Setelah selesai menelepon anaknya, Tante Agatha kuajak pindah ke sofa di ruang keluarga. di situlah Tante Agatha berkata padaku, “Masih di luar kota. Mungkin sejam lagi juga tiba di sini.”
“Ngomongnya campur – campur gitu. Ada bahasa Belanda, ada bahasa Perancis terkadang pake bahasa Jerman,” sahutku.
“Iya. Di Belgia kan ada tiga bahasa resmi. Bahasa Belanda, Perancis dan Jerman. Tapi yang tinggal di Brussel pada berbahasa Perancis. Liza lebih terbiasa menggunakan bahasa Belanda, karena ayahnya asli Belanda.”
“Berarti darah Indonesianya cuma duapuluhlima persen dong. Kan ayahnya Belanda, ibunya Indo – Belgia.”
“Iya. Tapi dia lahir dan besar di Jakarta.”
“Ayahnya masih ada?”
“Masih. Kami bercerai pada saat Liza masih balita. Lalu ayahnya kembali ke Nederland.”
“Tapi dia fasih berbahasa Indonesia kan?”
“Tentu aja. Dia kan lahir dan besar di Jakarta.”
“Di Jakarta dia bekerja sebagai sekretaris?”
“Justru itu… dia tamatan akademi sekretaris, tapi bekerja sebagai staf admin biasa. Karena di perusahaan itu sudah ada sekretaris.”
“Di sini juga sudah ada sekretaris Tante. Tapi nanti bisa saja kutukar posisinya, asalkan Liza mampu jadi sekretaris komisaris utama. Sekretaris lama akan kupindahkan menjadi sekretaris dirut.”
“Silakan atur – atur aja deh sama Donny. Tapi sama Liza jangan memperlihatkan sikap mesra sama tante ya,” ucapnya yang disusul dengan ciuman mesranya di bibirku.
“Tapi sebelum dia datang boleh aja kan aku bermesraan dulu sama Tante,” sahutku sambil menyelinapkan tanganku ke balik gaun biru ultramarinenya.
“Emangnya Donny masih belum kenyang?”
“Belum,” sahutku sambil menyelinapkan tanganku ke balik celana dalamnya. Dan mulai menggerayangi memek tembemnya lagi.
“Ayo dong ke kamar lagi. Jangan di sini,” bisik Tante Agatha.
Dan… begitulah… menemukan wanita yang cocok dengan kriteriaku… aku jadi laksana kafilah dahaga di padang pasir. Sekalinya menemukan oase, minum sebanyak mungkin.
Di dalam kamar utama, kubenamkan lagi batang kemaluanku ke dalam liang memek calon ibu mertuaku yang cantik dan sangat seksi itu.
“Jangan lebih dari sejam ya Sayang. Takut Liza keburu datang,” bisik Tante Agatha ketika batang kemaluanku sudah melesak amblas ke dalam liang memek yang sangat lezat itu.
“Iya mertuaku sayaaaang,” sahutku yang kususul dengan ciuman hangat di bibir sensualnya, sambil mulai mengayun batang kemaluanku perlahan – lahan dahulu.
“Ooo… ooo… oooooohhhhh… mulai enak lagi Dooon… ayo entot sepuasmu Sayaaaang… kontolmu luar biasa enaknyaaaaaa… entooot teruuuuusssss… ooooohhhhh… kalau sudah nikah sama Gayatri, Donny harus tetap rajin ngentot tante yaaaa…”
“Tentu aja Tante… memek legit begini takkan kulupakan seumur hidupku…” kataku sambil menghentikan entotanku dulu, “Tante pindah aja ke Indonesia, ke kota ini.”
“Kenapa?”
“Biar aku bisa ngentot Tante sesering mungkin.”
“Terus tante mau tinggal di mana? Di rumah Sin bareng – bareng Gayatri?”
“Nanti kusediakan rumah, khusus buat Tante.”
“Kalau dikasih bisnis, tante mau. Biar ada alasan sama papanya Gayatri.”
“Boleh. Nanti kusediakan lahan bisnis buat tante di kota ini.”
“Don… sebenarnya tante juga ingin dekat selalu denganmu. Karena baru kamulah yang terasa sangat memuaskan di ranjang. Tante bahkan ingin sekali dihamili olehmu Sayang.”
“Aku juga merasakan hal yang sama. Tante memenuhi semua kriteriaku. Ya cantik, ya seksi, ya legit memeknya… setengah baya pula.”
“Usia setengah baya termasuk kriteriamu?”
“Betul Tante. Kalau belum ada janji dengan Gayatri, pasti aku akan mengejar Tante ke mana pun, sampai dapat.”
“Donny Sayang… sebenarnya tante juga sudah mulai mencintaimu. Kamu malah melebihi kriteria tante. Lebih dalam segalanya. Ya tampan, ya masih sangat muda, memuaskan di ranjang, baik hati pula.”
Lalu Tante Agatha mencium bibirku dilanjutkan dengan saling lumat. Terkadang lidahku disedot ke dalam mulutnya lalu digeluti oleh lidahnya. Aku pun melakukan hal yang sama ketika lidahnya terjulur, kusedot dan kumainkan di dalam mulutku. Sementara batang kemaluanku pun mulai diayun lagi… maju mundur lagi di dalam liang memek Tante Agatha yang luar biasa enaknya ini.
“Ayo Don… entot tante sepuasmu… tapi ingat… jangan sampai Liza keburu datang nanti… iyaaaa… entot yang kencang juga boleh… yang penting jangan terlalu lama… iyaaaa… iyaaaa… ooooh Dooonny… kontolmu memang luar biasa enaknya Doooon… entoottttt… entooootttttt… fuck me harder please…
Aku memang tidak mau berlama – lama, karena aku juga takut kalau Liza keburu datang. Tapi ketika aku ingin ngecrot secepatnya, malah sulit ngecrot.
Setelah hampir sejam aku menyetubuhi Tante Agatha, barulah aku bisa ngecrot di dalam liang memek Tante Agatha untuk yang ketiga kalinya, setelah Tante Agatha orgasme dua kali lagi.
Kemudian kami bergegas menuju kamar mandi untuk bersih – bersih. Dan kami kenakan lagi pakaian kami. Kemudian menyisir rambut di depan cermin meja rias.
Setelah merapikan pakaian dan rambut, kami turun ke lantai satu.
Hanya beberapa menit setelah tiba di ruang kerjaku, seorang petugas security mengantarkan seorang gadis bule berambut pirang. “Itu dia Liza,” kata Tante Agatha sambil bangkit dari kursi tamu di samping ruang kerjaku.
Aku terkaget – kaget dibuatnya. Kalau tadi persetubuhan kami terlambat lima menit saja, pastilah Liza harus menungguku di lantai satu. Menungguku yang sedang mengentot ibunya…!
“Ini pacar Gayatri, Liz,” kata Tante Agatha sambil menunjuk ke arahku, “Dia ini anak tunggal Mr. Margono yang pernah kuceritakan dahulu. Sekarang Mr. Margono sudah meninggal dan dia yang melanjutkan semua perusahaannya.”
Liza menjabat tanganku sambil tersenyum manis. Manis sekali senyum cewek bule berambut pirang itu…!
“Tepat seperti dugaanku, Liza ini tujuhpuluih lima persen bule ya Tante,” kataku setelah berjabatan tangan dengan anak sulung Tante Agatha.”
“Iya… malah gak kelihatan Indonesianya. Dia seperti seratus persen bule kan?” tanya sahut Tante Agatha.
Aku menatap wajah Liza yang masih berdiri sopan di depanku. Memang Liza tampak 100% bule… cantik pula, tak kalah cantik dari ibunya. “Iya Tante,” sahutku sambil tersenyum. Liza tersipu, lalu duduk di samping ibunya.
“Mbak Wien… tolong mintakan minuman ke kitchen,” kataku kepada Mbak Wien, sekretarisku yang usianya kira – kira sebaya dengan Tante Agatha itu.
“Siap Big Boss, “Mbak Wien berdiri lalu melangkah ke luar.
Kemudian aku berunding dengan Tante Agatha dan Liza Elizabeth. Tentang job yang akan diberikan pada Liza. Sebagai sekretaris komisaris utama. Sementara Mbak Mbak Wien akan kutugaskan sebagai sekretaris dirut. Tentu saja dengan gaji yang jauh lebih besar daripada gaji Liza di Jakarta.
Liza tampak bersemangat pada awalnya. “Tapi, di mana aku tinggal nanti Mam?” tanya Liza kepada ibunya, “Kalau di rumah Tante Sin aku gak mau.”
Tante Agatha menoleh padaku, “Liza pernah bentrok sama Sin. Makanya dia tidak mau tinggal di rumah Sin. Bagaimana tuh Don?” tanyanya.
Gamp[ang soal itu sih. Di belakang ada rumah kosong yang siap untuk ditinggali. Jarak dari rumah itu ke sini hanya beberapa puluh meter saja. Jadi kalau mau ngantor gampang. Tinggal melangkah beberapa menit saja. Tak usah pakai kendaraan lagi. Mau dilihat rumahnya?”
Liza berdiri sambil berkata, “Siap Big Boss.”
“Hahahaaa… kalau tidak di depan karyawan lain, gak usah manggil boss,” kataku, “Panggil namaku juga boleh. Kita kan sebaya. Sama – sama duapuluhsatu taun kan?”
“Nggak enak dong manggil nama sama Big Boss,” sahut Liza.
“Aku sih bukan orang yang gila hormat,” kataku sambil berdiri, “Ayo kita lihat rumahnya Liz. Tante juga ikut aja, gak jauh kok dari sini rumahnya.”
Memang rumah itu tidak jauh dari kantorku. Sebenarnya ada lima buah rumah yang kubangun di tanah kosong peninggalan almarhum Papa. Tujuanku, untuk karyawan yang menduduki jabatan penting di perusahaanku nanti. Supaya gampang memanggilnya kalau ada masalah perusahaan yang emergency.
Kelima rumah itu bukan rumah mewah. Tapi bentuknya cantik semua, bergaya minimalis, masing – masing terdiri dari satu kamar tidur yang bersatu dengan kamar mandi, satu ruang tamu, satu ruang makan, satu kamar berukuran kecil untuk pembokat, satu dapur dan kamar mandi di luar kamar tidur (untuk tamu dan pembokat yang mau mandi atau buang air).
Untuk Liza, sengaja kupilih yang plus. Yang ada tambahan kamar tidurnya, jadi dua kamar tidur dan satu kamar untuk pembokat.
Tante Agatha dan anak sulungnya tampak senang melihat rumah yang kusediakan untuk tempat tinggal Liza itu.
“Tapi nanti gak usah ngasihtau Sin dan Gayatri ya Don,” kata Tante Agatha setengah berbisik padaku, “Soalnya ya itu.. Sin pernah bentrok sama Liza. Entah urusan apa yang bikin mereka bentrok. Tapi kelihatannya Liza marah sekali sama Sin.”
“Iya Tante. Aku takkan ngomong kalau Liza sudah kurekrut ke perusahaanku,” sahutku. Lalu aku menoleh ke arah Liza, “Bagaimana? Senang dengan rumah ini?”
“Seneng banget,” sahut Liza.
“Sekarang mau langsung ditempati?” tanyaku.
“Jangan dulu. Nanti malam harus kerja lembur. Sekalian mau pamitan sama temen – temen.”
“Wah… sekarang sudah sore. Emangnya sempet nyampe Jakarta sebelum jam overtime?”
“Iya ya… pasti terlambat sih. Tapi biarin aja, kan mau resign,” sahut Liza.
“Kalau gitu kuanterin aja ke Jakarta ya,” kataku.
“Haaa…?! Big Boss mau nganterin aku ke Jakarta? Kalau berkenan sih ya tentu aja aku mau… mau banget,” wajah cantik Liza tampak ceria.
“Iya, “aku mengangguk, “Boleh ya Tante kuanterin Liza ke Jakarta?” aku menoleh ke arah Tante Agatha.
“Boleh. Tapi tante gak bisa ikut. Mau kembali ke rumah Sin. Takut mereka cemas karena aku terlalu lama meninggalkan rumah Sin.”
“Gak usah ngomong ketemuan sama aku ya Mam,” kata Liza kepada ibunya.
“Iya iya, “Tante Agatha mengangguk – angguk sambil tersenyum…
Beberapa saat kemudian Liza Elizabeth sudah duduk di sampingku, dalam mobil yang kusetir sendiri. Setelah berkali – kali aku meminta agar Liza jangan memanggilku Big Boss jika sedang berduaan begini, kecuali kalau di depan karyawan – karyawanku, akhirnya mau juga dia menyebut namaku langsung.
Bahkan aku merasa bahwa Liza itu punya perasaan yang “khusus” padaku, tapi belum berani mengucapkannya, mungkin.
“Di Jakarta tinggal di rumah siapa?” tanyaku pada suatu saat.
“Di rumah kos – kosan,” sahut Liza.
“Kamu kan bakal resign dari tempat kerjamu. Lalu kenapa sekarang ngeyel mau kembali ke Jakarta?”
“Aku punya jutang ke kantin. Harus dibayar dulu. Aku juga harus pamitan dulu kepada teman – temanku. Pakaianku juga kan harus dibawa. Masa mau ditinggal begitu aja di rumah kos? Lagian bulan ini aku belum bayar sewaan kamarnya. Harus dibayar dulu kan? Masa mau meninggalkan tanggungjawab.”
“Betul juga sih.”
Hening sesaat.
Lalu terdengar suara Liza lagi,” Kata Mama. Mr. Margono itu punya pesawat jet pribadi segala. Berarti sekarang punya Donny dong pesawatnya.”
“Iya. Ada dua buah pesawatnya. Tapi dua – duanya sudah kujual,” sahutku.
“Lho kenapa?”
“Punya pesawat terbang itu suatu pemborosan. Biaya parkir di hanggar bandara mahal sekali. Gaji piulot dan pramugari juga harus dipikirkan kan?”
“Tapi kan keren Don. Ke mana – mana bisa pakai pesawat jet pribadi.”
“Justru aku tak ingin kelihatan keren. Aku ingin menerapkan pola hidup sederhana. Makanya mobil ini pun kubeli dari showroom mobil second. Bukan mobil baru. Makanya jangan manggil Big Boss kalau sedang berduaan begini. Aku tak mau kelihatan sebagai pewaris harta Mr. Margono.”
Tiba – tiba Liza menempelkan pipinya di bahuku sambil berkata, “Lantas… aku harus manggil Honey atau Sayang atau apa?”
Hmmm… ini adalah indikator awal yang cukup jelas. Bahwa Liza itu punya perasaan khusus padaku.
“Terserah kamu mau manggil apa. Asal jangan manggil Big Boss aja. Kecuali kalau di kantor nanti.”
“Mmm… pacaran sama Gayatri sudah berapa lama?”
“Sudah enam bulanan.”
“Donny serius sama dia? Maksudku punya niat menikah dengan Gayatri?”
“Iya.”
“Padahal harusnya kakak Gayatri yang Donny jadikan calon istri.”
“Maksudmu… seharusnya aku jadi pacarmu, gitu?”
“Iya. Aku kan kakaknya. Kalau Gayatri duluan menikah, berarti dia melangkahiku.”
“Bicara lebih jelas lagi dong. Liza maunya gimana?”
“Yah… cowok kan bisa punya pacar lebih dari seorang. Aku mau kok dijadikan pacar Donny juga.”
“Karena apa? Karena aku banyak duit?”
“Bukan iiih… aku bukan cewek matre.”
“Lalu apa sebabnya Liza bisa punya pikiran begitu?”
“Aku mau jujur ya Don. Tapi jangan diketawain.”
“Silakan bicara sejujurnya. Aku paling suka cewek yang jujur.”
“Begitu melihat Donny tadi, aku langsung jatuh hati Don.”
“Ohya?”
“Iya. Donny tampan sekali sih. Lagian Donny punya daya pesona yang begitu kuat. Sehingga cewek mana pun bisa jatuh hati sama Donny.”
“Kamu juga sangat cantik Liz.”
“Jadi? Aku diterima nih ceritanya?”
“Iya. Tapi aku tak mau meninggalkan Gayatri.”
“Aku juga tidak ingin hubungan Donny dengan Gayatri putus. By the way, apa kelebihan Gayatri sehingga Donny bisa jatuh cinta padanya?”
“Gayatri itu cantik dan penyabar. Perilakunya selalu santun. Dan… dia masih seratus persen perawan.”
“Aku juga masih perawan Don. Mau dibuktikan juga silakan. Asal jangan seperti makan tebu aja… habis manis sepah dibuang.”
“Aku tidak sejahat dan sekejam itu Liz,” kataku sambil membelokkan mobilku ke rest area yang tampaknya sepi sekali itu. Setelah mengisi pertamax, kuparkir mobilku di depan sebuah rumah makan minang.
“Makan dulu yok. Bisa makan nasi padang kan?”
“Bisa banget. Aku malah suka sekali makan nasi padang. Ada pedasnya, tapi tidak gila – gilaan pedasnya.”
Di dalam rumah makan padang itu obrolan kami dilanjutkan. Sambil menyantap masakan padang yang sudah lengkap dihidangkan di atas meja. Seperti biasa ciri khas rumah makan padang, semua teman nasi yang ada dihidangkan di atas meja.
“Kenapa Liza musuhan sama Tante Sin?” tanyaku sambil mulai makan.
“Bukan musuhan. Dahulu aku pernah mendamprat dia habis – habisan,” sahut Liza.
“Dia godain pacarku. Tapi kejadiannya udah lama, waktu aku masih di SMA. Pacaran cinta monyet lah.”
Aku terhenyak mendengar pengakuan Liza itu. Karena kalau kejadian itu pada saat Liza masih duduk di bangku SMA, berarti Papa masih ada. Dan pada waktu Papa masih ada, Tante Sin bisa mewnggoda pacar Liza? Apakah seperti ketika Tante Sin menggodaku?
Tapi sudahlah. Itu bukan urusanku. Lagian kejadiannya juga sudah lama.
“Sejak saat itu aku gak mau lagi mengunjungi rumah Tante Sin,” kata Liza.
“Sampai sekarang masih dendam sama Tante Sin?”
“Nggak sih. Udah gak marah. Cuma gak enak aja bertamu ke rumah dia, padahal dahulu pernah kudamprat abis – abisan.”
“Makanya kalau mau marah sama saudara, pikirin dulu mateng – mateng. Kalau masih ditahan, ngomong baek – baek aja,” kataku.
“Siap Honey,” ucap Liza sambil tersenyum manis. Oh… senyumnya itu… membuat pikiranku melayang ke mana – mana.
Jujur, aku tergoda. Mudah sekali aku tergoda oleh wajah cantik dan senyum manis cewek bule itu. Tapi aku pun harus berpikir sejauh mungkin. Apakah Gayatri takkan merasa disakiti kalau aku mengadakan hubungan dengan kakak seibu beda ayahnya itu?
Dan biasanya, kalau aku sudah tertarik pada seorang cewek, langsung kuperjuangkan untuk menyetubuhinya. Tapi aku baru habis -habisan dengan Tante Agatha di private room kantorku. Sampai tiga ronde pula.
Masih punya powerkah aku sekarang? Jangan – jangan penisku tak bisa ereksi nanti.
Tapi oooii maaaak… diam – diam si johni sudah celingukan di balik celanaku. Karena aku membayangkan seperti apa tubuh Liza kalau sudah ditelanjangi nanti.
Dari luar pun aku bisa menilai seperti apa kira – kira tubuh Liza yang bule total itu. Tubuhnya yang tinggi dan agak montok, dengan dada membusung dan bokong membusung pula… pasti jauh beda dengan Gayatri. Aku yakin toket Liza agak gedean. Pinggangnya pun tidak kecil seperti pinggang Gayatri.
Dan kalau tidak salah, seandainya aku berpolygami… dua orang cewek kakak beradik, bisa dinikahi dua – duanya.
Hmmm… selalu saja aku berpikir melesat jauh, selalu saja aku punya jalan tol untuk meraih tubuh yang seksi seperti Liza Elizabeth itu.
“Kok jadi bengong? Inget sama Gayatri ya?” tanya Liza sambil menatapku dengan sorot sayu. Maaak… kesayuan mata Liza itu seolah mengajak tidur bersamaku…!
Kujawab, “Nggak, aku sedang mikir… Gayatri itu adik seibu beda ayah kan?”
“Iya.”
“Terus dengan Gandhi…”
“Kalau Gandhi kan saudara tiri. Karena beda ayah beda ibu.”
“Begitu ya.”
“Iya. Karena sebelum menikah dengan Mama, Papa Gunadi itu sudah punya anak, ya Gandhi itu. Mama pun sudah punya anak, ya aku ini.”
“Iya… iya… “aku mengangguk – angguk. Lalu memanggil pelayan untuk menghitung makanan yang sudah kami santap.
Setelah membayar makanan yang kami santap, kami pun masuk ke dalam mobil kembali. Hari pun sudah mulai gelap. Sehingga aku hanya menghidupkan mesin mobilku, tanpa menjalankannya.
“Kaca mobilnya gelap sekali ya,” ucap Liza setelah memasangkan seat belt.
“Iya. Kita mau ngapain juga takkan terlihat dari luar,” sahutku sambil menunggu reaksi Liza.
Ternyata Liza memang bereaksi. Seat beltnya dilepaskan kembali, kemudian merangkul leherku dan memagut bibirku ke dalam ciuman hangatnya. Agak lama dia melengketkan bibirnya di bibirku. Aku pun membalasnya dengan lumatan lahap.
“Oooohhhh… maaf ya… aku jadi lancang…” ucap Liza setelah ciumannya terlepas, “Soalnya udah gemes, dari tadi pengen nyium bibir Donny…”
“Bagaimana kalau kita chek in aja ke hotel di Jakarta nanti? Soal kerja lembur, telepon aja atasanmu. Bilang aja terus terang mau resign gitu.”
“Terus di hotel mau ngapain? Mau buktiin keperawananku?”
“Iya,” sahutku tegar,” Ucapanmu tadi serius kan?”
“Ucapan yang mana?”
“Yang bilang siap untuk dibuktikan keperawananmu.”
“Serius. Asalkan Donny jangan membuatku habis manis sepah dibuang.”
“Kalau kamu masih perawan… aku akan serius menjalin hubungan denganmu.”
“Terus Gayatri mau diapain?”
“Kelak kamu dan Gayatri akan kujadikan istriku dua – duanya. Tapi jangan terburu – buru. Karena aku ingin kamu dan Gayatri menerima kenyataan itu secara damai – damai aja.”
“Jadi untuk sementara hubungan kita harus dirahasiakan dulu kan?”
“Iya. Pokoknya kamu akan kujadikan sekretaris pribadiku. Ke mana pun aku pergi, kamu harus ikut.”
“Siap Big Boss. Tapi… kalau aku hamil nanti gimana?”
“Soal itu sih jangan takut. Aku membawa pil kontrasepsi, agar kamu jangan hamil dulu.”
“Sip deh kalau gitu sih. Oke… aku sekarang juga mau nelepon atasanku ya.”
“Silakan,” sahutku. Lalu turun dulu dari mobil, agar Liza bicara leluasa dengan atasannya. Sekalian menyalakan rokok dan menikmati asapnya di depan mobilku.
Beberapa menit kemudian terdengar suara Liza, “Sudah Don… !”
“Gimana? Bisa selesai lewat handphone aja?” tanyaku.
“Iya. Aku sekalian nitip bayarin utangku di kantin kantor. Lagian untuk bulan ini aku belum terima gaji. Masa gak bisa diselesaikan oleh gajiku nanti.”
Sambil menjalankan mobilku kembali, kusahut, “Soal itu sih bukan masalah gede. Kalau perlu nanti transfer aja duit ke kantin.”
“Hihihiii… ibu kantinku gak ngerti transfer – transferan. Tabungan aja gak punya. Gimana mau main transfer sama dia?”
“Kan bisa nitip transfer sama teman yang bisa dipercaya.”
“Iya. Nanti kutransfer ke sahabatku aja. Terus… kita mau langsung cek in nih?”
“Iya. Are you ready for fucking?”
“Yes Sir! I’m ready Sir!!“ sahut Liza dengan nada seorang bawahan kepada atasannya. Membuatku tersenyum. Sambil membayangkan segala yang bakal terjadi nanti.
Lalu Liza menyandarkan kepalanya di bahuku sambil berkata, “Tapi aku sa, ma sekali belum punya pengalaman dalam soal seks. Jadi tolong ajarin nanti ya Don.“
“Alaaa… soal itu sih gampang. Nanti kamu tinggal celentang, kontolku dimasukkan ke dalam memekmu, lalu kuentot samp[ai ngecrot crot crottttt…“
“Hihihihiii. Donny kok mendadak vulgar gitu ngomongnya… !” cetus Liza sambil mencubit lengan kiriku.
“Para pakar seks bilang, sewaktu akan atau sedang berhubungan seks, ngomonglah sejorok mungkin. Jangan terlalu formal. Karena omongan jorok atau cabul itu justru akan menambah gairah.”
“O begitu ya. Mmm… aku juga mau ngomong jorok ah… mmm… kalau kontol Donny dimasukkan ke dalam liang memekku, sakit nggak Don?”
“Nanti memekmu akan kujilatin dulu sampai benar – benar basah, untuk mempermudah masuknya kontolku ke dalam memekmu.”
“Memekku mau dijilatin dulu? Seperti dalam film bokep ya?”
“Iya. Kamu sering nonton bokep kan?”
“Sering sih nggak. Takut terangsang sih. Cuma pernah empat atau lima kali nonton dari hape temen.”
Sejam kemudian, mobilku sudah keluar dari pintu tol ke arah Senayan.
“Sebenarnya aku punya dua rumah di Jakarta. Tapi pasti harus bersih – bersih dulu, karena rumah yang sudah lama ditinggalkan. Makanya mending cek in di hotel aja.”
“Iya, terserah kamu aja, Cinta,” sahut Liza yang disusul dengan kecupan hangatnya di pipi kiriku, emwuaaaah…!
“Kamu serius cinta sama aku?” tanyaku.
“Ya seriuslah. Kalau gak cinta, masa aku mau dibawa ke hotel segala. Apalagi sudah jelas rencananya… mau buktiin virgin gaknya memekku kan?”
Aku ketawa kecil mendengar jawaban yang blak – blakan itu.
Beberapa saat kemudian, mobilku sudah memasuki pelataran parkir sebuah hotel bintang lima plus satu diamond, sementara jam tanganku sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
Setelah cek in, aku dan Liza melangkah ke arah pintu lift, sambil membawa kartu electronic key pintu kamar di lantai 16.
Begitu berada di dalam kamar yang telah dibooking itu, Liza melingkarkan lengannya di leherku. Menatapku dengan senyum manisnya dan berkata perlahan, “Sekujur tubuh dan jiwaku akan menjadi milikmu. Aku hanya mohon, jangan sia – siakan cintaku nanti ya Honey…”
Aku cuma mengangguk sambil tersenyum. Liza pun memagut bibirku ke dalam ciuman mesranya. “Tapi aku mau mandi dulu Don. Boleh?”
“Sama,” sahutku, “Aku juga harus mandi dulu biar bersih dan segar badannya. Mandi bareng aja yuk. Biar jadi kenangan indah kelak.”
Liza menatapku dengan sorot ragu. “Mmmm… ayo deh… kan waktu membuktikan virginitasku harus telanjang juga. Hihihiii… ini pertama kalinya aku mau mandi bareng cowok.”
Setibanya di kamar mandi, Liza menanggalkan gaun orangenya, lalu gaun itu digantungkan di kapstok kamar mandi. Mulailah tampak betapa indahnya tubuh Liza itu. Tinggi langsing dan agak montok. Setelah ia melepaskan behanya, tampaklah sepasang toket indah berukuran sedang, tidak semontok dugaan semulaku.
Aku memenangkan diriku sendiri dengan melepaskan celana jeans dan baju kaus casualku. Lalu kulepaskan juga celana dalamku.
Dan ketika kami berhadapan, kami saling pandang. Saling meengamati dari ujung kaki sampai kepala. Lalu kami sama – sama tertunduk. Seperti tidak tahu apa yang harus kami lakukan.
Terdengar suara Liza, “Jantungku berdegup kencang Don…”
“Kenapa? Takut?” tanyaku sambil memeluknya dari belakang. Dengan tangan kiri membekap toket kirinya, sementara tangan kananku membekap memek tembemnya.
“Don ..” ucapnya.
“Hmm?”
“Apakah Donny mencitaiku?”
“Kalau tidak cinta, ngapain aku mau memecahkan keperawananmu segala?”
“Aku memang turunan bule dari Papa dan Indo Belgia dari Mama. Tapi jiwaku tidak seperti cewek – cewek bule di negaranya, yang mengobral memek kepada cowok yang hanya ingin iseng semata. Karena itu sampai saat ini aku bisa mempertahankan kesucianku. Karena aku hanya mau memberikan kesucianku pada cowok yang benar – benar kucintai dan jelas masa depannya.
“Iya. Tenang aja. Aku akan membujuk Gayatri pelan – pelan. Agar dia rela dipoligami. Bahkan mungkin saja dia senang kalau kubilang bahwa aku akan mengawinimu juga Liz,” kataku, sementgara jemari tangan kananku sedang mencari – cari letak clitoris Liza. Dan setelah ketemu, kuelus – elus kelentit cewek bule berambut brunette itu (yang tadinya kusangka pirang, setelah dilihat dari dekat rambutnya tidak pirang benar, cuma brunette/kecoklatan).
Terasa tubuh Liza bergetar setelah jemariku mengelus – elus kelentitnya ini.
“Dududuuuuh Dooon… mandi dulu yooook… nanti kalau udah mandi sih mau ngapain juga silakan, “Liza meronta, lalu menghampiri kran shower. Dan memutarnya ke titik merah. Air hangat pun terpancar dari shower di atas kepala kami.
Kemudian kami agak menjauh dari siraman air shower, untuk menyabuni tubuh kami. Tepatnya saling menyabuni. Karena aku dengan senang hati menyabuni sekujur tubuh bule yang terasa masih fresh di sana – sini ini. Sementara Liza pun menyabuni tubuhku dengan telaten. Bahkan ketika tangannya akan menyabuni penisku yang sudah ngaceng berat ini, “Ini kan yang mau dimasukin ke dalam memekku?
Aku pun menyabuni memek Liza sambil berkata, “Iya… nanti kontolku bakal dimasukin ke sini…”
“Hihihihiii… kebayaaang…”
“Kebayang apa?”
“Pokoknya kebayang kayak di film bokep. Tapi aku kan belum pernah ngerasain. Gak tau bakal gimana jadinya nanti.”
Sambil berdiri di bawah pancaran air hangat shower, untuk membilas busa sabun di tubuh kami, aku berkata, “Pokoknya Liza takkan kusakiti. Bahkan sebaliknya… akan kuajak terbang ke langit imajinasi seks nanti…”
“Iya… aku sudah ingin merasakannya,” sahut Liza sambil meraih salah satu handuk putih yang disediakan oleh hotel five star plus diamond one itu.
Kemudian Liza menghanduki sekujur tubuhnya. Begitu pula aku, menghanduki tubuhku sampai kering. Kemudian membelitkan handuk itu di badanku.
Liza pun melakukan hal yang sama. Setelah mengeringkan badan dan rambutnya, handuk putih itu dibelitkan di tubuhnya, dari toket sampai pahanya. Kemudian dia memegang lenganku, keluar dari kamar mandi menuju bedroom.
Yang menyenangkan pada Liza ini aalah sifat periangnya itu. Dia murah senyum dan tawa. Sikapnya selalu open minded. Sehingga aku menilai dia bakal membawa keceriaan selalu kelak.
Ketika sudah berada di atas bed, dengan ketawa kecil Liza melepaskan belitan handukku. Kemudian melemparkan handuk itu ke atas sofa. Aku pun membalasnya, dengan menarik handuk yang membelit di tubuhnya, kemudian melemparkannya ke atas sofa juga.
Dalam keadaan sudah telanjang, Liza bergerak cepat, menjauhiku sambil ketawa cekikikan. Tapi setelah tertangkap tangannya, ia langsung memelukku, menciumi pipi dan bibirku. Lalu berkata setengah berbisik, “Jujur, baru sekali ini aku jatuh cinta sedemikian cepatnya… dan langsung mendalam…”
Kusahut, “Aku suka kamu… suka senyum manismu… tawa riangmu dan… memek tembem ini… hihihiiii…”
Akhirnya Liza menelentang dengan kedua tangan direntangkan lebar – lebar sambil berkata lirih, “Silakan pangeranku… sekujur tubuhku sudah menjadi milikmu…”
Aku pun tak mau pasif lagi, karena aku yakin bahwa penisku bakal mampu (setelah tadi siang main tiga ronde dengan mamanya Liza). Lalu aku merayap ke atas perutnya, untuk mencelucupi puting payudaranya yang begitu indah di mataku.
Memang tubuh Liza proporsional. Tubuhnya tidak bisa dibilang kurus, tidak pula chubby. Toketnya tidak kecil, tapi tidak juga gede. Bokongnya pun tidak kecil, tapi tidak juga semok. Segalanya berukuran sedang, berukuran ideal.
Dan ketika aku sedang mencelucupi puting payudara kirinya, tangan kiriku pun beraksi untuk meremas toket kanannya. Suhu badan Liza pun terasa meningkat, jadi hangat. Namun hal ini tidak berlangsung lama. Karena tujuan utamaku ingin menjilati kemaluannya sampai basah kuyup, agar memudahkan penisku untuk melakukan penetrasi.
Karena itu aku mulai melorot, untuk menjilati pusar perutnya. Itu pun tidak lama kulakukan. Lalu aku melorot lagi sampai wajahku berhadapan dengan kemaluan Liza yang sangat indah ini. Indah karena tembem dan rapat. Tidak berjengger seperti cewek bule pada umumnya.
Liza memang putih bule kulitnya. Wajahnya pun wajah cewek bule. Tapi memeknya… memek bangsaku. Tidak ada jengger yang nongol ke luar seperti memek cewek – cewek bule…!
Setelah merenggangkan sepasang paha putih mulusnya, aku pun mengangakan kemaluan Liza dengan kedua tanganku, sehingga bagian dalamnya yang berwarna pink itu pun terbuka lebar… mengkilap dan tampak licin. Di bagian yang berwarna pink itulah ujung lidahku mulai menari – nari… menyapu – nyapu dengan lahapnya.
“Hihihiiii… geli… geli tapi… enaaak… hihihiii… “Liza menggeliat – geliat sambil meremas – remas kain seprai yang bercorak itu.
Sambil menjilati memek Liza, diam – diam aku pun mengamati bentuk bagian dalam vagina kakak seibu Gayatri itu. Sehingga aku yakin bahwa Liza masih perawan.
Lalu kujilati lagi memek yang masih sangat rapat itu sampai basah kuyup. Clitorisnya pun tak kulewatkan, kujilati dan kusedot – sedot sebisaku. Sehingga terasa memek Liza sudah cukup basah.
Maka tanpa buang – buang waktu lagi kujauhkan mulutku dari kemaluan Liza. Kemudian kuarahkan agar pahanya diusahakan agar tetap merenggang sejauh mungkin. Liza pun mengikuti arahanku.
Kemudian kuletakkan moncong penisku di mulut vaginanya. Dengan cermat sekali, agar jangan salah arah.
Lalu kudorong penis ngacengku sekuat tenaga. Sulit masuknya. Kudorong lagi… belum berhasil… kudorong lagi… belum membenam juga.
Kukumpulkan tenagaku untuk mendorong penisku lebih kuat lagi.
Dengan bersusah payah, akhirnya kepala penisku berhasil membenam ke dalam celah kewanitaan Liza.
Dengan sekuat tenaga kudorong lagi prenisku… membenam sampai lehernya… aku pun menarik nafas panjang dulu… kemudian kudorong lagi penisku sekuatnya… ughhh… sekuatnya… ughhh… sekuatnya… sampai masuk separohnya…!
Aku pun merapatkan dadaku ke dada Liza, yang disambut dengan pelukan Liza di leherku, “Sudah masuk Bang?”
“Sudah. Kok manggil Bang?”
“Kan usia Donny dua bulan lebih tua dariku. Jadi akju mau manggil Bang aja ya. Kalau nyebut nama langsung takut kebiasaan. Nanti kalau Bang Donny jadi suamiku gimana? Buat orang barat sih gak apa – apa manggil nama sama suami. Tapi aku kan WNI. Aku gak mau manggil nama langsung pada suami.”
“Owh… ya udah. Biar kompak juga sama Gayatri yang manggil bang padaku.”
Kemudian aku mulai mengayun penisku perlahan – lahan, di dalam liang kemaluan yang luar biasa sempitnya ini.
Namun beberapa menit kemudian, liang sanggama Liza mulai beradaptasi dengan ukuran batang kemaluanku. Sehingga aku mulai lancar mengentotnya.
“Ooooo… oooooohhhh Baaaang… iiii… inii enak sekali… oooooh rasanya sampai seperti melayang – layang gini Baaaang… enak Baaaaang…”
“Uhhh… Gak sakit?” tanyaku.
“Tadi pas baru dimasukin memang agak sakit sedikit. Tapi sekarang tinggal enaknya doang Bang… lanjutin Baaaang… ternyata dientot kontol Bang Donny ini enak sekali Baaaang…”
“Memekmu juga enak sekali Sayang.”
“Ooooh… hatiku bahagia sekali dipanggil Sayang sama Abang… karena aku benar p- benar mencintai Abang… oooo… oooooohhhhh… enak Baaang… entoot teruuus Baaaang… entooot terus… iyaaaa… iyaaaaa… iyaaaaaa…”
Ayunan penisku memang mulai lancar. Sehingga aku bisa mengentot Liza dalam kecepatan normal.
Liza pun merintih dan merintih terus. Rintihan yang terdengar erotis di telingaku.
Diam – diam aku memperhatikan penisku yang sedang maju mundur di dalam liang memek Liza. Ternyata ada garis – garis merah darah di penisku. Berarti Liza memang masih perawan sebelum kupenetrasi tadi.
Padahal sebenarnya baik masih perawan atau pun tidak, Liza tetap akan kunikahi kelak. Karena aku membutuhkan tangan kanan di perusahaanku nanti. Kalau sudah menjadi istriku, Liza pasti bisa all out bekerja di perusahaanku nanti.
Liza merintih – rintih terus pada saat aku semakin intensif mengentotnya. “Bang Dooon… oooooh… ini makin lama makin enak Baaaang… ooooh… makin enak bang… makin enaaaak… entot terus Bang… entooootttt… entoooooootttttt…”
Ketika aku mulai menggencarkan entotanku, Liza pun semakin menggeliat – geliat. Terlebih setelah tangan dan mulutku mulai beraksi. Dengan mengemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toketnya yang terasa ngepas sekali rasanya… ngepas enaknya buat diremas.
Lalu mulutku berpindah sasaran. Menjilati lehernya yang sudah mulai keringatan, disertai dengan gigitan – gigitan kecil. Rintihan – rintihan histerinya pun semakin menjadi – jadi. “Baaaang… ooooohhhhh… Baaaaaang… makin lama makin enak Baaaang… aku cinta padamu Bang… sangat cintaaaaa…
Bahkan beberapa saat berikutnya Liza mulai berkelojotan sambil berucap terengah, “Adudududuuuuuhhh… Baaaang… Baaaang… ini… memekku serasa mau ambrol Baaaang… tapi enak sekali… Baaaang…”
Melihat gelagatnya aku pun mengerti apa yang akan terjadi. Aku menjawabnya dengan, “Itu pertanda mau orgasme Sayang… ayoooo… luapkan saja orgasmenya… ayooo sayaaang…”
Kugencarkan entotanku secepat mungkin sampai akhirnya kubenamkan penisku sedalam mungkin, tanpa menggerakkannya lagi, karena Liza sedang mengejang tegang. Liza melotot seperti melihat hantu, lalu terpejam erat – erat dengan mulut ternganga.
Aku merasakan sesuatu yang indah ini. Bahwa ketika nafas Liza tertahan dengan sekujur tubuh mengejang, liang memeknya terasa berkedut – kedut kencang. sumber Ngocoks.com
Lalu Liza melepaskan nafasnya yang tertahan 2 – 3 detik… dan terkulai lunglai, disusul dengan lenguhannya, “Oooh… indah sekali Baaang… terima kasih yaaaa…”
Aku sadar bahwa persetubuhan ini merupakan persetubuhan yang keempat hari ini. Karena tadi siang aku habis menyetubuhi Tante Agatha sampai 3 ronde. Maka wajar kalau durasi entotanku bakal lama sekali.
Karena itu. setelah Liza tampak berdarah lagi, aku pun mencabut batang kemaluanku. Kemudian kulihat genangan darah sebesar coin di kain seprai tepat di bawah kemaluan Liza.
Itu darah perawan Liza, sebagai saksi bahwa sebelum kuterobos oleh batang kemaluanku tadi, Liza masih suci.
Maka dengan segala hormat di dalam batinku, bibir Liza kuciumi bertubi – tubi, disusul dengan ucapan, “Tadi kamu masih perawan, sebelum keperawananmu itu diberikan padaku. Mulai detik ini aku benar – benar mencintaimu Sayang.”
Liza menatapku dengan sorot mata yang berbinar – binar, “Terima kasih Bang. Berarti aku tidak bertepuk sebelah tangan…”
“Aku hanya minta agar Liza kompak dengan Gayatri nanti ya. Karena aku akan mencintai kalian berdua sebagai calon istriku.”
“Iya Bang. Aku dengan Gayatri tak pernah bentrok kok. Malah waktu dia masih kecil, akulah yang suka mengasuhnya.”
“Tapi aku belum ejakulasi, Sayang… kita lanjutkan masih kuat?”
“Boleh.”
“Mau coba ganti posisi?”
“Terserah Abang. Aku kan belum berpengalaman.”
Lalu kuajak melanjutkan persetubuhan ini dalam posisi doggy. Liza menurut saja. Lalu kuperagakan bagaimana caranya merangkak dan menungging, sementara aku akan mengentotnya sambil berlutut di hadapan bokongnya yang ditunggingkan itu.
Liza menurut saja. Dan setelah ia menungging di atas kasur, aku pun berlutut di depan sepasang buah pantatnya yang elok sekali bentuknya. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak kecil. Bentuk yang ideal – proporsional.
Lalu kubenamkan batang kemaluanku ke dalam liang memek yang nyempil di antara kedua pangkal pahanya itu. Sekarang tidak terlalu sulit melakukan penetrasi, karena Liza baru habis orgasme, sehingga liang memeknya masih basah dan licin.
Kemudian… sambil memegang kedua buah pantat Liza, aku pun mulai mengentotnya lagi.
Dalam posisi doggy pun Liza tampak enjoy dengan entotanku. Terlebih setelah aku mengentotnya sambil menepuk – nepuk buah pantatnya yang indah itu.
Lalu terdengar suara Liza yang sedang menungging sambil memegang bantal yang berada di bawah dagunya, “Baaang… ooooooh… dalam posisi ini pun enaaaak… memang lain – lain enaknya dengan posisi yang tadi… tepukin pantatku terus Baaang… agak keras juga gak apa – apa… !”
Kulakukan apa yang diinginkan oleh Liza itu. Kutepuk – tepuk bokongnya dengan tepukan lebih keras, sementara penisku semakin gencar mengentot liang memeknya yang sempit tapi licin dan hangat ini. Plakkkk… plokkkk… plakkk… ploookkkk… plakkkk… plokkkk…
Sementara pergesekan antara batang kemaluanku dengan dinding liang memek Liza yang sudah basah kuyup itu pun menimbulkan bunyi unik… crekkkk… srtttt… crekkkk… sretttt… creekkkk… srtttt…
Sebenarnya aku masih bisa bertahan lebih lama lagi. Tapi aku merasa kasihan kepada Liza. Maklum dia baru kali ini merasakan disetubuhi. Karena itu aku menunggu detik – detik klimaks Liza untuk kedua kalinya, lalu aku akan berusaha untuk berejakulasi berbarengan dengan orgasmenya Liza.
Memang lebih mudah untuk mempercepat durasi entotanku daripada memperlambatnya. Ketika Liza terasa sudah klepek – klepek lagi, aku pun berada di detik – detik yang krusial, karena aku sengaja memikirkan yang indah – indah saja.
Akhirnya, ketika Liza menggelepardan ambruk, aku berusaha agar batang kemaluanku tidak terlepas dari memeknya.
Pada saat itulah kami mencapai puncak nikmat secara berbvarengan.
Croooottttt… croooootttt… crot… crotttt… croooottttttt… crot… croooootttttttt…!
Lalu kami sama – sama terkapar di pantai kepuasan.
Liza bahkan tampak seprfti sedang tidur paska orgasmenya itu. Biarlah, aku takkan mengganggunya. Aku turun dari bed lalu bergegas menuju kamar mandi. Untuk kencing dan membasuh alat vitalku yang berlepotan dengan lendir.
Ketika aku kembali lagi ke bedroom, kulihat Liza masih terbaring dengan mata terpejam. Aku tersenyum sendiri melihat cewek bule itu tampak tepar.
Bersambung…