Aku mendengar banyak tanya jawab antara dokter itu dengan Gayatri. Dan yang sangat mengejutkan adalah ketika dokter itu duduk kembali di kursinya sambil berkata p;adaku, “Dia hamil sudah empat minggu Don.”
“Empat minggu?!” seruku tertahan.
“Iya. Kenapa Don?”
“Gak kenapa – kenapa Dok. Cuma kaget aja.”
Aku bilang gak kenapa – kenapa pada dokter wanita berwajah ayu dan anggun itu. Tapi masalah “empat minggu” itu serasa mau meledak dari dalam dadaku setelah berada di mobil kembali untuk mengantarkan Gayatri beli obat resep dokter.
Dari apotek menuju tempat tinggal Gayatri, aku tak bisa lagi menahan amarah yang serasa mau meledak ini.
“Siapa yang melakukannya Tri?” tanyaku.
Gayatri cuma menunduk sambil mendekap dadanya sendiri.
“Jawab aja sejujurnya. Kamu kan selalu jujur biasanya juga, “desakku.
Gayatri tetap membisu.
“Kamu sengaja tidak mau mengatakannya karena ingin melindungi cowok itu? Atau aku harus menyelidikinya sendiri ke tempat semua pergauloanmu, baik yang di rumah mau pun yang di kampus,” kataku lagi.
“Aku lupa minum pil anti hamil, makanya kebobolan.”
“Yang aku tanya siapa cowok yang telah menghamilimu itu? Yang pasti bukan aku! Hampir empat bulan aku sibuk terus sehingga gak sempat menjumpaimu. Sedangkan kehamilanmu berumur baru empat minggu. Berarti perbujatanmu dengan cowok itu di sekitar sebulan belakangan ini. Atau mungkin sebelumnya juga sering melakukannya, tapi terjaga oleh pil kontrasepsi.
“Aku mau sejujurnya bicara. Yang melakukannya teman kuliahku. Yang pertama kali, aku diperkosa olehnya. Tapi selanjutnya memang suka sama suka, karena aku merasa sudah kepalangan basah. Sekarang terserah Bang Donny. mau bunuh aku pun silakan. Aku sudah pasrah.”
“Aku pengusaha, bukan pembunuh. Aku hanya akan memberi keputusan yang tidak merugikan siapa pun. Hubungan kita putus sampai di sini. Dengan sendirinya dengan Liza pun aku putuskan. Karena aku takkan mengenal Liza kalau aku tak mengenalmu.”
Gayatri menangis terisak – isak. Biasanya hatiku luluh kalau menyaksikan cewek menangis. Tapi kali ini tidak. Aku bahkan membayangkan seperti apa kejadiannya yang tidak aku saksikan itu. Kejadian persetubuhan antara Gayatri dengan teman kuliahnya itu.
Ketika aku masuk ke dalam tempat tinggal Gayatri, Tante Sin seperti penasaran. “Bagaimana hasil pemeriksaan dokter Don?” tanyanya.
“Dia memang hamil. Baru empat minggu kehamilannya. Jelas bukan aku yang merlakukannya. Karena lebih dari tiga bulan aku tak pernah berjumpa dengan dia. Jadi… ini terakhir kalinya aku menginjak rumah Tante. Maafkan aku kalau selama ini melakukan kesalahan kepada Tante ya.”
“Ja… jadi siapa yang menghamilinya?” tanya Tante Sin.
“Tanyakan aja sendiri padanya Tante. Aku mohon pamit ya.”
Lalu kutinggalkan rumah Tante Sin. Dengan kobaran amarah yang belum reda bahkan semakin menjadi – jadi setibanya di rumahku.
Jadi… seperti itu kelakuan cewek yang sangat kusayang dan kupercayai dan tadinya akan kujadikan istri pertama itu?!
Tapi aku lalu mengatur nafas. Dan bermeditasi di dalam kamarku.
Esoknya aku berusaha memetik hikmah dari semua ini. Bahwa aku mendadak kehilangan gairah birahi selama berbulan – bulan, ternyata ada kekuatan tak terkalahkan untuk membuka rahasia Gayatri, bahwa diam – diam dia sering melakukan keserongan di belakangku. Kalau aku terus – terusan menggaulinya selama empat bulan belakangan ini, pasti aku takkan bisa membongkar rahasia itu.
Pantaslah orang- orang tua suka memberi wejangan, bahwa mencari calon istri itu harus mencermati dulu babat bibit dan bobotnya. Salah satunya adalah apa dan siapa orang tua dan keluarga besarnya.
Sedangkan Gayatri? Ibunya (Tante Agatha) seperti itu, tantenya (Tante Sin) seperti itu. Maka tidak terlalu mengherankan kalau Gayatri pun seperti itu. Karena buah itu takkan jatuh jauh dari pohonnya.
Sekarang mataku sudah terbuka. Dan selanjutnya aku harus waspada, jangan cepat percaya pada siapa pun. Kecuali kalau aku ini seorang lelaki cuckold… hahahaaa…!
Lalu calon istriku yang belum ternoda itu adalah Lingling. Semoga saja dia tidak seperti Gayatri. Kalau pun Lingling seperti Gayatri, ya sudahlah. Mungkin aku akan mencari calon istri di dalam keluarga besarku saja. Bukankah sejak pertama merasakannya dengan Mama angkatku sudah ada jiwa incest di dalam jiwaku ini?
Tiba – tiba aku teringat Imey, anak Tante Ratih yang digadang – gadang hendak dijodohkan denganku itu.
Aku memang selalu mentransfer dana pada rekening tabungannya, dalam jumlah yang tak sedikit pula. Karena ia sudah resign dari pabrik, atas anjuranku. Tapi aku baru satu kali saja berjumpa dengan dia di rumah ibunya yang adik Bunda itu. Sejak saat itu aku tak pernah berjumpa lagi dengannya, namun aku selalu mentransfer dana padanya, sebagai tanda keseriusanku.
Aku serasa mendapatkan ilham baru. Kemudian kupijat nomor ponsel Imey.
Mungkin anak Tante Ratih bernama Imey itu kaget, karena tiba – tiba saja aku menghubunginya lewat ponselku.
“Kok tumben duluan call? Biasanya kan harus aku dulu yang call.”
“Segala sesuatu ada waktunya. Kan ada yang bilang, sesuatu akan menjadi indah pada waktunya. Nah sekarang aku mau jemput ke rumahmu, gimana?”
“Mau ngajak ke mana?”
“Pengen ke pantai. Kamu mau kan diajak ke pantai Pangandaran?”
“Duh… aku seneng banget dengernya juga. Karena aku paling suka wisata ke pantai. Tapi Mama lagi di Surabaya Don. Di rumah gak ada siapa – siapa. Mendingan juga Kang Donny nemenin aku di rumah aja.”
“Ngajak aku nginep di rumahmu?”
“Iya, nginep juga boleh. Sampai Mama pulang dari Surabaya juga boleh. Aku sudah dapat ijin khusus kok dari Mama, kalau Kang Donny bertamu dan menginap di rumah, dibolehkan menginap.”
“Oke. Dalam sejam aku akan merapat ke rumahmu ya.”
“Silakan. Aku tunggu ya Kang.”
Aku pun langsung mandi sebersih mungkin. Sehingga badanku jadi terasa segar sekali.
Beberapa saat kemudian aku sudah melarikan sedan putihku. Menuju rumah Tante Ratih.
Rumah Tante Ratih tidak ada garasinya. Tapi aku bisa memarkir mobilku di pekarangannya yang lumayan luas. Imey pun muncul dan menghampiri mobilku.
“Mobilnya diganti?” tanyanya setelah bersalaman dan cipika – cipiki denganku.
“Ditambah, bukan diganti,” sahutku sambil tersenyum.
“Oh iya… aku lupa siapa Kang Donny ini… hihihiii… ayo masuk,” ucapnya sambil melangkah ke teras depan dan masuk ke dalam rumahnya.
“Lho… rumah ini sudah dirombak ya,” ucapku sambil melangkah terus ke ruang keluarga. Sambil memperhatikan dindingnya yang sudah dilukis sekujurnya. Lukisan seperti ombak dalam warna hitam abu – abu dan putih. Sungguh bagus nuansa dan coretannya.
“Iya… kan aku sudah resign dari pabrik. Daripada nganggur, kulukis aja dindingnya seperti ini. kamarku pindah ke belakang, ke tanah kosong itu. Bangunan kamar baruku dan semuanya ini dibiayai oleh transfer dari Kang Donny.”
“Jadi dinding ini Imey sendiri yang melukisnya?”
“Iya… hitung – hitung menyalurkan bakat terpendam aja Kang. Sekalian mengobati kangennya aku menunggu kedatangan Kang Donny yang lebih dari setahun gak muncul – muncul.”
Kudekap pinggang Imey dari belakang, “Ternyata kamu punya bakat melukis ya. Coretannya pun halus begitu. Mmm… aku kagum sama coretan di dinding itu, Mey. Coba lihat kamar barumu seperti apa?”
Dengan sikap manja Imey menuntunku menuju kamar barunya.
Kamar baru Imey ternyata lumayan modern, dengan peralatan serba kekinian. Kamar mandinya sudah menggunakan shower model baru, yang besar dan terbuat dari stainless steel, bahkan ada bathtub segala.
“Nanti kita mandi bareng di sini ya,” ucapku sambil meraih lehernya ke dalam pelukanku. Lalu kucium bibirnya dengan mesra. “Janjinya mau dilaksanakan sekarang kan?”
“Janji apa?” tanyanya. Aku yakin dia pura – pura tidak ingat janjinya yang p[ernah disampaikan lewat WA. Janji untuk membuktikan keperawanannya.
“Janji untuk membuktikan yang satu ini,” sahutku sambil menepuk bagian di bawah perutnya yang masih tertutup daster putihnya.
“Sekarang? Siang – siang gini?” tanyanya lagi.
“Iya. Mendingan juga siang, biar lekuk – lekuk tubuhmu jelas semuanya di mataku. Nanti malam sih bisa aja untuk ronde kedua dan ketiga.”
“Hihihiii… aku dengar pengantin di malam pertama sampai ada yang delapan kali ya.”
“Kita sih gak usah begitu. Santai aja. Paling juga tiga atau empat kali,” ucapku sambil melepaskan kancing – kancing daster putih Imey yang berderet di depan dari atas ke bawah.
“Gak mau dibikinin kopi dulu Kang?”
“Mmmm… boleh juga deh. Tapi jangan pakai gula ya.”
“Kopi pahit?”
“Iya. Kalau kopi, aku suka yang pahit. Tapi kalau cewek, aku suka yang manis. Kayak Imey.”
Imey tersenyum sambil merapatkan dadanya ke dadaku, “Kalau manis, sun bibirku lagi dong,” ujarnya dengan bola mata bergoyang perlahan.
Spontan kucium bibir Imey dengan kehangatan batinku. Ewuaaaaaaaaahhhhh…!
“Makaciiii…” ucap Imey setelah ciumanklu terlepas. Lalu bergegas ia keluar dari kamarnya.
Aku pun duduk di atas sofa merah dalam kamar Imey. Mungkin sofa inilah yang termasuk barang lama. Sementara yang lain – lainnya barang baru semua.
Senang hatiku, karena dana yang kutransfer dijadikan untuk membeli barang – barang baru. Kamarnya pun membangun baru, yang katanya dibiayai oleh duit dariku semua.
Aku dengan Imey memang selalu aktif berkomunikasi di WA. Bahkan sudah sangat “jauh” pembicaraannya. Termasuk mengorek pengakuan tentang keperawanannya. Di WA pun dia berjanji akan memberikan keperawanannya padaku, asalkan aku menikahinya kelak. Tapi di darat, inilah perjumpaanku yang kedua kalinya. Yang pertama, waktu diklenalkan oleh mamanya (Tante Ratih).
Aku pun sudah meminta nomor rekening tabungannya di bank. Dan tiap tanggal muda aku selalu mentransfer dana ke rekening tabungannya. Dalam jumlah yang jauh lebih besar daripada gajinya semasa masih bekerja di pabrik.
Sebenarnya aku diam – diam sedang membangun 4 pabrik. Semuanya dibangun di luar kota, tapi tak jauh dari kotaku. Letaknya terpencar dan berjauhan satu sama lain. Karena aku tetap ingin menyembunyikan identitasku yang sebenarnya. Kalau keempat pabrik itu berdekatan, terlalu mencolok. Pasti namaku jadi bahan gunjingan orang, meski gunjingannya positif.
Lalu untuk apa aku membangun empat pabrik itu? Aku sedang menyiapkan untuk diberikan kepada empat orang istriku, jika aku sudah menikah kelak.
Tapi sekarang, nama Gayatri dan Liza sudah kucoret dari daftar calon istri – istriku. Tinggal Lingling yang masih teguh akan kujadikan calon istri. Karena selkama ini aku tak pernah dikecewakan oleh sikap dan perilakuku.
Tak lama kemudian Imey muncul lagi dengan secangkir kopi panas dan sepiring croissant di atas piring yang semuanya itu diletakkan di atas baki.
Lalu didekatkannya secangkir kopi dan sepiring croissant itu ke depanku.
“Sebenarnya ada urusan apa mamamu ke Surabaya Mey?” tanyaku sambil menarik pergelangan tangan Imey agar duduk di samping kiriku.
“Ngurusin Tante Santi.”
“Emangnya ada apa dengan Tante Santi?”
“Dia cerai sama suaminya. Tante Santi kan deketnya sama Mama. Makanya mama dipanggil.”
“Untuk merujukkan kembali?”
“Bukan. Tante Santi justru yang mengajukan tuntutan cerainya juga. Dia ingin pindah ke sini. Makanya minta dijemput sama Mama.”
“Kapan mamamu berangkat?”
“Tadi subuh. Pakai kereta api. Mama kan takut naek pesawat terbang. Jadi sekarang mungkin masih di jalan. Belum sampai Surabaya. Padahal kalau pakai pesawat sih sejam setengah juga nyampe.”
Aku tidak menjawab, karena lengan kiriku mulai melingkari pinggang Imey, sementara tangan kananku mulai menyelinap ke balik daster putihnya. Ketika tanganku sudah tiba di celana dalamnya, Imey malah merenggangkan sepasang paha putih mulusnya. Seolah mempersilakanku untuk menggerayangi “sesuatu” yang berada di balik celana dalam itu.
Dan… ketika tanganku sudah menyelinap ke balik celana dalamnya, kusentuh memek berjembut. Tapi jembutnya sudah tergunting rapi. Lagipula jembutnya jarang dan halus sekali.
Terasa suhu badan Imey menghangat ketika aku sudah menyentuh memeknya. Bahkan ia bertanya setengah berbisik, “Aku harus telanjang?”
“Ya iyalah,” sahutku, “Biar leluasa kita melakukannya Sayang…”
“Sebentar… keluarin dulu tangannya,” kata Imey sambil menarik tanganku yang sudah berada di balik celana dalamnya.
Setelah kukeluarkan tanganku dari balik celana dalamnya, Imey berkata, “Sebenarnya aku degdegan banget Kang. Tapi aku tak mau mengingkari janjiku yang pernah kuketik di WA tempo hari. Tapi aku minta Kang Donny juga mau berjanji untuk menikahiku nanti ya.”
“Iya. Tapi Imey akan kujadikan istri keempat. Istri termuda. Soalnya aku sudah punya tiga calon istri. Gak apa – apa kan?”
Imey tercengang dan berucap, “Wow… Kang Donny maju poligami?”
Imey tertunduk sejenak. Lalu berkata, “Gak apa – apa deh. Istri termuda sih biasanya dimanja kan?”
“Walau pun bukan dijadikan istri termuda, kamu ini saudara sepupuku Mey. Kakek nenekmu dari Tante Ratih, adalah kakek – nenekku dari Bunda. Tentu saja aku akan memanjakanmu dalam batas yang wajar.”
Imey mengangguk angguk sambil tersenyum manis. Lalu melepaskan daster putihnya, sehingga tinggal bra dan celana dalam yang masih melekat di badannya. Aku pun berdiri dan melangkah ke belakang Imey, “Pakaian dalammu biar aku yang melepaskannya,” kataku.
“Silakan, “Imey mengangguk.
Lalu akulah yang melepaskan beha mau pun celana dalamnya, sehingga tubuh telanjang yang sangat mulus dan seksi itu sudah terpamerkan di depan mataku.
Ooooh… betapa bodohnya aku selama ini. Tubuh sebegini mulusnya dan wajah sebegini cantiknya kuabaikan gara -[ gara Gayatri jahanam itu…!
Menyaksikan Imey sudah telanjang bulat, aku pun melepaskan busanaku sehelai demi sehelai, hanya celana dalam yang kubiarkan tetap melekat pada tempatnya. Aku pernah membaca bahwa lelaki paling sexy di mata wanita, adalah ketika masih mengenakan celana dalam. Bukan telanjang bulat. Jadi sebaiknya lelaki hanya telanjang pada waktu mau melakukan penetrasi.
Kemudian kuraih Imey ke atas bednya.
“Nama lengkap Imey apa sih?” tanyaku sambil menghimpit dadanya dengan dadaku.
“Imelda,” sahutnya, “Waktu masih kecil aku dipanggil Imel, tapi lidahku masih sulit menyebut Imel, lalu aku sendiri yang membahasakan namaku jadi Imey.”
“Sekarang kan sudah dewasa. Lebih keren Imel. Jadi mulai saat ini aku akan memanggilmu Imel aja ya,” kataku.
“Iya, terserah Kang Donny,” sahut Imey yang mulai saat ini akan kupanggil Imel, sesuai dengan nama lengkapnya Imelda.
Sebenarnya ada alasan kuat kenapa aku ingin mengubah nama Imey menjadi Imel. Karena aku memiliki “taman” yang namanya Mey Hwa dan biasa dipanggil Meymey terkadang dipanggil Imey juga. Karena itu supaya tidak rancu, kuubah saja nama Imey menjadi Imel.
Namun masalah nama itu tak lagi dibicarakan, karena aku sudah mulai menelungkupi Imel sambil memagut bibirnya ke dalam ciuman dan lumatanku. Awalnya Imel seperti kebingungan maenanggapi lumatanku. Mungkin pengakuannya benar. Bahwa pada waktu masih pacaran dahulu, hanya sebatas cipika – cipiki saja yang dilakukannya.
Karena itu aku tak terlalu menharap “tanggapan” Imel dalam soal kissing ini. Lagian sesaat kemudian aku mulai giat meremas toket kanannya sambil mengemut pentil toket kirinya. Sehingga suhu badan Imel pun makin menghangat saja rasanya.
Mungkin detik – detik paling mendebarkan bagi Imel, adalah ketika aku sudah melorot turun, sehingga wajahku jadi berhadapan dengan kemaluannya yang berjembut tapi tergunting rapi. Sehingga aku yakin takkan ada kendala bagiku untuk menjilati memek saudara sepupuku ini.
Lalu kungangakan memek Imel, sehingga bagian dalamnya yang berwarna pink itu tampak jelas di mataku. Bahkan kelentitnya pun tampak jelas, berada di bagian paling atas dalam “kompleks” kemaluan Imel ini. Pada saat inilah kuperhatikan bagian dalam memek Imel. Sambil membandingkan dengan foto – foto memek perawan (virgin vagina) yang sering kulihat dari situs kesehatan.
Dan… aku sudah yakin bahwa Imel memang masih perawan. Tinggal 1 hal lagi saja yang belum kubuktikan… darah perawannya.
Setelah mendorong kedua belah paha Imel agar terbuka wilayah “operasi”ku, aku pun mulai menyapu – nyapukan ujung lidahku di celah yang sudah kungangakan dan berwarna pink itu.
Imel tersentak dan bersuara, “Dududuuuuh… memekku diapain Kang?”
Aku pun menghentikan jilatanku, untuk menjawab pertanyaan lugu Imel itu. “DIjilatin. Supaya basah dan licin. Agar tidak sakit pada waktu kontolku dimasukkan ke dalam memekmu Sayang.”
“Owh… memangnya Kang Donny gak jijik jilatin memekku?”
“Kalau cinta sudah melekat, tai ayam juga rasa coklat Neng,” sahutku sambil menepuk – nepuk paha Imel.
Lalu Imel terdiam. Aku pun melanjutkan aksi oralku.
Imel pun terdiam pasrah. Tapi lalu ia menggeliat – geliat sambil memegangi sepasang bahuku. “Kaaaaang… oooooh… oooooohhhhh… Kang… rasanya kok kayak melayang – layang gini Kaaaaang… tapi… ini luar biasa enaknya Kaaaang… adudududuuuuh… apalagi kalau itilku dijilatin gini Kaaaang…
Aku memang semakin gencar mengoral memek Imel. Bukan cuma menjilati bagian yang berwarna pink itu, tapi juga kelentitnya kujilati dan kuisap – isap.
Aku pun emngalirkan air liurku sebanyak mungkin ke dalam celah memek Imel yang kemerahan itu.
Imel mendesah, merengek, menggeliat dan terkejang – kejang terus. Sampai akhirnya aku merasa sudah cukup banyak kualirkan air liurku ke dalam memek saudara sepupuku itu.
Dan akhirnya, kulepaskan celana dalamku. Sehingga kontolku yang sudah ngaceng berat ini tak tertutup apa – apa lagi.
Lalu kuletakkan moncong kontolku dengan cermat, pas di mulut liang sanggama Imel yang masih “malu – malu” (masih rapat dan seperti tersenyum).
Lalu dengan hati – hati namun disertai tenaga full, kudorong kontolku.
Jam terbangku dalam memasukkan kontoil kepada memek perawan memang sudah tinggi. Sehingga terasa kepala kontolku sudah membenam.
Baru “topi baja”nya saja.
Lalu kudorong lagi sekuatnhya. Uggggh… memang sempit sekali. Tapi aku berhasil memasukkan sampai lehernya.
Aku pun menghempaskan dadaku ke dada Imel.
“Udah masuk ya?” tanya Imel nyaris tak terdengar.
“Udah… tapi baru sedikit,” sahutku disusul dengan dorongan kontolku kembali dengan tenaga full lagi. Aaaaaaaaah… sedikit demi sedikit kontolku pun masuk setengahnya.
Lalu seperti biasa kutarik batang kemaluanku perlahan – lahan dan hati – hati, agar jangan sampai terlepas karena susah lagi masukinnya di liang memek sesempit ini.
Lalu kudorong lagi sambil mendesak agar masuk lebih dalam. Tarik lagi perlahan, dorong lagi semakin dalam, tarik lagi perlahan dan dorong lagi semakin dalam.
Akhirnya liang memek Imel terasa sudah bisa beradaptasi dengan ukuran penisku.
Imel pun mulai mendekap pinggangku erat – erat. Sambil menggeliat – geliat dan merintih – rintih histeris. “Kaaaaang… oooo… oooo… oooooohhhhh Kang Donny… aaaaaaah Kaaaaang… begini ya rasanya bersetubuh inmi Kaaaang… oooooh…”
“Sakit nggak?” tanyaku yang masih mengentotnya perlahan – lahan.
“Tadi ada sedikit… kayak digigit semut doang. Sekarang malah luar biasa enaknya Kaaaang…”
“Kita ini lagi apa?” tanyaku.
“ML,” sahutnya.
“Dalam bahasa sundanya apa?”
“Eeee… eweaaaan… aaaaah Kang Donny… jadi aja aku keceplosan ngomong kasar…”
“Kalau lagi beginian memang harus ngomong jorok sekali – sekali. Biar tambah merangsang eweannya.”
“Masa sih?”
“Iya. Kalau pakai bahasa halus terus, malah bikin kita cepat jenuh.”
“Ngentot juga berasal dari bahasa sunda ya Kang.”
“Iya. Asal katanya ngentod. Tapi karena banyak yang merasa kesulitan menyebut kata yang hurup akhirnya hurup D, maka jadi aja disebut ngentot. Seperti nekad malah disebut nekat. Tekad jadi tekat. Adududuuuuuh… heunceut Imel enak sekali Meeel…”
“Hihihihi… kontol Kang Donny juga enak sekali… bikin geli – geli enak begini…”
Lalu aku mulai serius menggenjot kontolku keluar masuk di dalam liang memek Imel yang luar biasa sempitnya ini.
Tak cuma mengentot liang memeknya. Aku pun menciumi bibirnya, menjilati lehernya, mengemut pentil toket kirinya sambil meremas toket kanannya yang lumayan gede ini. Sehingga Imel semakin menggeliat – geliat sambil merintih – rintih perlahan, “Kaaaang… ooooohhhh… Kaaaaang… oooooohhhh… Kaaaaang …
Ooooooohhhhh… Kaaaaaang… ooooh… makin lama… makin enak Kaaaang… ooooh… Kang Donny… cintaku padamu semakin dalam Kaaaang… aku lama – lama tidak dijumpai lagi Kang… aku mau hidup di samping Kang Donny terusssss… ooooh Kaaaang… ini luar biasa enaknya Kaaaaang… aaaaaahhh…
Meski suaranya tertahan – tahan, aku masih bisa mendengarnya dengan jelas. Bahkan ketika keringhatku mulai menetes – netes, karena sudah cukup lama menyetubuhi saudara sepupuku ini… tiba – tiba ia berkelojotan, dengan mata melotot seperti panik. Aku pun mempercepat entotanku… makin lama makin cepat…
Lalu detik – detik paling indah pun kunikmati… bahwa ketika liang memek sempit Imel berkedut – kedut perlahan, kontolku pun mengejut – ngejut sambil memuntahkan lendir surgawiku… croootttt… croooottttt… croooottttcrotttt… crooootttttttt… crotttcrottttt… crooootttttt…
Aku memang tidak seperti biasanya, buru – buru ejakulasi. Karena aku tak mau menyiksa Imel terlalu lama. Selain daripada itu, aku pun ingin melihat darah perawan Imel.
Maka setelah mencabut kontolku darilianr memek Imel, kulihatgenangan darah sebanyak 1 sendok teh di bawah memek Imel.
“Masih perawan kan aku?” ucap Imel sambil bangkit dan tahu kalau aku sedang memperhatikan darah perawannya.
“Iya Sayang,” sahutku sambil membelai rambut Imel, “Kamu memang masih perawan sebelum kusetubuhi tadi. Tapi sekarang bukan perawan lagi kan?”
“Iya, kan sudah kupersembahkan buat Kang Donny tercinta. Ohya… Kang… kudengar dari teman – temanku, pengantin di malam pertama itu bisa sampai delapan kali bersetubuh. Betul begitu Kang?”
“Ah… itu sih terlalu berlebihan. Kita jangan ikut – ikutan seperti itu. Memekmu kan harus dijaga dan dirawat. Jangan dirusak. Biar awet… sampai tua masih enak rasanya.”
“Kalau terlalu sering bersetubuh itu bisa merusak juga ya Kang.”
“Begini,” sahutku, “sekarang aja kamu bisa rasakan sendiri, ada darah dari dalam memekmu kan? Itu berarti ada luka di dalam memekmu. Meski bukan luka yang parah, kalau digasak untuk bersetubuh dan bersetubuh lagi, bisa tambah melebar lukanya kan? Bisa juga terjadi infeksi yang lalu menimbulkan keputihan dan sebagainya.
“Iya ya.”
“Nah… aku ingin agar memekmu tetap sehat dan enak. Karena itu aku harus bersabar menunggu sampai luka itu kering dan siap untuk dientot lagi.”
“Biasanya berapa hari luka ini kering dan ready for use lagi Kang?”
“Dalam tiga atau empat hari juga sembuh Mel. Kita ambil yang terbaik aja ya. Mmm… sekitar lima hari lagi kita lakukan lagi untuk yang kedua kalinya.”
“Iya Kang. Aku sih mau ambil jalan yang paling sehat aja.”
“Ohya… ada obat yang harus diminum,” ucapku sambil mengeluarkan dompetku dari saku jaket kulitku. Kemudian kukeluarkan 1 strip pil kontrasepsi. Dan kuserahkan kepada Imel.
“Apa ini Kang?”
“Baca aja di keterangan dan aturan pakainya.”
Imel membaca keterangan pil kontrasepsi itu di secarik kertas yang ada di dalam kotak tipisnya. “Ini obat anti hamil Kang,” ucapnya sambil membaca terus kertas dari pabrik obat yang mengeluakran pil kontrasepsi itu.
“Iya. Meski kita sudah nikah, aku sih ingin agar Imel jangan hamil dulu. Supaya leluasa untuk bergerak dan bekerja. Sekalian biar panjang bulan madunya.”
“Iya Kang… aku sih mau ikuti aturan Kang Donny aja. Mmm… ini harus segera diminum ya Kang.”
“Iya, “aku mengangguk sambil melangkah ke dalam kamar mandi. Cuma ingin kencing sekalian mencuci alat vitalku yang berlepotan spermaku sendiri, bercampur dengan lendir dari memek Imel.
Setelah kencing dan membersihkan alat kejantanan, aku pun keluar lagi. Tampak Imel sedang minum pil itu.
“Ohya… pabrik bekas tempat kerjamu itu memproduksi apa Mel?”
“Pabrik garment Kang. Produksinya ya pakaian semua.”
“Mmmm… kalau Imel diserahi jabatan untuk memimpin sebuah pabrik garment baru, sanggup?”
“Sangguplah. Ilmunya sudah tersimpan di otakku dari A sampai Z, Kang.”
Aku mengangguk – angguk sambil berpikir.
“Mmmm… kita keluar dulu yok. Nyari makanan.”
“Kang Donny lapar?”
“Iya… biasanya kalau sudah begituan suka lapar.”
“DI sini juga ada makanan. Tapi malu menyuguhkannya sama Kang Donny. Karena teman nasinya sederhana sekali. Cuma sop kacang merah dan peyek.”
“Aku suka kok sop kacvang merah. Tapi aku mau mengajakmu keluar untuk memperlihatkan sesuatu. Ayo kita mandi dulu, untuk membersihkan keringat. Biar makannya nikmat nanti.”
“Ayo, “Imel mengangguk sambil tersenyum manis.
Kemudian kami mandi bersama. Saling menyabuni secara bergantian dan sebagainya. Tapi aku berusaha untuk tidak melakukan apa pun kecuali mandi sebersih mungkin.
Beberapa saat kemudian Imel sudah berada di dalam mobilku, yang kutujukan ke arah barat.
Aku akan memperlihatkan salah satu pabrik yang baru selesai dibangun itu, yang letaknya di sebelah barat kotaku. Karena rumah Imel berada di daerah barat kotaku, maka aku pun akan menyerahkan pabrik yang disebelah barat kotaku, agak keluar kota sedikit. Supaya Imel tidak merasa kejauhan dari rumahnya kelak.
“Imel bisa nyetir mobil?” tanyaku ketika sedan putihku sudah melewati batas kota.
“Bisa,” sahut Imel, “tinggal melancarkan aja. Emangnya kenapa? Mau disuruh nyetir mobil ini?”
“Hanya ingin tau aja. Memang cewek zaman sekarang harus pandai nyetir. Jangan terlalu mengandalkan sopir.”
“Iya sih. Jangan kayak aku. Ke mana – mana cuma pakai motor.”
“Gampang, kalau soal mobil sih nanti kubelikan. Tapi di rumahmu belum ada garasi ya?”
“Iya sih. Padahal di sebelah kanan rumah ada tanah kosong, yang tadi dipakai parkir mobil ini.”
“Punya mobil harus punya garasi. Jadi sebelum ada mobilnya, bangun dulu garasinya. Nanti kutransfer duit untuk membangun garasinya.”
“Kang Donny serius nih?” tanya Imel sambil memegang pergelangan tangan kiriku.
“Aku gak pernah bercanda dalam masalah penting Mel,” sahutku sambil membelokkan sedan putihku ke pabrik yang sudah selesai dibangun itu.
“Kang… bangunan itu seperti pabrik baru ya?”
“Iya. Pabrik garment yang akan kamu pimpin nanti.”
“Haaaa?! Waahh… rasa ngimpi ngedengarnya juga.”
Seorang satpam menghampiri mobilku yang sudah diparkir di halaman depan pabrik itu. Setelah aku turun dari mobil, ia terkejut dan langsung bersikap tegak sambil berkata, “Selamat sore Big Boss.”
Aku mengangguk sambil tersenyum, sementara Imel sudah berdiri di sampingku.
“Instalasi listrik sudah dipasang semua?” tanyaku kepada satpam itu.
“Belum Big Boss. Kata instalatur, pemasangan instalasi sebaiknya dilakukan setelah mesin – mesinnya ada. Supaya instalasinya bisa mengikuti kebutuhan mesin – mesinnya.”
Sambil berjalan mengelilingi pabrik yang belum aktif itu, aku bertanya kepada Imel yang berjalan di sampingku, “Masih ingat mesin apa saja yang dibutuhkan untuk sebuah pabrik garment?”
“Masih ingat smeuanya. Tapi di pabrik tempatku bekerja itu, mesin – mesin gedenya hanya mesin tenun. Untuk membuat tekstil yang akan dijadikan bahan pakaian. Supaya pabrik bisa mengeluarkan pakaian dengan bahan dan corak yang belum ada di pasaran. Lalu yang sangat banyak sih mesin jahit Kang.”
“Jadi mayoritas buruhnya tukang jahit ya?”
“Iya. Yang mengoperasikan mesin tenun sih hanya duapuluh orang. Tukang jahitnya sampai ratusan.”
“Besar mana pabrik ini ini dengan pabrik bekas tempatmu bekerja?”
“Jauh besaran dan megahan bangunan pabrik ini Kang.”
“Di sini nanti kamu akan kujadikan direktur utamanya.”
“Wow! Aku dahulu di bagian produksi Kang. Kalau dijadikan dirut… mampu gak ya?”
“Nanti aku bimbing terus,” ucapku, “sebagai seorang dirut, kamu cukup duduk manis di ruang kerjamu. Yang bekerja kan manager – manager.”
“Iya… iyaaa…”
“Sebagai seorang dirut, tentu saja kamu harus punya mobil. Masa dirut cuma naik motor bebek. Tapi bangun dulu garasinya ya. Nanti dananya akan kutransfer.”
Imel memeluk lengan kiriku sambil merapatkan kepalanya ke bahuku, “Ini benar – benar surprise buatku Kang. Aku gak nyangka sedikit pun kalau akan mendapat anugerah setionggi ini. Terima kasih Kang. Aku akan laksanakan apa pun yang diminta oleh Kang Donny.”
“Beli buku – buku tentang managemen dan leadership sebanyak mungkin ya Mel. Lalu pelajari semua buku – buku itu.”
“Siap Kang. Aku memang harus banyak menimba ilmu secara informal. Jangan sampai kalah sama manager – manager nanti.”
Beberapa saat berikutnya, aku dan Imel sudah berada di dalam restoran yang letaknya tidak terlalu jauh dari bangunan pabrik yang akan kuserahkan kepada Imel untuk memimpinnya itu.
“Nanti aku akan memasang iklan. Untuk mencari beberapa orang calon manager. Kalau buruh biasa sih pasang iklannya setelah pabrik siap untuk beroperasi aja,” kataku sambil menyantap makanan yang sudah dihidangkan.
“Iya Kang.”
“Ohya… kamu kan punya bakat melujkis juga. Nanti bakatmu bisa disalurkan untuk membuat design kain bahan pakaiannya.”
“Iya Kang. Aku punya koleksi majalah impor. Majalah yang berisi tentang corak tekstil. Tadinya aku kan ingin kuliah di seni rupa. Tapi keburu jadi buruh pabrik. Hihihiiii…”
“Sekarang amu harus menyiapkan mental dan fisik untuk menjadi seorang pemimpin. Karena nanti kamu bukan hanya akan menjadi buruh biasa.”
“Iya Kang. Mudah – mudahan aku mampu melaksanakan amanat dari Kang Donny.”
Beberapa hari kemudian aku menerima panggilan Donna di ponselku.
“Donny lagi di mana sekarang?”
“Di rumah peninggalan Papa angkatku. Kenapa Donna?”
“Ini ada Tante Santi yang baru bercerai dengan suaminya. Dia ingin bekerja Sayang.”
“Tempatkan aja di cafému. Kasih gaji yang lebih dari semestinya.”
“Dia S2 manajemen Don. Kasian dong. Masa es-dua dijadikan waiter atau kasir di café?!”
“Es-dua?!”
“Iya.”
“Kalau gitu bawa aja ke rumahku sekarang. Aku lagi ribet nih.”
“”Aku juga lagi sibuk di café. Biar nanti kucariin taksi aja. Kan dia bisa pergi sendiri. Bukan anak kecil kok.”
“Ya udah terserah kamu. Alamatku aja kasih sama dia.”
Setelah hubungan seluler ditutup, aku memanggil Bi Inah, pembokatku.
Setelah Bi Inah muncul, aku berkata, “Bi… beresin dan bersihin kamar yang di lantai tiga ya.”
“Siap Den. Mau ada tamu?”
“Iya. Tanteku dari Surabaya mungkin akan tinggal di sini selama beberapa hari.”
“Owh… iya Den. Saya mau bersihkan kamar yang di lantai tiga Den,” ucap Bi Inah sambil bergegas meninggalkan ruang kerjaku.
Sebenarnya aku sedang memantau perkembangan usahaku di luar negeri dari laptopku. Tapi konsentrasiku jadi buyar, karena akan datangnya tamu, adik Bunda yang bernama Santi itu.
Sebenarnya aku sudah pernah ketemu dengan Tante Santi di rumah Bunda. Tapi kali ini mungkin kedatangannya termasuk penting bagiku. Karena kudengar dari Donna tadi, Tante Santi itu sudah S2 di bidang manajemen pula. Bukankah aku membutuhkan assisten untuk mendampingi Bu Kaila?
Aku masih ingat benar, Bu Kaila yang saat itu sudah kutempatkan sebagai dirut di perusahaanku, mendatangi ruang kerjaku yang terpisah dari kantor. Saat itu Bu Kaila berkata padaku, “Makin lama perusahaan ini makin sibuk Boss. Mungkin saya membutuhkan seorang wakil yang sudah S2 di bidang manajemen. Supaya semua masalah bisa ditangani dengan cepat.
Dan aku masih ingat benar, bahwa aku sudah menunggu lama untuk mendapatkan kesempatan berbicara empat mata ini. Kalau kuhitung – hiotung, Bu Kaila sudah setahun menjabat dirut di perusahaanku.
Dan sejak awal berjumpa, aku sudah tergiur oleh bentuk tubuhnya. Tapi aku sangat berhati – hati, karena dia sangat kubutuhkan di perusahaan. Prestasinya memang sangat gemilang, sehingga dalam tempo setahun dia sudah membuat perusahaanku jadi berkembang dengan pesatnya.
Aku juga tahu bahwa dia sudah punya suami. Terkadang suaminya bahkan suka mengantarkan Bu Kaila pagi – pagi. Tapi suaminya tidak pernah menjemput pada waktu Bu Kaila sudah mau pulang.
Kesimpulannya, aku tidak boleh memperlakukan Bu Kaila seperti yang sering kulakukan kepada perempuan lain. Karena kalau dia merajuk, bisa gawat perusahaanku nanti.
“Soal wakil dirut sih nanti saja kita pikirkan Bu. Karena aku sudah punya calonnya. Tapi harus kuuji dahulu kemampuan dan terutama kejujurannya,” ucapku.
“Bagus itu Boss. Kalau saya sendiri yang mengajukan calonnya, takut dianggap mau KKN,” sahut Bu Kaila, masih dalam sikap formal. Seperti tidak ada celah untuk memancingnya.
Tapi aku tak kehilangan akal. Lalu kataku, “Aku percaya kok sama Bu Kaila. Prestasi Ibu sangat brilliant di mataku. Tapi sekarang aku ingin membahas sesuatu yang sangat pribadi sifatnya.”
“Masalah apa Boss?”
“Masalah Bu Kaila dan aku.”
“Maksudnya?” wanita 35 tahunan itu tampak bingung.
“Aku ingin mempererat hubungan baik di antara kita berdua. Supaya owner dan dirut kompak… sesolid – solidnya.”
“Dengan cara apa supaya owner dan dirut ini kompak dan solid Boss?”
“Aku mau nanya dulu. Secara pribadi, Bu Kaila memandang perlakuanku kepada bawahan seperti apa? Coba jawab sejujur mungkin, agar aku bisa self observasi.”
“Mmm… Boss masih sangat muda tapi bijaksana. Yang saya rasakan sih, selama saya memimpin perusahaan ini, Boss belum pernah memarahi saya satu kali pun. Sehingga saya merasa nyaman bekerja di sini.”
“Lalu secara fisik, dalam pandangan Bu Kaila aku ini seperti apa?”
“Boss masih sangat muda. Tampan dan baik hati,” sahutnya dengan senyum di bibir sensualnya.
“Di mataku, Bu Kaila ini manis dan seksi sekali.”
“Aaaah… masa sih Boss… “Bu Kaila tersipu – sipu.
“Beruntung suami Ibu, karena memiliki Ibu yang… hmmm… takkan pernah membosankan. Mmm… boleh aku bicara terus terang tentang apa yang pernah kualami dan menyangkut tentang Bu Kaila?” tanyaku.
Bu Kaila mengangguk sambil tersneyum.
Lalu aku berkata dengan suara agak dipelankan, “Bu… belakangan ini sudah lebih dari tiga kali aku mimpi bersama Bu Kaila. Sehingga aku bingung sendiri. Kenapa aku harus bermimpi tentang wanita yang sudah punya suami ya,” ucapku mengada – ada alias ngarang. Karena sebenarnya aku tak pernah bermimpi tentang dia.
Tapi Bu Kaila menyahut serius, “Masa sih Boss? Kok sama dengan mimpi saya ya?”
“Bu Kaila pernah mengalami mimpi bersamaku?”
“Iya Bos. Tapi cuma satu kali. Tidak sering seperti Boss.”
“Tapi minimal Bu Kaila pernah mimpiin aku kan?”
“Iya… mimpinya gak tau diri. Masa mimpiin Big Boss?! Maafkan mimpi saya ya Boss.”
“Gak ada yang perlu dimaafkan. Aku justru merasa ada kesamaan di dalam mimpi kita. Karena itu aku ingin mewujudkan mimpi itu dalam kenyataan.”
“Maaf Boss… memangnya mimpi Boss seperti apa?”
“Mimpi saling bagi rasa, bagi keindahan dan kenikmatan sebagaimana wajarnya seorang lelaki dengan seorang wanita. Bu Kaila sendiri seperti apa mimpinya?”
“Saya… hanya mimpi dicium oleh Boss… maaf…”
“Ya sudahlah kita wujudkan saja mimpi kita dalam kenyataan. Oke?”
“Tapi Boss… saya kan punya suami. Sedangkan suami saya sangat ketat menjaga saya dari segala kemungkinan. Kalau pulang telat sejam aja, pasti banyak pertanyaan ini – itu. Apalagi kalau semalaman…”
“Kalau nyari – nyari tempat dulu, tentu aja bakal lama. Mmm… Bu Kaila tau keadaan di lantai dua?”
“Belum tau Boss, “Bu Kaila menggeleng, “Saya hanya tau lantai tiga itu sering dipakai meeting room. Tapi kalau lantai dua kan ada tulisan private room dan dilarang masuk.”
“Ayolah kalau begitu Bu Kaila ikut aku ke lantai dua. Biar tau yang dimaksud private room itu bagaimana.”
Lalu aku berdiri dan melangkah ke arah tangga yang letaknya di belakang ruang kerjaku. Bu Kaila pun mengikutiku dari belakang.
Seperti yang sudah kuterangkan dahulu, lantai dua ini memang kujadikan rumah pribadiku. Ada ruangan yang luas yang sering kugunakan untuk fitness, ada kamar besar yang tak kalah lengkap seperti di rumah peninggalan almarhum Papa angkatku tercinta, bahkan ada kitchennya sekaligus ruang makanku.
“Seperti di dalam rumah Boss…” ucap Bu Kaila di sampingku.
Aku pun memberanikan diri melingkarkan lenganku di pinggang wanita yang sangat menggiurkan di mataku ini. “Di sini bisa kita bisa mewujudkan mimpi kita pada jam makan siang seperti sekarang ini. Tak usah sampai menghabiskan waktu semalaman. Bagaimana?”
Bu Kaila menatapku dengan sorot pasrah. “Iya. Saya mau ikut aja sama apa yang Boss pandang terbaik untuk kita berdua…” sahutnya perlahan, dengan suara agak bergetar.
“Senang hatiku Bu. Berarti kita berdua akan selalu kompak dan solid,” ucapku sambil melingkarkan lenganku di lehernya. Lalu memagut bibir sensualnya ke dalam ciuman dan lumatanku.
Awalnya Bu Kaila hanya mendiamkan bibirnya kulumat dengan segenap kehangatanku. Tapi beberapa detik kemudian ia mulai membalas lumatanku dengan lumatan pula. Bahkan kedua lengannya mendekap pinggangku erat – erat, sementara suhu badannya terasa mulai menghangat.
Mencari perempuan untuk dijadikan pelampiasan hasrat biologisku tidaklah sulit bagiku. Namun aku hanya mau melakukannya pada perempuan yang butuh sedikit perjuangan untuk mendapatkannya. Seperti pada Bu Kaila ini, yang lebih dari setahun aku mempertimbangkannya. Lebih dari setahun aku mencoba untuk mengalihkan perhatianku kepada perempuan lain.
Karena tadinya aku takut kalau Bu Kaila 100% setia kepada suaminya. Lalu kalau aku terlalu mendesaknya, bisa saja dia menyatakan resign dari perusahaanku. Sedangkan aku melihat banyak sekali unsur positif dari sosok wanita yang 13 tahun lebih tua dariku itu, terutama dalam mengembangkan salah satu perusahaanku.
Aku menuntun Bu Kaila ke dalam kamarku. Lalu mengajaknya duduk di sofa. Dan di sofa itulah Bu Kaila tidak sungkan – sungkan lagi untuk menyingkapkan gaunnya, untuk memamerkan pahanya yang putih mulus, sampai ke pangkalnya.
“Saya tidak pernah berselingkuh. Tapi sekarang saya menyerah…” ucapnya ketika aku mulai mengusap – usap pahanya yang terasa licin saking mulusnya. Bahkan tanganku mulai menyelinap ke balik celana dalamnya yang putih bersih itu. Srekkk… tanganku menyentuh jembut lebat di balik celana dalam putih itu.
“Kalau aku kan masih bujangan Bu. Jadi aku bebas melakukan apa pun tanpa dikejar rasa cemas.”
“Mbak Liza itu calon istri Boss?”
“Belum pasti Bu. Makanya dia kumutasikan ke luar kota, karena aku masih sangsi pada masa depanku bersamanya. Eeeeh… aku manggil Mbak aja ya… supaya tidak terlalu formal.”
“Iya… manggil nama langsung juga gak apa – apa. Saya kan bakal jadi milik Boss…”
“Manggil nama langsung sih gak boleh. Aku kan harus menghormati kedudukan Ibu… eh… Mbak sebagai direktur utama di perusahaan ini,” ucapku sambil menyelinapkan jari tanganku ke dalam liang memek berjembut dan masih bersembunyi di balik celana dalam itu.
“Dududuuuuh… Bosss… kalau sudah dibeginiin saya suka langsung horny berat…” ucap Mbak Kaila setengah berbisik.
Spontan kukeluarkan tanganku dari balik celana dalamnya. “Ayo kita buka – bukaan deh,” ucapku sambil melepaskan jas dan dasiku. Lalu menggantungkannya di kapstok.
Pada saat yang sama Bu Kaila pun melepaskan gaun putih bercorak kembang berwarna warni itu.
Telapak tanganku mulai mengusap – usap paha Mbak Kaila. Sambil merasakan liucin dan mulusnya paha putih wanita 35 tahunan itu. Pada saat yang sama Mbak Kaila pun memegang batang kemaluanku sambil bertanya, “Boleh saya emut punya Boss ini?”
“Iya,” sahutku sambil menelentang dan menunggu aksi Mbak Kaila.
Mbak Kaila pun tengkurap di antara sepasang pahaku yang kurentangkan. Lalu dengan cekatan ia mengulum kontolku. Lalu bibir sensual itupun naik turun, sehingga kontolku dibikin keluar masuk di dalam mulutnya.
Tiada kata – kata lagi yang terlontar dari mulut kami. Mulut dan tangan Mbak Kaila sedang asyik mengoral kontolku. Sementara aku pun sedang asyik mengelus – elus memek Mbak Kaila yang berjembut tapi tergunting dengan rapi itu.
Setelah batang kemaluanku benar – benar tegang, tadinya aku ingin menjilati memek Mbak Kaila. Tapi ia sudah berjongkok sambil meletakkan moncong kontolku di ambang mulut memeknya. Lalu ia menurunkan badannya. Sehingga… blesssss… kontolku pun masuk ke dalam liang memek wanita setengah baya yang tubuhnya masih kencang padat itu.
“Maaf ya Boss… saya main di atas…” ucap Mbak Kaila sambil menatapku dengan sorot sayu. Sorot mata wanita yang sudah dilanda horny berat.
“Iya… kita ganti – ganti posisi aja nanti ya Mbak,” sahutku.
Mbak Kaila pun mulai beraksi. Laksana wanita yang sedang menunggang kuda, bokongnya naik turun dengan gencarnya. Dengan sendirinya kontolku pun dibesot – besot terus oleh liang memeknya yang terasa empuk tapi legit.
Dalam posisi WOT begini, aku pun bisa meremas – remas sepasang toketnya yangberukuran sedang, kecil tidak gede pun tidak.
Namun seperti biasa, menurut pengalamanku wanita yang main di atas seperti ini takkan bisa bertahan lama. Karena moncong kontolku selalu menyundul – nyundul dasar liang memeknya. Karena “daleman” memek Mbak Kaila turun semua.
Maka dalam tempo belasan menit saja dia suah ah – eh – oh. Lalu ambruk ke dalam dekapanku.
“Kenapa? Udah orgasme Mbak?” bisikku.
“Iii… iya Boss. Punya Boss terlalu enak sih. Ereksinya sempurna sekali,” sahutnya.
Aku tidak menanggapinya. Lalu kami menggulingkan badan kami dengan hati – hati, agar kontolku tetap tertanam, di dalam liang memek Mbak Kaila.
Setelah posisi kami berbalik, aku di atas dan Mbak Kaila di bawah, aku masih sempat membisikinya, “Memek Mbak enak sekali. Legit dan kenyal.”
Mbak Kaila tersenyum dan menyahut, “Punya Boss juga luar biasa enaknya. Bikin saya gak tahan lama barusan, saking enaknya.”
Lalu aku mulai mengayun batang kemaluanku di dalam liang memek Mbak Kaila yang semakin licin tapi belum becek, meski dia baru orgasme tadi.
Ketika entotanku masih pelan – pelan, Mbak Kaila berkata setengah berbisik, “Boss… saya sudah kepalangan basah. Karena itu saya siap meladeni Boss kapan pun Boss inginkan…”
“Iya,” sahutku, “memek Mbak ini luar biasa enaknya. Jadi di hari – hari mendatang, kita bisa melakukannya di sini pada jam makan siang seperti sekarang…”
“Siap Boss… ooooooohhhh… ini mulai enak lagi Bossssss… oooohhhh… ooooohhhh… luar biasa enaknya punya Boss ini… oooooohhhhh… aaaaaah… saya bakal ketagihan kalau begini sih Bosssss…” ucap Mbak Kaila sambil menggeol – geolkan bokong gedenya. Memutar – mutar, meliuk – liuk dan menghempas – hempas.
Mbak Kaila pun merintih terus dengan mata kadang terpejam kadang melotot. Terlebih lagi setelah kulengkapi aksiku dengan menjilati lehernya disertai dengan gigitan – gigitan lembut. Sementara tanganku ikut beraksi juga untuk meremas toket Mbak Kaila dan mengelus – elus pentilnya. Maka Mbak Kaila pun semakin klepek – klepek saja dibuatnya.
Mulutnya meringis – ringis. Tapi geolan pantatnya semakin menjadi – jadi. Ia senang sekali menukikkan memeknya sambil menghempaskan bokongnya ke atas kasur. Dengan gerakan ini, kelentitnya terus – terusan bergesekan dengan kontolku.
Terus terang saja, aku sangat menikmati persetubuhanku dengan Mbak Kaila ini. Sehingga kalau aku tidak menahan diri, mungkin bisa ngecrot sebelum waktunya. Tapi aku berusaha menahannya dengan caraku sendiri. Dengan membayangkan yang aneh – anah dan buruk – buruk. Agar jangan sampai mendahului Mbak Kaila.
Aku pun memutar otak. Lalu mengajaknya posisi miring. Dia pun langsung miring ke kiri. Sementara aku memasukkan kontolku dari belakangnya. Targetku tetap liang memek, karena aku belum dan takkan pernah memasukkan kontolku ke dalam anus alias lubang e’e. Tuhan telah menciptakan memek, untuk berpasangan dengan kontol.
Agar aku leluasa mengentotnya, Mbak Kaila sengaja mengangkat paha kanannya tinggi – tinggi, sambil dipegang oleh tangannya agar tetap terangkat seperti itu. Sehingga aku semakin bersemangat mengentot liang memek wanita yang berasal dari seberang lautan itu.
Keringat pun sudah mulai membanjir. Bercampur baur dengan keringat Mbak Kaila.
Akibat berubah posisi ini, ejakulasiku jadi menjauh lagi. Sehingga aku mengajaknya melakukan posisi doggy lalu kembali ke posisi missionary lagi.
Di posisi konservatif ini Mbak Kaila berkelojotan. Aku pun menggencarkan entotanku.
Dan… ketika Mbak Kaila sedang mengejang tegang… aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin. Moncongnya sampai menyundul dasar liang memek Mbak Kaila.
Pada saat itulah kami saling cengkram dan saling remas di puncak kenikmatan surga dunia ini.
Liang memek Mbak Kaila terasa empot – empotan seperti dubur ayam ketika ditiupin. Pada saat yang sama kontolku pun mengejut – ngejut sambil melepaskan lahar lendirnya.
Crooottttt… crotttt… croootttt… crotttttt… crootttt… croooottttttt…!
Lalu kami terkapar di pantai kepuasan kami.
Terawanganku tentang Mbak Kaila buyar ketika kudengar pintu diketuk. Kulihat seorang satpam mengantarkan seorang wanita muda. “Buka aja gak di kunci !” seruku.
Pintu depan pun dibuka. “Ini ada tamu Boss,” ucap satpam itu.
“Iya terimakasih,” sahutku sambil melangkah ke arah pintu depan yang sudah terbuka. Untuk menyambut kedatangan wanita anggun itu yang tak lain dari Tante Santi.
Satpam itu pun berlalu, meninggalkanku dan Tante Santi yang saling pandang dari jarak dekat. Lalu saling peluk dengan ketatnya.
“Tante makin cantik aja sih,” ucapku sambil mencium sepasang pipinya.
“Makin cantik apa? Buktinya aku sekarang diceraikan oleh suamiku,” sahutnya sambil menatapku dengan mata berkaca – kaca.
“Lupakan aja semua itu. Setelah berada di sini, Tante menjadi tanggung jawabku,” ucapku sambil melingkarkan lenganku di pinggang Tante Santi dan melangkah menuju ruang keluarga.
“Biii… !” seruku.
“Iya Deeen…”
Setelah Bi Inah muncul aku menyuruhnya mengangkat barang barang bawaan Tante Santi ke kamar di lantai tiga yang baru diberesin olehnya tadi.
Lalu aku mengajak duduk berdampingan di sofa ruang keluarga.
“Kenapa Tante bisa bercerai dengan Oom Sanda?” tanyaku.
“Sandi bukan Sanda.”
“Oh iya… lupa… hihihiii…”
“Dia itu jealouser Don. Aku sudah gak kuat dicemburuin terus. Makanya mending jadi janda aja. Biar bebas melakukan apa pun.”
“Iya… mumpung Tante masih muda.”
“Umurku sudah duapuluhsembilan tahun Don.”
“Duapuluhsembilan kan tergolong muda Tante.”
“Terus aku mau ditempatkan di mana? Kata Donna, pasti Donny bisa menempatkan aku.”
“Tenang Tante. Perusahaanku banyak. Kalau mau ditempatkan di luar negeri juga bisa.”
“Kalau ada sih yang di kota ini aja Don. Biar dekat sama keluarga. Ada bundamu, ada Ceu Ratih, ada Donny Donna dan banyak lagi.”
“Tante es-duanya di bidang apa?”
“Marketing.”
“Wow… bagus tuh. Donna salah nyebut di telepon tadi. Dia bilang es-dua Tante di bidang manajemen. Waktu di Surabaya Tante kerja di mana dan di bagian apa?”
“DI pabrik pakaian… garment factory lah kerennya sih.”
“Di bagian apa?”
“Inilah yang paling menjengkelkan. Aku kan orang marketing. Tapi malah ditempatkan dijadikan manager personalia.” sumber Ngocoks.com “Hahahaaa… manager personalia atau HRD harusnya kan dijabat sama psikolog. Minimal sarjana psikologi lah.”
“Iya. Tapi aku malah dijadikan manager personalia. Sementara manager marketingnya dipegang oleh orang asing. Terpaksa nelan ludah deh. Soalnya aku kan orang pribumi.”
“Emang perusahaannya punya WNA?”
“Iya. Makanya bagian yang penting – penting dipegang oleh WNA semua. Yang pribumi sih cuma bagian – bagian yang kurang penting.”
“Tante masih capek nggak? Kalau gak capek, aku akan membawa Tante ke tempat di mana aku akan menempatkan Tante nanti.”
“Gak cape kok aku Don. Tadi kan cuma pake taksi dari rumah bundamu ke sini. Masa capek?!”
“Kalau gitu, ayo kita berangkat.”
“Aku mau ganti baju dulu Don. Pengen pakai celana jeans aja. Pakai gaun gini ribet.”
“Wah, tas dan barang – barang Tante sudah disimpan di lantai tiga. Ayo ikut aku Tan,” ucapku sambil menuntun Tante Santi menuju tangga.
“Gila rumahmu ini Don. Luar biasa megah dan mewahnya,” ucap Tante Santi waktu melangkah di belakangku yang sedang menaiki tangga berlapiskan karpet abu – abu.
“Ini rumah peninggalan almarhum Papa angkatku Tante,” sahutku.
“Oooo… pantesan. Kata bundamu, seluruh harta papa angkatmu diwariskan padamu ya?”
“Iya Tante. Papa dan Mama angkatku sangat sayang padaku. Tapi pada saat itu aku mengira mereka orang tua kandungku. Ternyata bukan.”
“Itu semua sudah menjadi suratan takdirmu Don. Kamu ditakdirkan untuk menjadi orang tajir melintir. Tinggal istri aja yang kamu belum punya.”
“Hahahaaa… usiaku baru duapuluhdua tahun Tante. Santai aja. Aku gak mau buru – buru kawin.”
“Kawin apa nikah?” tanya Tante Santi sambil menggelitik pinggangku dari belakang.
“Kawin sih sering. Sama Tante aja yang belum pernah. Hihihiiii…” ucapku yang sudah tiba di depan pintu kamar di lantai tiga. Pintu kamar yang kusediakan unmtuk Tante Santi.
Tiba – tiba Tante Santi memelukku dari belakang, sambil membisiki telingaku, “Memangnya kamu mau nyobain memekku?”
“Kalau dikasih sih mau,” ucapku sambil membuka pintu itu dan mengajak Tante Santi ke dalam kamar untuknya.
“Kamu kan keponakanku Don.”
“Apa salahnya? Mumpung Tante lagi menjanda, kan boleh kita saling bagi rasa…”
Belum habis kata – kataku, Tante Santi memotong, “Ayolah… sapa takut?!”
Bersambung…