Sebenarnya aku mampu membeli mobil termahal di dunia sekali pun. Tapi aku ingat indoktrinasi dari almarhum Papa angkatku. Bahwa hidup ini jangan terlalu menonjolkan diri, lebih baik hidup sederhana agar hal – hal positif berdatangan sendiri kelak.
Lewat biro jasa aku pun berhasil membeli rumah di Singapura. Karena aku malas tinggal di apartment.
Padahal punya rumah pribadi di Singapura sudah merupakan suatu kemewahan. Karena pada umumnya orang lebih memilih tinggal di apartment.
Aku memang punya rencana untuk memfokuskan usahaku di Singapura. Sebagian untuk meneruskan perusahaan – perusahaan peninggalan Papa, sebagian lagi untuk membuka jalan bagi perusahaan baru yang sudah kubentuk belakangan ini.
Namun di balik itu semua, ada sesuatu yang jauh lebih kupentingkan. Tentang Lingling yang cantik dan manis dan seksi dan berpendidikan tinggi itu.
Lingling yang sudah sering kuajak jalan – jalan atau makan – makan. Tapi kubiarkan dulu dia membenahi kantornya yang untuk sementara menggunakan ruangan p- ruangan kosong di kantor perusahaanku. Kelak kalau perusahaan developer itu sudah berkembang, aku akan membangun kantor khusus yang dipimpin oleh si cantik Lingling.
Sampai pada suatu saat… ketika Lingling sedang duduk di sebelah kiriku, dalam sedan hitam baruku, aku berkata, “Bagaimana perasaanmu setelah jadian denganku Ling?”
“Nyaman sekali Boss.”
“Lingling… sudah berkali – kali aku minta agar jangan manggil boss lagi padaku. Kalau sedang berduaan begini, panggil namaku aja langsung.”
“Biar gimana aku ini kan masih anak buah Boss. Karena itu aku tetap tak berani manggil nama langsung. Kesannya seperti lancang pada majikanku sendiri,” sahut Lingling sambil tersenyum.
“Kalau sedang ada orang lain, boleh Lingling panggil boss padaku. Tapi kalau sedang berduaan begini, panggil namaku aja, please…”
“Iya deh. Aku akan membiasakan manggil Donny aja ya.”
“Nah begitu dong. Jadi rasanya lebih mesra. Tidak terikat masalah status job kita masing – masing.”
“Tapi biar lebih mesra lagi, kenapa janji Donny belum ditepati juga?”
“Lho janji yang mana?”
“Janji untuk membuktikan keperawanankju. Kan biar hati Donny makin yakin bahwa aku ini hanya akan memasrahkan kesucianku pada Donny, sebagai tanda cintaku pada Donny. Yang penting aku jangan habis manis sepah dibuang aja.”
“Lalu kenapa Lingling yakin bahwa aku akan mempertanggungjawabkan semuanya kelak?”
“Karena aku percaya, Donny ini orang baik dan bertanggungjawab.”
“Jadi Lingling memang sudah ingin dieksekusi?”
“Hihihiii… istilahnya dieksekusi… kayak orang mau dihukum mati aja.”
“Lho… dalam bisnis juga ada istilah eksekusi kan? Di dalam bisnis, istilah eksekusi itu positif artinya.. Misalnya mau mengeksekusi lahan yang akan dibeli, mengeksekusi pabrik yang akan dibeli dan sebgaainya.”
“Iya deh. Eksekusilah aku please… biar Donny tidak meragukan lagi diriku.”
Tadinya aku akan mengajak Lingling ke lokasi lahan yang sudah kubeli itu. Lahan untuk proyek perumahan itu. Tapi setelah mendengar keinginan Lingling, kubelokkan sedan hitamku ke arah lain. Menuju villa yang baru dibeli sebulan yang lalu itu.
Uniknya villa itu berada di pinggir tebing yang sangat curam, sementara bagian daratannya kebun buah – buahan yang sangat lebat dan rimbun. Maka setibanya di villa itu, Lingling langsung memelukku dari belakang sambil berbisik, “Sepi dan romantis sekali villa ini, Sayang.”
“Iya,” sahutku, “mau membuktikan keperawananmu di luar juga bisa tuh. Takkan ada seorang pun melihatnya.”
“Hihihi… jangan outdoor dong Sayang. Di dalam aja, biar tenang melakukannya.”
“Tapi aku ingin melihatmu telanjang di sini. Mau kan?”
“Malu Sayang. Aku kan belum pernah telanjang di depan siapa pun kecuali di depan kedua orang tuaku.”
“Nanti di dalam kamar juga kan bakal telanjang. Apa salahnya kalau kamu telanjang dulu di sini, lalu kita masuk ke dalam. Coba buktikan deh bahwa Linglingku akan selalu mengikuti keinginanku.”
“Apakah semua cowok keinginannya suka yang aneh – aneh gitu?” tanya Lingling dengan nada bingung.
“Entahlah. Yang jelas aku ingin melihatmu telanjang di luar sini. Coba perhatikan tuh keadaan di sekeliling kita. Ke sebelah selatan, jurang terjal. Ke utara, barat dan timur kebun buah – buahan semua. Kebun itu pun milikku semua. So… siapa yang berani masuk ke sini?”
“Oke deh. Demi Donny tercinta aku akan melakukannya. Sedikit demi sedikit dulu ya, “Lingling melepaskan beha dari balik blouse putihnya, tanpa melepaskan gaunnya. Kemudian ia menanggalkan spanroknya yang juga putih bersih.
Dalam keadaan tinggal mengenakan blouse putih dan celana dalam yang juga putih, Lingling berjongkok sambil menurunkan ritsleting blouse putihnya, sehingga sepasang toket gedenya kelihatan jelas. Lalu ia berjongkok di depanku sambil berkata, “Toketku kegedean gak sayang?”
“Ngepas dengan kriteriaku Ling,” sahutku sambil menyaksikan sepasang toket gede yang tergantung indah di belahan blousenya itu.
Aku belum pernah menyentuh sepasang toket gede yang luar biasa indahnya itu.
Kemudian Lingling melepaskan blouse dan celana dalamnya yang serba putih itu, sambil merangkak di atas batang pohon yang sudah dijadikan asesori villa ini. Dalam keadaan telanjang bulat.
“O my God! Tubuhmu indah sekali Cinta,” ucapku sambil memegang pergelangan tangan Lingling, kemudian membawanya masuk ke dalam villa.
Langsung membawanya ke dalam kamar. Karena aku ingin agar dia merasa nyaman senyaman mungkin pada waktu aku mengkesekusinya.
Dengan sikap canggung Lingling duduk di pinggiran bed, memandangku yang tengah menanggalkan busanaku sehelai demi sehelai, sampai tinggal celana dalam yang kubiarkan masih melekat di tubuhku.
Dalam beberapa hari ini hubunganku dengan Lingling memang semakin dekat. Tapi aku hanya pernah mencium pipi dan bibirnya saja. Tak pernah lebih dari itu. Maka kini, ketika ia sudah telanjang bulat seperti itu, adalah suatu kejutan yang membangkitkan hasrat birahiku, tentu saja.
Padahal di dalam hati aku sudah bertekad, perawan atau tidak perawan lagi, Lingling tetap harus menjadi salah seorang pendamping hidupku. Namun tentu saja kalau ia masih perawan, jauh lebih baik lagi.
“Rasanya seperti mimpi… tiba-tiba kamu minta dientot…” ucapku sambil naik ke atas bed, tepatnya ke atas perut Lingling yang sudah seperti Hawa waktu pertama kalinya diturunkan ke dunia.
“Minta dibuktikan kesucianku, bukan minta dientot Don,” sahut Lingling sambil mencubit perutku.
“Iya, tapi cara membuktikannya yang memang harus lewat disetubuhi Sayang.”
“Iya deh terserah Donny aja. Boss kan selalu benar,” ucap Lingling sambil mendekap pinggangku erat – erat.
“Hihihiii… jangan suka cemberut gitu Sayang. Cantiknya jadi pudar nanti. Keep smile for me. Karena kalau kamu tersenyum, aku merasa seakan sedang melihat Dewi Kwan Im turun ke dunia.”
“Aku bangga bisa menjadi kekasih Donny. Dan ingin agar kita berdua menjadi suatu kesatuan yang tak terpisahkan lagi,” ucapnya dengan senyum manis. Senyum yang selalu menggetarkan sekujur batinku.
Dan aku jadi bingung sendiri, harus mulai dari mana. Karena tadinya aku belum pernah menyentuh payudaranya sekali pun. Lalu kini, tiba – tiba Lingling dalam keadaan telanjang bulat dan bersikap pasrah sekali.
“Aku tak mau kehilangan senyum manismu,” sahutku disusul dengan ciuman mesra di bibirnya. Yang disambutnya dengan lumatan hangat. Membuatku serasa melayang entah ke mana. Mungkin inilah surga terindahku di dunia ini. Surga yang membuatku tidak ragu untuk menciumi dan menjilati telapak kakinya beberapa saat berikutnya.
Lingling cuma terdiam pasrah. Begitu juga ketika aku mulai menjilati betisnya yang laksana padi membunting… menjilati pahanya yang begitu mulus dan licinnya… kemudian merayap ke selangkangan dan berpusat di kemaluannya yang tercukur bersih, bersih sekali.
Jujur, jantungku berdegup lebih kencang daripada biasanya ketika aku mulai menjilati memeknya yang sudah kungangakan selebar mungkin. Lalu tubuh indahnya mulai menggeliat perlahan, diiringi desahan – desahan erotisnya.
Begitu lahap aku menjilati bagian dalam kemaluannya yang berwarna pink itu. Bahkan setelah menemukan kelentitnya, kufokuskan untuk menjilati bagian yang sebesar kacang kedelai yang mengkilap itu.
Sementara desahan dan geliatan Lingling semakin menjadi – jadi. Tapi suaranya perlahan sekali, sehingga tidak menimbulkan suasana berisik di dalam kamar ini.
Cukup lama aku melakukan semua ini. Tentu saja dengan berusaha untuk mengalirkan air liurku sebanyak mungkin, agar liang memeknya basah sekali. Untuk mempermudah jalannya penetrasi nanti.
Sampai pada suatu saat, ketika aku mau melakukan penetrasi, Liling menurut saja ketika kedua paha putih mulusnya kurenggangkabn selebar mungkin. Kemudian kuletakkan moncong penisku di mulut memek Lingling yang sudah basah kuyup itu.
Tapi, jujur saja, ternyata mengambil keperawanan Lingling tak semudah biasanya. Bahkan boleh kukatakan, inilah “perjuangan menembus selaput perawan” yang paling sulit bagiku selama ini. Lebih dari setengah jam aku berusaha dengan segala cara, namun hasilnya masih nol. Moncong penisku meleset berkali – kali, sehingga aku jadi keringatan sendiri dibuatnya.
Namun dengan tekad yang kuat, akhirnya sedikit demi sedikit batang kemaluanku mulai menembus liang perawan Lingling.
“Udah masuk?” tanya Lingling perlahan.
“Sudah Sayang,” sahutku dilanjutkan dengan kecupan mesra di bibir sensualnya.
Bahkan beberapa saat kemudian aku mulai bisa mengayun batang kemaluanku di dalam liang memek Lingling yang luar biasa sempitnya ini.
Desahan perlahan Lingling pun mulai terdengar, “Aaaaa… aaaaah… aaaa… aaaah… aaaaaa… aaaaaah… aa… aaku benar – benar sudah menjadi milik Donny… aaa… aaaah…”
Aku masih sempat menyahutnya dengan bisikan di dekat telinganya, “Aku bangga bisa memiliki dirimu Ling… aku makin cinta padamu…”
“Aku juga… makin cinta padamu Don… oooohhhh… oooohhhh… rasanya seperti melayang – layang Dooon… Dooon… Doooon… aku cinta Donny… cinta sekali… ooooh…”
Wajar kalau Lingling mendesah dan merintih makin kerap, karena aku merasa liang memeknya sudah beradaptasi dengan ukuran penisku. Sehingga aku bisa mempercepat entotanku sampai pada batas standar. Batas normal. Bukan seperti kecepatan entotan di bokep – bokep yang terkadang membuatku heran dan bertanya – tanya, “Apa enaknya ngentot dengan kecepatan seperti mesin pompa begitu?
Aku selalu ingin melengkapi entotanku dengan aksi tangan dan mulutku. Itulah sebabnya aku mulai mengemut pentil toket Lingling yang sebelah kiri, sementara tangan kiriku mulai meremas toket gedenya yang sebelah kanan. Sementara entotanku tetap bergerak dalam kecepatan normal.
Karuan saja Lingling makin mendesah dan merintih. Tapi tetap dengan suara terkendali. Hanya terdengar laksana bisikan, “Doooon… ooooohhhh… makin lama makin enak Cintaaaa… rasanya semakin melayang – layang gini… saking enaknya Cintaaaa… ooooh… aku mencintaimu dengan segenap jiwaku Dooon…
Setelah puas meremas dan mengemut pentil toket Lingling yang lumayan gede itu, mulutku lalu nyungsep di leher jenjangnya.
Kujilati leher Lingling yang mulai keringatan itu, disertai dengan gigitan – gigitan kecil yang takkan menyakitkan. Ini membuat Lingling makin terlena. Rintihan – rintihan histerisnya terhenti sesaat. Lalu cuma desahan nafasnya yang terdengar, “Aaaaa… aaaaaaah… aaaaaa… aaaaah… aaaaa …
Sesaat kemudian, ketika tangan Lingling berada di dekat kepalanya, kujilati pula ketiaknya yang harum deodorant. Disertai dengan gigitan – gigitan kecil. Bahkan terkadang disertai dengan sedotan – sedotan seperti ingin mencupang ketiak harumnya.
Lingling pun semakin klepek – klepek dibuatnya.
Bahkan pada suatu saat ia menatapku sambil berkata lirih, “Dooon… rasanya seperti ada yang mau keluar di dalam memekku… oooh Doooon… ada yang mau keluar… !”
Lingling berkelojotan. Tapi aku malah mempercepat entotanku sambil berkata terengah, “Itu tanda mau orgasme… lepasin aja Sayaaaang…”
Kelojotan Lingling terhenti. Lalu sekujur tubuhnya mengejang tegang. Sepasang matanya pun terpejam. Nafasnya tertahan.
Pada saat itu pula kutancapkan batang kemaluanku di dalam liang memek Lingling yang terasa sedang berkedut – kedut kencang.
Pada saat yang sama moncong penisku pun menembak – nembakkan lendir kenikmatanku. Crooootttt… crottt… croooottttt… crotcroootttttt… crooootttttt…!
Liang memek Lingling terlalu nikmat buatku. Sementara aku sudah agak lama tidak pernah bersetubuh dengan siapa pun. Sehingga aku tak bisa menahan ejakulasiku lebih lama lagi. Itu pun masih untung, bisa melepasnya berbarengan dengan orgasme Lingling.
Seperti biasa, setelah mencabut batang kemaluanku, kuamati darah di bawah memek Lingling yang tergenang di kain seprai. Benar – benar perawan Lingling itu sebelum kupenetrasi tadi.
Ini sangat kuhormati. Bahwa di usia 24 tahun Lingling masih mampu mempertahankan keperawanannya. Hal ini sesuatu yang langka di zaman sekarang.
Karena itu aku sangat menghormati keteguhan Lingling, dengan kecupan mesra… mesra sekali di bibir sensualnya. “Terima kasih Sayang. Aku sudah membuktikan kesucianmu. Hal ini sangat kuhormati dan kucintai,” ucapku setengah berbisik.
Aku memang sudah menjelaskan kepada Lingling, bahwa targetku akan memiliki istri 4 orang. Dan dua orang sudah siap untuk kuperistrikan, Liza dan Gayatri.
Lingling menerima kenyataan itu dengan tulus. Dan siap untuk menjadi mualaf, lalu menjadi istri ketigaku.
Lingling juga sudah tahu bahwa calon istri pertama dan keduaku adalah kakak beradik.
Sehingga Lingling mengajukan usul agar aku menikahi adiknya yang baru tamat SMA, untuk dijadikan istri keempatku. “Biar aku juga punya saudara sebagai sesama istri Boss,” kata Lingling saat itu.
“Jangan ah. Biar pendidikannya dilanjutkan dulu. Masa baru tamat SMA mau kawin?”
Ternyata punya banyak cewek juga bukannya membangkitkan semangat baru. Aku malah bingung sendiri, cewek mana yang akan kujadikan istri? Gayatri atau Liza atau Adelita atau Lingling atau siapa?
Berhari – hari aku memikirkan semuanya itu. Dan selama itu pula aku tidak menyentuh cewek mana pun. Karena gairah birahiku sedang menurun.
Walau pun begitu, aku selalu mentransfer dana buat mereka semua secara rutin tiap bulan. Dalam jumlah yang banyak pula. Agar mereka tidak kekurangan untuk kehidupan sehari – harinya.
Aku memang seperti kehilangan nafsuku untuk menggauli siapa pun, kecuali Bunda dan Donna yang secara rutin kugauli. Sementara yang lain – lain kubiarkan saja. Yang penting merekma jangan kekuarangan uang.
Satu – satunya jalan untuk mengobati perasaan galau ini adalah dengan berkonsentrasi ke arah bisnisku yang kelihatannya mengalami kemajuan pesat ini. Terutama bisnis di luar negeri. Tapi aku hanya memantaunya lewat internet. Karena yang aktif di luar negeri adalah orang – orang kepercayaan Papa almarhum, yang kini kupertahankan menjadi orang – orang kepercayaanku.
Dan pada masa galau inilah tiba – tiba aku menerima telepon dari Umi. Ya, tentu saja hanya ada satu orang yang kupanggil Umi, yaitu Umi Faizah. Ibunya Adelita.
Lalu :
Aku: “Hallo Umi… apa kabar? Umi sehat – sehat aja kan?”
Umi: “Sehat Sayang. Umi lagi ada di kotamu nih.”
Aku: “Haaa? Di mana Umi sekarang?”
Umi: “Di rumah adikku Sayang. Ke sini ya. Nanti kusmskan alamat lengkapnya.”
Aku: “Iya Umi. Setelah baca alamat lengkapnya, aku akan ke situ sekarang.”
Lalu kuterima sms berisi alamat lengkap rumah yang sedang Umi singgahi sekarang. Aku mengerutkan dahiku, karena alamat rumah itu berada di daerah paling elit di kotaku. Daerah yang harga tanahnya pun sudah selangit mahalnya.
Sesaat kemudian aku sudah berada di dalam sedan baruku, sedan putih bersih yang harganya biasa – biasa saja. Karena aku tak mau menonjolkan diri. Tak mau disebut orang kaya, apalagi disebut konglomerat muda. Aku selalu menghindari istilah – istilah yang akan dicatat oleh orang – orang pajak. Lagian bisnisku mayoritas di luar negeri.
Aku kalau sedang sehat lahir batin, suka menggunakan Grand Cherokee. Tapi kalau sedang galau selalu kugunakan sedan putih ini. Karena terasa lebih nyaman buat badanku. Suspensinya lebih lembut, tidak bikin sakit pinggang.
Aku memang sudah lama berniat mengunjungi rumah Umi di kampung yang tenang dan nyaman itu. Karena aku sudah kangen pada bodynya yang semok dan memeknya yang tembem. Tapi kegiatan bisnisku tidak memungkinkanku untuk meninggalkan kantorku terlalu jauh. Karena aku harus memantau terus laporan dari oprang – orang kepercayaanku di luar negeri.
Bahkan belakangan ini aku sedang mematangkan rencana untuk meluaskan bisnisku ke beberapa negara di Eropa. Tapi baru rencana. Jadi tidaknya, sang waktu yang akan menjawabnya kelak.
Beberapa saat kemudian sedan putihku sudah memasuki pekarangan luas sebuah rumah megah. Aku semakin yakin, pemilik rumah ini pasti orang tajir melintir.
Begitu sedanku terparkir, kutelepon Umi. Mengatakan bahwa aku sudah berada di depan rumah dengan memakai sedan putih.
Sesaat kemudian Umi muncul dari ambang pintu depan.
Di depan satpam yang menjaga rumah itu, kucium tangan Umi, lalu cipika – cipiki dengannya.
Kemudian dibawanya aku ke ruang keluarga yang lengang.
Aku duduk di sofa ruang keluarga. Umi pun duduk di sampingku.
“Ini rumah siapa Umi?” tanyaku.
“Rumah salah satu adik kandungku Don,” sahut Umi, “Dia membutuhkan pertolonganmu. Mudah – mudahan kamu berhasil menolongnya. Ketika masih remaja, dia bermukim di Lebanon. Lalu menikah dengan orang Austria tapi seagama dengan kita. Dia dibawa ke Austria oleh suaminya. Dan sekarang dia ingin beristirahat di sini.
“Lalu apa yang bisa kutolong olehku Umi?”
Umi menjawabnya dengan bisikan di telinganya, “Hamili dia Don.”
“Haaa?!” aku terperanjat.
Umi membisiki telingaku lagi, “Mau dikasih memek yang masih merepet rapet, masa Donny mau nolak?”
Aku menjawabnya dengan bisikan lagi, “Sttt… aku justru udah kangen sama memek Umi.”
Umi mencubit perutku sambil berkata perlahan, “Umi mah gampang. Disekap sebulan juga sama kamu gak apa – apa Sayang. Tapi tolong dulu adikku itu Don.”
“Tapi aku gak bisa berbahasa Arab, Umi.”
“Dia bisa bahasa Indonesia dengan baik kok. Kan dia lahir besar di Indonesia. Setelah remaja baru pindah ke Lebanon. Ingin mendapatkan jodoh orang kaya katanya. Dia berhasil mendapatkannya, tapi setelah lima tahun jadi istri orang Austria itu, sampai sekarang belum punya anak juga.”
“Sekarang mana orangnya?”
“Lagi mandi. Sebentar lagi juga pasti muncul ke sini.”
“Umi sudah bilang sama dia bahwa Umi akan mempertemukannya denganku?”
“Sudah. Pokoknya Donny sih tinggal nunggangi dia aja nanti. Hihihihiii… ohya… terimakasih ya, Adelita laporan bahwa dia sudah dibelikan rumah di Singapura. Sudah diangkat menjadi general manager pula, katanya.”
“Iya Umi. Aku memang kebingungan. Karena banyhak yang bvilang kalau aku dilarang menikah dengannya. Karena ayahnya adik ayahku. Jadi aku ini malah punya hak wali untuknya. Makanya sampai sekarang jadi bingung Umi.”
“Gak dinikahi juga gak apa – apa. Asalkan masa depannya terjamin Don.”
“Kalau masa depan sih sekarang juga sudah terjamin Umi. Karena dengan kedudukannya yang sekarang, dia punya gaji dan profit yang cukup besar.”
Tak lama kemudian muncul seorang wanita muda, mungkin usianya pun hanya selisih beberapa tahun denganku. Tapi yang membuatku bengong adalah bodynya itu. Lebih semok daripada Umi… Dan yang menyolok, pakaiannya tidak seperti Umi yang selalu berhijab. Tapi wanita muda itu mengenakan kerudung pun tidak.
“Wow… ada tamu…” ucapnya sambil tersenyum. Memang cantik orangnya sih. “Ini Donny itu Kak?”
“Iya. Tadinya dia mau menikah dengan Adelita. Tapi ternyata tidak dibolehkan, karena ayahnya dengan ayah Adelita kakak beradik kandung.”
Aku pun berdiri dan menjabat tangan wanita muda yang tampangnya memang kearab – araban itu.
“Zaina,” ucapnya memperkenalkan namanya.
“Donny,” sahutku.
Terdengar suara Umi di belakangku, “Zaina itu artinya sangat cantik Don. Adikku memang cantik kan?”
“Iya, “aku mengangguk, “Sangat cantik.”
Lalu aku duduk di sofa. Adik Umi yang bernama Zaina pun duduk di sampingku. Sambil memegang – megang lututku. “Donny juga tampan sekali. Boleh aku tahu umur Donny sekarang berapa?”
“Duapuluhdua.”
“Aku duapuluhempat tahun Don.”
Untuk menyenangkan hatinya aku menanggapi, “Tapi kelihatannya seperti di bawah duapuluh tahun.”
“Masa sih?!” cetusnya dengan senyum manis di bibibrnya.
Tiba – tiba terdengar suara Umi di belakangku, “Zaina… supaya leluasa mendingan bawa aja Donny ke kamarmu. Aku malah mau ke mall dulu, mau belanja oleh – oleh untuk pulang besok.”
“Pakai apa ke mall Umi?” tanyaku.
“Pakai mobil dan sopir Zaina aja,” kata Umi.
“Iya silakan,” ucap Zaina. Lalu Ia memegang pergelangan tanganku sambil berkata, “Ngobrolnya di kamarku aja yuk. Biar lebih bebas dan leluasa.”
Aku mengikutinya saja. Dan aku sendiri heran, kenapa aku jadi langsung tergiur menyaksikan body adik Umi ini? Entahlah. Mungkin karena pada dasarnya aku ini suka pada perempuan montok seperti Zaina ini.
“Katanya Donny ini anak Kang Rosadi ya?” tanya Zaina setelah kami berada di dalam kamarnya yang luas dan disekat – sekat oleh partisi kaca tebal, “Aku waktu masih kecil sering ketemu sama ayahmui Don.”
“Aku malah gak pernah lihat muka Ayah. Karena sejak bayi merah sudah diadopsi oleh Papa Margono, yang lalu membawa dan membesarkanku di Bangkok.”
“Iya, masalah itu pernah dengar dari Kak Faizah. Donny diadopsi oleh orang terkaya di antara orang – orang Indonesia yang bemukim di Bangkok ya.”
“Iya, tapi beliau sudah meninggal. Makanya aku ke Indonesia, untuk mencari ibu kandungku, berdasarkan surat wasiat dari Almarhum Papa Margono.”
Lalu hening sejenak.
“Don… kita saling panggil nama aja ya. Karena usia kita kan cuma beda dua tahun. Kamu kan udah tau, namaku Zaina. Kamu panggil aku Ina aja ya. Itu nama kecilku.”
“Iya,” sahutku sambvil duduk di sofa mahal dalam kamar Zaina.
Zaina pun lalu melepaskan gaun coklat mudanya, sehingga tinggal lingerie, sehingga sepintas pun tampak bahwa ia tidak mengenakan bra di balik lingerie tipis transparant berwarna pink itu. Bahkan kelihatan jelas, ada sepasang toket gede di balik lingerie itu.
“Kakakku sudah menceritakan apa maksudnya memanggil Donny kan?” tanyanya sambil memeghang tanganku dan meremasnya dengan lembut.
“Sudah. Dia minta tolong untuk menghamilimu. Tapi menghamili itu bukan perkara mudah Zain… eeeh… Ina… harus tekun… bukan sekadar satu kali ML.”
“Iya. Besok kakakku pulang ke kampungnya. Tapi Donny bisa datang lagi ke sini. Mau tiap hari juga boleh.”
“Aku kan punya kesibukan juga In.”
“Sempatkan ke sini sejam aja bisa kan? Pokoknya kalau aku hamil, rumah ini beserta semua isinya akan kuhadiahkan untuk Donny.”
Kalau orang lain mungkin akan melompat kaget. Karena kutaksir rumah beserta segala isinya ini akan laku dijual 50 milyar lebih. Tapi aku cuma tersenyum. Karena kalau aku mau, membeli 100 rumah senilai dengan rumah Zaina ini pun aku mampu. Maka kataku, “Lupakan masalah hadiah rumah segala. Aku mau melakukannya bukanm atas dasar ingin memiliki rumah ini.
Lalu atas dasar apa Donny mau melakukannya?”
“Karena Zaina sangat seksi di mataku.”
“Terima kasih Don… emwuaaaah…” ucap Zaina sambil mengecup bibirku dengan hangatnya.
“Di sana aja yok,” ujarnya sambil menunjuk ke bed luas tak jauh dari sofa yang kami duduki.
Zaina jadi tampak bersemangat sekali setelah mendengar “pengakuanku” bahwa dia sangat seksi di mataku. Tapi memang itu pengakuan yang sejujurnya dariku. Bahwa aku yang sedang berada di titik jenuh, seolah tak punya gairah lagi untuk menggauli siapa pun di dalam lingkaran kehidupanku. Tapi sewtelah menyaksikan bentuk fisik Zaina itu…
Terlebih ketika Zaina memamerkan keseksian bokongnya yang begitu gede… sehingga aku langsung membayangkan betapa nikmatnya kalau aku menyetubuhinya dalam posisi doggy. Bisa ngentot sambil spanking…!
Tapi Zaina sudah menelentang sambil melepaskan lingerie dan… celana dalamnya.
Dan… sebentuk kemaluan wanita yang bersih dari rambut, yang nyaris tertutupi oleh kegempalan pangkal pahanya, tampak seperti sesuatu yang cantik dan lucu, seolah tersenyum padaku. Membuatku tak sabar lagi. Membuatku menelanjangi diriku sendiri, lalu merayap ke atas perut yang serba empuk… laksana merayap ke atas kasur surgawi yang sudah terhampar untukku.
Aku tidak pasif lagi, karena nafsuku sudah mulai menggelegak. Kupagut bibir sensual wanita muda yang memang cantik sekali seperti kata Umi tadi. Lalu kulumat bibirnya sambil meremas toket gedenya yang empuk dan kenyal tapi masih cukup indah untuk diremas dengan lembut ini. Sementara kontolku terasa bertempelan dengan memeknya yang terasa hangat ini.
Zaina pun menyambut lumatanku dengan lumatan pula. Menyedot lidahku ke dalam mulutnya, lalu menggeluti lidahku dengan lidahnya. Sementara tangannya terasa memegang kontolku yang sudah ngaceng berat ini.
“Penismu international size Don… ereksinya pun sempurna. Punya suamiku kalah kalau dibandingkan dengan punya Donny ini,” ucapnya setelah melepaskan bibir dan lidahku dari mulutnya.
Aku tidak menanggapinya, karena sudah ingin melorot turun ke bawah perutnya.
Dan ketika wajahku sudah berhadapan dengan memeknya, spontan bibirku merapat ke memek imut – imut dan harum ini. Lalu menjilatinya dengan lahap… lahap sekali… laksana kafilah di tengah padang pasir menemukan oase, lalu minum sepuas mungkin… karena memang sudah berhari – hari aku tidak menikmati memek siapa pun.
Begitu gencarnya aku menjilati celah memeknya yang ternganga. Dengan nafsu semakin menggebu – gebu… kelentitnya pun tak lepas dari jilatanku, bahkan di bagian yang nyempil sebesar kacang kedelai ini kusertai dengan isapan – isapan kuat. Tentu saja secara spontan kualirkan air liurku ke dalam celah memek tembemnya itu.
Zaina pun semakin merenggangkan jarak sepasang paha gempalnya, sambil mengejang – ngejang… sambil meremas – remas bahuku dengan kuatnya.
Desahan – desahan nafasnya pun mulai terdengar.
Setelah memeknya terasa cukup basah, aku pun berlutut sambil memukul – mukulkan kontolku ke permukaan memek yang sudah ternganga kemerahan itu. Lalu kucolek – colekkan moncong kontolku ke celah memek Zaina, sambil mencari – cari arah yang tepat untuk dipenetrasi. Dan setelah merasa cukup tepat arahnya, kudoirong kontolku sekuat tenaga.
Zaina pun memegang sepasang pangkal lenganku ketika aku mulai mengayun kontol ngacengku dengan gerakan pelan – pelan dulu. Makin lama makin kupercepat, sampai pada kecepatan normal.
Desahan dan rointihannya pun mulai terdengar perlahan tapi jelas, “Dooon… oooooohhhh… ini enak sekali Dooon… semoga jadi anak ya Dooon… aaaaah… Dooonny… ini enak Dooon… oooohhhh… Dooony… aaaah… aaaaaaaah… entot lebih keras lagi Doooon… iyaaaaa… iyaaaaaa…
Aku pun mengikuti keinginannya, agar entotanku lebih keras. Sehingga dalam tempo singkat keringatku mulai bercucuran. Begitu juga Zaina, keringatnya mulai membasahi leher dan wajahnya. Bercampur aduk dengan keringatku. Namun aku tak peduli dengan hal kecil ini. Aku malah melakukan sesuatu yang belakangan ini kusukai.
Ini membuat Zaina semakin klepek – klepek. Sekujur tubuhnya bergeliang – geliut, seperti ular terinjak kepalanya. Bahkan beberapa saat kemudian terdengar suaranya di dekat telingaku, “Doooon… ooooooh… aku udah mau orga Dooon… oooooh… cepetkan entotnya Dooon… ooooohhh… aaaaaaah …
Lalu sekujur tubuh gempal sintal itu mengejang. Aku pun langsung membenamkan kontolku sedalam mungkin, karena ingin menikmati indahnya detik – detik pada saat pasangan seksualku orgasme.
Lalu… liang memek perempuan timur tengah itu terasa bergerak – gerak reflex. Duuuh… indahnya menikmati detik – detik beraroma surgawi ini…!
Kubiarkan dulu wanita timur tengah itu terkapar lemas dengan wajah pucat pasi. Namun kemudian kulihat wajahnya kemerahan lagi. Pada saat itulah kulanjutkan lagi entotanku yang belum selesai ini.
Mata Zaina terbuka lagi. Dan bertanya, “Mau nyobain posisi doggy?”
Aku pun menghentikan entotanku, “Hehehee… Zaina tau aja posisi kesukaanku,” ucapku sambil mencabut kontolku dari liang memek tembem itu.
Kemudian Zaina menungging sambil menepuk – nepuk bokong gedenya sendiri.
“Boleh sambil spanking kan?” tanyaku sambil berusaha membenamkan kontolku sambil berlutut di depan bokong guedeee itu.
“Iya boleh. Aku malah seneng sambil dikemplangin pantat gitu. Sampai merah sekali juga boleh… ooooohhh… sudah masuk lagi Doooon… penismu kok enak banget siiih?!”
Dengan mudahnya kontolku memang sudah amblas ke dalam liang memek yang sudah terasa becek itu.
Lalu mulailah aku mengentotnya sambil mengemplangi sepasang buah pantat yang luar biasa gedenya itu.
Plllllaaaaakhhh… plooooookhhh… plaaaakkkkk… plooookkkk… plaaaaaakkkkk… ploooook… plaaaaak… ploooookkkk… plaaaakkkk…
Sementara itu gesekan antara kontolku dengan liang memek Zaina yang becek itu menimbulkan bunyi khas… crrrreeeekkk… sreetttttt… creeeek… sreeeet… crekkkkkk… sretttt… creeeekkkkkkk… sretttt…
Pantat gede yang kukemplangi terus itu mulai tampak merah – merah. Tapi aku tetap mengemplanginya dengan gairah yang semakin menggebu – gebu.
Memang nafsuku sedang agak aneh. Mengentot Zaina ini rasanya seperti menghadapi dua atau tiga cewek sekaligus. Sehingga keringat pun semakin membanjiri tubuhku. Namun aku tetap asyik mengentotnya dari belakang.
Tiba – tiba Zaina berkata, “Don… posisi missionary lagi aja Don. Soalnya aku sudah hampir orgasme lagi. Kalau bisa sih barengin sekalian ya.”
“Iya,” sahutku. Meski sebenarnya aku masih ingin berlama – lama menikmati pulennya liang memek wanita timur tengah yang lahir besar di nusantara itu.
Lalu kucabut kontolku dari liang memeknya. Zaina pun cepat menelentang sambil mengangkangkan kedua pahanya lebar – lebar.
Lalu… kujebloskan lagi kontolku ke dalam liang memek yang gurih dan legit itu.
Zaina menyambutku dengan pelukan dan bisikan, “Barengin ya… biar enak dan jadi anak…”
Aku mengiyakan saja. Sambil mengayun kontolku seolah sedang memompa liang memek wanita timur tengah itu. Sengaja kucepatkan dan kukeraskan gerakan kontolku, laksana gerkaan hardcore di bokep – bokep.
Saking keras dan cepatnya gerakan kontolku ini, sampai terdengar bunyi plak – plok plak – plok – plak – plok… itu bunyi kantung berisi biji pelerku yang sedang menepok – nepok mulut anus Zaina.
Zaina pun merintih dan mendesah erotis lagi. “Aaaaaah… Dooooon… aaaaaah… aaaaah… baru sekali ini aku merasakan kontol yang segini enaknya… entot terus Dooon… aku sudah hampir orgasme lagi… ooooooohhhhh… barengin yaa… barengiiin… iya Dooon… iyaaaaa… aku mau orga lagiiii …
Sebagai reaksi, aku pun mempercepat entotanku… menggenjot liang memek Zaina habis – habisan. Lalu ketika wanita timur tengah itu mulai mengejang sambil menahan nafasnya, aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin, sampai menabrak dasar liang memeknya.
Detik – detik terindah itu pun terjadi. Bahwa ketika liang memek Zaina bergerak – gerak reflex… mengejut dan memutar seperti spiral… dibalas dengan kejutan – kejutan kontolku yang tengah memuntahkan lendir kenikmatanku.
Crrrreeeettttt… croooootttt… croooottttt… crotttt… crooootttttttt… creettttttt… crooootttttttt…!
Terasa banyak sekali air maniku yang termuntahkan di dalam liang memek Zaina. Maklum sudah lebih dari sebulan aku disubukkan oleh bisnisku dan tidak menyetubuhi siapa pun.
“Jangan dicabut dulu Don,” ucap Zaina setengah berbisik. “Biar meresap ke dalam rahimku. Duuuh… banyak sekali spermamu yaaa…”
“Sudah lebih dari sebulan aku tidak menyetubuhi siapa pun.”
“Bagus itu. Sekarang aku sedang dalam masa subur pula. Semoga aku hamil ya.”
“Iya. Nanti anakku dibawa jauh ke Austria… hahahaaa…”
“Aku bakal sering datang ke sini. Kan ada bisnis di Surabaya dan di kota ini.”
“Ohya?! Hebat dong Zaina jadi wanita karier.”
“Begini Don… nanti seandainya kamu berhasil membuahiku, aku akan secepatnya terbang ke Austria. Di sana aku akan mengajak suamiku menggauliku. Supaya anak kita disangka anak dia.”
“Suami Zaina asli orang Austria?”
“Bukan. Dia berdarah Turki, tapi berkewarganegaraan Austria.”
“Seandainya dia minta test DNA gimana?”
“Kalau dia nyuruh test DNA segala, berarti dia sudah mencurigaiku. Kalau dia marah – marah, aku akan minta cerai aja dan langsung pulang ke Indonesia. Karena aku merasa tanah airku di sini. Bukan di Lebanon.”
“Lalu bagaimana dengan bisnisnya? Punya suami Zaina kan?”
“Bukan. Dia pegawai departemen perindustrian. Kalau di sini sih PNS lah. Bisnis itu semuanya bisnisku. Bukan bisnis dia.”
“Jadi kalau sampai terjadi perceraian, Zaina bisa langsung hengkang ke Indonesia ya?”
“Iya. Cuman sayangnya pusat bisnisku di Vienna, Austria. Kalau meninggalkan Austria entah bagaimana cara mengelolanya nanti. Di sini Vienna suka disebut Wina.”
“Tergantung siapa dulu yang nyebutinnya. Kalau wawasannya lokal, pasti nyebut Wina… bisa tertukar sama nama penyanyi dangdut. Hahahahaaaa…”
“Iya. Kalau bangsa kita mau tour ke Yunani, terus beli tiketnya di Eropa, bisa bingung nanti penjual tiketnya. Yunani… Yunani… mana ada bangsa lain menyebut Yunani untuk Greece.”
“Seperti menyebut Mesir untuk Egypt… Belanda untuk Nederland… kok jauh bener bedanya ya.”
Ketika hari sudah mulai remang – remang menuju malam, aku pun meninggalkan rumah Zaina. Dan berjanji akan datang lagi dua hari kemudian.
Aku pun menujukan sedan putihku ke rumah Bunda. Karena aku sudah kangen… kangen sekali kepada Bunda yang sudah agak lama tidak berjumpa denganku.
Setibanya di rumah Bunda, hari sudah semakin malam, karena tadi mengisi perut dulu disebuah café yang menyediakan nasi gorewng juga.
Aku langsung mencari Bunda ke kamarnya. Kebetulan Bunda baru selesai mandi dan sedang menggosok – gosok rambutnya dengan handuk.
“Keramas nih yeee…” ucapku sambil memeluk Bunda dari belakang.
“Iya. Bunda kan baru bersih mens. Makanya keramas,” sahutnya.
“Asyik dong… berarti sekarang memek Bunda sedang enak – enaknya.”
“Iya. Kamu kangen pengen numpakin bunda yang udah lama gak ditengok ya?”
“Iya Bun. Kangen berat. Café siapa yang nungguin?”
“Donna lah, siapa lagi kalau bukan dia. Kan tugas Bunda dari pagi sampai sore. Donna giliran dari sore sampai café tutup.”
“Dia tetap semangat nungguin cafe ya Bun,” ucapku masih memeluk Bunda dari belakang, tapi tanganku sudah kuselinapkan ke balik daster Bunda. Dan langsung menyentuh memek Bunda, karena seperti biasa, kalau sudah dekat waktunya tidur Bunda tak pernah mengenakan celana dalam mau pun beha. Ini membuatku semakin bernafsu untuk mencolek – colek dan mencolok – colok memek bunda yang selalu bersih dari jembut.
Meski aku berada di belakang Bunda, tapi aku sudah hafal di titik mana kelentitnya berada. Titik yang terpeka itulah yang digesek – gesek oleh jemariku.
Aneh memang. Tadi siang sampai sore aku habis – habisan menyetubuhi wanita muda montok dari Lebanon bernama Zaina itu. Tapi setelah berdekatan dengan Bunda, terlebih setelah menggerayangi memeknya begini, nafsuku jadi bergejolak lagi.
Mungkin “lesu darah”ku sudah sembuh lagi. Mungkin gara – gara mendapatkan Zaina yang montok sekali itu.
Tadi dengan Zaina aku hanya satu kali ngecrot. Tidak mau “nambuah sapiriang”. Karena dengan Zaina ada tujuan, ingin menghamilinya. Bukan sekadar melampiaskan nafsu syahwat.
Setelah berada di rumah Bunda inilah aku bisa disebut ingin melampiaskan nafsu syahwat semata. Karena tujuannya memang sekadar ingin “mengenyangkan” si johni, yang belum kenyang di rumah Zaina.
Lalu terdengar suara Bunda, “Dooon… kalau itil bunda udah digesek – gesek gini, pasti bunda langsung horny.”
Lalu Bunda melepaskan dasternya dan menarik pergelangan tanganku ke arah bednya.
Aku pun naik ke atas bed sambil melepaskan seluruh busanaku, lalu merayap ke atas perut Bunda yang sudah celentang dengan senyum beraroma birahi di bibirnya.
Tanpa kesulitan aku pun membenamkan kontolku ke dalam liang memek Bunda. Ya… Bunda senengnya begini. Tidak suka main jilat memek sebelumnya, karena “lezatnya” kontolku jadiu kurang terasa kalau dibikin basah kuyup dulu memeknya.
“Ooooohhh… udah masuk Don, “rintih Bunda setengah berdesah “Kamu sudah punya banyak cewek, tapi sama bunda tetap mau ya?”
Kusahut, “Bunda sayang… memang aku punya cewek banyak. Tapi biar bagaimana, Bunda jua yang paling mengesankan bagiku.”
Lalu aku mulai mengayun kontolku di dalam liang memek bunda yang sudah licin tapi belum becek.
Maka Bunda pun mulai menggeol – geolkan bokong gedenya, meliuk – liuk dan menghempas – hempas. Membuat kontolku dibesot – besot dan dipilin – pilin oleh liang memeknya yang licin dan hangat ini.
Kalau dipikir – pikir, agak merinding juga aku dibuatnya. Dahulu, waktu aku dilahirkan, sekujur tubuh dan kepalaku dikeluarkan lewat liang memek Bunda ini. Dan sekarang hanya kontolku yang maju – mundur di dalam liang sanggama ini.
Tapi anehnya, ingatan itu malah membuatku semakin bersemangat untuk menyetubuhi Bunda dan Donna secara rutin.
Meski tadi siang sampai sore aku “disekap” di dalam kamar Zaina, kini aku masih mampu mengentot Bunda dengan keyakinan bahwa aku akan sangat lama menyetubuhi Bunda ini.
Tapi ketika aku sedang asyik – asyiknya mengentot Bunda, tiba – tiba terdengar suara Donna dari ambang pintu kamar Bunda yang lupa menguncinya. “Waaaah… malam weekend begini memang harus ada acara hot wikwik… kok aku gak diajak sih?”
Aku menoleh ke arah Donna yang masih mengenakan baju seragam café. blousedan sok serba putih, dengan blazer merah dengan logo café di dadanya. “Mandi dan ganti baju dulu. Nanti gabung aja ke sini.”
“Siap Boss. Aku mau mandi di kamar mandi Bunda aja ah. Memang badanku penuh keringat nih,” sahut Donna yang langsung bergegas masuk ke dalam kamar mandi Bunda.
Aku pun melanjutkan aksiku, menggenjot batang kemaluanku yang sedang “memompa” liang memek Bunda.
Bunda pun bereaksi dengan menggeol – geolkan lagi pantat gedenya. Demikian pandainya Bunda mengarahkan goyangan pinggulnya, dengan gerakan meliuk – liuk dan menghempas – hempas, sehingga pada wqaktu memeknya menukik, selalu bergesekan dengan kontolku. Hal ini menyebabkan Bunda cepat “selesai”. Bunda berkelojotan, lalu mengejang tegang di puncak orgasmenya.
Detik – detik terindah itu dirasakian oleh batang kemaluanku yang seolah dililit oleh ular, disusul oleh kedutan – kedutan kencang di dasar liang memek Bunda.
“Aaaaaaaaahhhh…” desah Bunda setelah puncak orgasmenya tercapai.
Pada saat yang sama Donna pun muncul dari kamar mandi, dengan hanya melilitkan handuk dibadannya, yang menutupi dari dada sampai ke pahanya. Tapi aku yakin di balik handuk itu Donna tidak mengenakan bra mau pun celana dalam.
Aku pun mencabgut kontolku dari liang memek Bunda, karena beliau sudah terkapar lemas sambil memejamkan matanya.
Pada saat itulah Donna naik ke atas bed sambil melepaskan belitan handuknya.
Donna langsung telanjang bulat. Dan aku tercengang karena menyaksikan sesuatu yang berbeda dengan biasanya.
Ternyata Donna selalu berusaha untuk mengikuti apa pun yang kuinginkan. Donna selalu berusaha menyenangkan hatiku. Dalam pertemuanku dengan Donna sebelumnya, kukatakan bahwa aku sudah mulai jenuh dengan memek botak dan botak lagi.
Dan kini sesuatu yang berbeda telah tampak di mataku. Bahwa memek Donna jadi berjembut. Jadi trendnya seperti terbalik. Memek Bunda dicukur gundul, sementara memek Donna malah berjembut.
Sebenarnya aku akan menyetubuhi Donna dio samping Bunda yang sudah tertidur. Tapi sesaat kemudian Bunda membuka matanya dan berkata, “Donna… di kamarmu aja gih. Biar bunda nyenyak tidurnya. Nanti subuh kan mau belanja ke pasar.”
“Iya Bun,” sahut Donna sambil memberi isyarat padaku agar pindah ke dalam kamarnya.
Aku mengangguk. Tapi aku mencium bibir Bunda dulu, disusul dengan bisikan, “Aku mau ke kamar Donna dulu. Tapi nanti tidurnya sama Bunda di sini ya. Udah kangen bobo dalam pelukan Bunda.”
Bunda mengusap – usap rambutku sambil menyahut, “Nanti subuh bunda mau belanja ke pasar, untuk kebutuhan café. Kalau bunda kurang tidur, bisa sakit nanti. Bobo sama Donna aja ya Sayang.”
“Iya deh,” jawabku sambil menepuk – nepuk memek bunda yang masih telanjang. Lalu keluar dari kamar bunda sambil meraih pakaianku dan kubawa ke kamar Donna.
Pakaian itu kuilemparkan ke atas lemari pendek, lalu memperhatikan Donna yang sudah berada di atas bed dalam keadaan telanjang seperti aku.
Tadi aku sudah habis – habisan menyetubuhi Bunda. Tapi aku belum ejakulasi. Karena itu tentu saja “si dede” masih ngaceng dan menuntut dientotkan lagi di dalam liang memek.
“Kamu masih ikutan kabe Don?” tanyaku sambil naik ke atas bed.
“Masih lah.”
“Gak pengen punya anak dariku?” tanyhaku sambil mengusap – usap jembut Donna.
“Jangan dong. Kita memang incester. Tapi kita hidup di tengah masyarakat yang masih konservatif. Lagian kalau aku punya anak darimu, lantas setelah besar anaknya bertanya siapa ayahnya… pasti bingung aku menjawabnya kan?”
“Iya, kamu benar juga. Terus langkah kita selanjutnya bagaimana? Hubungan kita tetap akan berjalan seperti ini?”
“Mmm… pasti akhirnya kita harus kawin dengan orang lain. Tapi meski kamu sudah punya istri dan aku pun sudah punya suami, aku ingin agar hubungan rahasia kita tetap berjalan seperti biasa.”
“Oke. Kalau begitu aku setuju. Hmmm… padahal di salah satu provinsi di negara kita ada tradisi yang unik. Kalau anak kembar berlainan jenis kelamin, salah satu anaknya diberikan kepada orang lain. Tapi setelah besar dinikahkan, karena sudah membawa jodoh dari lahir katanya. Tapi gak tau apakah sekarang tradisi itu masih dilakukan atau sudah ditinggalkan.
“Iya, aku juga pernah dengar cerita tentang tradisi itu. Jodohnya sudah ada sejak kedua anak kembar itu masih dalam perut ibu mereka. Kalau di sini ada tradisi seperti itu, pasti kita sudah menjadi suami istri ya.”
Sambil menmyelusupkan jari ke dalam liang memek Donna, aku berkata, “Kalau sekadar ingin menikah, di louar negeri juga bisa kita lakukan. Tapi waktu pulang ke sini, malah bisa bikin heboh nanti. Ohya… kamu kan di café terus. Apakah ada cowok yang ngeceng kamu?”
“Ada yang serius sama aku. Dia seorang duda yang baru ditinggal mati oleh istrinya. Dia seorang pengusaha tajir. Terlihat dari mobil yang biasa dipakai pun mobil yang harganya milyaran.”
“Nah bagus itu. Terima aja cintanya, kan kita bisa tetap berhubungan secara rahasia.”
“Sudah tua Don,” sahut Donna, “Umurnya sudah limapuluh lebih.”
“Gak apa. Malah bagus kalau sudah tua. Dia bakal menerima kamu apa adanya.”
“Maksudmu apa adanya dalam hal apa?”
“Kamu kan gak perawan lagi. Kalau lelaki yang sudah berumur, pasti mau menerima kamu apa adanya.”
“Dia orang Belanda Don. DIa memang sudah jadi WNI, karena istrinya almarhumah orang Indonesia. Tapi agamanya… dia bukan mualaf Don.”
“Coba aja bujuk agar menjadi mualaf. Siapa tau dia mau.”
“Sudah kubilang begitu. Dia mau memikirkan dulu katanya. Eeeh… kamu mau kuoral?”
“Nggak ah. Aku waktu sama Bunda tadi kan belum ngecrot. Masih ngaceng gini ngapain dioral segala? Aku justru ingin jilatin memekmu. Pengen tau bagaimana rasanya menjilati memek berjembut begini.”
“Ya udah… jilatin deh memekku,” ucap Donna sambil celentang dan mengangkang.
Aku tersenyum sambil melorot turun dan berhenti setelah wajahku berada di atas memek Donna yang kini berjembut.
Kuusap – usap dan kusibakkan jembut Donna agar menjauh dari bagian yang akan kujilati. “Memekmu harum gini. Pakai parfum apa?” tanyaku, “Harumnya unik gini… seperti aroma pegunungan.”
“Pakai ramuan therapy. Kalau pakai parfum sih bisa panas memekku,” sahut Donna.
“Ooo… pantesan. Tapi mantap harumnya Don. Kamu boleh pakai terus ramuan itu.”
“Iya Donny sayang… apa pun akan kulakukan demi cintaku padamu.”
Lalu aku tidak bicara lagi, karena lidah dan bibirku mulai “sibuk” menjilati memek saudara kembarku. Semua bagian yang terjangkau oleh lidah, kujilati dengan lahap. Lahap sekali. Memang harum udara pegunungan yang begini natural membuatku sangat bersemangat untuk menjilati memek Donna.
Bahkan pada suatu saat, kuemut kelentitnya. Kujilat – jilat dan kuisap – isap dengan kuatnya.
Donna pun menggeliat – geliat sambil, meremas – remas rambutku. “Dooon… dudududuuuuh… kalau itilku yang dijilatin begini… aku pasti orgasme… aaaaaah… Doooon… aaaaaah… aku bisa cepat lepas Dooon… aaaaaaah… Doooniiii… jangan nakal gini dong… aku… aku mau lepasssssss…
Donna mengejang tegang, sementara akku malah semakin lahap menjilati kelentitnya, sambil memasukkan dua jari tanganku ke dalam liang memeknya pula.
Dan… jari tanganku bisa merasakan liang memek Donna mengejut – ngejut… disusul dengan basahnya liang sanggama saudara kembarku ini.
Donna terkulai lemas. Pada saat itulah kubenamkan kontolku ke dalam liang memeknya. Blessssss… kontolku bisa dengan mudah memasuki liang kemaluan saudara kembarku, karena dia baru mengalami orgasme.
Donna mendekapku erat – erat sambil berkata setengah berbisik, “Jangan dientotin dulu Sayang… aku baru orgasme… masih ngilu – ngilu.”
Kuikuti saja permintaannya. Kurendam kontolku di dalam liang memek Donna yang terasa hangat dan sangat basah ini.
“Enak orgasmenya barusan?” bisikku sambil merapatkan pipiku ke pipi Donna.
“Ya enaklah. Masa orgasme gak enak. Kamu nakal iiih… belum apa – apa aku udah orgasme jadinya.”
“Santai aja Sayang. Kan biasa juga kamu suka dua atau tiga kali orgasme kalau kusetubuhi.”
“Iya sih… mmm… ayo entotin Don. Sekarang udah hilang ngilu – ngilunya.”
Sesuai dengan permintaan Donna, aku pun mulai mengayun kontolku di dalam liang memek saudara kembarku.
Donna pun mulai mendesah – desah sambil menciumi bibirku bertubi – tubi.
Menyetubuhi Bunda dan Donna seolah sudah menjadi kewajibanku, untuk memberikan nafkah batin kepada mereka. Aku tak pernah memikirkan bagaimana seandainya Bunda menikah lagi dengan lelaki lain kelak. Juga tak pernah memikirkan hal yang sama pada diri Donna. Biarlah semua mengalir saja seperti air dari mata air yang mengalir terus ke muara.
Dan ketika aku sedang menyetubuhi Donna ini, aku mengherani diriku sendiri. Kenapa aku seolah kehilangan gairah untuk menggauli Gayatri, Liza dan Lingling? Tapi kenapa pada waktu menyetubuhi Donna ini aku merasa begini bergairahnya? Apakah pada dasarnya aku sudah menjadi incester?
Entahlah. Yang jelas pada waktu kontolku sedang menggenjot liang memek saudara kembarku ini, aku merasa benar – benar bebas menyetubuhinya.
Terlebih ketika Donna membisiki telingaku, “Donny… setiap kali dientot sama kamu, rasanya aku seperti sedang berada di surga… surga dunia. Rasanya di dunia ini hanya ada kita bertiga. Aku, kamu dan Bunda.”
Aku cuma tersenyum. Lalu menggencarkan entotanku sambil meremas toket kanannya dengan tangan kiriku, sementara mulutku sudah nyungsep di lehernya. Untuk menjilati leher jenjangnya, disertai gigitan – gigitan kecil yang tidak menyakitkan.
Donna memang paling suka diperlakukan seperti ini. Dientot habis – habisan sambil dijilati lehernya dan diremas – remas toketnya.
“Donniiii… ooooohhhhh… ini makin enak aja Dooon… bisa – bisa aku orgasme lagi nantiiii… “rintih sambil meremas – remas bahuku. Terkadang dia meremas – remas rambutku juga. Dan di saat lain dia meremas – remas bokongku. Sehingga aku semakin bergairah untuk mengentotnya habis – habisan.
Tubuhku pun mulai bersimbah keringat yang bercamnpur aduk dengan keringat Donna.
Tapi tiba – tiba Donna mengelojot, dengan perut agak terangkat ke atas dia pun mengejang. Sehingga aku semakin mempercepat entotanku. Karena aku pun sudah mau ejakulasi.
Lalu kurasakan nikmatnya mencapai titik puncak keindahan secara berbarengan ini. Bahwa aku dan Donna seolah sedang kerasukan. Kami saling remas dan saling lumat bibir. sumber Ngocoks.com
Pada detik – detik terindah itulah terasa liang memek Donna berkedut – kedut kencang… pada saat yang sama kontolku pun mengejut – ngejut sambil melepaskanlendir pejuhku… jrooooooooottttttt… jrootttt… jroooottttttttt… jrooooootttt… jroootttt jrottttt… jrooootttt…
Setelah melepaskan ciumannya, Donna berkata lirih, “Terima kasih Don. Luar biasa nikmatnya.” Setelah mencabut kontolku dari liang memek Donna, kukecup pipinya, lalu berbisik, “Bobolah sekarang ya Sayang. Besok kan harus jaga café.”
“Iya Don. Terimakasih yaaa…” sahut Donna sambil memeluk bantal guling dan memejamkan matanya.
Aku keluar dari kamar Donna dan masuk ke dalam kamarku. Langsung masuk ke dalam kamar mandi pribadiku. Lalu mandi dengan air hangat shower sampai bersih dari keringat bekas ngentot Bunda dan Donna tadi.
Selesai mandi, kuambil kimono yang terbuat dari bahan handuk putih yang masih bersih. Lalu kukenakan. Tapi sesuai dengan ucapanku tadi, aku tidak tidur di kamarku. Aku ingin tidur di kamar Bunda. Entah kenapa, kalau tidur sambil dipeluk oleh Bunda itu rasanya nyaman sekali.
-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
Hari demi hari berjalan dengan cepatnya, tanpa bisa dimundurkan. Sampai pada suatu hari terjadi sesuatu yang mengejutkan.
Aku tidak menyangka sedikit pun kalau hal itu akan terjadi.
Ya… pada suatu pagi aku mendapat call dari Tante Sin.
“Don… ini bagaimana nih… Gayatri muntah – muntah terus… dan aku yakin dia sedang hamil… !” kata Tante Sin di ujung sana.
“Hamil?! Sejak kapan dia kelihatan hamilnya?” tanyaku.
“Gak tau. Pokoknya Donny ke sini aja ya. Nanti bawa dia ke dokter biar jelas semuanya.”
Dengan perasaan kaget dan heran aku mengeluarkan sedan putihku. Lalu kujalankan ke arah rumah Tante Sin yang sudah lebih dari tiga bulan tidak kukunnjungi. Berarti aku pun sudah lebih dari tiga bulan tidak berjumpa dengan Gayatri.
Setibanya di rumah Tante Sin, aku langsung naik ke lantai dua. Ke pintu kamar Gayatri.
Kulihat Gayatri sedang menelungkup sambil menangis terisak – isak.
Kupegang dan kugoyahkan betis Gayatri. “Kenapa Tri? Kamu kena muntaber atau gimana?” tanyaku.
“Gak tau. Pokoknya aku mual – mual terus belakangan ini.”
“Kalau begitu ayo kita ke dokter sekarang. Biar semuanya menjadi jelas.”
Gayatri turun dari bednya dengan wajah dan rambut lusuh. Lalu keluar dari kamarnya sambil kupegangi pergelangan tangannya.
Gayatri menurut saja kubawa ke dokter langgananku. Seorang dokter wanita. Aku pun ikut masuk ke dalam ruang praktek dokter itu. Gayatri pun dibawa masuk ke balik partisi kain putih, sementara aku duduk di depan meja kerja dokter yang sudah kenal baik denganku itu.
Bersambung…