Dengan perasaan terharu kukecup bibir Liza disusul dengan bisikan, “Telan dulu pil kontrasepsinya nih.”
“Iya Cinta…” sahutnya dengan suara lirih. Lalu mengeluarkan sebutir pil kontrasepsi dari blisternya. Dan menelannya, didorong oleh air mineral yang kuberikan.
“Gimana perasaanmu sekarang?” tanyaku sambil mengusap – usap pipinya yang terasa masih keringatan.
“Makin mencintai Abang,” sahutnya sambil bangkit, “Aku mau mandi dulu ah. Badanku lengket – lengket gini sama keringat.”
“Silakan. Aku sih udah barusan.”
“Abang barusan mandi?”
“Nggak. Cuma dilap pakai handuk basah aja. Mandi mulu, takut luntur…”
“Hihihiii… Abang bisa aja. Pakai luntur segala. Apanya yang bisa luntur? Tampannya?”
“Iya… hahaahaa…”
Lalu Liza turun dari bed dan melangkah gontai ke arah kamar mandi. Sementara aku mengeluarkan celana pendek dan baju kaus serba hitam dari dalam tas pakaianku. Lalu mengenakannya.
Keesokan paginya, kuantar Liza ke rumah kosnya. Untuk mengambil pakaian dan barang – barangnya. Sambil pamitan kepada ibu kos, sekaligus menyelesaikan uang kos yang belum dibayar. Tentu saja dengan bantuan dariku.
Liza sudah bertekad bulat untuk meninggalkan Jakarta dan pindah ke kotaku. Untuk bekerja di perusahaanku, sambil mempersiapkan diri untuk menjadi calon pendamping hidupku.
Setibanya di kotaku, Liza tidak langsung dibawa ke rumah yang disediakan untuknya di belakang kantor perusahaanku itu, melainkan kubawa ke rumah peninggalan almarhum Papa itu.
Rumah itu senantiasa dijaga oleh satpam dan dilayani oleh pembantu. Sehingga aku tenang meninggalkan Liza sendirian di rumah itu.
Sementara itu aku harus memutasikan dulu Mbak Wien, sekretarisku.
Aku tidak mau memutasikan Mbak Wien dengan meninggalkan perasaan sakit di hatinya. Tapi aku harus menempatkan Liza sebagai sekretaris pribadiku.
Karena itu aku harus berusaha “menjinakkan” wanita 38 tahun yang berbadan tinggi montok dan berkulit kuning langsat itu.
Dan aku tahu cara yang paling jitu untuk menjinakkan janda setengah baya yang manis dan murah senyum itu.
Maka keesokan harinya lagi, aku memanggil Mbak Wien ke lantai dua. Ini adalah pertama kalinya Mbak Wien menginjak lantai dua, karena dia tahu kalau lantai dua itu adalah lantai pribadiku.
Di lantai dua, Mbak Wien kuterima di ruang tamu. Seperti biasa, sikapnya selalu hormat padaku. Dia hanya menunduk di sofa, sementara aku duduk di depannya.
“Begini,” kataku membuka pembicaraan, “Dua hari lagi akan kedudukan direktur utama akan dijabat oleh Ibu Kaila. Tentu saja dia harus didampingi oleh sekretaris yang sudah menguasai seluk beluk perusahaan ini. Dan satu – satunya orang yang cocok untuk mendampingi beliau, adalah Mbak. Jadi Mbak Wien mulai besok akan menjadi sekretaris dirut.
“Siap, bersedia Big Boss.”
“Tapi sudah pasti menjadi sekretaris dirut akan lebih sibuk nanti Mbak.”
“Siap. Saya memang suka pada kesibukan.”
“Nah… inilah yang aku suka pada Mbak. Senantiasa easy going. Tidak pernah ada complain masalah tugas,” kataku sambil berdiri, lalu duduk di samping kanan Mbak Wien. “Setelah bertugas menjadi sekretaris dirut, secara diam – diam Mbak juga harus bisa jadi pengawas. Kalau ada kebijaksanaan yang kurang tepat, Mbak harus melapor padaku.
“Siap.”
Tiba – tiba kupegang tangan kanannya, “Sebelum Mbak bertugas sebagai sekretaris dirut… aku ingin berterus terang pada Mbak… bahwa aku ini pengagum wanita setengah baya seperti Mbak ini.”
“Ma… masa sih?” Mbak Wien mengerling sambil tersenyum malu – malu.
“Serius Mbak. Sejak Mbak Wien menjadi sekretarisku, diam – diam aku sering mengamati Mbak. Pokoknya aku suka sama Mbak,” ucapku sambil mencium tangannya yang sedang kupegang ini.
“Ra… rasanya saya seperti sedang bermimpi. Masa Big Boss yang tampan dan masih sangat muda ini bisa suka sama saya yang jauh lebih tua.”
“Kan udah kuakui tadi, bahw aku ini pengagum wanita setengah baya. Jadi… sebelum Mbak menjadi sekretaris dirut, aku ingin melakukan sesuatu sebagai pegangan bahwa Mbak akan menjadi orang kepercayaanku nanti. Mbak tau kan kenapa aku ingin bicara di lantai dua yang merupakan lantai pribadiku?”
“Samar – samar Big Boss. Takut salah prediksi.”
“Di situ ada kamar Mbak,” kataku sambil menunjuk ke arah pintu kamar utama, “kita akan melakukannya di sana. Deal?”
“Hihihiii… saya jadi merinding Boss.”
“Kenapa merinding? Ngeri?”
“Bukan ngeri. Saya… saya kan sudah tiga tahun hidup menjanda. Dan sekarang… aaah… saya mau mengikuti apa kata Big Boss aja deh.”
“Nah begitu dong,” kataku perlahan, disusul dengan pagutan di bibir Mbak Wien.
Ternyata Mbak Wien menyambut dengan melumat bibirku, dengan suhu badan yang mulai menghangat.
Memang aku selalu mudah mendapatkan wanita. Apalagi Mbak Wien ini anak buahku langsung. Dan dengan kepala tertunduk ia mengikuti langkahku, masuk ke dalam kamar utama yang tiga hari lalu kujadikan tempat untuk menggumuli calon ibu mertuaku.
Dan kini Mbak Wien pasrah saja ketika aku melepaskan blazer putihnya.
“Maaf Big Boss… ini serius? Saya serasa kurang percaya pada pendengaran saya bahwa saya diinginkan oleh Big Boss yang masih sangat muda begini.”
“Pokoknya Mbak ini manis dan seksi di mataku. Sudah lama aku menginginkan ini. Tapi baru sekaranglah saat yang kurasa paling tepat,” sahutku sambil memperhatikan Mbak Wien yang sedang mencopoti kancing – kancing blouse abu – abu mudanya.
Aku pun melepaskan jas dan dasiku. Kemudian melepaskan kemeja tangan panjangku dan menggantungkan semuanya di kapstok. Kemudian sambil duduk di pinggiran bed kulepaskan sepatu dan kaus kakiku. Disusul dengan pelepasan celana panjangku.
Sementara Mbak Wien sudah melepaskan blouse dan spanrok putihnya. Sehingga tinggal beha dan celana dalam serba putih yang masih melekat di tubuh montok berkulit kuning langsat itu.
Aku sendiri tinggal mengenakan celana dalam. Dan langsung meraih Mbak Wien ke atas bed. Mbak Wien pun menelungkup, seolah memintaku agar melepaskan kancing behanya sekaligus memamerkan bokongnya yang… gede banget…!
Maka kutepuk – tepuk bokong gede itu… plakkk… plakkk… plakkk… sambil berkata, “Ini antara lain yang aku suka sama Mbak.”
“Hihihihiii… ternyata Big Boss suka bokong gede ya…” ucapnya sambil membiarkanku melepaskan kancing kait behanya.
Kemudian Mbak Wien menelentang sambil melepaskan behanya. Sepasang toket berukuran sedang terpampang di depan mataku. Toket yang kupegang dan terasa masih lumayan kencang padat. Belum kempes. Belum kendor.
“Toketnya seperti belum pernah menyusui,” ucapku sambil meremas toket Mbak Wien.
“Saya memang belum punya anak, Boss.”
“Ohya?! Asyik dong… memeknya pasti masih mrepet rapet.”
“Hihihi… gak tau. Nanti kan Boss akan merasakannya sendiri.”
“Sebentar… mau kuukur dulu ya,” kataku sambil menarik celana dalam Mbak Wien sampai terlepas dari sepasang kakinya. Kemudian kulepaskan celana dalamku sendiri. Dan kupukul – pukulkan penis ngacengku ke memek Mbak Wien yang bersih dari jembut.
Yang mengagumkan lagi pada diri Mbak Wien itu, adalah pinggangnya yang kecil ramping, meski bokongnya gede sekali.
Dan.. Mbak Wien terperanjat setelah melihat penisku. Lalu spontan bangkit dan memegang penisku sambil berkata, ““Big Boss…! Wow… punya Boss segini gede dan panjangnya…!”
“Kenapa? Takut sama kontol gede?”
“Takut ketagihan, hihihiiii…” sahut Mbak Wien disusul dengan ciuman dan jilatannya di leher dan kepala penisku.
“Nanti setelah Mbak jadi sekretarfis dirut, hubungan kita malah akan semakin dekat. Kalau aku lagi kepengen, pasti Mbak akan diuajak ke kamar ini. Kalau Mbak yang merasa kangen, tinggal kirim sms atau WA aja. Pasti kuladeni.”
“Pasti saya bakal sering kangen. Hmmm… mimpi aja belum pernah. Gak taunya bisa sedekat ini sama Big Boss.”
“Kalau sedang berduaan gini sih panggil nama aja, gak usah boss – bossan.”
“Gak berani ah manggil nama langsung. Kan biar bagaimana Big Boss orang nomor satu di perusahaan ini.”
“Tapi hubungan kita jadi kaku kalau manggil Big Boss dalam suasana seperti sekarang ini.”
“Manggil Mas aja ya. Biar sama yang jauh lebih muda manggil Mas juga, sebagai tanda menghormati.”
“Bolehlah panggil Mas, meski aku bukan orang Jawa.”
Mbak Wien tidak menyahut lagi, karena mulai memasukkan penis ngacengku ke dalam mulutnya. Lalu terasa ia mulai mempermainkan lidah di dalam mulutnya. Membuatku menahan – nahan nafas juga. Karena ternyata Mbak Wien pandai sekali mengoral penisku.
Namun pada dasarnya aku ini senang menjilati memek, tapi kurang suka penisku dioral pasangan seksualku. Karena kalau kelamaan dioral seperti ini, bisa cepat ejakulasi pada saat mengentot liang memeknya nanti.
Tampaknya Mbak Wien juga sama. Ketika aku menarik penisku dari dalam mulutnya, lalu mendekatkan mulutku ke memeknya, Mbak Wien mencegahku, “Jangan dijilatin Mas. Memek saya udah basah. Keburu horny sih. Nanti malah jadi gak bisa merasakan montoknya penis Mas.”
“Oke deh,” sahutku sambil berlutut dan meletakkan moncong penisku di mulut memek tembem wanita 38 tahunan itu.
Mbak Wien pun merenggangkan kedua belah pahanya sambil memegangi leher penisku. Lalu mencolek – colekkannya ke mulut vaginanya.
Kemudian ia memberi isyarat, pertanda arah moncong penisku sudah tepat.
Maka kudesakkan tongkat kejantananku sekuat tenaga. Dan… sedikit demi sedikit membenam ke dalam liang memek Mbak Wien.
Mbak Wien pun memejamkan matanya sambil menlontarkan suara, “Ooooo… oooo… oooooohhhh… masuk Massss… terasa sekali gedenya punya Mas Ini… seret sekali… luar biasa Masss…”
“Mbak sekarang mau ngapain?” tanyaku bercanda, setelah batang kemaluanku masuk lebih dari separohnya.
“Mau dientot sama punya Mas.”
“Punyaku? Telunjukku?”
“Sama titit Mas… hihihiii…”
“Titit sih buat anak kecil. Kalau punyaku apa namanya dalam bahasa keseharian?”
“Sama… ko… kontol Mas… hihihihihiiii…”
“Kalau punya Mbak di dalam bahasa daerah Mbak sendiri disebut apa?”
“Tempik Mas.”
“Jadi apa jelasnya yang mau kita lakukan ini?”
“Tempik saya mau dientot sama kontol Mas Donny… hihihihiii… maaf saya jadi kasar ngomongnya. “ Pada saat itulah aku mulai mengayun batang kemaluanku, bermaju mundur di dalam liang memek Mbak Wien.
Wanita separoh baya itu pun mulai mendesah dan mengerang perahan, “Maaaas… ooooh… Maaassss… oooooh… kontol Mas ini… oooooh… terasa sekali gesekannya Maaaas… eeee… enak sekali Maaaassss…”
Ternyata Mbak Wien tak kalah atraktif jika dibandingkan dengan Tante Agatha sekali pun. Begitu batang kemaluanku mengentot liang memeknya, bokong gede Mbvak Wien mulai bergoyang memutar – mutar, meliuk -liuk dan menghempas – hempas. Sehingga batang kemaluanku laksana kapal laut yang diombang – ambingkan ombak di tengah samudera.
Tapi kalau diibaratkan kapal laut, batang kemaluanku laksana kapal perang, bukan sekadar kapal pencari ikan. Maka ombak sedahsyat apa pun kuhadapi dengan teguh.
Alat kejantananku selalu siap untuk mendobrak ayunan bokong gede Mbak Wien.
Akibatnya malah rintihan Mbak Wien semakin menggila, “Maaaasss… oooo… oooooohhhhh… Maaaasss… selama menjanda saya baru sekali ini mendapatkan sentuhan pria… ooooh… ini luar biasa nikmatnya Maaaaasss… luar biasaaaa… silakan entot sekehendak hati Mas… entot yang kencang juga silakan…
Aku mulai mengerti bahwa Mbak Wien ini senang dientot dengan pola hardcore. Karena itu kuayun batang kemaluanku sekeras mungkin, sehingga moncong penisku terus – terusan menyundul dasar liang memek Mbak Wien.
Sementara itu mulutku pun mulai beraksi. Ketika tangan kiriku sedang asyik meremas – remas toket kanannya, mulutku bersarang di leher Mbak Wien, untuk menjilatinya disertai dengan gigitan – gigitan kecil.
“Duuuh… ini lebih enak lagi Massss… “rintih Mbak Win ketika jilatanku di lehernya mulai kugencarkan, “Cupangin sebanyak mungkin juga silakan Masss… cupangin dong Maaasss…”
“Nan.. nanti ada bekasnya… gakpapa?” tanyaku tanpa menghentikan entotan hardcoreku.
“Nggak apa – apa Maaaas… saya kan bawa syal… nanti leher saya bisa ditutupi… cupangin Massss… sebanyak mungkin… biar saya pulang membawa kenang – kenangan indah di leher sayaaaa…”
Mungkin Mbak Wien menganggap peristiwa yang sedang terjadi ini sebagai sesuatu yang luar biasa. Bahwa seorang big boss yang masih sangat muda “berkenan” menyetubuhinya. Sehingga dia ingin ditbuatkan kenang – kenangan segala di lehernya.
Tanpa buang – buang waktu, aku lakukan itu. Kusedot – sedot leher jenjang Mbak Wien dengan sedotan yang sangat kuat. Sehingga dalam tempo singkat saja leher wanita separoh baya itu bertotol – totol merah kehitaman, semerah bekas kerokan.
Mbak Wien terpejam – pejam sambil tersenyum. Seperti sedang menikmati cupangan – cupanganku di lehernya.
Dan ketika bibirku menggamit bibir sensualnya, Mbak Wien menyhambut dengan lumatgan dan isapannya. Terutama ketika aku menjulurkan lidah, dia menyedotnya ke dalam mulutnya. Kemudian menggelutkan lidahnya dengan lidahku. Maka begitu juga ketika ia menjulurkan lidahnya, cepat kusedot ke dalam mulutku.
Diam – diam aku pun mulai meghayati persetubuhan yang tengah terjadi ini. Tak kuduga sebelumnya, ternyata Mbak Wien ini luar biasa enaknya. Enak memeknya, enak goyangan bokong gedenya dan enak segalanya. Berarti satu nama lagi harus kucatat di dalam hatiku. Satu nama yang harus kupertahankan hubungankju dengannya.
Maka semakin gencar juga aku mengentot memek Mbak Wien, sementara tangan berpindah – pindah sasaran terus. Bahkan pada suatu saat tangan kiriku asyik meremas – remas toket kanannya lagi, sementara mulutku nyungsep di ketiak Mbak Wien yang harum deodorant impor. Kujilati ketiak yang sudah basah oleh keringat itu, sementara tangan kiriku makin asyik meremas – remas buah dada kirinya.
“Adududduuuuh… Massss… Massss… sa… saya mau lepas nih Massss… “Mbak Wien menatapku dengan sorot panik.
“Mau orgasme? Ayo lepasin aja sampai tuntas,” sahutku yang kulanjutkan dengan mencium dan melumat bibir Mbak Wien, sambil menggencarkan entotanku… makin cepat dan makin cepat… sampai akhirnya kutancapkan batang kemaluanku di dalam liang memek Mbak Wien yang sedang menggeliat dan berkedut – kedut erotis.
Mbak Wien masih kejang… kemudian melepaskan nafasnya yang tertahan beberapa detik, “Aaaaaah… luar biasa nikmatnya… terima kasih Mas… indah sekali …”
Aku belum apa – apa. Tapi kubiarkan penisku “direndam” di dalam liang memek yang terasa sudah basah dan hangat ini.
“Mas belum ejakulasi?” tanya Mbak Wien lirih.
“Belum,” sahutku sambil memperhatikan sepasang pipi Mbak Wien yang mengkilap oleh keringatnya. Memang benar kata orang. Wanita yang habis orgasme suka terbit aura kecantikannya.
“Mau ganti posisi Mas?” tanya Mbak Wien sambil mengendurkan dekapannya di pinggangku.
“Boleh,” sahutku, “ngentot perempuan berbokong gede seperti Mbak sih enaknya main di posisi doggy.”
“Hihihiii… Mas belum nikah tapi udah banyak pengalaman ya, “cetus Mbak Wien sambil tersenyum.
“Iya… tapi aku hanya mau menyetubuhi perempuan baik – baik. Kalau perempuan gak bener sih takut bekal HIV di badannya,” sahutku sambil mencabut penisku dari liang memek Mbak Wien.
Dengan sigap Mbak Wien merangkak dan menunggingkan bokong gedenya.
Wow… bentuk bokong sekretarisku itu menggiurkan sekali…!
Ambil mengusap – usap memek tembemnya yang muncul di antara kedua pangkal pahanya. Lalu… dengan mudahnya aku bisa membenamkan batang kemaluanku… blessss… langsung masuk semuanya.
Sambil berpegangan pada kedua buah pantat Mbak Wien, aku pun mulai mengayun penisku di dalam liang memek yang lumayan becek itu. Sambil menampar – nampar bokong gede Mbak Wien… plak… plak… plakkk… plakkk… plakkkkkk…!
Spontan terdengar suara Mbak Wien, “Iiii… iyaa Mas… dikemplangin gitu pantatnya… enak Masss… kemplangin aja sekuatnya Masss…”
Kuikuti saja apa yang diinginkan oleh Mbak Wien. Karena hubungan sex itu harus mengandung “take and give”. Maka kutampar – tampar bokong kanan dan kiri yang gede sekali itu… sehingga dalam tempo singkat saja buah pantat Mbak Wien mulai merah. Makin lama makin merah.
Tapi Mbak Wien tidak mengeluh kesakitan. Bahkan suara rintihan erotisnya mulai riuh lagi, “Aaaaaa… aaaaahhhhh… aaaaaa… aaaaaah… entot terus Massss… sambil kemplangin pantat saya Massss… ooooohhhh… Maaaassss… enak sekali Massss… entot teruys Masss… entooot… kemplangin teruuuussss…
Aku pun sangat menikmati persetubuhan dalam posisi doggy ini. Sehingga tubuhku mulai bermandikan keringat. Karena selain mengentot, aku pun terus – terusan mengemplangi buah pantat Mbak Wien. Dan itu membutuhkan tenaga. Bahkan kedua telapak tanganku mulai terasa panas, sehingga akhirnya aku hanya berpegangan di pinggang ramping Mbak Wien, sambil menggencarkan entotanku.
Tapi semua itu tidak berlangsung lama. Karena Mbak Wien ambruk telungkup tiba – tiba… sehingga batang kemaluanku terlepas dari liang memeknya. Rupanya dia orgasme lagi…!
Mbak Wien pun mengakuinya. Bahwa ia orgasme lagi. Kemudian meminta untuk melanjutkannya dalam posisi missionary lagi.
Maka dalam posisi MOT (Man On Top), kubenamkan lagi penisku dengan mudahnya ke dalam liang memek Mbak Wien yang semakin becek ini. Lalu kuentot lagi wanita separuh baya yang manis dan seksi itu.
Lebih dari setengah jam aku mengentot Mbak Wien. Maka keringatku pun semakin membanjir. Bercampur aduk dengan keringat janda tanpa anak itu.
Sampai pada suatu saat aku mulai merasa sudah berada di detik – detik krusial. Maka kubisiki telinga Mbak Wien, “Aku sudah mau ngecrot Mbak… lepasin di mana?”
Spontan Mbak Wien menyahut, “Di dalam tempik saya aja Mas. Saya juga mau lepas lagi… barengin aja yuuuk…”
“Iyaaaaa…” ucapku sambil mempercepat gerakan entotanku. Maju mundur maju mundur dan maju mundur dengan cepatnya.
Sampai pada suatu saat, ketika Mbak Wien sedang terkejang – kejang sambil mendekap pinggangku erat – erat, aku pun sedang menancapkan batang kemaluanku sedalam mungkin, sambil memeluk leher Mbak Wien yang sudah basah oleh keringat itu.
Lalu… liang memek Mbak Wien menggeliat dan berkedut – kedut lagi, bertepatan dengan saat penisku mengejut – ngejut sambil menembak – nembakkan lendir maniku.
Croooottttt… croooottttt… crotttcrootttt… crooooootttt… crooootttt… crooootttttt…!
Kami sama – sama terkapar di puncak kenikmatan dan kepuasan. Lalu sama – sama terkulai lunglai. Dengan batang kemaluan masih menancap di dalam liang memek Mbak Wien yang semakin becek.
Tiba – tiba handphoneku yang kuletakkan di atas meja kecil berdenting. Pertanda ada WA masuk. Kucabut batang kemaluanku dari liang memek Mbak Wien dan kubuka WA yang masuk itu.
Ternyata dari Tante Agatha yang isinya :- Donny Sayang, tante sudah mencairkan semua cek itu di Bangkok. Papanya Gayatri tampak gembira sekali, karena bisa terhindar dari kebangkrutan perusahaannya. Dia juga mengijinkan tante untuk tinggal dan berbisnis di Indonesia. Tunggu aja tanggal mainnya ya Sayaaaang. Cinta dan kasih sayangku untukmu seorang.
-Oke. Kutunggu-
Balasku singkat. Karena takut kalau chat dariku terpantau oleh ayahnya Gayatri.
Chat itu membuatku tercenung sesaat. Memikirkan bagaimana cara mengaturnya kalau Tante Agatha telah berada di kotaku ini. Membuatku teringat pada Cici Mei Hwa, broker properti yang sudah janjian mau menemuiku hari ini.
Setelah meletakkan kembali hapeku di atas meja kecil, aku melangkah ke kamar mandi, untuk kencing dan bersih – bersih. Kemudian keluar lagi dari kamar mandi, memperhatikan Mbak Wien yang masih menelungkup di atas bed.
Kutepuk pantat gede sekretarisku itu sambil berkata, “Tepar nih yeee…”
Mbak Wien bergerak menelentang. Lalu duduk bersila.
“Mas… kalau saya hamil nanti gimana?”
“Ya rawat aja kehamilannya sebaik – baiknya. Aku yang akan membiayainya. Emang kenapa?”
“Saya bercerai dengan suami, saking inginnya punya anak. Karena saya sudah memeriksakan diri ke dokter. Dan dokter bilang, saya ini normal. Tapi setelah perkawinan kami bertahun – tahun, tidak juga bisa hamil. Makanya kami bercerai secara baik – baik. Mantan suami saya malah sudah menikah lagi dua tahun yang lalu.
Aku jadi ingat Teh Nenden, kakak kandungku yang tinggi badannya 180 centimeter itu (5 centimeter lebih tinggi dariku). Ya… aku masih ingat benar bahwa setelah aku “rajin” menyetubuhinya, Teh Nenden memberitahuku lewat hape. Bahwa dia mulai hamil. Bahkan berbulan – bulan kemudian Teh Nenden meneleponku lagi, “Anakmu sudah lahir Don.
Aku menghela nafas. Karena sampai saat ini aku belum pernah ketemu lagi dengan Teh Nenden. Tapi biarlah, semoga dia dan anak dariku itu sehat – sehat saja. Karena aku merasa berada di dalam kedudukan yang serba salah. Datang ke rumahnya tidak berani, meski aku sudah rindu juga kepada Teh Nenden.
“Kok malah jadi ngelamun Mas?” tanya Mbak Wien membuyarkan terawanganku. Lalu ia memegang batang kemaluanku sambil bertanya, “Mas masih mau menyetubuhi saya?”
“Bukannya gak mau. Tapi sebentar lagi bakal datang orang properti. Jadi sebaiknya Mbak bebenah dulu di ruang kerja sekretaris dirut. Soalnya mungkin saja calon dirut itu besok juga bakal datang.”
“Siap Mas. Ruang kerja saya berdampingan dengan ruang kerja dirut di lantai empat kan?”
“Iya. Mandi dulu gih. Biar seger badannya. Mandi di situ aja,” kataku sambil menunjuk ke pintu kamar mandi, “Handuk – handuk baru ada di situ. Ambil saja satu buat Mbak. Ohya… tunggu sebentar…”
Aku melangkah menuju meja tulkis di sudut kamar utama ini. Kuambil segepok uang dari laci meja tulisku. Lalu kumasukkan ke dalam amplop besar. Dan kuberikan amplop itu kepada Mbak Wien sambil berkata, “Ini buat beli baju baru ya Mbak.”
“Hihihihiii… terimakasih Mas Boss.”
“Kita harus tetap menjalin hubungan rahasia, ya Mbak. Untuk itu, Mbak akan mendapat uang belanja dariku, di luar gaji dari perusahaan.”
“Siap Mas…”
“Sebenarnya aku sudah punya calon istri. Karena itu aku takkan bisa menikahi Mbak.”
“Gak apa – apa Mas. Dijadikan simpanan Mas juga saya mau. Bahkan mengandung anak Mas juga saya mau.”
“Iya… sekarang mandi dulu gih. Biar tambah cantik dan segar.”
“Iya, iya…” sahut Mbak Wien sambil memasukkan amplop berisi uang itu ke dalam tas kecilnya. Kemudian ia masuk ke dalam kamar mandi.
Seorang wanita setengah baya, mengenakan sweater merah dan celana legging hitam memasuki ruang kerjaku, diantar oleh petugas security. Dia adalah Mei Hwa yang biasa kupanggil Cici saja, mengingat usianya yang sudah 40 tahunan, jauh lebih tua dariku. Tapi kalau dilihat secara seksama sekali pun orang yang belum kenal dia takkan menyangka kalau usianya sudah 40 tahun.
Cici Mei Hwa aktif sebagai broker properti yang independen (berdiri sendiri, tidak berlindung pada corporation mana pun). Dia baru saja berhasil menjual rumah yang super besar padaku, di atas tanah seluas 5000 meter persegi (setengah hektar). Rumah tiga lantai yang dikelilingi oleh taman dan lapangan rumput untuk bermain anak – anak itu, tadinya kubeli untuk Gayatri dan Mamanya (Tante Agatha).
Waktu selesai melakukan transaksi rumah super besar itulah Mei Hwa menawarkan sesuatu padaku. Menyarankan agar aku menjadi seorang developer. Sedangkan tanahnya bisa beli lewat dia. Tapi aku belum memutuskan apa – apa saat itu. Dan menyarankan agar hal itu dirundingkan di kantorku pada hari ini. Ya, Cici Mei Hwa datang ke ruang kerjaku ini adalah untuk melanjutkan pembicaraan dua minggu yang lalu itu.
Setelah duduk di ruang tamu, Cici Mei Hwa mengeluarkan berkas fotocopy surat – surat dan gambar tanah yang akan dijual itu sambil berkata, “Ini letaknya sekitar limabelas kilometer dari batas kota, “katanya, “Luas keseluruhan duaratuslimapuluh hektar Boss. Jadi, bisa dibikin perumahan besar, dengan view yang sangat indah di sekitarnya.
“Almarhum papaku juga usahanya antara lain jadi developer di Thailand, Ci,” kataku.
“Nah kalau gitu kan hitung – hitung mengikuti jejak papanya Boss.”
“Tanah seluas itu berapa harga per meternya?”
“Saya mau kasih harga mati aja ya.”
“Silakan.”
Kemudian wanita berdarah chinese itu menyebutkan harga yang luar biasa murahnya menurutku. Tapi sebagai seorang pebisnis, aku tidak memperlihatkan kekagetanku.
“Mungkin harus disurvey dulu ke lokasi ya?” ucapku sambil melirik ke arah jam tanganku yang menunjukkan pukul sebelas siang.
“Boleh,” sahut Cici Mei Hwa, “Saya siap untuk mengantarkan Boss ke lokasi. Makanya saya pakai sepatu kayak gini. Gak jauh kok, tidak sampai limabelas kilometer dari batas kota. Dari sini sejam juga nyampe. Tapi kalau bisa bawa jaket Boss. Di sana udaranya dingin.”
“Oke. Jaket sih ada tuh menggantung di kapstok. Ohya, Cici pakai apa ke sini?”
“Pake taksi Boss. Belum punya mobil sih.”
“Terus duit profit dari properti dipakai apa aja?”
“Cuma buat makan dan biaya rumah sakit suami Boss.”
“Lho… suaminya sakit apa?”
“Kena stroke berat. Sudah enam bulan di rumah sakit, sampai sekarang masih dalam kondisi koma.”
“Ohya?! Yang nunggu di rumah sakit siapa? Anak Cici?”
“Hehehe… saya belum punya anak Boss.”
Aku terlongong. Masalahnya sudah lama aku menyimpan perasaan suka menyaksikan keseharian Cici Mei Hwa yang senantiasa rapi dalam berpakaian, tidak berlebihan dalam memake up wajahnya, sehingga tampak kharismatik di mataku.
Dan… diam – diam otak kotorku membayangkan, seperti apa ya rasanya Cici Mei Hwa ini? Seperti apa bentuk tubuhnya kalau sudah telanjang bulat di depan mataku?
Hahahaaa…!
Ketika dia sudah berada di dalam mobilku yang kukemudikan ke arah luar kota, pikiran itu tetap saja bersemayam di dalam benakku. Bahkan makin lama makin ngeres.
“Jadi Cici belum pernah melahirkan?” tanyaku di belakang setir.
“Belum Boss,” sahut Cici Mei Hwa yang duduk di samping kiriku.
“Terus suaminya sudah enam bulan koma?”
“Iya Boss. Kalau secara akal sehat sih sudah hopeless.”
“Santai aja Ci,” kataku sambil memegang tangan kanannya, “aku siap kok memberi nafkah batin sama Cici kalau suaminya sudah hopeless gitu.”
“Hihihihiii… kayak yang iya aja Big Boss bisa memberi nafkah batin pada saya yang sudah tua ini.”
“Ci… aku pengagum wanita setengah baya kok. Cici belum tua lho. Kalau sudah menopause, baru bisa disebuit tua.”
“Masih jauh menopause sih. Paling cepat juga limabelas tahun lagi.”
“Berarti libido Cici masih normal kan?
“Masih lah,” sahutnya sambil balas meremas tangan kiriku, “Tapi hari ini masih ngedrop libidonya.”
“Kenapa?”
“Lagi merah. Mungkin dua hari lagi baru bersih.”
“Hahahaaaa… gak apa – apa Ci. Yang penting aku booking dulu dari sekarang ya,” ucapku dengan senyum getir.
“Saya nggak pernah selingkuh lho.”
“SIM Ci.”
“SIM apa? SIM A apa C?”
“Selingkuh Itu Mengesankan.”
“Hihihiii… Boss bisa bercanda juga ya.”
“Kalau dengan wanita cantik aku suka bercanda.”
“Boss ini punya daya tarik yang luar biasa. Baru sekali ini saya tergoda oleh cowok yang bukan suami saya.”
“Masa sih?”
“Berani sumpah, biasanya saya selalu profesional Boss. Gak pernah mikir macem – macem. Tapi sayang sekarang saya belum bersih.”
“Sekarang kan hari Senin. Berarti Rabu udah bersih?” tanyaku.
“Mudah – mudahan… tapi yang sudah pasti benar – benar bersih sih Kamis.”
“Kalau gitu kita ketemuan hari Kamis aja ya. Di rumah yang baru kubeli dari Cici itu.”
“Iya.”
Mobilku meluncur terus ke luar kota.
“Nanti kalau tanah yang mau dilihat itu deal, Boss mau turun sendiri sebagai leadernya?”
“Cici mau kalau jadi leadernya?”
“Mungkin bagusnya adek saya, karena dia sudah S2 manajemen. Kalau saya kuliah juga DO. Karena keburu jadi IRT.”
“Cici punya adek juga?”
“Punya, ya itu yang saya tawarkan untuk membantu Boss memimpin perusahaan developer. Adek saya cantik lho. Nanti Boss malah kepincut sama dia.”
“Umurnya berapa tahun?”
“Mmm… duapuluhtujuh.”
“Duapuluhtujuh tahun udah S2 ya.”
“Iya. Tekun sih Lingling itu.”
“Lingling?! Namanya?”
“Iya. Nama adik saya itu Lingling.”
“Tapi aku sukanya sama wanita setengah baya seperti Cici ini.”
“Hihihi… yang bener?!”
“Bener Ci.”
“Maaf… di depan belok ke kiri Boss.”
“Iya,” sahutku sambil mengurangi kecepatan mobilku. Kemudian belok ke kiri seperti yang diarahkan oleh Cici Mei Hwa. Mobilku mulai menginjak jalan yang belum diaspal. Masih berbatu – batu kerikil. Suasananya pun sepi sekali. Tidak kelihatan orang atau pun kendaraan lewat.
“Nah di sebelah kanan itu… yang ada pohon pisangnya itu mulai masuk perbatasan tanahnya Boss. Terus ke atas, lumayan jauh.”
“Wah… sebagian besar masih hutan gitu ya Ci,” kataku sambil menghentikan mobilku. Karena makin ke dalam makin banyak batu – batu besarnya.
“Iya. Makanya mau dijual dengan harga yang sangat murah juga, karena masih banyak pohon – pohonnya. Itu pohon – pohon kayu bagus Boss. Bukan hutan sembarang hutan. Kayunya bisa dimanfaatkan untuk bahan bangunan nantinya. Mau turun ke luar?”
“Gak usah. Nanti aja menjelang transaksi kita survey secara teliti. Surveynya harus dibantu oleh orang teknik sipil.”
“Boss… tanah yang mau dijual ini sudah ada master plannya. Ijin – ijin pun sudah lengkap. Makanya kalau Boss gak mau pusing lagi, tinggal jalanin master plan yang sudah ada aja.”
“Emang tadinya mau dibuat apa?”
“Perumahan juga. Ada rencana untuk bikin sekolah dari SD sampai SMA. Ada rencana bangun ruko – ruko juga. Pokoknya seolah bakal jadi kota kecil yang mandiri Boss.”
“Lalu kenapa gak dilanjutkan rencananya?”
“Keburu bangkrut perusahaannya Boss. Orangnya juga sudah pindah ke luar negeri.”
“Orang Indonesia?”
“Iya.”
“Terus siapa pemilik tanah itu sekarang?”
“Masih punya dia. Tapi sudah dikuasakan kepada saya untuk menjualnya.”
“Surat – surat aslinya ada sama Cici?”
“Iya Boss. Semuanya ada sama saya. Surat kuasanya juga dibuat di notaris. Jadi nanti Boss seolah mau transaksi dengan saya aja.”
“Sudah lama surat kuasa itu dibuat?”
“Kurang lebih tiga bulan yang lalu. Masih berlaku kok. Surat kuasa itu berlaku selama setahun.”
“Jadi nanti transaksinya di notaris itu juga?”
“Betul Boss.”
“Fee yang akan Cici dapatkan pasti banyak sekali ya?”
“Cuma dua persen Boss. Fee dari jual beli tanah mana bisa gede – gede?!”
“Dua persen dari transaksi milyaran kan jadi gede juga. Ayo kita turun Ci,” kataku sambil turun dari mobil dan bergegas membukakan pintu kiri depan, untuk membantu turunnya Cici Mei Hwa, karena mobilku lumayan tinggi, takut dia jatuh pula nanti.
Tapi pada waktu Cici Mei Hwa mau turun, aku sekaligus mendekap pinggangnya, lalu mengangkatnya sambil mendorong pintu mobilku dengan kakiku, sampai tertutup lagi. Sementara Cici Mei Hwa masih terangkat dengan dekapanku di pinggangnya.
Dan… begitu dia kuturunkan, bibirnya langsung menyergap bibirku.
Ternyata dia agresif juga. Atau hanya padaku dia berperilaku agresif? Entahlah.
Yang jelas kubalas ciumannya itu dengan lumatan. Tapi aku tak berani berlama – lama melumat bibirnya, karena takut ada orang lewat nanti.
Lalu kami melangkah ke arah hutan pohon kayu rasamala itu.
Sebenarnya aku juga tidak tahu untuk apa aku memasuki hutan pepohonan kayu yang katanya termasuk bagus buat bangunan itu. Mungkin aku hanya ingin melakukan sesuatu dengan Cici Mei Hwa. Tapi bukankah dia sedang menstruasi?
Ya, kalau sekadar memeluk dan menciuminya, kan bisa saja.
Dan setelah berada di tengah hutan yang lengang itu, aku pun mendekapnya dari belakang. “Udah gak sabar nunggu Cici bersih.”
“Lusa pasti saya kasih Boss. Tapi tanah ini pasti jadi dibeli oleh Boss kan?”
“Harganya benar – benar sudah mati segitu?” tanyaku sambil menyelinapkan tanganku ke balik mantel merahnya… menyelinap terus sampai menemukan payudaranya yang tidak besar tapi hangat sekali.
Tapi sesaat kemudian dia menepiskan tanganku dari balik behanya, “Sebentar Boss… saya mau pipis dulu… dingin sekali sih udaranya kan?”
“Iya. Aku juga mau pipis,” sahutku, sambil mengikuti langkah Cici Mei Hwa menuju bukit yang tidak terlalu tinggi. Bukit itu gundul, tidak ada pepohonan besar, hanya ditumbuhi oleh rerumputan liar.
Celana legging hitam itu pun dipelorotkan. Cici Mei Hwa mengeluarkan softex dari balik celana dalamnya, “Tuh lihat, takut Boss nyangka saya bohong, saya pakai ini karena sedang mens.”
“Tapi penutup datang bulannya bersih Ci? Gak kelihatan ada darahnya setitik pun,” kataku.
Dia memperhatikan softex itu dengan seksama sambil bergumam, “Iya sih… apa mungkin sudah bersih mulai hari ini ya?”
Aku jadi semakin bersemangat. Kusembulkan batang kemaluanku, lalu kencing sambil membelakangi wanita yang tampak seperti di bawah 30 tahunan itu. Setelah kencing, kudekatkan penisku yang agak ngaceng tapi belum ereksi total itu ke dekat Cici Mei Hwa yang sedang kencing sambil berjongkok.
“Hahahaaa… berarti nasibku bagus kan Ci. Sekarang kontolku bisa dimasukkan ke dalam memek Cici kan?”
“O my God!! Kontol Boss luar biasa panjang dan gedenya gini… !” serunya sambil memegangi penisku dengan tangan agak gemetaran. Sementara aku mengamati memeknya yang berjembut agak lebat itu.
“Iya Ci… gimana? Kita ngewe aja di sini sekarang?”
“Jangan di sini Boss. Memang di sini sepi sekali. Tapi kadang – kadang suka ada orang yang melintas ke sini. Ada juga yang suka menyabit rumput untuk makanan kambing atau kerbau di sini.”
“Kalau gitu di rumah yang baru kubeli dari Cici aja yuk.”
“Nah… kalau di sana sih boleh. Tempatnya nyaman dan serba mewah lah.”
“Sekarang kita langsung menuju ke sana yuk.”
“Emangnya Boss sudah puas melihat lokasi untuk perumahan ini?”
“Puas deh. Lokasinya indah sekali. Tapi nanti harus banyak yang diratakan tanahnya.”
“Zaman sekarang perumahan elit malah banyak yang berbukit – bukit tanahnya Boss. Malah banyak rumah mewah yang letaknya di pinggir tebing, lalu membuat lantai pertama di bawah, sekalian untuk menikmati keindahan di luarnya.”
“Iya. Nanti aku mau konsultasi dulu dengan arsiteknya.”
Lalu kami menuruni bukit itu sambil bergandengan. Lenganku melingkar di pinggangnya, lengan Cici Mei Hwa pun melingkar di pinggangku.
Rumah yang kubeli lewat Cici Mei Hwa itu besar sekali. Dibandingkan dengan rumah peninggalan almarhum Papa di Bangkok juga masih besaran rumah ini. Rumah ini terdiri dari tiga lantai. Berdiri di atas tanah 5000 meter persegi. Dan tanah seluas itu hampir habis oleh bangunan rumahnya. Tak cuma itu, di belakang rumah besar ini ada tanah kosong seluas 1 hektar yang ikut dijualkan oleh Cici Mei Hwa juga.
Rumah besar itu memang miring sekali harganya. Karena Cici Mei Hwa mendapatkan penawaran dari bank yang menyita rumah yang lengkap dengan segala peralatannya tersebut. Menurut keterangan Cici Mei Hwa, rumah tersebut disita dari seorang pengusaha besar yang macet kreditnya selama bertahun – tahun. Dengan sendirinya aku membeli rumah tersebut dengan harga lelang.
Tadinya aku ingin menyediakan rumah ini untuk Gayatri dan mamanya (Tante Agatha). Tapi setelah aku memiliki hubungan dengan Liza, pikiranku jadi penuh keraguan. Biarlah rumah besar itu akan kujadikan semacam investasi saja. Untuk apa – apanya, nanti saja kupikirkan lagi.
Memang membingungkan punya rumah yang terlalu besar begitu. Kamarnya saja ada 14 buah. Di lantai dasar ada 6 kamar. Di lantai dua, 4 kamar, di lantai tiga empat kamar.
Kalau aku punya anak selusin, barulah rumah itu akan kujadikan tempat tinggalku.
Belum lagi tanah yang di sehektar di belakangnya itu. Mau dijadikan apa?
Entahlah.
Yang jelas aku sedang berada di jalan menuju rumah besar itu, sambil membawa Cici Mei Hwa di dalam mobilku.
Tiga orang pembantu yang dahulu dipekerjakan oleh majikan lama mereka, kurekrut lagi. Mereka hanya ditugaskan untuk membersihkan dan membereskan rumah besar itu, masing – masing satu lantai. Sementara di luar rumah pun harus selalu dibersihkan oleh mereka bertiga.
Cici Mei Hwa kubawa langsung ke lantai tiga, agar lebih nyaman dan tidak ada gangguan.
“Rumah ini mau diapakan nantinya Boss?” tanya Cici Mei Hwa setelah berada di kamar pilihanku pada lantai tiga.
“Untuk sementara hanya akan kuanggap sebagai investasi saja. Belum ada rencana apa – apa,” sahutku sambil memeluk wanita setengah baya yang kelihatan masih sangat muda itu.
“Maaf Boss, boleh saya ke kamar mandi dulu sebentar?”
“Mau ngapain? Kedinginan lagi dan mau pipis lagi?”
“Ingin yakin dulu bahwa saya sudah bersih. Takut diem – diem ada flex darah lagi.”
“Oh, iya iyaaa. Silakan.”
Cici Mei Hwa pun masuk ke dalam kamar mandi. Tiba – tiba handphoneku berdering. Haaaa…! Dari Teh Sheila… kakak seayahku yang telah membeli sebagian besar asset almarhum Papa di Thailand itu…!
“Sehat. Donny kok lama banget gak ke Bangkok lagi?”
“Aku masih sibuk melanjutkan beberapa perusahaan ayah angkatku di Indonesia Teh. Ohya… apakah Teteh masih berminat untuk membeli rumah di Indonesia?”
“Iyalah. Aku kan ingin juga punya asset di tanah air.”
“Nah… kebetulan Teh. Ini ada rumah yang megah dan besar sekali. Tanahnya pun limabelasribu meter persegi.”
“Wow…! Bagus itu. Aku sekalian ingin buka perusahaan juga di tanah air. Coba fotoin setiap bagian pentingnya ya Don. Sekaligus cantumkan harganya. Kalau cocok, aku akan secepatnya terbang ke tanah air. Sekaligus ingin ketemuan sama Donny. Emangnya Donny gak kangen sama aku?”
“Kangen sekali Teh. Nanti kalau kita ketemu lagi, habisin perasaan kangen kita ya.”
“Iya Don. Aku malah ingin sekali hamil sama Donny. Tempo hari gak jadi skih. Padahal saat itu aku sedang berada di masa subur.”
“Para suami istri yang tiap hari hidup bersama juga kan gak langsung hamil semua. Ada juga yang terlambat… setelah beberapa tahun menikah, baru bisa punya anak.”
“Iya sih. Oke… kirimin foto – foto rumah itu, ya Don. Ini aku mau terima tamu bisnis dulu.”
“Iya Teh. Semoga bisnisnya sukses terus yaaa…”
“Amiiiin…”
Baru saja hubungan seluler dengan kakak seayahku itu ditutup. Datang lagi call dari… Imey…!
Kasihan juga anak Tante Ratih yang sudah dijodoh – jodohkan denganku itu. Dia sering nelepon dan menanyakan kapan bisa ketemuan. Tapki jawabanku cuma ntar… ntar… aku masih sibuk. Padahal apa salahnya kalau kuajak saja ketemuan di suatu tempat.
Lalu :
“Hallo Mey? Apa kabar?”
“Sakit.”
“Sakit apa?”
“Sakit hati. Aku sangat ingin ketemu, tapi Donny sibuk terus.”
“Memang begitulah keadaanku Mey. Aku kan sedang mengurus perusahaan baru. Nanti kalau sudah tiba saatnya, pasti aku akan datang untuk menjemputmu.”
“Kalau aku datang ke kantor Donny boleh nggak?”
“Sekarang aku sedang berada di luar kota Sayang. Nanti kalau sudah pulang akan kukasihtau.”
Setwlah hubungan seluler dengan Imey ditutup, aku jadi tersenyum sendiri. Rasanya belakangan ini aku sibuk ngurusin memek mulu. Tapi gak apalah. Mumpung masih muda. Yang penting bisnis jangan diterlantarkan.
Cici Mei Hwa pun muncul dari kamar mandi.
“Memang saya sudah bersih Boss,” kata wanita setengah baya bermata sipit itu.
“Sukurlah, “sambutku sambil meraih pinggangnya ke arah sofa. Lalu kududukkan dia di atas pangkuanku.
Tentu saja bukan sekadar mendudukkannya di atas pangkuanku. Karena aku pun muilai melepaskan baju sweater merahnya. Sehingga kelihatan bahwa di balik sweater merah itu masih ada kaus singlet wanita. Dan kaus singlet itu pun kulepaskan, sehingga tinggal beha putih yang masih melekat di dadanya.
Meski beha itu belum dilepaskan, aku sudah bisa melihat bahwa payudaranya kecil. Untuk membuktikannya, kulepaskan juga beha putih itu.
“Hihihi… toket saya kecil Boss. Kalau toket adikku memang gede tuh,” ucapnya sambil tersenyum malu – malu.
“Toket kecil gini malah enak menggenggamnya. Dengan satu tangan saja bisa tergenggam semua,” sahutku sambil mengenggam toket kirinya.
Mei Hwa pun menyergap bibirku ke dalam ciuman ketat dan hangatnya. Sementara tanganku sudah berpindah tempat, menyelusupp ke balik celana leggingnya, untuk meremas bokongnya yang lumayan gede. Lalu menyelusup lagi ke balik celana dalamnya, sampai menemukan “sesuatu” yang berambut lebat. Mencari – cari di antara kerimbunan jembut itu, sampai menemukan celahnya yang hangat dan agak basah serta licin.
Jemariku menyelidik sampai masuk ke dalam liangnya… hmmm… jemariku menemukan liang yang masih kecil. Maklum dia belum pernah melahirkan.
Mei Hwa tetap asyik melumat bibirku. Tapi tangannya pun ikut beraksi. Menarik ritsleting celana panjangku. Lalu menyelundup ke balik celana dalamku. Menggenggam batang kemaluanku yang masih agak lemas ini. Namun berkat remasan lembutnya, penisku pun mulai ngaceng. Bahkan sudah siap tempur.
Lalu terdengar suara Mei Hwa, “Sudah ngaceng nih. Masukin aja kontolnya Boss. Saya sudah horny berat…”
“Ayo, di sana aja,” sahutku sambil menunjuk ke arah bed.
Mei Hwa mengangguk. Lalu mengikuti langkahku menuju bed. Di situlah ia melepaskan celana legging hitam dan celana dalam putihnya. Sehingga jadi telanjang bulat di depan mataku.
Aku pun menanggalkan busanaku sehelai demi sehelai sampai benar – benar telanjang bulat, seperti Mei Hwa.
Sesaat kuperhatikan tubuh Mei Hwa yang langsing tapi berbokong gede itu. Lalu kuterkam dia dengan penuh nafsu.
Mei Hwa menyambutku dengan ciuman dan lumatan hangat di bibirku. Dengan lengan melingkari leherku. Sementara aku mulai giat mencolek – colekkan moncong penisku di mulut vagina Mei Hwa yang terintangi jembutnya ini. Namun akhirnya aku menemukan celah memeknya. Dan kudorong penisku sekuat tenaga.
Akhirnya penisku berhasil menerobos liang memek wanita setengah baya itu.
Blesssssssss… melesak masuk ke dalam liang sempit tapi sudah licin ini.
Mei Hwa menatapku dengan sorot jinak. Dan berkata, “Gak nyangka Boss mau sama saya yang sudah tua ini.”
“Aku ini penggemar wanita setengah baya Ci. Apalagi kalau wanitanya secantik Cici ini,” sahutku sambil mengayun penisku perlahan – lahan. Makin lama makin cepat, sampai pada kecepatan normal.
“Dudududuuuuuuh… Booossss… kontol Boss ini bukan hanya gede tapi juga panjang sekali. Sampai terasa nyundul – nyundul dasar liang memek saya Boss…”
Mata Mei Hwa kadang terbeliak kadang ter[ejam erat – erat. Sementara mulutnya tiada henti merintih dan mendesah. “Booossss… ooo… ooooohhhhhhh Bosss… ini entotan paling enak di sepanjang hidupku Bosss… kontol Boss luar biasa enaknyaaaa… entot terus Bosss… entoooottttt… entooooootttttt…
Terlebih ketika mulutku mulai beraksi untuk menjilati lehernya, menciumi bibirnya, meremas toket dan mengemut pentilnya sementara entotanku semakin kugencarkan. Semakin meraung – raung pula Mei Hwa dibuatnya.
“Bosss… makin lama makin enak Bosssss… entot terus Bossss… ooooh… gilaaaa… ini enak banget Bosss… entooot teruuusss… entooootttt… entooooottttt… entoooottttttt Bosss… entoooooootttttttt… !”
Ketika tangannya terjulur ke atas kepalanya, aku pun memagut ketiaknya, lalu menjilatinya disertai dengan gigitan – gigitan kecil. Sehingga Mei Hwa semakin klepek – klepek dibuatnya.
Namun kali ini aku melihat gelagatnya berbeda. Gelagat Mei Hwa akan mencapai orgasme. Mei Hwa berkelojotan dengan rintihan panik, “Boss… saaaa… sayaaaa… mau lepas Bossssss… Bosssss…”
Aku tetap gencar mengentotnya. Bahkan ketika tubuh Mei Hwa mengejang tegang, aku tetap mengentotnya dengan gencar.
Mei Hwa menekan pantatku agar jangan bergerak dulu, “Stop dulu Boss… saya ma… mau lepas neeeehhhh… aaaa… aaaaaaahhhhhh…”
Mei Hwa menggelepar dan melenguh… lalu terkulai lunglai. Dengan keringat membasahi tubuh dan leher serta pipinya.
“Sudah orgasme?” tanyaku sambil mengelus rambut Mei Hwa.
“Iya… sudah lama memek saya nganggur. Sekalinya dapet yang enak banget… terima kasih Boss… indah sekali…”
Aku cuma tersenyum dan membiarkan Mei Hwa menciumi sepasang pipiku.
Tapi aku belum apa – apa.
Maka kulanjutkan lagi ayunan penisku. Bermaju mundur di dalam liang memek yang sudah becek ini.
Tapi aku pun tidak berniat untuk menyiksa Mei Hwa. Karena mungkin fisiknya tidak siap untuk kuentot secara berkepanjangan. Maka diam – diam aku mulai berkonsentrasi pada enaknya memek wanita setengah baya yang memeknya sudah becek ini. Kugencarkan entotanku sambil menciumi bibirnya, menjilati leher jenjangnya diiringi dengan gigitan – gigitan kecil.
Keringat pun mulai membasahi tubuh kami. Dalam gairah yang makin lama makin menggila.
Agak lama kulakukan semuanya ini. Bahkan terkadang mulutku nyungsep di puncak toketnya, untuk mengulum dan menyedot – nyedot pentilnya.
Lalu… ketika Mei Hwa mulai berkelojotan, aku pun menggencarkan entotanku dalam kecepatan tinggi. Dan ketika Mei Hwa mengejang tegang, aku pun menancapkan penisku sedalam mungkin, tanpa menggerakkannya lagi.
Pada saat itulah Mei Hwa menahan nafasnya, dengan mata terpejam erat – erat. Sedetik kemudian terasa liang memeknya berkedut – kedut kencang lagi. Pada saat itu pula penisku mengejut – ngejut diiringi dengus – dengus nafasku di puncak kenikmatanku… crottttt… crooootttttttt… croootcrooottt…
Kami sama – sama menggelepar, lalu sama – sama terkapar di pantai kepuasan. Dengan keringat semakin membanjir.
Namun semuanya itu seolah pembukaan saja. Seolah awal dari sesuatu yang baru. Karena keesokan harinya Mei Hwa datang ke kantorku bersama seorang cewek tinggi tegap, berkulit putih kekuningan dan berwajah… ya cantik ya manis sekali…!
Apakah aku ini ditakdirkan berbakat untuk mengoleksi perempuan – perempuan cantik? Entahlah. Yang jelas cewek itu diperkenalkan oleh Mei Hwa sebagai adiknya itu. Adik kandungnya yang bernama Lingling dan sudah S2 di bidang managemen serta siap untuk memimpin perusahaan developerku itu.
Memang kemaren Mei Hwa berkata, bahwa sebagai perempuan bersuami, ia takkan mungkin bisa menghabiskan waktunya untuk meladeniku. Biar bagaimana Mei Hwa senantiasa berharap agar suaminya sembuh lagi seperti sediakala, meski sekarang masih dalam keadaan koma. Sedangkan adiknya kebetulan masih menganggur, masih lajang pula.
Tidak berlebihan kalau aku menilai Lingling itu ya cantik ya manis dan seksi pula…!
Sehingga kalau dibandingkan dengan Gayatri dan Liza sekali pun, Lingling bisa kuanggap sejajarf dengan kedua cewek yang akan kujkadikan istriku itu. Bahkan kalau sedang tersenyum, lesung pipit di sepasang pipinya itu membuat Lingling punya nilai plus.
Dan yang jelas pendidikannya sesuai dengan keinginanku. Usianya pun masih tergolong muda sekali. Baru 24 tahun tapi sudah S2. Hanya 3 tahun lebih tua dariku, tapi dia sudah S2, sementara aku… S1 pun belum.
Tapi banyak orang bilang, sebagai owner suatu perusahaan, pendidikanku takkan dihitung orang. Seperti ada seorang kopral yang bernasib baik dan memiliki sebuah perusahaan besar, namun kepala bagian security-nya seorang pensiunan kolonel. Di situlah uang mengalahkan segalanya.
Maka aku pun tak ragu menyebut nama langsung kepada adik Mei Hwa itu :
“Jadi Lingling siap untuk memimpin sebuah perusahaan developer?” tanyaku.
“Siap Boss,” sahutnya sopan dan manis.
“Sebagai langkah awal, aku akan membangun perumahan di atas tanah duaratuslimapuluh hektar yang segera dibeli lewat Cici Mei Hwa. Jadi ada imbas positif juga kepada Cici Mei Hwa. Bahwa Cici akan mendapatkan fee dari penjualan tanah di luar kota itu kan?” ucapku sambil menoleh kepada Mei Hwa yang duduk di samping Lingling.
“Betul Boss,” sahut Mei Hwa, “Lalu adik saya pun takkan nganggur lagi.”
“Maaf… nanti kantornya di mana Boss?” tanya Lingling.
“Nantinya bikin kantor managemen di lokasi perumahannya saja langsung. Tapi sebelum kantor itu selesai dibangun, ngantor di sini aja. Di depan kan masih banyak ruangan kosong. Silakan aja pakai sesuai kebutuhan.”
Lingling mengangguk – angguk. Dengan senyum manis dihiasi lesung pipitnya lagi. Wow… Cici Mei Hwa memang bukan hanya pandai dalam memasarkan rumah dan tanah, tapi juga pandai menjodohkan orang. Karena aku langsung merasa cocok dengan Lingling itu. Tinggal menunggu orangnya saja, apakah dia juga suka padaku atau tidak.
Tiba – tiba Cici Mei Hwa berkata, “Maaf Boss. Saya harus ke rumah sakit dulu, karena sudah ditunggu oleh dokter yang merawat suami saya. Katanya sih ada hal penting yang mau disampaikan kepada saya. Soal Lingling silakan saja Boss rundingkan segalanya dengan dia sekarang. Soal tanah yang sudah disurvey itu, saya siap untuk melakukan transaksi di notaris.
“Iya. Terimakasih Ci ya,” sahutku.
Setelah Mei Hwa berlalu, aku mengajak Lingling pindah ke lantai dua. Lantai pribadiku.
Lingling menurut saja. Mengikuti langkahku menuju ke lantai dua.
Setibanya di family room, kupersilakan Lingling duduk di sofa. Aku pun duduk di sampingnya sambil berkata, “Soal job selesai sudah.”
Kemudian kusebutkan nominal gaji yang akan diterimanya sebagai direktur perusahaan developer itu. Pasti dia kaget karena aku akan menggajinya lebih dari gaji – gaji direktur pada umumnya.
“Selain daripada itu, Lingling akan mendapatkan mobil inventaris nanti. Kalau soal rumah, Ling masih tinggal bersama orang tua kan?” sumber Ngocoks.com
“Betul Boss. Jadi saya akan mendapat mobil inventaris pula? Terima kasih Boss. Saya memang sangat membutuhkan kendaraan. Terutama untuk mobilitas menuju lokasi proyek itu.”
“Sudah tau di mana letak lokasinya?”
“Baru dengar saja dari Cici Hwa.”
“Nanti kita tinjau lokasinya ya. Tapi selain masalah job, aku mau bicarakan masalah pribadi nih. Soalnya Ci Mei Hwa sudah banyak bicara mengenai Lingling.”
“Iya. Cici juga sudah banyak bicara mengenai Boss.”
“Apa aja yang dikatakannya kepada Lingling?”
“Hihihiii… malu nyebutinnya.”
“Kok malu? Katakan aja sejelasnya. Biar aku pun akan menanggapinya secara jelas dan terperinci.”
“Anu… Cici mau men… menjodohkan saya dengan Boss.”
“Dan setelah kita berjumpa begini, Lingling setuju?”
“Saya orang chinese yang gak punya Boss. Yang hidup serba pas – pasan.”
“Aku tidak mengharapkan harta Lingling serupiah pun. Dan yang jelas, begitu melihat Lingling tadi, aku langsung merasa cocok. Lingling memenuhi kriteria yang kuinginkan.”
Lingling menatapku dengan senyum manis dengan lesung pipit di sepasang pipinya. “Saya juga merasakan hal itu Boss,” ucapnya perlahan.
Lega hatiku mendengar ucapan Lingling itu. Lalu kupegang tangannya sambil berkata, “Jadi selain Lingling akan kuangkat sebagai direktur perusahaan developer itu, mulai sekarang kita jadian, oke?”
Lingling mengangguk sambil tersenyum. Lagi – lagi hatiku bergetar melihat senyum manisnya itu.
“Ohya… mengenai agama Lingling bagaimana? Bisa melebur dengan agamaku kan?”
“Saya kan belum punya agama. Cuma mengikuti tradisi chinese aja Boss.”
“Confucius?”
“Betul. Menurut saya Confucius itu bukan agama. Hanya melanjutkan tradisi nenek moyang saja.”
“Jadi Lingling bersedia menjadi mualaf?”
“Bersedia,” sahut Lingling sambil mengangguk.
“Kalau begitu, masalah pribadi kita kuanggap sudah sukses dalam tempo yang sesingkat – singkatnya.”
“Hihihiii… sesingkat – singkatnya. Kayak teks proklamasi aja.”
“Jujur, begitu melihat Lingling tadi, aku merasa harus secepatnya memiliki dirimu yang cantik sekaligus manis ini,” ucapku sambil meremas tangan Lingling yang halus dan hangat.
“Boss juga tampan sekali…”
Tiba – tiba pertanyaanku nyelonong ke sisi lain, “Sudah punya pengalaman berhubungan dengan cowok?”
“Sama sekali belum pernah Boss. Soalnya saya takut salah pilih. Baru sekali inilah saya merasa yakin dan nyaman, bahwa saya tak salah pilih.”
“Jadi Lingling masih perawan?”
“Ya iyalah. Soalnya saya masih sangat tradisional Boss. Menurut orang – orang tua, seorang gadis yang tidak perawan lagi lalu menikjah dengan seorang pria, maka di surga dia takkan dipersatukan dengan suaminya. Karena itu saya takut sekali melakukan hal – hal yang menyimpang dari tradisi tionghoa.”
Dunia dan alam pikiranku seolah tengah dialihkan ke satu titik, lalu melupakan yang lain untuk sementara.
Aku pun seolah digugahkan untuk memiliki mobil yang nyaman, jangan sekadar untuk gagah – gagahan. Tapi aku tetap memilih showroom mobil second yang dahulu kupilih untuk membeli jeep 5000 cc itu.
Kali ini pilihanku jatuh pada sebuah sedan built up Jerman. Dengan harga lebih murah 50%…! Padahal sedan hitam itu baru dipakai tiga bulan, sudah dijual lagi.
Aku merasa beruntung mendapatkan sedan yang masih 99% baru dengan harga setengah dari harga barunya itu.
Bersambung…