Aku terkejut juga karena Tante Santi begitu spontan menyambut pancinganku. “Sekarang?” tanyaku sambil memeluknya.
“Iya… “Tante Santi mengangguk dengan senyum manis di bibirnya.
Spontan juga kupagut bibir sensual itu ke dalam ciuman hangatku. Dan Tante Santi menyambut dengan dekapan erat di pinggangku.
“Tadinya aku mau mengajak ke bangunan di mana Tante akan ditempatkan,” kataku setelah ciumanku terlepas.
“Hari kan masih siang. Nanti bisa setelah kita ngemprut dulu,” sahut Tante Santi sambil menanggalkan gaun kuning mudanya yang bercorak bintang bintang putih. Ternyata behanya pun terbuat dari bahan yang sama dengan gaunnya. Namun dia mengenakan celana pendek berwarna light ochre. Mungkin di balik celana pendek itu masih ada celana dalam yang bahannya sama dengan beha dan gaunnya.
Namun ketika celana pendek itu dilepaskan… aku langsung melihat bentuk kemaluan tanteku yang berjembut lebat. Ini suatu kebetulan. Bahwa aku sudah keseringan menyetubuhi perempuan bermemek gundul dan gundul terus. Sesekali aku ingin menikmati memek yang berjembut, sebagai pertanda memek dewasa.
Ya… mungkin jembut itulah indikator alami bahwa pemilik memeknya sudah mulai akil balig. Sementara yang belum berjembut, berarti masih di bawah umur.
Ketika Tante Santi sedang melepaskan behanya, aku pun cepat menelanjangi diriku, lalu menerkam tubuh seksi tanteku.
Tante Santi pun menyambut terkamanku dengan ciuman dan lumatan hangat di bibirku. Dengan dekapan erat di pinggangku. Lalu kami bergumul mesra di atas bed. Terkadang aku di atas, tapi terkadang Tante Santi yang berada di atas.
Yang paling mengasyikkan dalam foreplay ini adalah ketika aku mencium bibir Tante Santi, dengan tangan kiri digunakan untuk memainkan pentil toket kanannya, sementara jemari tangan kanan kuselundupkan ke dalam liang memeknya yang sudah agak basah dan licin serta hangat.
Indah sekali rasanya menggerak – gerakkan jari tengah dan telunjukku di dalam liang memek tanteku, yang makin lama makin basah.
Tadinya aku ingin menjilati memek Tante Santi yang berjembut itu. Tapi keburu terdengar suaranya, “Ayo masukin aja kontolmu Don… aku sudah horny berat nih.”
Aku selalu berusaha untuk mengabulkan keinginan pasangan seksual mana pun. Karena aku memegang prinsip bahwa di dalam hubungan seks itu harus selalu ada
Take and give.
Dan tadi, diam – diam kutest kebenaran ucapan temanku yang sudah kuanggap sebagai pakar ngentot itu. Bahwa kalau telapak tangan didekatkan ke tubuh wanita yang akan disetubuhi, terasa menyiarkan hawa hangat, berarti perempuan itu pasti enak memeknya.
Tadi telapak tanganku memang merasakan pancaran hawa hangat dari tubuh Tante Santi. Maka kini aku ingin membuktikannya. Tanpa proses oral – oralan, kuletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek tanteku.
Tante Santi cukup tanggap. Dia memegang leher kontolku, lalu moncongnya dicolek – colekkan ke belahan memeknya yang licin dan hangat. Sampai akhirnya ia menemukan arah yang tepat. Lalu ia memberi isyarat agar aku mendorong kontolku.
Kulakukan itu. Kudorong kontolku sekuat mungkin. Dan… kontolku mulai melesak ke dalam liang memek berjembut itu, sedikit demi sedikit sampai mmbenam hampir separohnya.
Maka mulailah aku mengayun kontolku, seolah memompa liang memek tanteku yang ternyata… enak sekali! legit tapi licin dan sangat terasa bergerinjal – gerinjal dinding liang memeknya…!
“Ughhhhh… memek Tante enak sekali…” ucapku terengah ketika entotanku masih pelan – pelan.
Tante Santi menyahut, “Kontolmu juga luar biasa enaknya Don… aku bisa ketagihan nanti… gimana?”
Kuhentikan dulu entotanku. Dan berkata, “Ya udah… nanti Tante jadi simpananku aja ya. Karena kalau menikah, pasti gak bisa. Tante akan kuberikan jabatan tertinggi di sebuah pabrik baru nanti. Asalkan Tante setia padaku. Kalau sampai nyeleweng, jabatan itu akan kucopot, diganti oleh orang yang lebih setia padaku.
“Terus aku tinggal di mana? Di sini?”
“Ada rumah yang tak begitu jauh dari pabrik baru itu. Rumah yang akan selalu dijaga petugas security, karena rumah itu adalah tempat tinggal direktur utama.”
“Jadi aku ini akan diangkat menjadi dirut?”
“Iya. Tante sanggup memegang jabatan dirut?”
“Sanggup Boss,” sahut Tante Santi yang diikuti dengan kecupan mesranya di bibirku. Dan setelah mengecup bibirku, Tante Santi menepuk – nepuk punggungku sambil berkata, “Sekarang entot memekku sepuasmu, Sayang… !”
Aku pun mulai mengayun kembali batang kemaluanku. Pelan – pelan dulu, makin lama makin cepat.
Tante Santi pun mulai mengayun pinggulnya… meliuk -liuk, memutar – mutar dan menghempas – hempas.
Memek Tante Santi memang luar biasa enaknya. Gesekan dinding liang mewmeknya dengan kontolku terasa sekali. Membuat mataku sering terpejam dalam nikmat yang sulit diucapkan dengan kata – kata belaka.
Lalu aku pun mengimbanginya. Dengan menjilati lehernya disertai dengan gigitan – gigitan lembut, sementara entotanku semakin kugencarkan.
Desahan dan rintihan histeris Tante Santi pun mulai berkumandang di kamar lantai tiga ini. “Doooon… ooooohhhh… Doooon… aaaaaa… aaaaaaah… kontolmu memang luar biasa Doooooon… luar biasa enaknya… entot terus Dooooooniiiiiiii… luar biasa enaknyaaaa… ooooh… Doooniiiii…
Aku pun menikmatinya. Menikmati sedapnya liang memek Tante Santi. Yang membuatku berdengus – dengus dengan mata sering terpejam. Namun aku tetap “rajin” menjilati leher Tante Santi. Terkadang aku alihkan mulutku ke pentil toket kirinya, untuk mengemut dan mengisap – isap, sementara tangan kiriku sibuk meremas – remas toket kanannya.
Pada saat lain, mulutku nyungsep di ketiak kirinya. Kujilati ketiak kirinya dengan gigitan dan sedotan yang cukup kuat, sementara tangan kananku tetap meremas – remas toket kanannya.
Cukup lama aku melakukan semuanya ini. Sementara Tante Santi tetap menggeol -geolkan pinggulnya sedemikian rupa, sehingga kelentitnya terus – terusan bergesekan dengan batang kemaluanku.
Akibatnya… pada suatu saat Tante Santi berkelojotan. Pertanda akan mencapai orgasme. Aku pun tak mau menunda – nunda ejakulasiku. Karena sebentar lagi aku akan mengajak tanteku ke suatu tempat, di mana salah satu pabrik baruku sudah selesai dan siap beroperasi, karena mesin – esinnya pun sudah datang dan dipasang di tempat yang sudah ditentukan.
Maka ketika Tante Santi mulai berkelojotan, aku pun menggencarkan entotanku. Demikian cepat dan kerasnya, sehingga terdengar bunyi plak… plaaaakkk… plakkk… plaaaaakkk…! Itulah suara pelerku yang menepuk – nepuk bagian bawah kemaluan Tante Santi.
Dan ketika Tante Santi mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat… aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin, sehingga moncong kontolku terasa mentok di dasar liang memek tanteku.
Pada saat itulah kami laksana sepasang manusia yang sedang kerasukan. Kami saling cengkram dan saling remas sekuatnya, dengan mata sama – sama terpejam.
Kemudian detrik – detik terindah ini pun terjadi. Terasa liang memek Tante Santi berkedut – kedut, sementara kontolku pun mengejut – ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.
Crooottttttt… crooootttt… croooootttt… croooottttt… crootttt… croooottt…!
Lalu kami sama – sama terkapar, dengan tubuh bermandikan keringat.
Mata Tante Santi masih terpejam. Dan ketika mata bening itu terbuka, ia menatapku disertai senyum bernafaskan kehangatan dan kepuassan. “Terima kasih Don… ini persetubuhan terindah di dalam hidupku.”
Aku jawab dengan ciuman mesra di bibirnya. Kemudian kucabut kontolku dari dalam memek tanteku.
“Mandi bareng yuk,” ajakku sambil menarik pergelangan tangan Tante Santi.
“Iya, badan penuh keringat gini sih harus mandi,” sahut Tante Santi sambil mengikuti langkahku menuju kamar mandi di lantai tiga itu.
Beberapa saat kemudian Tante Santi sudah duduk di dalam sedan putihku, yang sedang kularikan menuju arah timur.
Tante Santi memang akan kuserahi jabatan dirut di pabrikku yang letaknya di luar kota, di sebelah timur kotaku. Jadi berlawanan arah dengan pabrik yang sudah kuserahkan kepada Imel untuk memimpinnya.
Rencanaku memang bukan mau memberikan perusahaan – perusahaan itu kepada siapa pun. Aku hanya akan merekrut orang – orang tersayang untuk memimpin dan mengelolanya.
Tante Santi terbengong – bengong setelah tiba di pabrik baru yang sudah lengkap dan siap beroperasi itu. Karena menurutnya, sudah sesuai benar dengan kebutuhannya.
Begitu juga rumah inventaris itu.
Di rumah inventaris dirut itu Tante Santi berkata, “Rasanya seperti bermimpi menyaksikan semuanya ini Don. Semuanya di luar dugaanku dan bahkan lebih bagus daripada pabrik tempatku bekerja di Surabaya itu.”
“Memang sudah nasib Tante yang bagus. Kalau Tante tidak bercerai dan tidak menemuiku, mungkin kedudukan dirut itu akan kuserahkan kepada orang lain,” sahutku.
“Iya, jadi sekarang gak ada lagi penyesalan karena telah bercerai dengan dia.”
“Ohya… Tante punya anak berapa orang?”
“Tak seorang pun. Aku belum pernah hamil Don.”
“Lho… siapa yang mandul? Tante apa Oom Sandi?”
“Gak tau. Kami sama – sama takut memeriksakan diri ke dokter. Takut mendengar hasil pemeriksaannya.”
“Mudah – mudahan aja dia yang mandul.”
“Supaya apa?”
“Supaya Tante bisa hamil olehku.
Tante Santi tersenyum. Lalu mencium pipiku, disusul dengan bisikan, “Mudah – mudahan aja aku bisa dihamili olehmu Sayang. Waktu digauli olehmu tadi, luar biasa enaknya. Semoga saja itu pertanda aku akan hamil olehmu. Karena sekarang ini aku sedang berada di masa subur.”
“Ogitu ya… semoga saja prediksi Tante bakal menjadi kenyataan.”
“Tapi seandainya aku hamil, bundamu dan seluruh keluarga kita jangan ada yang tau.”
“Iya Tante. Tenang aja.”
Di dalam mobil yang telah meninggalkan rumah inventaris dirut itu, aku berpikir bahwa Tante Santi memang layak mendapatkan semuanya itu. Alasannya simple saja. Bahwa… memeknya enak sekali…!
“Tante siap untuk menjadi simpananku kan?”
“Siap Boss.”
“Tapi awas… meski kita tak mungkin menikah secara sah, Tante jangan coba – coba selingkuh dariku.”
“Soal ityu sih kujamin Don. Aku bukan peselingkuh. Waktu masih jadi istri Sandi pun belum pernah selingkuh. Dianya aja cemburuan terus. Dan sekarang, aku sudah menjadi milikmu. Hal itu sudah merupakan tingkat tertinggi dalam kehidupanku. Takkan ada lelaki lain di hatiku kecuali dirimu Sayang,” ucap Tante Santi sambil mengecup pipi kiriku.
Sedan putihku meluncur terus di tengah kepadatan lalu lintas di kotaku.
Entah kenapa, aku merasa bahagia sekali bisa memiliki Tante Santi itu. Apakah ini pertanda cinta yang sudah tumbuh dan berkembang di dalam jiwaku?
Entahlah.
Yang jelas, beberapa hari kemudian kami sudah memasang iklan di sebuah suratkabar lokal, untuk merekrut buruh biasa dan para manager, sesuai dengan kebutuhan.
Tante Santi pun sudah tinggal di rumah inventaris dirut itu.
Setelah selesai menempatkan dan mengurus Tante Santi, aku pun pulang ke rumah Bunda. Memang hampir tiap malam aku menyetubuhi Tante Santi selama ini. Tapi rasa kangenku pada Bunda makin lama makin menjadi – jadi.
Biar bagaimana, tubuh Bunda adalah yang terindah bagi jiwaku. Karena Bunda mampu menyejukkan hatiku setiap kali batinku digoda nafsu.
“Bagaimana Santi sudah ditempatkan di perusahaanmu?” tanya Bunda ketika aku baru muncul di kamarnya, pada saat jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
“Sudah,” sahutku sambil mendekap pinggang Bunda dari belakang dan berusaha menyelinapkan tanganku lewat dasternya yang sudah kusingkapkan dari belakang.
“Bunda lagi datang bulan Sayang,” ucap Bunda sambil menepiskan tanganku dari balik dasternya.
“Ziaaaah… aku lagi kangen banget sama Bunda. Beneran Bunda lagi merah?” tanyaku dalam kekecewaan.
“Bener. Sejak kemaren datangnya, sekarang lagi banyak – banyaknya. Sama Dina aja gih. Temui dia di kamar tamu.”
“Tante Dina kakaknya Tante Santi?” tanyaku.
“Iya. Dia juga ingin ditempatkan seperti Santi. Temui dia gih. Mudah – mudahan aja belum tidur. Kalau Donna sih dari tadi juga sudah nyenyak tidur,” ucap Bunda.
Tanpa membantah, aku mengangguk. Lalu keluar dari kamar Bunda, menuju pintu kamar tamu.
Ketika aku membuka pintu kamar tamu ini, yang ternyata tidak dikunci, tampak Tante Dina sedang duduk di sofa sambil nonton televisi kecil di depannya.
“Belum tidur Tante?” sapaku sambil menghampiri adik Bunda itu.
Tante Dina terkejut dan menoleh, “Eee… Donny…! Jam segini baru pulang?” ucapnya sambil berdiri. Lalu kucium tangannya, disusul dengan cipika – cipiki sebagaimana biasanya kalau berttemu dengan tante – tanteku.
Dan pada waktu cipika – cipiki inilah aku merasakan sesuatu yang istimewa dari adik Bunda ini. Karena pada waktu cipika – cipiki, aku memeluknya erat -erat. Sehingga aku merasakan betapa pepal padatnya tubuh tanteku yang satu ini.
“Tante gak sama Oom Marta?” tanyaku setelah duduk berdampingan di satu – satunya sofa yang ada di kamar tamu itu.
“Oom Marta sudah mati …!” sahut Tante Dina dengan suara bernada geram.
“Lho… mati kenapa? Kecelakaan atau…”
“Mati di hatiku,” ucap Tante Dina memotong.
“Ooo… berarti dia masih hidup, tapi sudah mati di hati Tante?”
“Iya, “Tante Dina mengangguk sambil tersenyum getir, “dia lebih suka sama pelayan toko daripada sama aku. Nyebelin kan?”
“Jadi dia selingkuh sama pelayan toko?”
“Iya. Mending kalau pelayan toko itu cantik. Wajahnya aja kayak… aaaah… pokoknya jelek dah.”
“Kan rumput di pekarangan rumah tetangga suka tampak lebih hijau daripada di pekarangan rumah sendiri Tante.”
“Hmmm… “Tante Dina tersenyum sinis.
“Jadi sekarang status Tante janda?” tanyaku sambil menggelitik pinggangnya.
“Iya… sekarang sih aku bebas mau ngapain juga,” sahutnya sambil merapatkan pipinya yang hangat ke pipiku.
Aku semakin terpancing, ingin merasakan tanteku yang satu ini. Tanteku yang bertoket gede, berbokong semok, berkacamata tapi tampak anggun itu. Maka sambil memegang pergelangan tangannya, aku berkata, “Ngobrolnya di kamarku aja yuk.”
“Emangnya kalau di sini kenapa?”
“Di sini gak ada AC nya. Tivinya juga kecil.”
“Takut dimarahi bundamu.”
“Dijamin Bunda takkan marah. Apa pun yang kulakukan, Bunda tak pernah marah.”
“Iya sih. Kamu kan seolah anak yang hilang, lalu tiba – tiba muncul setelah dewasa dan ganteng gini. Jadi tulang punggung keluarga pula. Pastilah kamu sangat dimanjakan oleh bundamu…” ucap Tante Dina sambil berdiri. Lalu mengikuti langkahku keluar dari kamar tamu menuju kamarku.
Setelah berada di dalam kamarku, Tante Dina menoleh ke sekeliling kamarku sambil menggeleng – geleng dengan senyum di bibirnya. Setelah pintu kamarku ditutup dan dikuncikan, aku mendekap pinggang Tante Dina dari belakang sambil berbisik ke dekat telinganya, “Di sini Tante berteriak setinggi langit pun takkan terdengar apa – apa keluar.
Tante Dina memutar badannya, jadi berhadapan denganku, “Setelah ngobrolnya selesai, aku harus balik lagi ke kamar tadi?”
“Nggak. Tante gak keberatan menemaniku bobo di sini kan?”
“Bundamu kalau tau aku tidur di sini gak bakalan marah?” tanyanya dengan sorot ragu.
“Bunda subuh juga sudah sibuk belanja ke pasar. Donna pun sibuk menata café dengan pegawai café. Tengah hari Bunda baru bisa meninggalkan café. Sementara Donna sampai malam nongkrong id café terus. Santai aja Tante,” sahutku. Tapi aku tak berani bilang bahwa aku menemui Tante Dina adalah atas saran Bunda.
Lalu Tantge Dina duduk di sofa, berdampingan denganku. Dan berkata, “Ohya Don… Santi kan sudah ditempatkan di perusahaanmu. Aku juga kasih kerjaan dong. Tapi aku cuma punya ijazah es-satu. Gak seperti Santi yang sudah es-dua.”
“Tante Santi sudah kutempatkan sebagai dirut di salah satu perusahaanku. Gak apa – apa kalau Tante kutermpatkan sebagai wakil dirut?”
“Gak apa – apa. Meski Santi itu adikku, tapi aku juga tau diri. Dia kan sudah es-dua. Wajar kalau aku jadi wakilnya.”
“Jadi masalah kerjaan selesai. Sekarang aku ingin melenyapkan kepenasarananku,” ucapku sambil menyelinapkan tanganku ke balik baju kausnya. Dan yakin bahwa dia tak mengenakan beha karena kedua pentilnya membayang dari luar.
Dan aku mulai memegang toket gedenya yang terasa masih kencang, seperti belum pernah menyusui anak.
Ketika aku mulai asyik mengelus – elus pentil toketnya yang masih tertutupi baju kausnya, Tante Dina bertanya perlahan, “Toketku masih kenceng kan?”
“Iya Tante. Seperti belum pernah netekin bayi,” sahutku.
“Aku memang belum punya anak Don.”
“Wah asyik dong. Berarti anunya masih sempit.”
“Anunya apa? Memek? Ya jelaslah masih sempit, karena belum pernah dilewati kepala bayi,” sahut Tante Dina sambil menarik zipper celana corduroy biru tuaku, lalu menyelinapkan tangannya ke balik celana dalamku. “Wow… kontolmu gede gini Don… aaaah… bikin aku horny aja…”
“Aku juga udah lama tergiur sama Tante. Baru sekarang bakal kesampaian kayaknya.”
“Ayo deh. Sebagai tanda terimakasihku padamu, apa pun keinginanmu akan kuladeni,” sahut Tante Dina sambil melepaskan baju kaus dan celana pendeknya.
Lalu tubuh seksi Tante Dina yang anggun itu pun telanjang bulat di hadapanku kini. Sepasang toket gedenya… bokong semoknya… bahkan memeknya yang tercukur bersih itu sudah terpampang di depan mataku.
Oooo… betapa menggiurkannya adik kandung Bunda yang satu itu…!
Tante Dina dan Tante Santi kakak beradik langsung (tidak terhalang saudara lain). Tapi bentuk mereka sangat berbeda. Tante Santi berperawakan tinggi langsing, sementara Tante Dina berperawakan tinggi semok, tapi tidak gendut. Yang paling menyolok adalah perbedaan kemaluan mereka. Tante Santi memelihara jembut, sementara memek Tante Dina dicukur bersih.
Dan kini Tante Dina yang anggun tapi seksi itu sudah telanjang bulat di depan mataku.
Spontan aku pun menelanjangi diriku sendiri. Lalu meraih Tante Dina ke atas bedku.
“Aku gak mau munafik Don. Aku memang sedang sangat membutuhkan sentuhan lelaki. Apalagi disentuh oleh cowok semuda dan setampan kamu. Ditambah lagi dengan perasaan berterimakasih telah dijanjikan untuk jadi wakil Santi.”
“Tante Dina dan Tante Santi selain akan menduduki jabatan yang sudah disebutkan tadi, aku akan menjadikan Tante sebagai simpananku ya.”
“Whatever lah… apa pun yang kamu inginkan, akan kulaksanakan.”
Ucapan Tante Dina itu terputus, karena aku sudah menghimpitnya. Lalu mencium dan melumat bibir sensualnya. Setelah ciuman dan lumatanku terlepas, aku berkata, “Oom Marta itu lelaki terbodoh di dunia. Istri seanggun dan seseksi begini disia – siakan.”
“Biarin aja. Aku kan punya keponakan yang ganteng dan baik hati ini,” sahut Tante Dina sambil menepuk – nepuk pipiku perlahan.
Kemudian aku melorot turun. Ingin segera menyentuh memeknya.
Setelah wajahku berada tepat di atas memek Tante Dina, aku agak terngengang. Karena kelentitnya tampak jelas sekali, menonjol di bagian atas memek tembem dan bersih itu.
Kuelus – elus kelentit Tante Dina dengan ujung jariku sambil berkata, “Clitorisnya menonjol sekali Tante.”
“Iya Don. Kalau aku sedang horny berat, itilku suka muncul sendiri,” sahut Tante Dina.
“Jadi mudah menyentuhnya…” ucapku sambil menjulurkan lidahku. Lalu kujilati kelentit Tante Dina itu dengan lahap. Sehingga Tante Dina mulai mengejang – ngejang sambil meremas – remas rambutku.
“Oooo… oooooh… Doooonnniiii… langsung dijilatin itilnya… ooooohhhh… bisa – bisa aku orgasme duluan Dooon… “rengek Tante Dina tersendat – sendat.
“Nggak apa Tante. Kalau sudah orgasme, liang memeknya jadi licin dan becek. Aku malah suka kok memek becek sehabis orgasme. Jadi lain rasanya.”
Tapi aku tak cuma menjilati dan mengisap – isap kelentit Tante Dina. Jari tengahku pun kuselundupkan liang memeknya. Sehingga aku bisa membayangkan “rasa” kemaluan tanteku yang anggun dan seksi ini. Pasti kenyal dan legit. Kalau diibaratkan nasi sih, pasti pulen rasanya.
Karena itu aku tak mau berlama – lama menjilati kelentit yang menonjol dan mengkilap itu. Lalu aku merayap ke atas perut Tante Dina sambil memegang leher kontolku yang sudah kuarahkan moncongnya ke mulut memek Tante Dina.
Tante Dina pun merenggangkan sepasang pahaku, sambil ikut memegangi leher kontolku. Lalu moncongnya dicolek- colekkan ke belahan memeknya. Setelah dianggap pas arahnya, dia memberi isyarat agar aku mendorong batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini.
Aku pun mendesakkan kontolku sekuatg tenaga. Dan melesak separuhnya… blessssss… diiringi desah nafas Tante Dina… “Aaaaaaaah… gede banget kontolmu Dooon… sampe terasa bener melesak masuknya gini… oooooh… ““
“Ayo sekarang sih mau jerit – jerit sekuatnya juga gak apa – apa Tante. Takkan terdengar ke luar…” sahutku sambil mulai mengayun kontolku, maju – mundur di dalam liang memek Tante Dina yang sesuai dengan prediksiku. Legit, kenyal dan hangat.
“Donny… ooooh… Doooon… ooooooh… Doooon… edaaan… ini luar biasa enaknya Dooon… oooooh… gak nyangka kamu punya kontol segede dan sepanjang ini Doooon… adudududuuuuuh enaknyaaaa… ayoooo Dooon… entotlah sepuasmu…”
Aku pun berusaha menyahut meski terengah – engah, “Mem… memek Tante juga edan… gu… gurih dan legit sekali Tanteee… ugh…”
Aku tidak gombal. Di antara semua wanita setengah baya, Bunda menempati peringkat pertama. Peringkat kedua diduduki oleh Tante Santi dan Tante Dina.
Memek Tante Santi dan Tante Dina beda – beda rasanya. Beda – beda pula keistimewaannya. Maka kalau Tante Santi kuberi nilai 9, maka Tante Dina pun mendapatkan nilai 9 juga.
Kalau mereka mau, aku akan menjadikan mereka perempuan simpananku, dua – duanya, meski mereka tante – tanteku sendiri. Dengan sendirinya level kehidupan mereka harus ditingkatkan ke level yang layak.
Kepuasan seksual mereka pun harus kuutamakan.
Itulah sebabnya aku mengentot Tante Dina dengan upaya se-perfect mungkin. Agar dia merasa puas dan jangan sampai mencari kepuasan dengan cowok lain.
Pada waktu entotanku digencarkan, mulut dan tanganku pun ikut beraksi. Mulut digunakan untuk menjilati leher jenjangnya, disertai dengan gigitan – gigitan kecil, sementara tanganku meremas toket gedenya yang masih padat kencang dan mulus sekali itu.
Di saat lain aku menjilati daun telinganya, namun tangan kiriku tetap meremas toket gedenya. Bahkan ketika aku mengemut pentil toket kirinya, tangan kiriku tetap meremas – remas toket kanannya.
Ketika tangan kanannya berada di samping kepalanya, kujilati pula ketiak kanannya, sementara yang kuremas jadi toket kirinya.
Tampaknya hal ini membuat Tante Dina lupa daratan. Sehingga desahan dan rintihannya sem, akin menjadi – jadi. “Donny… oooohhhhh… Dooooon… belum pernah aku merasakan disetubuhi seenak ini Dooon… ooooohhhh… ini luar biasa enaknya Dooooonnnn… ooooohhhhh… oooooohhhhh… Dooooniiiiii…
Tante Dina tak cuma bisa merintih dan merengek. Dia juga bisa mengayun bokong semoknya, memutar – mutar, meliuk – liuk, menghempas – hempas sambil menukik sedemikian rupa, sehingga kelentitnya bisa bergesekan dengan batang kemaluanku. Ini membuatku semakin bersemangat. Bahkan menargetkan untuk mencapai puncak nikmat bersamaan.
Keringatku pun mulai bercucuran. Bercampur aduk dengan keringat Tante Dina. Sampai pada suatu saat, ketika Tante Dina berkelojotan dengan nafas terengah – engah, aku pun mempercepat entotanku.
Sampai pada suatu detik… sekujur tubuh Tante Dina mengejang tegang, aku pun membenamkan batang kemaluanku sedalam mungkin, sampai mentok di dasar liang memek tanteku.
Pada saat itulah kurasakan sesauatu yang teramat indah. Bahwa liang memek Tante Dina berkedut – kedut kencang, Disusul dengan membasahnya liang memek legit itu. Pada saat yang sama kontolku pun mengejut – ngejut, sambil memuntahkan lendir kenikmatanku yang bertubi – tubi… crooottttt… crooottttttttt…
Aku sengaja mempercepat ejakulasiku, karena badanku sudah lumayan letih bekas kegiatan tadi siang seharian. Selain daripada itu aku akan membawa Tante Dina ke rumah yang sudah ditempati oleh Tante Santi itu besok pagi. Kebetulan besok hari Sabtu. Berarti Tante Santi bakal ada di rumah.
Esok paginya aku mengajak Tante Dina ikut denganku, untuk menuju rumah inventaris dirut yang sudah ditempati oleh Tante Santi itu.
Tentu saja Tante Santi terheran – heran ketika melihatku datang bersama kakaknya yang hanya lebih tua setahun darinya itu.
“Kok bisa bawa orang Cikampek Boss?” tanya Tante Santi sambil memeluk kakaknya tapi menoleh ke arahku. Lalu Tante Santi mencium sepasang pipi Tante Dina. Dan mengajaknya masuk ke dalam.
Aku pun masuk ke dalam rumah inventaris dirut itu.
“Soal apa tuh?”
“Pertama, soal bisnisnya dulu ya. Tante Dina sudah kuputuskan untuk menjadi wakil dirut. Apakah Tante Santi tidak keberatan?” tanyaku sambil mencolek bibir Tante Santi.
“Haaa?! Syukurlah. Aku senang. Senang sekali Don. Karena Ceu Dina sarjana ekonomi juga. Selain daripada itu, Ceu Dina kan kakak kandungku,” ucap Tante Santi dengan wajah ceria.
“Baguslah. Tante Dina memang sudah menerima keputusanku ini. SUdah siap menjadi wakil Tante Santi, meski pun Tante Santi ini adik Tante Dina,” kataku, “Tante Dina pun sudah kuputuskan untuk tinggal di sini. Agar Tante Santi tidak merasa kesepian tinggal sendirian di sini.”
“Asyiiiik… !” seru Tante Santi tampak gembira sekali, “Lalu masalah kedua itu apa Don?”
Baik Tante Dina mau pun Tante Santi tampak kaget mendengar pengakuanku itu. Tapi mereka saling pandang. Dan akhirnya sama – sama tersenyum.
“Jadi kita berdua harus meladeni Big Boss bernama Donny ini ya Ceu,” ucap Tante Santi kepada kakaknya.
Tante Dina mengangguk – angguk sambil tersenyum. Lalu mencium pipi kananku. Tante Santi pun tak mau kalah. Ia mencium pipi kiriku.
“Tante sudah tau masalah yang dialami oleh Tante Dina dengan Oom Marta?” tanyaku sambil menepuk lutut Tante Santi.
“Sudah. Kan Ceu Dina pernah curhat by phone, bahwa dia ingin bercerai dengan Kang Marta. Terus bagaimana lanjutannya Ceu? Jadi bercerai?”
“Jadi. Sudah diputuskan di pengadilan,” sahut Tante Dina.
“Jadi kita senasib semua ya Ceu. Kita dan saudara – saudara perempuan kita jadi janda semua ya.”
“Iya,” sahut Tante Dina, “Takdirnya memang harus begini. Mau diapain lagi.”
Aku terhenyak mendengar ucapan mereka itu. Karena memang benar. Bunda, Tante Ratih, Tante Dina dan Tante Santi sudah menjadi janda semua.
Lalu aku pun melingkarkan lengan kananku di pinggang Tante Dina. Dan melingkarkan lengan kiriku di pinggang Tante Santi. Sambil berkata, “Tenang saja. Karena Tante Dina dan Tante Santi mendapat tempat yang istimewa di hatiku.”
Tante Dina mengecup pipi kananku, Tante Santi mengecup pipi kiriku.
Lalu Tante Santi bertanya, “Terus kita mau weekend di mana nih?”
“Mendingan istirahat di rumahku aja yok. Pergi jauh – jauh lagi males. Nanti aja kalau ada liburan panjang kita tour agak jauh. Mau ke Bangkok bisa, ke Singapura juga bisa,” sahutku.
“Maksudnya mau istirahat di rumah bundamu?” tanya Tante Dina.
“Bukan Ceu. Rumah Donny jauh lebih gede dan megah sekali,” sahut Tante Santi.
“Ayo… mau weekend di rumahku aja? Tapi pembantu lagi cuti. Jadi kita harus belanja makanan dulu untuk…”
Belum lagi selesai aku bicara, tiba – tiba handphoneku berdering. Ternyata dari Bunda.
Cepat kuterima call dari bundaku tercinta itu :
“Hallo Bun… ada apa?”
“Oom Jaka sakit keras tuh. Kebetulan Dina dan Santi juga lagi kumpul sama kamu kan?”
“Iya. Tante Dina dan Tante Santi bersamaku saat ini.”
“Mereka tau tuh rumah Oom Jaka. Sebaiknya pada ke sana semuanya. Bunda juga mau ke sana bersama Donna.”
“Iya Bun. Kami akan ke sana sekarang.”
Setelah hubungan seluler ditutup, aku berkata, “Oom Jaka sakit keras. Bunda menyuruh kita semua ke rumahnya. Di mana sih rumah Oom Jaka itu?”
“Di Sumedang… lewat Sumedang sedikit maksudku,” sahut Tante Dina.
“Gimana? Kita mau ke sana sekaranhg?”
“Ya ayo… kita memang harus menengoknya kalau Kang Jaka sakit keras ya Ceu?” ucap Tante Santi sambil menoleh ke arah Tante Dina.
“Iya, iyaaa…”
“Bunda sama Donna juga mau ke sana,” ucapku.
Beberapa saat kemudian, sedan putihku sudah kularikan lagi di atas jalan aspal. Sebenarnya aku sedang malas nyetir ke luar kota. Tapi kuusir kemalasanku, mengingat salah seorang adik Bunda sedang dalam masalah.
Untungnya jalan menuju Sumedang sedang lengang. Padahal biasanya suka macet parah.
Hanya dibutuhkan waktu sejam setengah untuk tiba di tempat yang dituju, lewat Sumedang ke arah Cirebon
(Mengingatkanku kepada Umi Faizah).
Rumah Oom Jaka memang di pinggir jalan raya Sumedang – Cirebon. Jadi tidak sulit mencapainya. Tapi kulihat ada bendera kuning yang terbuat dari kertas di kanan kiri rumah yang dituju itu.
“Waaah… sudah ada bendera kuning… jangan – jangan…” ucap Tante Dina yang tergopoh – gopoh memasuki pekarangan rumah Oom Jaka.
Tante Santi pun tergopoh – gopoh mengikuti kakaknya, masuk ke dalam rumah itu.
Aku pun bergegas mengikuti mereka.
Lalu terdengar jeritan Tante Santi, “Kang Jakaaaaaa… !!!”
Ternyata adik langsung Bunda (tidak terhalang adik lain) itu sudah meninjggal. Berarti kami terlambat datangnya. Apalagi Bunda dan Donna yang baru tiba sejam kemudian.
Tante Ratih pun datang bersama Bunda, karena dijemput oleh Donna katanya. Sementara Imel tidak ikut karena sedang kurang enak badan, kata Tante Ratih.
Oom Sambas dan istrinya pun tidak hadir, karena rumahnya jauh di seberang lautan. Mungkin juga akan datang besok atau hari lainnya.
Kami semua berduka dan ikut mengantar sampai ke pekuburan di mana jenazah Oom Jaka dimakamkan.
Waktu jenazah Oom Jaka dimakamkan, aku tercenung dan memikirkan semuanya ini. Bahwa jodoh dan kematian termasuk rahasia Tuhan. Tiada seorang pun tahu kapan akan mati. Tapi kematian adalah jatah yang paling adil buat semua mahluk bernyawa di muka bumi ini. Dari gelandangan sampai kepala negara, takkan bisa menghindar dari kematian.
Hari demi hari berputar terus, tanpa bisa direm apalagi dihentikan.
Sampai pada suatu hari…
Ketika aku sedang berada di ruang kerja kantorku, seorang petugas security mengantarkan tamu yang katanya dari Bangkok. Aku tercengang. Karena aku tahu benar siapa wanita 35 tahunan itu.
“Tante Huan?” sapaku serasa bermimpi melihat sahabat almarhum Papa angkatku telah berdiri di ruang kerjaku.
“Iya… untung masih ingat,” sahutnya.
Spontan kucium tangannya, dilanjutkan dengan cipika – cipiki.
“Tentu saja masih ingat. Tapi dari siapa Tante tau alamat kantorku ini?” tanyaku.
“Dari Mr. Liauw. Dia bilang di dalam bisnis kamu lebih ekspansif daripada almarhum papamu. Benarkah begitu?” tanyanya setelah duduk berdampingan denganku di sofa ruang tamuku.
“Di Thailand betul. Awalnya beberapa asset Papa kujual. Tapi setahun kemudian aku menyesali hal itu. Lalu kukembangkan usaha Papa di Chiangmai habis – habisan. Itu saja.”
“Tapi Mr. Liauw bilang, kamu juga telah mengembangkan sayap ke Australia dan Eropa,”
“Iya sih. Tapi bisnisku ke Eropa hanya jadi broker doang. Apa yang dibutuhkan di sana, kucari sumbernya di sini. Lalu kuekspor ke sana. Jadi bukan produksiku sendiri.”
“Tapi kesimpulannya bisnismu sekarang lebih luas daripada bisnis papamu kan?”
“Iya Tante. Tapi mayoritas bisnisku dipusatkan di Singapura. Di Indonesia sih kecil – kecilan aja. Soalnya aku males kalau dianggap nomor sekian terkaya di sini.”
“Iya… iya. Papamu dahulu juga begitu. Bisnisnya dipusatkan di Thailand dan di Singapore. Alasannya sama seperti Donny. Nah… sekarang aku justru ingin menawarkan investasi Don. Mmm… aku kan punya casino di Macau dan di perbatasan antara Thailand dan Kamboja,” kata wanita Chinese yang lahir besar di Indonesia kemudian menetap di Bangkok, karena usahanya dikembangkan di sana.
“Jadi Tante ingin mengalirkan dana dari casino ke usaha legal di sini, begitu?” tanyaku.
“Iya Don,” sahut Tante Huan. Lalu dia mengatakan jumlah uang yang bisa diinvestasikan padaku. Jumlah yang sangat besar. Maklum uang hasil dari casino bisa meledak – ledak jumlahnya. Kalau hanya untuk membeli pesawat jet pribadi saja sih, bisa disediakan dari hasil satu malam saja.
Tapi aku merasa sudah terlalu banyak dana yang sedang kuputar di dalam bisnis – bisnisku. Aku tidak membutuhkan lagi suntikan dana dari mana pun.
Karena itu aku hanya terdiam setelah mendengar nominal dana yang akan diserahkan untuk dikelola olehku.
Lalu Tante Huan berkata lagi, “Terus terang, hasil dari casino sangat meyakinkan. Seolah air terjun yang menggelontor terus dengan hebatnya. Tapi biar bagaimana usaha dalam perjudian tetap gambling sifatnya. Bisa saja pada suatu saat casino – casinoku mengalami kebangkrutan secara tiba – tiba, meski pun aku sama sekali tidak mengharapkannya.
Aku masih belum mau menanggapi penawaran dana yang sangat besar itu. Karena belum bisa membayangkan bagaimana sibuknya aku mengurus dana sebesar itu nanti.
“Aku takkan seperti para funder yang ingin mengeruk keuntungan sebanyak – banyaknya dari dana yang ditanamkan Don. Aku akan puas dengan hanya menerima tigapuluh persen dari profit. Bahkan ditambah dengan bonus… kamu masih ingat peristiwa di dalam kamarmu dahulu?”
Aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Karena aku masih ingat benar, pada saat usiaku masih di bawah umur itu. Pada saat itu Tante Huan sedang menunggu Papa dan Mama yang lagi pada keluar. Lalu Tante Huan nyelonong ke dalam kamarku.
Ya, aku masih ingat benar semujanya. Bahwa Tante Huan mencium bibirku sambil memelujk leherku. Spontan aku menanggapinya secara grasak – grusuk. Maklum aku masih ABG.
Namun ketika aku berusaha menyelinapkan tanganku ke balik celana dalamnya, Tante Huan mendorong dadaku sambil berkata, “Jangan aaah… kamu belum dewasa. Nanti kalau kamu sudah dewasa sih pasti aku kasih.”
Ya… tentu saja aku masih ingat “peristiwa” yang Tante Huan tanyakan itu.
“Ya, aku masih ingat peristiwa itu. Peristiwa yang membuatku sangat penasaran,” ucapku.
“Saat itu aku tidak mau ngasih, karena kamu masih di bawah umur. Lagian saat itu aku kan masih punya suami. Kalau sekarang… Donny sudah dewasa, aku pun sudah menjadi janda.”
“Tante bercerai dengan suami Tante?”
“Dia meninggal setahun yang lalu. Maklum dia sudah tua dan sakit – sakitan terus setelah usianya melewati enampuluhan.”
“Jadi…?”
“Jadi aku akan kasih semua yang ada di tubuhku, asalkan danaku diterima olehmu, dengan pembagian tujuhpuluh – tigapuluh. Kamu mendapatkan tujuhpuluh persen, aku cukup tigapuluh persen saja. Yang penting aman dan saling menguntungkan.”
Tentu saja pembagian keuntungan yang ditawarkan oleh Tante Huan itu sangat menguntungkan. Karena biasanya pembagian keuntungan antara funder dan pengelola itu fifty – fifty. Bahkan ada funder yang lebih “kejam” lagi, minta bagian enampuluh persen, sementara pengelola hanya kebagian empatpuluh persen.
Tapi bagiku kalimat “aku akan kasih semua yang ada di tubuhku” itu jauh lebih menarik daripada masalah dana yang ditawarkannya.
Tante Huan memang membuatku penasaran selama bertahun – tahun. Aku masih ingat benar, dahulu… ketika usiaku masih tergolong ABG… ketika tanganku sudah menyentuh celana dalamnya, gairahku melonjak – lonjak. Karena saat itu aku sudah banyak pengalaman dengan Mama angkatku almarhumah. Tapi tanganku ditepiskan, dadaku pun didorong.
Dan kini ia menilaiku sudah cukup dewasa, pada saat dia sudah menjanda pula.
“Ya udah… aku sepakat untuk menerima investasi Tante,” kataku sambil memegang tangan Tante Huan dan meremasnya dengan lembut, “Tapi bonusnya mau diambil sekarang.”
Tante Hua tersenyum manis. Hmm… senyum manisnya itu pula yang sangat kusukai dahulu.
“Mau di mana? Mau check in ke hotel atau mau di villa?” tanya Tante Huan sambil balas meremas tanganku, dengan pipi yang dirapatkan ke pipiku.
“Kita lanjutkan ngobrolnya di lantai dua yok,” sahutku sambil menunjuk ke tangga yang berada di depan ruang tamu itu.
Tante Huan mengangguk. Lalu mengikuti langkahku menuju tangga berkarpet abu – abu itu. Bahkan ia melangkah sambil memelukku dari belakang…
Aku ingin ketawa mendengar ucapannya tadi. Bahwa ia akan “menghadiahkan” tubuhnya sebagai “bonus”, seandainya aku menerima investasinya. Seolah – olah ia ingin berbaik hati padaku.
Padahal aku masih ingat benar, bahwa dahulu waktu masih sama – sama bermukim di Bangkok, dia nyelonong ke dalam kamarku, lalu mencium bibirku dengan lahapnya. Padahal tadinya aku tak punya pikiran apa – apa padanya, mengingat Tante Huan itu teman bisnis Papa angkatku.
Tapi aku pun mengakui secara jujur. Bahwa rasa penasaranku menggila, karena aku ingin “menuntaskan” pelukanku ke arah hubungan sex. Sesuatu yang tidak ia bnerikan saat itu, mengingat aku dianggap masih di bawah umur. Padahal saat itu aku sudah menjadi cowok yang terlatih, berkat “bimbingan” Mama angkatku.
Tapi biarlah, aku takkan memasalahkan siapa sebenarnya yang “membutuhkan” pada saat ini. Yang jelas Tante Huan itu bagian dari masa laluku, yang kini sudah berada di dalam genggamanku.
DI lantai dua yang memang seolah menjadi rumah pribadiku, Tante Huan tercengang. Lalu berkata, “Wow…! Kantor ini ternyata ada private roomnya yang lebih dari sekadar suite room di hotel – hotel ya.”
Aku memeluknya dari belakang, “Apakah di sini layak untuk dijadikan tempat bercinta bagi seorang taipan dari Bangkok?”
“Hihihi… Donny lebih pantas menyandang gelar taipan. Karena jaringan bisnis Donny sudah berkembang ke mana – mana. Sedangkan aku… hanya mengandalkan duit judi,” sahut Tante Huan.
Aku masih berdiri di belakang Tante Huan. Namun tangan kananku sudah bergerak ke bawah perutnya, setelah menyingkapkan gaunnya dengan tangan kiriku.
Aku jadi ingat lagi peristiwa beberapa tahun yang lalu di Bangkok itu. Bahwa ketika tanganku sudah menyentuh celana dalam Tante Huan, tiba – tiba dia menepiskan tanganku, lalu mendorongku sambil berkata, “Jangan… jangan…”
Tapi kini, ketika tangan kananku leluasa saja menyelinap ke balik celana dalamnya. Dan… aduhai… aku menyentuh jembi yang luar biasa lebatnya…!
Kebetulan belakangan ini aku suka juga pada memek berjembvut lebat begini.
“Tante… sebelum kita lanjutkan semua ini, aku ingin pengakuan Tante sejujurnya. Apa sebabnya dahulu tante menolakku menyentuh vagina Tante? padahal saat itu Tante sendiri yang mewnyergap dan menciumiku di dalam kamarku kan? Berarti Tante sudah duluan suka sama aku.”
“Jujur… saat itu aku takut ketahuan sama papamu. Kan almarhum itu rekan bisnis sekaligus bossku. Karena beliau jauh lebih tajir daripada aku. Makanya aku jadi takut… takut ketahuan dan takut dianggap merusak anak di bawah umur. Makanya aku terpaksa menolakmu. Padahal saat itu aku sudah mulai horny Don.
“Ya iyalah. Aku jadi sering masturbasi sambil membayangkan Tante.”
“Hihihiiii… sama Don. Aku juga sering masturbasi sambil membayangkan Donny yang pada saat itu sedang – sedangnya fresh dan cute,” sahut Tante Huan yang lalu memutar badannya jadi berhadapan denganku. Kemudian ia menanggalkan gaunnya, sehingga tubuh seksinya tinggal ditutupi oleh pakaian dalam yang sangat tipis dan transparant.
Dalam keadaan yang sangat menggiurkan itu, Tante Huan duduk di atas sofa. “Bagaimana? Apakah aku masih menarik di mata Donny?” tanyanya sambil menanggalkan penutup payudaranya yang tidak bisa disebut beha itu, karena sangat tipis dan transparantnya.
Aku berlutut di depan sofa itu, sambil mengusap – usap paha putih mulusnya. “Sangat menarik dan menggiurkan. Aku serasa bernostalgia, karena akan mendapatkan sesuatu yang tidak tercapai di masa remajaku.”
Tante Huan tersenyum sambil melepaskan penutup kemaluannya yang tidak bisa disebut celana dalam juga. Karena waktu masih mengenakan benda transparant itu mataku bisa melahap bentuk kemaluan berjembut tebal itu.
“Donny masih berpakaian lengkap begitu. Sedangkan aku sudah telanjang begini,” ucap Tante Huan sambil melepaskan dasi dan jasku.
Selanjutnya aku sendiri yang melepaskan celana panjang dan kemejaku. Sehingga tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhku. Lalu kurentangkan kedua tanganku sambil tersenyum.
Tante Huan pun menghambur ke dalam pelukanku.
Ooo, aku seolah kembali ke masa laluku. Masa ketika masih dimanjakan oleh Papa dan Mama angkatku. Masa ketika Tante Huan masih sangat muda dan mencium bibirku dengan lahapnya, tapi lalu terputus di tengah jalan ketika aku ingin beranjak ke kebutuhan biologisku.
Tapi kini aku bisa membopong tubuh sexy yang sudah telanjang bulat itu ke atas bed. Lalu menggumulinya dengan segenap kehangatanku.
Semuanya kulakukan sampai Tante Huan benar – benar siap untuk melakukan sesuatu yang sudah bertahun – tahun kudambakan.
Dan… manakala tombak kejantananku menerobos celah surgawi di bawah perut Tante Huan, terdengar suara terengah, “Doooonny… ooooohhhh… gak nyangka penismu segede dan sepanjang ini…”
Lalu aku leluasa mengentotnya sambil meremas payudara besarnya, sambil menjilati lehernya, sambil melumat bibirnya, sambil mengemut pentil toketnya… bahkan ketiaknya pun kujilati dan kusedot – sedot dengan segenap gairahku.
Tante Huan pun menggeliat dan mengelojot… meremas – remas bahu dan rambutku… diiringi rintihan – rintihan histerisnya yang berkepanjangan.
“Oooohhhh… Doooonnniiiii… ooooohhhhhh… ini… luar biasa enaknya Dooon… ini pertama kalinya aku merasakan disetubuhi yang sefantastis ini… oooohhhhh… Dooonnniiii… entotlah aku sepuasmu Dooon… aku sjudah menjadi milikmu sekarang Dooon… ooooohhhhh… entooot teruuus Doooniiii…
Aku memang lebih garang daripada biasanya. Terkadang kusedot leher Tante Huan sampai mereh kehitaman. Tapi Tante Huan justru senang dengan perlakuanku padanya. “Iya Dooon… cupangin leherku sampai hitam juga gak apa – apa. Sampai berdarah pun gak apa – apa. Enak Dooon… enaaaaak… “rengeknya sambil memejamkan sepasang mata sipitnya.
Bahkan ketika kami melakukannya dalam posisi doggy, Tante Huan minta agar aku melakukan spanking pada pantatnya.
Aku tak menyangka kalau Tante Huan suka pada sex yang hardcore. Tapi kulakukan juga permintaannya. Aku berlutut sambil mengentot Tante Huan yang sedang menungging, sambil mengemplangi sepasang buah pantatnya.
Plaaaaak… plooookkkk… plaaaaakkkkk… plooooookkkk… plaaaakkkkkk… ploooookkkk… plaaaaaaakkkkkk…!
Sementara kontolku menggenjot liangmemeknya yang sudah becek ini, karena dia sudah dua kali orgasme waktu masih dalam posisi missionary tadi.
Maka bunyi kemplangan – kemplanganku di pantat Tante Huan, diiringi oleh bunyi unik dari arah memeknya yang tengah kuentot habis – habisan. Crekkkk… setttt… crekkk… sreeeeetttt… crekkkk… srettttt… crokkkkk… sretttttt… creeekkkk… sttttt… crokkkkk…!
Tante Huan memang senang hardcore. Tapi dia cepat orgasme. Sementara kejantananku sedang garang – garangnya. Mungkin pada dasarnya aku senang hardcore juga. Sehingga ketika mendapatkan paassangan seksual yang laksana seekor harfimau betina ini, aku pun seolah menjelma jadi seekor harimau jantan yang sangat garang.
Aku tak bisa menghitung lagi berapa kali Tante Huan menikmati orgasmenya. Mungkin inilah yang disebut multi orgasme. Sedangkan aku, belum ejakulasi juga. Padahal tubuhku sudah bermandikan keringat. Tante Huan pun sama, sudah bermandikan keringat yang bercampur baur dengan keringatku.
Sampai pada suatu saat Tante Huan bertanya terengah, “Ooooh… Donny.. pa… pakai obat apa sih Don? Kok gak… gak ejakulasi juga? Pakai viagra ya?”
“Aku gak pernah pakai obat apa pun Tante. Aku kan masih muda. Belum membutuhkan obat – obatan seperti itu,” sahutku, “Tante mau istirahat dulu?”
“Iya Don. Keringatku sampai sudah mengering lagi di badanku. Enaknya sih mandi dulu,” sahutnya.
“Ayo kalau mau mandi dulu sih,” sahutku sambil melepaskan kontolku dari liang “cipet” Tante Huan.
Lalu dalam keadaan sama – sama telanjang kami melangkah ke kamar mandi.
Air hangat shower pun memancar dari atas kepala kami. Membuat sekujur tubuh kami basah. Hal ini malah membuat suasana semakin romantis, terutama karena aku belum ejakulasi.
Setelah menyabuni dan membilas tubuh kami, Tante Huan tampak segar kembali. Ia mendekap pinggangku di bawah pancaran air hangat shpwer sambil berkata, “Sekarang aku sudah siap lagi melayani kehebatanmu, Tuan Donny…”
“Berapa kali orgasme tadi?”
“Gak kehitung lagi saking lupa daratannya… yang jelas sering orgasmenya… baru sekali ini aku merasakan berkali – kali orgasme seperti tadi.”
Jemariku pun mulai menggerayangi liang memek Tante Huan. “Masih kuat berapa lama kuentot lagi memek Tante ini?”
“Sampai Donny puas saja. Hmmm… Donny sudah gak sabar lagi ya?”
Aku tidak langsung menjawab, karena sedang berusaha memasukkan kontolku ke dalam memek Tante Huan sambil berdiri di kamar mandi.
Dan ketika Tante Huan sudah tersandar di dinding kamar mandi, sementara kontolku sudah amblas ke dalam memeknya, kidung biarhi pun berkumandang lagi. Dengan denting – denting sakral bertaburkan bunga – bunga surgawi.
O, betapa nikmatnya mengentot wanita yang bertahun – tahun membuatku penasaran ini.
Tante Huan melingkarkan kedua lengannya di leherku, sementara aku semakin gencar mengentotnya sambil mendekap pinggangnya.
Meski persetubuhan ini dilakukan sambil berdiri di kamar mandi, Tante Huan tetap merintih dan mendesah. ciuman hangatnya pun mendarat di bibirku bertubi – tubi.
Sementara kontolku semakin mengganas… seolah memompa liang memek berjembut lebat itu.
Meski baru saja selesai mandi, kini keirngat kami mengucur lagi dengan derasnya.
Sampai pada suatu saat, aku berbisik terengah, “Lepasin di mana Tante?”
“Sudah mau ejakulasi?” Tante Huan balik bertanya.
“Iyaaaa…” sahutku.
‘Di dalam mulutku aja Don. Aku ingin meminum sperma Donny, sebagai tanda mendalamnya perasaanku pada Donny…”
“Iiiiyaaaaa… ini udah mau meletussss…” ucapku sambil mencabut kontolku dari liang memek Tante Huan.
Spontan Tante Huan berjongkok di depanku dan langsung memasukkan kontolku ke dalam mulutnya. Disusul dengan urutan – urutan di badan kontolku dan isapan serta selomotannya.
Tak kiuasa lagi aku menahannya. Maka meletuslah lahar kenikmatanku di dalam mulut Tante Huan: Croootttt… croooottttt… crottt… crooootttt… crotttt… crottttttt… crooootttt…!
Tante Huan benar – benar menelan spermaku sampai habis, tak disisakan setetes pun…! Tentu saja aku terharu dibuatnya. Karena Tante Huan bukan wanita sembarangan. dia orang tajir melilit yang menjadi rekan bisnis Papa almarhum.
Tante Huan berdiri lagi sambil mendekapku dan berkata, “Ini pertama kalinya aku bisa orgasme berulang – ulang. Pertama kalinya bersetubuh sambil berdiri. Dan pertama kalinya menelan sperma lelaki.”
“Terima kasih Tante,” sahutku, “Semua yang telah terjadi memang mengesankan sekali.”
“Dan hubungan kita harus berlanjut terus Don.”
“Oke, “aku mengangguk sambil memutar kran shower. Air hangat pun memancar lagi dari shower di atas kepala kami.
Ya, kami harus mandi lagi, karena tubuh kami sudah keringatan kembali.
Setelah mandi, kami berpakaian kembali. Kemudian melanjutkan perundingan masalah bisnis di ruang tamu.
Kedatangan Tante Huan memang tak pernah kuduga sebelumnya. Tahu – tahu dia mau menginvestasikan uangnya sekaligus mau menginvestasikan… memeknya…!
Hidupku memang banyak kejutannya. Ada saja suatu hal yang tak pernah terpikirkan lalu datang secara tiba – tiba.
Seperti pada suatu hari…
Ketika petugas security mengantarkan seorang tamu, seorang wanita muda yang mengenakan gaun katun abu – abu polos itu, aku tercengang. Karena aku masih ingat bahwa wanita muda itu istri almarhum Oom Jaka.
Aku bangkit dari kursi kerjaku dan menyapanya, “Tante Marsha?”
Wanita muda yuang cantik dan berperawakan agak montok tapi tidak gendut itu mengangguk dengan senyum manis. Maka kucium tangannya, lalu cipika – cipiki dengannya.
Aku masih ingat benar, bahwa sebelum 40 hari meninggalnya Oom Jaka, aku sengaja datang sendiri ke rumah mendiang adik Bunda itu. Untuk menyerahkan amplop berisi uang dan dua dus besar kue – kue. Untuk membantu tahlilan 40 harian meninggalnya Oom Jaka. Saat itu Tanhte Marsha sendiri yang menerimanya.
Dan sekarang dia benar – benar datang ke kantorku.
Karena dia itu mantan istri pamanku, maka kuajak dia ke lantai dua. Ke private room. Karena aku tahu pasti dia akan menceritakan kesulitannya. Dan akan meminta bantuanku.
Di lantai dua kuajak Tante Marsha duduk di sofa ruang keluarga.
Aku duduk di depan sofa yang diduduki oleh Tante Marsha.
“Bagaimana? Tante datang ke sini tentu ada yang perlu kubantu kan?” tanyaku dengan nada sopan, karena biar bagaimana pun dia pernah menjadi istri pamanku.
Tante Marsha menatapku. Lalu menunduk dan menangis terisak – isak, “Iya Don… hiks… sejak Oom Jaka meninggal… aku… hiks… aku jadi seperti layang – layang putus talinya… tak tau lagi harus bagaimana… hikssss…”
Melihat dia menangis, aku pun langsung pindah ke sofa yang didudukinya. Lalu memndekap bahunya sambil berkata, “Tenang Tante… tenang. Aku akan membantu Tante. Kalau memang ada kesulitan, katakan saja padaku.”
Tante Marsha membenamkan mukanya ke dadaku sambil berkata terputus – putus, “Oom Jaka meninggalkan hutang yang cukup banyak. Mereka pada nagih pdaku. Sedangkan aku… mau bayar dari mana uangnya? Waktu tahlilan empatpuluh harinya juga kalau gak ada bantuan dari Donny takkan bisa tahlilan.”
“Berapa jumlah hutangnya semua?” tanyaku sambil menyeka air matanya dengan kertas tissue dari meja kecil di depanku.
“Enambelasjuta,” sahutnya.
Ah… kusangka hutangnya itu milyaran. Ternyata “hanya” enambelasjuta rupiah.
“Tante punya rekening tabungan?” tanyaku.
“Boro – boro punya tabungan Don… hiks… “Tante Marsha membenamkan dadanya lagi ke dadaku.
Dan gilanya… otakku jadi ngeres. Karena waktu memeluk dan mengusap – usap rambutnya ini, terasa benar padat kencangnya tubuh Tante Marsha ini. Tapi aku mau mengambil uang cash dari dalam kamarku. Maka kataku, “Tunggu sebentar ya.”
Aku berdiri dan melangkah ke dalam kamarku. Lalu kubuka brankas dan termenung sejenak. Akhirnya kuambil tiga ikat uang seratusribuan dan kumasukkan ke dalam amplop besar berwarna drill. Lalu aku kembali lagi ke ruang keluarga dan duduk di samping Tante Marsha lagi.
Kuberikan amplop berisi uang 30 juta itu kepada Tante Marsha sambil berkata, “Ini uang untuk membayar hutang – hutang almarhum. Sisanya pakai aja buat keperluan Tante sehari – hari.” sumber Ngocoks.com
Tante Marsha membuka amplop itu dan melihat isinya. “Banyak sekali Don. Aku hanya butuh enambelas juta.”
“Iya, sisanya untuk kebutuhan sehari – hari Tante dan anak – anak.”
“Aku belum punya anak Don,” ucapnya sambil memasukkan amplop berisi uang itu ke dalam tas kecilnya.
“Ohya?! Oom Jaka tidak meninggalkan keturunan sama sekali?”
“Waktu almarhum menikah denganku, statusnya sudah duda. Punya anak sih, tapi dari istri pertamanya yang sudah diceraikan. Denganku sama sekali belum menghasilkan keturunan.”
“Lalu… berapa lama Tante menjadi istri almarhum?”
“Baru dua tahun. Waktu menikah dengannya, usiaku baru duapuluhdua tahun, sedangkan almarhum sudah berusia empatpuluhan saat itu.”
“Jadi Tante sekarang baru berumur duapuluhempat tahun?”
“Iya Don. Makanya kalau bisa sih, aku mau bekerja saja di perusahaan Donny. Karena gak mungkin aku bolak – balik ke sini untuk terus – terusan minta bantuan sama Donny,” ucapnya dengan nada memohon.
“Mau bekerja di bagian apa Tan?”
“Bagian apa aja. Bagian cleaning service juga mau.”
“Hush… masa Tante secantik ini mau bekerja di bagian cleaning service?!” ucapku sambil memegang dan meremas tangannya yang hangat dan halus.
“Daripada nganggur… bagian apa juga aku bersedia Don.”
Bersambung…