapekan kali Rif…” sahut Rangga
”Iya…kan akhir-akhir ini kamu dapet tugas berat-berat toh?” Tama menimpali
Setyo hanya diam saja. Tatapannya tampak serius.
”Oya, Dian mana? Tadi kok nggak keliatan?” tanyaku lagi kepada Setyo
Memang Dian dan Ira sesekolah, sekelas bahkan. Mereka adalah sahabat dekat.
”Lagi praktek seni Rif…aku SMS juga nggak dibales…” jawabnya murung
”Oohh….” Sahutku cepat, bingung mau melanjutkan percakapan
Tiba-tiba Setyo mendesis,
”Jujur Rif, perasaanku juga nggak enak…”
Aku tertegun…
Di rumah Angel…
“Aduh… mana nih si Ira sama Dian? Kok lama banget sih?” Angel mengeluh
“Aku SMS nggak dibales, aku telepon nggak diangkat…aneh…!” aku mulai cemas
“Aku juga gitu…pada kemana yah?” sahut Angel dan Luna hampir bersamaan
”Kita susul aja yuk!” ujar Setyo sambil bangkit berdiri.
Aku hanya mengangguk. Kami semua pun naik mobil Rangga dan meluncur ke sekolah Ira dan Dian. Di mobil, tidak ada yang berbicara, semuanya hanya diam…kami semua cemas. Jalanan yang kami lalui sepi dan banyak lahan-lahan tak terurus…mungkin para investor tidak tertarik untuk menanamkan modalnya ditanah yang letaknya tidak strategis ini.
Tidak biasanya Ira tidak dapat dihubungi. Ini benar-benar aneh.
Di jalan, pandanganku tertumbuk pada sebuah motor Vario biru yang diparkir dipinggir jalan dan disekitarnya ada 3 motor, yah, tau sendiri kan motor yang bunyinya berisik itu, yang biasa dipakai oleh anak-anak urakan…
Sekilas tidak ada yang aneh…
”Tyo! Tyo! Bukannya itu motor si Dian yah?” tanyaku kepada Setyo.
”Iya! Bener! Lagi ngapain dia disini?! Ngga! Stop! Brentiin mobilnya!!” raung Setyo
”This is bad…” Tama mendesis
”Kenapa?” tanyaku cepat-cepat
“Berdoa aja semoga aku salah” katanya cepat-cepat
Kami sudah tidak ambil pusing. Karena seharusnya Ira pulang bersama Dian!
Aku turun dari mobil dan berlari kearah Vario itu diikuti oleh Setyo dan yang lainnya. Knalpotnya masih hangat, berarti belum lama diparkir disini.
Aku dan Setyo semakin gugup melihat dihadapan kami adalah lahan kosong yang banyak ditumbuhi semak belukar yang tingginya bisa mencapai 2 meter.
Kami berdua berlari seperti kesetanan menembus lebatnya semak-semak itu hanya naluri dan insting yang kami ikuti. Rangga, Tama, Luna dan Angel susah payah mengikuti kami.
Ketika sampai pada lahan yang cukup terbuka, langkahku dan Setyo terhenti. Kami tercekat, lututku terasa sangat lemas dan tanganku gemetaran.
Dihadapan kami…
Dian sedang dipegangi oleh seorang cowok sementara cowok lainnya tengah menggenjot vaginanya. Hal yang sama juga terjadi pada Ira. Kancing seragam mereka terbuka semua, seragamnya tampak kotor oleh tanah serta sobek disana-sini, celana dalam dan bra mereka tergeletak ditanah tak jauh dari situ. Ada 6 cowok yang tengah memperkosa pacar kami.
”Aaaarrrggghhh….memek lo emang enak banget Ra! Uggghhh…!!” kata seorang cowok yang belakangan kuketahui bernama Fariz sedang memasukkan penisnya kedalam vagina Ira.
”Lepasin aku! Lepasiiiinn!!” Ira menjerit-jerit dan meronta sekuat yang dia bisa. Namun Izal, cowok yang memegangi tangannya lebih kuat.
“Woww…toket lo kenyal benget yaa, gede lagi. Gue jadi ngaceng lagi neh, padahal tadi udah ngecrot dimemeknya Dian. Hahahha” ujar Dinar sambil meremas kedua payudara Ira yang tidak ditutupi apapun.
”Jangan sentuh aku! Jangan sentuuuhh!!!” Ira menjerit histeris
“Hhahahaha…dasar pecun bego! Udah jelas kontol gue lagi didalem memek lo, lo masih bisa bilang jangan sentuh? Hahahaha!” Fariz tergelak hebat
”Naah…gitu…ooohh…woy, yang ini mulutnya enak banget buat dientot!” Gilang, sedang memasukkan penisnya kemulut Dian
”Mmmm…susu lo enak buat diremes-remes ya! Sayangnya lo gamau jadi pacar gue!” payudara Dian diremas dengan kasar sehingga ia melenguh kesakitan sementara penis Anton menghunjam vaginanya
Fendi membuka ritsleting celananya di depan muka Ira,
”Eh, daripada lo teriak-teriak gitu, mending lo emut aja kontol gue! Kan lebih bermanfaat gi—aaaaaarrrggghhh!!!” Fendi roboh kesamping.
Aku memukul tengkuknya sekeras yang aku bisa. One down, five to go!
Setyo sudah menarik Gilang menjauh dari Dian lalu segera terlibat baku hantam.
Bajingan-bajingan itu tampak kaget melihat kami, tapi mereka tidak berhenti mempermainkan tubuh Ira dan Dian
“Bangsat! Eh, lo berempat urusin mereka berdua! Gue mau nglanjutin ngentot nih pecun, ntar kalo gue udahan, terserah mau lo apain dia!” perintah Fariz kepada anak buahnya sambil menunjuk kami kemudian Ira. Ketiga cecunguk sisanya bangkit berdiri dan maju melawan kami.
”Aaaaaaaaahh!!!” Ira menjerit kesakitan ketika penis milik Fariz disodokkan dengan kasar. Ia menangis, air matanya mengalir dengan deras, Ira hanya mampu memberikan perlawanan tak berarti.
Singkat cerita, aku dan Setyo bergelut mati-matian melawan 4 anak SMK (sensor) yang terkenal battle-hardened dan doyan tawur itu.
Disela-sela pertempuran itu, aku sempat melihat Dian yang tergeletak tak sadarkan diri di sebelah kanan Ira, darah dan lendir putih kemerahan mengalir pelan dari vaginanya, hatiku ngilu, rupanya Dian sudah digilir oleh mereka semua hingga vaginanya lecet.
Aku melihat Ira yang tubuhnya masih dijadikan pemuas nafsu oleh keparat Fariz itu.
”Guuh! Memek lo ngejepit kontol gue? Haahaha…pecun! Enak kan dientot sama gue?!”
Tangan kirinya menahan kedua pergelangan tangan Ira dan tangan kanannya meremas-remas payudaranya dengan kasar, aku bisa melihatnya.
”Nggak…nggak…lepasin aku…please…” Ira menangis tersedu-sedu. Diwajahnya tersirat penderitaan yang amat sangat.
“Anjing! Lo merintah gue?! Inget, lo sekarang tu pecun!” Fariz menampar pipi kirinya (Ira) dengan keras.
”Riz, aku nggak nyangka kamu bakal tega kayak gini…!” tangisnya semakin keras, pipinya memerah bekas tamparan Fariz
Fariz melirik kearahku yang sedang sibuk berkelahi, mata kami bertemu
”Hahahaha…salah siapa lo nolak gue dan malah jadian sama cowok cupu kaya dia!”
“Arif jauh lebih baik daripada binatang kayak kamu!” Ira menghinanya. Sungguh berani, meningingat dia sedang dalam situasi seperti ini.
Fariz menoleh kearahnya dan melotot.
”Bangsat! Lo ngatain gue binatang?! Hhahaha…liat aja, binatang juga bisa ngehamilin lo! Nih rasain!! Nih!” Fariz menyodokkan penisnya sekasar mungkin
”Aaaaaaahh!! Sakiitt!!!” Ira menjerit pilu. Hatiku hancur mendengar jeritannya itu. Jeritan yang akan menghantuiku bertahun-tahun kemudian.
“Hahaha…gue hamilin lo, pecun! Biar masa depan lo ancur! Ini akibat buat cewek yang nolak gue! Ngggghhh…!!” Fariz melenguh
Ira terbelalak, berusaha mati-matian mendorong tubuh Fariz menjauh.
”Jangan Riz! Please jangan!! Jangan dilanjutin! Stop!!” ia menjerit-jerit putus asa.
Aku bagai tersetrum listrik menyaksikannya. Aku berusaha menghindari Anton dan Izal yang sedang mengeroyokku dan berusaha berlari kearah Fariz. Baru beberapa langkah, mereka berdua sudah menghadangku lagi.
”Keparat! Minggir kalian anjing!!!!” aku meraih kepala mereka berdua dan membenturkannya satu-sama lain dengan kekuatan yang bahkan aku pun tidak menduganya, namun sekarang bukan waktunya untuk tertegun. Mereka berdua tumbang, terkulai tak bergerak.
Aku melanjutkan berlari kearah Fariz, tanganku terulur untuk menggapainya…
Sedikit lagi….
”Aaaaaaaaaaaaarrrrrrggghhhhhh!!!” Ira dan Fariz berteriak bersamaan…
Satu jeritan berbeda makna, yang satu jerit kenikmatan, yang satu jerit keputus-asaan dan penyesalan. Ira menutupi wajahnya dengan tangan dan menangis histeris, sementara cairan putih kental mengalir pelan dari lubang vaginanya.
Aku terlambat…
Fariz mencabut penisnya dari vagina Ira dan memutar badannya kearah pertempuran
”Nah, sekarang, gue mau ngurusin cecunguk-cecunguk itu du—“
BUAAAAAKKKK!!!!
Aku sukses menjejakkan kakiku dengan keras di muka Fariz. Ia terjungkal kebelakang.
“Bangsat! Lo nggak tau siapa gue hah?!” Fariz bangkit sambil mengelap hidungnya yang berdarah
”Kamu…binatang…!!” aku menggeram. Rasio sudah tidak jalan, dan hanya satu yang ada dipikiranku, aku harus membunuh anjing ini, atau minimal kuhajar sampai koma.
”Hohoho…lo mau ngelawan gue? Anak mami kayak elo mau ngelawan gue?! Nggak usah bikin gue ketawa!!” ia berteriak dan menerjang ke arahku.
Fariz diliputi kemarahan sehingga dia tidak dapat berpikir jernih, yang dia lakukan hanya menerjang dengan membabi buta. Sayangnya, aku sudah memasang kuda-kuda dan tanganku sudah siap.
”Son of a bitch!!” aku meraung sekuat tenaga dan…
BUAAAAAKK!!!
Fariz terpelanting kebelakang ketika kepalan tanganku menghantam hidungnya dengan sangat keras. Fariz terkapar tak sadarkan diri, darah segar mengalir dari pelipisnya yang terbentur batu dan hidungnya yang terkena pukulan serta jejakkan kakiku.
Semudah itukah? Kurasa iya…seseorang akan mengeluarkan kekuatan sesungguhnya ketika ia ingin melindungi sesuatu atau seseorang yang dicintainya.
Aku terengah-engah. Wajahku penuh bilur-bilur dan sepertinya buku-buku jariku lepas. Aku meraba dadaku, syukurlah tidak ada tulang rusuk yang patah. Walaupun begitu, sekujur tubuhku penuh lebam, lecet dan memar.
”Nikmati rasanya mati pelan-pelan….” Seseorang dengan suara berat berbisik disampingku
Aku tersadar, ternyata Setyo sedang memotong urat nadi Fendi dengan sebilah pisau yang (aku nggak tau dapat darimana) tiba-tiba ada ditangannya. Aku menoleh dan menyapukan pandang kearah mereka, Fendi yang terakhir disayat urat nadinya sementara cecunguk lainnya sudah terkapar dengan darah yang mengalir dari tangan.
”Tyo?” aku memandangnya.
“Do you want to try some?” Setyo tersenyum buas sambil mengulurkan pisau itu kepadaku, matanya sungguh liar.
Setyo sudah dikuasai setan dia tidak lagi mampu berpikir rasional…begitu juga aku
Aku menjawab dengan senyum yang tak kalah buas. Ketika pisau itu sudah berada ditanganku, aku menghampiri Fariz yang masih terkapar.
Saat aku sudah mengangkat pisau dan hendak menikamnya, tiba-tiba sebuah suara menghentikanku
”Jangan Rif! Udah cukup…!” Ira berkata lirih, ia tertunduk.
Astaga! Aku begitu dikuasai amarah dan kebencian sehingga aku sampai melupakan Ira.
Aku bergegas lari kearahnya.
”Jangan sentuh aku!!!” Ira menjerit histeris ketika aku mengulurkan tangan hendak menyentuhnya, ia menatapku dengan penuh ketakutan
”Ira, Ira sayang, ini aku…ini Arif Ra” aku berkata lembut dan mengelus pipinya
”Jangan sentuh aku!! Pergi kamu!! PERGI!! AKU NGGAK MAU LIAT MUKAMU LAGI!!!” ia menepis tanganku dan menjerit histeris. Air matanya kembali mengalir.
”Ira! Ira, sayang, ini aku sayang…!” aku meletakkan tanganku dibahunya.
”Aku bilang pergi!!!” Ira memukul-mukul dadaku dengan keras.
Aku bergeming. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, apapun yang terjadi, aku tidak akan pernah meninggalkannya.
Melihatnya, hatiku terasa pedih…Ira telanjang tanpa mengenakan sepotong pakaian pun, kulitnya yang putih bersih belepotan tanah, di punggungnya banyak lecet-lecet akibat bergesekan dengan batu-batu kecil, tubuhnya berkeringat, vaginanya memerah karena digesek terlalu keras dan yang paling menyakitkan adalah tatapan matanya yang begitu putus asa, sedih, dan ketakutan.
”Pergi…tinggalin aku sendiri…” isaknya lirih
”Nggak akan pernah…!” kataku lembut tetapi tegas.
Kulepas seragamku dan kupakaikan padanya. Kurengkuh tubuhnya dan kupeluk untuk menenangkan dirinya.
”PERGI! JANGAN SENTUH AKU!! Jangan sentuh aku….” Suaranya melemah disela tangisnya. Ira mendorong tubuhku menjauh dan meronta-ronta, tetapi aku tidak peduli, tetap kupeluk tubuhnya.
“Ira tenang ya sayang…Arif disini…” aku berusaha menenangkannya.
“Pergi…! Pergi…” suaranya bertambah pelan disela tangisnya
“Nggak…!” aku mempereat pelukanku. Ira menolak dan meronta sekuat yang dia bisa.
“Tinggalin aku!” isaknya lirih.
Ira mulai berhenti meronta hingga akhirnya ia balas memelukku. Ia memelukku dengan sangat erat dan menangis didadaku.
”Ira…Ira…udah kotor Rif…Ira udah kotor!!”
”Ssssstt…udah…udah…yang penting kamu nggak luka parah ya sayang…nggak apa-apa…” aku menangis.
Aku bisa merasakan penderitaannya yang teramat sangat. Pipiku terasa panas dan air tak henti-hentinya mengalir dari kedua mataku.
”Ira kotor Rif…! Ira kotor!! Ira udah nggak layak buat kamu…! Pergi Rif! Tinggalin aku!! ” ia mendorong tubuhku agar menjauh
“Nggak…Arif udah pernah janji sama Ira kan, apapun yang terjadi, Arif nggak akan pernah ninggalin Ira?” aku mencoba tersenyum, namun gagal…aku kembali menangis.
“Nggak…nggak pantes…aku…kotor…” hanya kata-kata itu yang terdengar disela tangisnya.
”No matter what happen, even when the sky is falling down, I promise you that I will never let you go…Ira masih inget kata-kataku kan? Arif nggak akan pernah ninggalin kamu…” aku mencoba menahan tangis yang mulai keluar lagi.
Kami berdua berpelukan hingga Tama, Rangga, Angel dan Luna datang bersama sepasukan polisi dan petugas medis. Sirene meraung-raung di siang hari yang kelam itu.
(setelah urusan tetek bengek selesai)
”Maaf mas…siapa? Arif ya? Iya…mas Arif dan mas Setyo bisa ikut ke kantor?” tanya polisi yang bernama Suprijadi itu.
”Baik pak. Tapi sebelumnya saya mau ngurus pacar saya dulu.” Jawabku tegas
”Tidak perlu mas. Mengenai saudari Ira dan Dian sudah ditangani oleh teman-teman anda. Anda tidak perlu khawatir…” polisi itu tersenyum
”Oke pak…” aku pasrah.
“Baik. Silakan naik ke mobil” katanya sambil membukakan pintu mobil polisi.
Tiba-tiba Ira berjalan terseok-seok kearahku. Ia mengenakan sehelai selimut yang didapatnya dari petugas medis di ambulans.
”Rif…jaga diri baik-baik ya…mungkin ini saat terakhir kita ketemu…” Ira berkata lirih
”Maksud kamu apa sayang?” aku terbelalak
Sejenak Ira terdiam, matanya berkaca-kaca membuat hatiku jadi tidak karuan. Untung tidak ada yang mengetahui kalau diam-diam tanganku gemetaran ketika mendengar Ira berkata seperti itu padaku.
”Aku…Ira nggak bisa lagi bersama-sama Arif…maafin Ira…” ia menunduk, air matanya mengalir lagi.
Aku tertegun. Benar-benar campur aduk perasaanku.
“Apa yang harus kulakukan?! Membiarkannya pergi? Hanya gara-gara masalah seperti ini?! NGGAK!! Kita udah janji, apapun yang terjadi, seburuk apapun, kita nggak akan ninggalin satu sama lain!”
”Kamu mau pergi ninggalin aku?! Kamu tega Ra?!” ujarku setengah menjerit
”Jaga diri baik-baik ya…Ira akan selamanya sayang sama Arif…walaupun kita terpisah jauh…” katanya sambil melangkah pergi ke arah teman-temanku.
Kuraih tangan Ira dan kutarik dirinya pelan kearahku, ia kaget dan berbalik.
“Tunggu Ra! Kenapa Ra? KENAPA?!!” aku berkata frustasi sambil memegangi tangannya yang kini pucat, tangan yang dulunya hangat dan lembut, tangan yang selalu dapat menenangkan aku seberapapun liarnya aku.
”Ira nggak punya pilihan lain…Ira…Ira nggak mau malu-maluin kamu…” ia terisak
”Malu?! Kenapa musti malu?!!” aku berkata tajam
”Ira nggak mau bikin kamu malu punya pacar yang udah ternoda kayak Ira!!” kini Ira berteriak dihadapanku sambil menangis
“Oh ya?! Bukannya aku udah pernah bilang, apapun yang terjadi, apapun—“
”APAPUN KECUALI INI RIF!!” Ira berteriak histeris sambil menutup kedua telinganya
Aku merasa ada jutaan ton beban diletakkan dibahuku. Memang Ira benar, mungkin aku bisa menerima Ira yang sudah ternoda…tapi tidak dengan Ira!! Ia merasa dirinya tidak pantas untukku, dan aku tidak punya hak untuk melarangnya berpikir seperti itu meskipun aku tidak pernah mempermasalahkannya.
“Get real Rif…” Ira berbisik
”Gara-gara masalah ini Ra? HANYA KARENA MASALAH INI?!!” aku berteriak.
Emosi, kesedihan, kepedihan, penyesalan, kemarahan dan putus asa…hanya itu yang dapat aku rasakan sekarang
“TAPI INI KENYATAAN!! AKU UDAH KOTOR RIF!! KOTOR!!” ia balas berteriak
”OH YA?! KAMU PIKIR AKU PACARIN KAMU CUMA GARA-GARA TUBUHMU DOANG HAH?! IYA?!!” kata-kataku tepat mengenai sasaran.
“AKU NGGAK PERNAH BERPIKIR KAMU KAYAK GITU KE AKU!! AKU—“
“AKU BILANG, APAPUN, APAPUN RA! AKU NGGAK PEDULI KAMU SEKOTOR APAPUN! AKU CINTA KAMU SEPENUH HATI RA! KAMU TAU—”
“TAPI AKU PEDULI RIF! AKU PEDULI! AKU NGGAK MAU NGERUSAK NAMA BAIK KAMU, KARENA APA? KARENA AKU JUGA CINTA SAMA KAMU!!” Ira berteriak dengan keras
“Then why…you let me to die here…?” aku berbisik
Wajahnya sedikit melunak namun hanya aku, dari semua orang yang ada disini yang menyadarinya.
”Aku nggak ninggalin kamu buat mati disini Rif. Ini bukan akhir buat kamu. Kamu masih bisa ngelanjutin hidup kamu—“
“TAPI KENYATAANNYA?! KAMU LEBIH MILIH NINGGALIN AKU KAN?!!” aku kembali berteriak.
Suasana kembali panas. Para petugas polisi tidak ada yang berusaha melerai kami. Mereka hanya diam mendengarkan. Petugas medis melongo melihat kami. Teman-teman kami hanya menatap kami sambil berpegangan tangan satu sama lain. Tak sepatah katapun keluar dari mulut mereka semua. Seolah dibumi ini, hanya kami berdua yang bersuara.
Ira kembali terpancing emosi,
“MASA DEPANMU MASIH CERAH RIF!! HIDUP KAMU MASIH PANJANG DAN—“
“DAN APA?! KAMU PIKIR AKU BISA HIDUP TANPA KAMU DISISIKU RA?! KAMU ITU—“
PLAAAKK!!!
Kata-kataku terpotong oleh sebuah tamparan keras dipipi kiri. Ira menamparku. Bukan sakit yang kurasakan, namun kepedihan dan kesedihan.
Matanya yang teduh telah tiada…yang kulihat hanya keputusasaan dan penyesalan.
“Kenapa Ra…? Kenapa…??” aku berkata lirih
“Cukup Rif…aku…harus pergi…aku nggak bisa bersama kamu lagi…” Ira mengucapkannya dengan suara bergetar kemudian ia berbalik dan melangkah menjauhiku.
Semuanya memandang kepadaku dengan iba. Lututku lemas melihat Ira ternyata lebih memilih meninggalkan aku seperti itu.
“Ira!” aku berteriak memanggilnya
Aku terus menatapnya sampai ia telah berada di sisi teman-temanku
”Kalo kayak gini caranya, KAMU UDAH NGEKHIANATIN AKU!!” seruku putus asa
“KAMU DENGER?! KAMU NGELANGGAR JANJIMU SENDIRI!!” hatiku benar-benar tersayat. Mataku terasa panas dan ingin menangis lagi.
Ira kembali menangis, ia menutupi wajahnya, Angel memeluknya dan menuntunnya masuk kedalam mobil. Angel menatapku dan menggeleng lemah. Rangga dan Tama tertunduk.
“Mas, silakan masuk mas! Tolong jangan berlama-lama…” pak Suprijadi menepuk bahuku dengan lembut, ia mengerti kepedihanku sehingga dia tidak terlalu tegas kepadaku.
Sekilas kulihat Fariz dan anjing-anjingnya sedang ditandu masuk kedalam ambulans dengan tangan yang diperban, ambulans yang berbeda dari Dian tentunya. Ngocoks.com
Aku masuk ke mobil patroli dengan berat hati. Setyo duduk disampingku, ia menatap kearah ambulans yang membawa Dian sementara aku memandangi Ira yang duduk dimobil.
Ira melirik kearahku, kemudian memalingkan wajahnya pelan-pelan dan menutup kaca mobil. Mobil Rangga pun melaju pelan, membawa belahan jiwaku pergi meninggalkan aku.
“Kuserahkan semuanya kepada kalian ya teman-teman…”
Setelah melewati proses yang berbelit-belit dan melelahkan yang memakan waktu sampai sekitar 3 bulan, aku dan Setyo dinyatakan tak bersalah dan kami dibebaskan. Walaupun aku tidak tahu bagaimana caranya.
Segera saja kucari info mengenai Ira. Angel berkata bahwa Ira tidak hamil dan baik-baik saja, aku sangat bersyukur mendengarnya. Tetapi dia sangat terguncang sehingga ia memilih meninggalkan Indonesia dan melanjutkan SMA nya di Paris.
Aku tercengang dan hanya bisa tersenyum pahit menghadapi kenyataan ini…
Sesampainya dirumah, aku mengepak barang-barangku. Aku akan menyusulnya ke Paris!
Syukurlah orang tuaku mengijinkan karena ada saudaraku yang tinggal di Paris.
Biarlah, yang dia khianati adalah janjinya, bukan aku. Yang jelas aku tidak akan pernah meninggalkannya dalam kondisi desperate seperti ini!
Di airport…
”Ma, Pa, Arif janji bakal baik-baik aja disana…” kataku pamit kepada orang tuaku
”Oke…jaga diri baik-baik yaa…jangan lupa makan dan blablablabla” kata-kata Ibuku tidak terdengar lagi ketika kulihat 3 pasang cowok dan cewek membawa koper berjalan kearahku. Yup, mereka adalah Rangga, Tama, Setyo, Angel, Luna dan Dian.
”Rif, kelupaan sesuatu? Eh, beberapa orang lebih tepatnya?” tanya Setyo
”Ka…kalian ngapain?!” aku tergagap
”Ikut kamu dong…kita semua nggak akan pernah pisah lagi…hehehe!” Rangga meninju bahuku
“Hahahaha…jangan ngelawak deh kalian…!” aku tertawa.
Aku menatap mereka satu persatu, tidak ada yang tertawa atau bahkan tersenyum.
“Se..serius nih…?” lanjutku
“Yep!” Setyo menyahut
“Setelah apa yang kita alamin bareng-bareng? Tentu kita serius dong! Kita juga kangen Ira…” Angel menyahut diiringi anggukan mantap tiap anak.
“HAH?!!” aku hanya bisa melongo