“Tenang Bu. Aku tidak heran melihat Ibu bermasturbasi. Karena Ibu masih muda. Tentu masih normal… masih membutuhkan sentuhan lelaki…” ucapku sambil mencium pipinya yang terasa hangat.
“Iiii… ibu… ma… mau pakai baju dulu Don… oooohhhh… “Bu Eti meronta.
Tapi aku cepat menghimpitnya sambil berkata, “Sama aku mendingan terbuka aja Bu. Santai aja. Aku justru suka sekali melihat Ibu telanjang begini. Dan menurutku, Ibu masih sangat normal… masih membutuhkan sentuhan lawan jenis…”
“Tapi… Marsha mana?”
“Marsha sedang latihan kesekretarisan di kantorku. Dia kan bakal dijadikan sekretaris Bu. Tenang aja… Marsha takkan pulang sebelum aku menjemputnya ke kantor nanti sore.”
“Terus ibu harus gimana sekarang? Ooooh… ibu jadi malu sama Donny,” Ucap Bu Eti sambil menutupi muka dengan kedua tangannya.
“Kalau begitu, aku juga mau telanjang ya. Biar Ibu gak merasa malu lagi,” ucapku sambil turun dari bed untuk melepaskan sepatu, kaus kaki dan seluruh busanaku.
Dalam keadaan telanjang bulat, dengan kontol sudah ngaceng pula, aku merentangkan kedua tanganku sambil berkata, “Sekarang aku juga sudah telanjang, seperti Ibu. Jadi gak usah ada perasaan malu lagi di antara kita kan Bu?”
Bu Eti tercengang, dengan pandangan terpusat ke batang kemaluanku yang memang sudah ngaceng sejak tadi.
“Iii… ini Donny mau apa?”
“Ibu jangan munafik. Ibu membutuhkan sentuhan lelaki kan?”
Seperti terhipnotis, Bu Eti mengangguk perlahan.
“Nah aku sengaja datang sendirian ke sini, karena ada dua hal. Yang pertama, aku sangat terangsang waktu Ibu baru datang tadi malam. Ibu mengenakan lingeri putih dan tak mengenakan celana dalam waktu tidur tadi malam kan?”
“Kok Donny bisa tau?”
“Tadinya ada sesuatu yang mau kubicarakan dengan Ibu. Tapi Ibu sudah tidur tanpa mengenakan celana dalam. Sehingga aku cukup lama menyaksikan betapa merangsangnya memek Ibu itu. Itulah sebabnya aku datang ke sini. Sekalian mengantarkan baju – baju baru untuk di rumah dan juga PS, yang kata Marsha kegemaran Ibu.
“Ja… jadi… “Bu Eti tak bisa melanjutkan kata – katanya karena aku sudah melompat ke atas bed, lalu menghimpitnya sambil berkata, “Kita tidak usah munafik Bu. Kita saling membutuhkan. Ibu membutuhkan lelaki segar, aku pun sudah tergiur oleh Ibu yang begini eksotik di mataku.”
“Jadi Do… Donny mau… mau…”
“Iya… mau menggauli Ibu. Itu pun kalau Ibu bersedia kugauli. Kalau tidak mau, aku takkan memaksa.”
“Ta… tapi… Donny kan calon suami Marsha.”
“Iya… orang bilang kalau kawin dengan seorang perempuan, harus kawin juga dengan keluarganya. Hihihihiiii… iya kan Bu?”
“Marsha itu cantik Don. Masa mau ngegares ibu juga?”
“Marsha memang cantik. Tapi Ibu jauh lebih seksi di mataku,” sahutku sambil meremas payudara Bu Eti pelan – pelan.
“Ibu sih mau aja digauli olehmu. Tapi bagaimana kalau Marsha sampai tau nanti?”
“Itu urusanku Bu. Marsha itu sudah siap untuk mengikuti apa pun yang akan kulakukan.”
“Iyalah… Marsha pasti manut sama Donny, karena Donny sangat tampan begini…”
“Jadi Ibu sudah sepakat untuk kugauli sekarang?”
“Terserah Donny aja. Ibu mau mengikuti keinginan Donny aja, seperti Marsha manut pada Donny.”
“Mmmm… aku senang sekali mendengar kesediaan Ibu yang semalaman tadi terbayang – bayang terus di pelupuk mataku,” ucapku yang disusul dengan ciuman hangat di bibir Bu Eti yang sensual itu.
Bu Eti memejamkan matanya sambil mendekap pinggangku. Bahkan sesaat kemudian ia melumat bibirku dengan hangatnya.
“Rasanya seperti bermimpi. Karena tak menyangka sedikit pun kalau Donny mau sama Ibu.”
“Jangan suka rendah diri Bu. Ibu ini sangat eksotis dan seksi sekali di mataku. Karena itu aku sengaja meninggalkan Marsha di kantor, karena ingin mewujudkan lamunanku… untuk memiliki Ibu…” ucapku yang kususul dengan mengulum pentil toket kiri Bu Eti dan meremas toket kanannya.
Lalu, tanpa mempedulikan betapa lebatnya jembut Bu Eti, aku melorot turun dan langsung menyibakkan jembut tebal itu, kemudian menjilati bagian dalam memeknya yang ternganga kemerahan itu.
“Oooohhh… Donny… kalau tau akan dijilatin begini, pasti ibu cukur memeknya tadi…” ucap Bu Eti.
Kuhentikan jilatanku untuk menjawabnya, “Gak apa Bu. Terkadang memek berjembut begini justru membangkitkan gairahku.”
Lalu kujilati lagi memek ibunya Marsha ini. Membuat wanita setengah baya itu menggeliat – geliat, sambil meremas – remas bahuku.
Aku tahu bahwa Bu Eti sudah dikuasai nafsu, karena setiap titik sensitifnya sudah kusentuh.
Kini tiba saatnya untuk mengeksekusinya. Tanpa sikap malu – malu lagi Bu Eti merentangkan kedua belah pahanya ketika moncong kontolku sudah kuletakkan pada titik yang kuanggap pas.
Lalu tanpa basa basi lagi kudorong kontolku sekuat tenaga. dan… melesak amblas ke dalam liang memek yang ternyata sangat licin itu.
Bu Eti pun langsung mendekapku sambil merengek, “Aaaaaaa… aaaaaahhhhhh… masuuuk Doooon…”
Dalam keadaan seperti ini, aku tidak sungkan – sungkan lagi untuk melingkarkan lengan kananku di lehernya. Kemudian mencium dan melumat bibirnya dengan segenap kehangatanku, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya dengan lembut. Kontolku pun mulai kuayun perlahan – lahan dulu. Karena ada juga wanita yang lebih suka dientot secara pelan – pelan.
Ternyata Bu Eti pun termasuk wanita yang seperti itu.
“Iyaaaa… pelan – pelan aja dulu Dooon… supaya ibu bisa meresapi nikmatnya gesekan penismu dengan liang memekku… oooh… ini luar biasa nikmatnya Dooon… sudah bertahun – tahun memekku tidak dimasuki alat vital lelaki… sekalinya merasakan lagi… panjang dan gede banget pula penismu Dooon…
“Gampang Bu. Besok juga bisa lagi beginian. Sementara Marsha sibuk di kantor, aku kan bisa ngentot Ibu lagi di sini…”
“Adudududuuuuh Doooon… ini makin lama makin enak Dooon… tapi jangan dicepetin ngentotnya yaaaaa… lebih enak pelan – pelan begini… terasa mengalir nikmatnya… dari ujung kaki ke ubun – ubun ibuuuu…”
Karena entotanku pelan – pelan, aku jadi bisa sambil berkata, “Nanti aku akan merasa punya istri dua orang di rumah ini. Marsha dan Ibu. Hal itu akan membuatku awet dengan Marsha nanti.”
“Iiii… iya Dooon.”
“Pokoknya aku sayang sama Marsha, sayang pula sama Ibu…”
“Iii… iya Dooon. Ibu juga sayang sama Donny… dudududuuuuuh… ini semakin enak Dooon… iyaaaaaaa… entot terus Doooon… sangat enaaaaaak…”
Sementara itu, mulut dan tanganku pun ikut beraksi. Menjilati leher Bu Eti disertai dengan gigitan – gigitan kecil dan isapan – isapan perlahan. Sedangkan tanganku bergantian meremas toketnya. Kalau aku sedang menjilati lehernya yang sebelah kanan, maka toket kirinya yang kuremas – remas. Dan kalau aku menjilati lehernya yang sebelah kiri, toket kanannya lah yang kuremas dan kumainkan pentilnya.
Karuan saja Bu Eti semakin klepek – klepek.
Terlebih lagi setelah aku menjilati ketiaknya sambil meremas – remas toketnya, Bu Eti gedebak – gedebuk. “Doooniii… edaaaaan… ini semakin luar biasa enaknya Dooon… sambil menahan geli ketek ibu yang kamu jilatin… jadi semakin enak… ooooohhhhh… geli – geli enak Dooon… ta… tapi…
Bu Eti berkelojotan, aku pun mempercepat entotanku. Dan ketika ia mengjang tegang, kutancapkan kontolku sedalam mungkin, sampai menyundul dasar liang memeknya. Tapi aku belum mau ejakulasi. Aku hanya ingin menikmati indahnya mnemek yang sedang orgasme.
Sedetik kemudian kurasakan liang memek Bu Eti berkedut – kedut kencang. Lalu sekujur liang memeknya bergerak memutar seperti spiral, seolah ada ular yang melilit kontolku di dalam liang surgawi Bu Eti.
Aku pun terpejam dalam nikmat yang sulit diungkapkan dengan kata – kata belaka.
Lalu Bu Eti terkapar dalam himpitan dan pelukanku.
Sesaat kemudian ia membuka matanya. Mencium bibirku dan berkata lirih, “Terima kasih Don. Ini sesuatu yang sangat berarti bagi ibu.”
“Sesuatu yang sangat berarti pula bagiku Bu. Aku jadi benar – benar sayang kepada Ibu sekarang,” sahutku yang kuikuti dengan ciuman hangat di bibir sensualnya.
“Ibu juga jadi sayang padamu Don. Sangat – sangat sayaaaaang,” ucapnya sambil mendekap pinggangku erat – erat.
Setelah wajah Bu Eti kemerahan lagi, aku pun mulai mengayun kembali batang kemaluanku.
“Tadi belum ngecrot?” tanya Bu Eti dengan sorot heran.
“Belum Bu. Kenapa? Ibu sudah kepayahan?”
“Kepayahan sih nggak. Ayo ganti posisi sekalian. Mau posisi nungging?”
Mau… mau Bu… !” sahutku sambil mencabut kontolku dari liang memek ibunya Marsha.
Bu Eti pun spontan menelungkup dan menunggingkan bokongnya sampai menekuk sekali, sehingga memeknya seperti tengadah kalau dilihat dari belakang.
Aku pun cepat berlutut dan meletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek yang kelihatan full dari arah belakang ini. Lalu kudesakkan kontolku dan… blessss… langsung melesak ke dalam liang memek yang masih basah sekali itu (karena habis orgasme barusan).
Permainan surgawi pun terulang lagi. Kali ini dalam posisi yang biasa disebut doggy.
Dengan sepenuh gairah kuentot liang memek Bu Eti sambil berpegangan ke bokong semoknya.
Bu Eti pun mendesah – desah lagi. Bahkan lebih dari seperempat jam kemujdian ia orgasme lagi untuk kedua kalinya. Kemudian ia ingin main di atas. Kukabulkan saja keinginannya untuk bermain dalam posisi WOT.
Kali ini lebih parah lagi. Baru sekitar sepuluh menitan dia sudah orgasme lagi untuk ketiga kalinya.
Akhirnya kami lanjutkan dalam posisi missionary lagi.
Aku sudah tidak menunggu Bu Eti orgasme lagi, karena ia sudah tiga kali orgasme. Kali ini aku mengentotnya seolah untuk kepuasanku sendiri. Karena itu aku mengentotnya dengan gencar… gencar sekali… dengan harapan agar secepatnya ejakulasi.
Tapi sebelum aku mencapai ejakulasi, Bu Eti sudah berkelojotan lagi. Dan berucap terengah bahwa ia akan “lepas” lagi untuk keempat kalinya.
Aku punn semakin menggencarkan entotanku, dengan harapan agar ejakulasiku meletus bertepatan dengan orgasme Bu Eti yang keempat.
Dan… aku berhasil menciptakannya. Bahwa ketika Bu Eti mengejaqng tegang, sementara liang memeknya berkedut – kedut lagi, kontolku pun mengejut – ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.
Crottttt… croooootttttt… crotttt… croooottttttttt… crottt… croooooooottttttt… crooootttttttt…!
Aku terkulai di atas tubuh Bu Eti yang terkulai juga.
Setelah melepaskan kontolku dari liang memek ibunya Marsha, aku mengusap – usap pipinya sambil berkata, “Yang telah terjadi barusan, sangat mewngesankan Bu. Karena itu mulai saat ini bukan hanya Marsha yang akan menjadi tanggung jawabku. Ibu juga akan menjadi tanggung jawabku.”
Bu Eti bangkit. Mencium sepasang pipiku dan menyahut, “Terimakasih Donny Sayang… ibu bahagia sekali mendengarnya.”
“Ohya… itu baju – baju buat Ibu, mau dicobain satu persatu?”
“Mendingan kita mandi dulu Don. Badan penuh keringat gini gak enak nyobain baju baru. Nanti kerinhgatnya pindah ke baju – baju baru itu.”
Aku mengangguk. Lalu mengikuti Bu Eti masuk ke kamar mandi, dalam keadaan sama – sama telanjang.
Jam setengah tiga sore kutinggalkan rumah yang sudah menjadi milik Marsha itu, menuju kantorku untuk menjemput Marsha.
Ternyata Marsha sudah menungguku di ruang tamu komut yang berdampingan dengan ruang kerjaku.
“Udah lama nunggu?” tanyaku setelah mengecup bibir Marsha.
“Baru sepuluh menitan,” sahutnya.
“Udah makan belum?”
“Udah. Tadi diajak makan oleh Mbak Wien di kantin. Enak – enak makanannya ya.”
“Aku malah belum pernah makan di kantin.”
“Kenapa?”
“Kasihan sama karyawan. Kalau melihat aku jadi kelihatan tegang semua. Makanya aku suka makan di sini aja, Suka beli makanannya dari rumah makan di seberang kantor itu. Lalu dibawa ke sini dan dimakan di sini. Ohya, bagaimana trainingnya tadi?”
“Menyenangkan Don. Mbak Wien pandai membimbingku. Segala yang diajarkannya cepat kumengerti.”
“Syukurlah kalau gitu. Ayo kita pulang sekarang.”
“Iya,” sahut Marsha sambil berdiri dan mengikuti langkahku menuju tempat parkir mobilku.
Setelah Marsha duduk di samping kiriku dalam molbil yang sudah kugerakkan keluar dari halaman kantor, kudengar suaranya, “Jadi tadi ke rumah?”
“Jadi. Kubelikan beberapa helai gaun tidur, kimono dan pakaian dalam. PS juga kubelikan. Tapi PS 1 dan PS2 gak ada yang baru. Semuanya second. Makanya kubelikan aja PS4. Mudah – mudahan Ibu jadi kerasan tinggal bersamamu, karena ada mainan yang bikin dia asyik.”
“Wah… seneng dong Ibu dibeliin PS4.”
“Sebenarnya PS5 juga sudah diproduksi, tapi belum beredar di negara kita.”
“Tau gak kenapa Ibu seneng main PS?”
Aku cuma menggelengkan kepala.
“Malu aku menceritakannya.”
“Kenapa malu? Kayak ngomong sama siapa aja.”
“Begini… aku sering mergokin Ibu sedang bermasturbasi. Hampir tiap malam dia bermasturbasi di dalam kamarnya.”
“Ohya?!” aku pura – pura kaget. Padahal tadi pagi juga aku melihat Bu Eti sedang bermasturbasi di dalam kamar di lantai dua itu.
“Serius. Mungkin Ibu itu seorang wanita yang gede nafsunya. Wajar juga sih. Karena Ibu menjadi janda sejak aku masih di SD.”
“Terus… apa hubungannya dengan PS?”
“Aku gak suka Ibu punya kebiasaan seperti itu. Takut lama kelamaan jadi rusak jiwanya. Karena itu sengaja kubelikan PS, karena Ibu seneng main game. Sejak zaman ada teris, Ibu suka mainin berjam – jam.”
“Lalu setelah dibelikan PS, Ibu tidak pernah melakukan masturbasi lagi?”
“Entahlah. Yang jelas aku tak pernah memergokinya lagi. Tapi entahlah kalau aku sedang tak ada di rumah. Hanya saja kelihatannya perhatian Ibu jadi teralihkan ke PS. Tadi setelah dikirim PS apa Ibu langsung main PS?”
“Nggak, “aku menggeleng, “Ibu lebih suka nyobain baju – baju baru itu.”
“Donny Sayang… aku mau minta tolong sama Donny… tapi takut Donnynya marah.”
“Mau minta tolong apa?”
“Janji dulu Donny takkan marah.”
“Iya… aku janji, apa pun yang Marsha katakan, aku takkan marah.”
“Kalau Donny mau melakukannya… pasti jiwa Ibu takkan resah lagi. Pasti semangat hidupnya bangkit kembali.”
“Maksudnya, aku harus melakukan apa?”
Meski tidak ada orang ketiga di dalam mobilku, Marsha menjawab pertanyaanku dengan bisikan di dekat telingaku, “Setubuhi Ibu Don, please… biar jiwanya tenang, biar semangat hidupnya bangkit…”
“Haaa?! Kamu kok mendadak ngaco gitu Sha?”
“Aku serius Sayang. Aku ingin Ibu tenang, nyaman dan bahagia.”
Sebenarnya batinku melonjak girang mendengar “permintaan tolong” itu. Tapi aku masih bersandiwara. Pura – pura bingung pada saran Marsha itu. “Terus… cintaku harus dialihkan ke Ibu?!” tanyaku.
“Bukan begitu. Aku hanya ingin membahagiakan Ibu, tapi Donny jangan meninggalkan aku. Aku sih inginnya begini… anggap aja Donny punya duja wanita simpanan di rumah. Aku dan Ibu.”
“Memangnya Marsha takkan merasa cemburu kalau saranjmu itu kulaksanakan?”
“Kalau dengan orang lain, pasti aku cemburu. Tapi kalau dengan Ibu, aku takkan cemburu. Aku malah akan merasa bahagia kalau melihat Ibu bahagia dan bangkit lagi semangat hidupnya.”
Aku terdiam di belakang setir mobilku. Seolah konsen ke jalan saja. Padahal aku sedang berpikir tentang apa yang harus kukatakan kepada Marsha dengan usul yang sebenarnya membuat hatiku menari – nari dalam nafas kegembiraan.
“Bagaimana?” tanya Marsha bernada mendesak.
“Nantilah… akan kupikirkan dulu.”
“Jangan dipikirkan terlalu lama Sayanhg,” ucap Marsha sambil merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku, “Aku sih maunya nanti malam aja laksanakan. Maaf ya aku jadi mendesak ginmi sama Donny.”
“Nanti malam? Jangan nanti malam ah. Besok malam aja ya Sayang,” sahutku. Tentu saja aku harus menolak untuk menggauli Bu Eti nanti malam, karena tadi aku kan baru menggaulinya.
“Deal !” suara Marsha terdengar bersemangat. Besok malam kan malam Sabtu. Berarti malam weekend. Lusa hari libur… semoga saja luka di memekku udah benar – benar sembuh. Supaya Donny bisa menyetubuhiku lagi.”
“Skenarionya gimana besok itu? Marsha mau ikut bareng sama Ibu?”
“Jangan seperti itu skenarionya. Besok malam Donny sama Ibu aja berduaan di atas. Pada Ibu bilang aja aku sudah tidur nyenyak.”
“Jadi besok malam aku harus tidur sama Ibu semalam suntuk?”
“Iya gak apa – apa. Terserah situasi dan kondisinya aja.”
“Lalu… apakah aku harus ngomong terus terang bahwa aku disuruh oleh Marsha untuk menggauli beliau?”
“Terserah Donny mau bilang gimana. Yang penting Donny harus berhasil menggauli Ibu. Maaf ya Don, aku bukannya lancang dan berani nyuruh Big Bossku. Aku hanya minta tolong, please.”
“Kalau Ibu menolak gimana?” aku tetap bersandiwara. Pura – pura belum melakukan apa pun dengan ibunya Marsha.
“Gak mungkin. Masa menolak lelaki setampan dan semuda Donny?”
Setibanya di depan rumah Marsha, aku tidak mampir dulu. Langsung pulang ke rumah peninggalan almarhum Papa. Karena aku takut Bu Eti kelihatan “beda” waktu berhadapan denganku di depan Marsha. Kalau Sabtu lusa sih gak apa – apa Bu Eti memperlihatkan sikap mesra padaku di depan Marsha juga.
Keesokan harinya, kujemput lagi Marsha ke rumahnya. Kali ini pun aku cuma menunggu di mobil, karena masih takut – takut bertemu muka dengan Bu Eti di depan Marsha. Seperti kemaren, Marsha mengikuti training lagi, dibimbing oleh Mbak Wien.
Sorenya aku mengajak Marsha ke toko sepatu yang paling terkenal di kotaku.
Di toko sepatu itu Marsha kubelikan tiga pasang sepatu. Hanya sepasang yang high heels, yang dua pasang sepatu biasa. Tapi ketiga pasang sepatu itu branded semua.
Kemudian kami makan malam dulu di sebuah restoran. Pada waktu makan malam itulah aku berkata kepada Marsha, “Ingat ya… aku akan mengikuti permintaanmu. Tapi Marsha harus berjanji bahwa hubungan kita takkan retak karenanya.”
Marsha tersenyum manis dan menyahut, “Hubungan kita malah akan semakin mesra nanti Sayang. Karena aku akan merasa bahagia kalau bisa membuat Ibu bahagia.”
Aku pun memesan makanan untuk take away. Untuk ibunya Marsha.
Kami tiba di rumah Marsha ketika hari mulai malam. Aku pun langsung mandi di kamar mandi pribadi Marsha. Agar fisikku benar – benar fresh di kamar Bu Eti nanti.
Setelah mandi, kukenakan baju dan celana piyama yang kubekal dari rumahku. Tanpa celana dalam, supaya “gampang” di kamar Bu Eti nanti.
Sebelum meninggalkan kamar Marsha, kusempatkan mencium bibir Marsha dengan semesra mungkin. Kemudian aku berbisik ke telinganya, “Mudah – mudahan Ibu takkan menolakku ya. Kalau aku berlama – lama di kamarnya, berarti aku sukses. Oke?”
“Iya Sayang,” sahut Marsha sambil menggelitik pinggangku.
Kemudian aku keluar dari kamar Marsha, menuju kamar Bu Eti di lantai dua.
Bu Eti tampak kaget ketika aku membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam, lalu kututup dan kukuncikan pintu itu.
“Don… kenapa ke sini?” tanya Bu Eti yang saat itu mengenakan kimono sutra putih pemberian dariku kemaren.
“Tenang aja Bu…” sahutku sambil mendekap pinggangnya, “Marsha sudah tidur nyenyak. Karena tadi dia letih mengikuti training seharian.”
“Nanti kalau dia nyari Donny ke sini bagaimana?”
“Aku yang akan bertanggungjawab. Bilang aja Ibu dipaksa olehku,” ucapku sambil menyelinapkan tanganku ke balik kimono sutra putih itu. Dan… ternyata memek Bu Eti sudah dicukur bersih …!
“Jembutnya dicukur Bu?”
“Iya. Kemaren dicukur setelah Donny pulang,” sahut Bu Eti sambil tersenyum.
Kemudian kulepaskan ikatan tali kimono putih itu. Sehingga Bu Eti langsung telanjang bulat, karena dia tidak mengenakan beha mau pun celana dalam di balik kimononya.
Aku pun melepaskan baju dan celana piyamaku. Dan meraih Bu Eti ke atas bednya, dalam keadaan sudah sama – sama telanjang bulat.
Bu Etri terasa agak gemetaran ketika kutelungkupi di atas bednya. Bahkan ia berkata, “Takut Marsha tiba – tiba datang ke sini.”
“Bu… sekarang ini aku akan menggauli Ibu, justru atas permintaan Marsha kemaren,” sahutku sambil memegang toketnya yang tidak besar tapi juga tidak kecil.
“Maksudnya?” Bu Eti menatapku dengan sorot ragu.
“Marsha sangat menyayangi Ibu. Dia ingin agar Ibu bahagia dan semangat hidup Ibu bangkit kembali. Dia juga tau bahwa pada dasarnya Ibu masih membutuhkan sentuhan lelaki. Karena itu aku diminta untuk menggauli Ibu. Bahkan aku diijinkan untuk tidur di sini semalam suntuk.”
“Donny serius?”
“Ludahi muka aku kalau aku ngarang.”
“Lalu… apakah Donny bilang bahwa ibu sudah disetubuhi kemaren?”
“Nggak. Aku malah berpura – pura takut kalau Ibu menolakku. Tapi Marsha memaksaku. Saking inginnya melihat Ibu bahagia. Marsha bilang, anggap saja aku punya dua wanita simpanan d rumah ini. Marsha dan Ibu.”
“Oh… Marsha… anak semata wayangku… gak nyangka sejauh itu dia ingin membahagiakan ibu.”
“Udah… ngobrolnya nanti aja. Sekarang Ibu boleh memekik – mekik sekeras mungkin waktu kuentot nanti. mJangan takut sama Marsha… semuanya ini justru atas kehendak dia sendiri…” ucapku sambil meremas – remas toket Bu Eti.
Kemudian aku langsung melorot turun, karena ingin melihat memeknya yang sudah dicukur plontos itu.
Memang ada beberapa helai rambut pendek yang belum tercukur. Biar saja. Nanti aku akan membantunya untuk mencukur jembut yang belum tercukur itu. Tapi yang jelas kulihat memek Bu Eti ada jenggernya. Dan aku justru suka pada memek berjengger begini. Karena pada waktu “dipakai” jadi “ramai”… ada yang ikutan mencolek – colek pangkal kontolku.
Lalu kungangakan memek Bu Eti ini, disusul dengan jilatanku di bagian dalam yang berwarna kemerahan itu.
Bu Eti pun mulai menggeliat dan mendesah. Terlebih lagi setelah aku menjilati kelentitnya secara intensif, rintihannya mulai terdengar, “Donny Sayaaaang… ooooohhhh… jilatin terus itilnya Dooon… ini enak sekali… itilnya aja Sayaaaang… itilnyaaaaa… itiiiiiil…”
Namun aku tidak ingin membuat liang memek Bu Eti langsung becek. Karena itu aku menghentikan permainan oralku dan langsung membenamkan batang kemaluanku ke dalam liang memek yang empuk – empuk kenyal tapi legit ini… blessssssss… masuk amblas seluruhnya…!
Dengan penuh kehangatan Bu Eti pun memeluk dan menciumi bibirku.
Aku pun mulai mengentotnya dengan gerakan pelan – pelan. Karena aku sudah tahu bahwa dia lebih suka kalau dientot pelan – pelan. Supaya bisa menghayati nikmatnya pergesekan kontolku dengan liang memeknya.
Mudah – mudahan Bu Eti merasa bahagia dan bangkit kembali semangat hidupnya, seperti yang diinginkan oleh Marsha.
Ketika kontolku mulai lancar mengentot liang memek Bu Eti, masih sempat aku membisiki telinga ibunya Marsha itu, “Memek Ibu luar biasa legitnya. Karena itu aku ingin memiliki Ibu seumur hidupku.”
Bu Eti tersenyum dan menyahut bercampur desahan, “Aaaaaaa… aaaaaaahhhh… kontol Donny jugaaaaa… luar biasa nikmatnyaaaaa… ibu berjanji takkan menikah lagiiii… biar ibu jadi simpanan Donny aja seumur hidupppp… aaaaaaaah… aaaaaaah… ini luar biasa nikmatnya Doooon… serasa tengah berada di surgaaaaaa …
Lalu bokong semok Bu Eti mulai bergoyang erotis. Memutar – mutar, meliuk – liuk dan menghempas – hempas. Pada waktu bokongnya terangkat lalu menghempas itu, memeknya jadi menukik, sehingga kelentitnya bergesekan dengan batang kemaluanku.
Hal itu terus – terusan terjadi. Membuatku yakin bahwa sebentar lagi juga Bu Eti akan menikmati orgasme pertamanya.
Benar saja. Baru belasan menit aku menyetubuhinya, Bu Eti mulai berkelojotan. Lalu mengejang teganhg… tegang sekali. Aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin. Sampai terasa menyundul dasar liang memek ibunya Marsha itu.
Lalu detik – detik indah itu pun terjadi. Liang memek yang licin tapi legit ini terasa berkedut – kedut, disausul gerakan seperti spral yang seolah mau memuntahkan kontolku. Tapi tentu saja kontolku tidak termuntahkan. Karena aku mendesakkan kontolku sekuat mungkin sampai mentok di dasar liang memek Bu Eti.
Pada saat itulh aku teringat sesuatu yang kubekal dari rumahku tadi, yang kini tersimpan di saku baju piyamaku. Kebetulan baju piyamaku tergeletak tidak jauh dariku. Sehingga ketika Bu Eti sedang terkapar dengan mata terpejam, diam – diam kuambil sesuatu itu. Sebuah vibrator sebesar telur puyuh. Lalu kucabut kontolku perlahan – lahan.
Wanita setengah baya yang seksi abis itu tidak menyadari apa yang tengah kulakukan. Pada saat itulah kubenamkan lagi kontolku ke dalam liang memek Bu Eti, sehingga moncong kontolku mendorong vibrator itu. Pada saat iktulah kupijat tombol di kotak kecil yang sedang kupegang. Dan vibrator mini itu pun bergetar kencang, sampai terasa menggetarkan moncong kontolku juga …
Bu Eti terkejut dan bergumam, “Adududududududuuuuh… ini apa yang bergetar di dalam memekku Don? Apa iniiiiiiii?”
“Kontolku yang bergetar Bu… santai aja… nanti Ibu akan mengalami squirt yang belum pernah Ibu rasakan…” sahutku sambil mendorong kontolku lebih dalam lagi. Sehingga vibrator itu berada di dasar liang memek ibunya Marsha.
“Adududuuuuh… alalalaaaaah… adududuuuhhhh… alaaalaaalaaaaaah… ini… ter… terlalu enak Don… adudududuuuuh… alalalaaaaah… adududuuuuh… alalaaalaaaah… adudududuuuh Doooon… alalalaaaaah Dooon… adududuuuuh Doooon…”
Bu Eti tergetar – getar, mungkin saking nikmatnya. Tapi aku sendiri merasakan yang sama. Getaran vibrator yang bertempelan dengan moncong kontolku, memang terlalu enak. Bahkan jangan – jangan aku bakal ejakulasi dini.
Karena itu secepatnya kucabut kontolku, sementara vibrator itu masih berada di dalam memek Bu Eti.
Dan… tiba – tiba Bu Eti mengejang dengan perut sedikit terangkat. Lalu srrrr… cairan putih bening menyembur dari memek Bu Eti…!
Takut dipersalahkan, aku pun cepat mencabut kabel vibrator itu. Lalu ketika Bu Eti terkapar dengan wajah pucat pasiu, cepat kumasukkan kembali vibrator itu ke saku baju piyamaku.
Tanpa peduli kain seprai yang basah akibat squirting Bu Eti tadi, aku merayap lagi ke atas perut Bu Eti yang tampak masih terkapar dengan wajah masih pucat pasi. Lalu ketika aku memagut bibirnya ke dalam lumatan penuh nafsu, ia membuka mata beningnya… menatapku dengan sorot sejuk.
Setelah lumatanku terlepas, ia berkata dengan suara terdengar merdu di telingaku, “Terima kasih Don. Yang barusan benar – benar luar biasa. Donny telah membawaku tamasya ke surga dunia…”
“Tapi masih kuat untuk melanjutkannya kan? Aku belum ngecrot Bu Eti Sayang…” bisikku disusul dengan ciuman mesra lagi di pipinya.
“Sampai pagi pun ibu masih siap untuk meladenimu Sayang…” sahutnya dengan dekapan erat di pinggangku.
“Tapi aku ingin melanjutkannya di bawah… di ruang makan… supaya gak jenuh.”
“Di ruang makan? Nanti kalau Marsha bangun gimana?”
“Biar aja bangun. Biar dia menyaksikan bahwa aku sudah melaksanakan permintaannya.”
“Tapi ibu malu… Marsha kan anak ibu…”
“Ayolah… jangan pake malu – malu. Lagian Marsha pasti sudah nyenyak sekali tidurnya. Aku ingin sesuatu yang baru. Ingin ngentot Ibu di atas meja makan.”
“Hihihiii… Donny sih ada – ada aja… “Bu Eti akhirnya bangkit juga. Mengenakan kimononya sambil menungguku mengenakan baju piyamaku. Tapi celana piyamaku hanya kukepal dan dibawa turun ke lantai bawah… ke ruang makan.
“Ibu celentang di atas meja makan ini. Aku akan mengentot sambil berdiri di lantai,” ucapku sambil menunjuk ke meja makan.
Bu Eti naik ke meja makan, lalu celentang di situ sambil melepaskan ikatan tali kimononya. Kutarik kedua kakinya, agar bokongnya berada di pinggiran meja makan.
Meski aku tahu bahwa liang memek Bu Eti sudah basah, tapi setelah kimononya dilepaskan, aku jadi ingin menjilati memeknya lagi. Maka kutarik kursi makan ke depan kedua kaki Bu Eti yang tergantung di pinggiran meja makan. Lalu aku duduk di kursi itu, sehingga wajahku berhadapan dengan memek Bu Eti yang sudah tidak dihalangi oleh jembut lagi itu.
Awalnya kujilati jengger yang muncul dari dalam memeknya itu. Menyenangkan juga menjilati memek berjengger ini rasanya. Kemudian kungangakan memek Bu Eti dengan kedua tanganku. Dan kujilati bagian dalamnya yang berwarna pink itu, sementara kedua tanganku terjulur ke arah sepasang toketnya yang masih lumayan kenyal dan agak kencang.
Ini merupakan hal yang mengasyikkan juga. Bisa duduk di kursi makan sambil menjilati memek Bu Eti, sambil meremas – remas sepasang toketnya pula.
Setelah puas menjilati memek Bu Eti, aku pun berdiri sambil memegang kontolku yang masih ngaceng berat ini. Namun diam – diam tangan kiriku memegang handphone dan mengirim WA untuk Marsha. Isinya, “Aku ngentot Ibu di ruang makan. Ke sini !”
Kemudian hapeku dimasukkan lagi ke dalam saku baju piyama yang sudah kulepaskan.
Sebelum kontolku dimasukkan, kupukul – pukulkan dulu kontol ngacengku ke permukaan memek Bu Eti. Lalu kuarahkan moncongnya ke belahan memek yang sudah ternganga kemerahan itu. Dan sekali dorong kontolku langsung ambles seluruhnya ke dalam liang memek yang empuk – empuk kenyal dan sangat mengesankan itu.
Moncong kontolku mentok di dasar liang memek ibunya Marsha.
“Aaaaaaaaahhhhh… sampai terasa menyundul gini Dooon…” ucap Bu Eti dengan mata terbeliak. Tapi lalu terpejam erat – erat ketika aku sudah mulai mengentotnya, sementara jemariku mencari – cari kelentitnya. Dan setelah kelentitnya kutemukan, ujung jariku menggesek – geseknya dengan agak kuat.
Karuan saja Bu Eti mulai merintih – rintih histeris lagi, “Oooooohhhhh… Dooooonnniiiii… ooooooooohhhhh… kontol Donny memang luar biasaaaaa… enak sekali… sambil gesek terus itilnya Dooon… itilnyaaaaa…”
Pada saat itulah kulihat Marsha keluar dari kamarnya dan sedang melangkah ke dekat kepala ibunya. Tapi Bu Eti belum sadar kalau Marsha sedang tersenyum – senyum di dekat kepalanya.
“Doooonnnniiiii… ini luar biasa enaknya Doooon… itilnya gesek terus Doooon… ooooohhhhh… ibu jadi makin sayang sama kamu Doooon… entropt terus sambil gesek – gesek itilnyaaa… itilnyaaaa… itiiiiilllll…”
“Memek Ibu juga luar biasa enaknya Bu,” ucapku tanpa menghentikan entotanku. Sementara Marsha agak menjauh dari kepala ibunya. Mungkin agar jangan kelihatan oleh Bu Eti bahwa Marsha sudah hadir di ruang makan ini. Agar jangan mengganggu kenikmatan yang tengah dirasakan oleh sang Ibu.
Bahkan lalu Marsha duduk di sofa, dengan pandangan tetap tertuju ke meja makan, ke arah ibunya yang sedang menikmati entotan dan gesekan itilnya.
Ternyata Marsha bukan sekadar ingin menyaksikan persetubuhanku dengan ibunya. Marsha pun duduk menyandar di sofa sambil membuka belahan kimononya, kemudian mengelus – elus memeknya sendiri…!
Aku hanya bisa menebak – nebak apa yang sedang Marsha pikirkan pada waktu ia mengelus – elus memeknya sendiri sambil memandang ke arahku yang tengah menyetubuhi ibunya ini.
Tapi aku yakin Marsha sedang amat terangsang menyaksikan aku yang sedang berdiri sambil mengentot memek ibunya ini. Karena itu aku akan berusaha jangan sampai ngecrot di dalam liang memek Bu Eti, karena aku harus menyetubuhi Marsha setelah Bu Eti orgasme nanti.
Karena itu aku semakin intensif menggesek – gesek kelentit Bu Eti ketika sedang mengentotnya ini.
Maka rintihan histeris Bu Eti pun semakin menggila dibuatnya, “Doooniiii… kibu sayang kamu Doooon… ini luar biasa enaknya… entot terussss… sambil gesek terus itilnya Sayaaaang… itilnyaaaaa… itttiiiiillllnyaaaa… iyaaaaa… iyaaaaa… ooooh Doonnniiii… belum pernah ibu merasakan segini enaknya waktu disetubuhi…
Kuikuti saja keinginan Bu Eti itu. Kutekan itilnya kuat – kuat, lalu kuputar – putar uijung jariku yang sedang menekan itilnya ini.
Dan tiba – tiba sekujur tubuh Bu Eti mengejang tegang. Tapi aku tidak cepat menghentikan entotanku. Aku tetap menggenjot kontolku dalam kecepatan tinggi. Sampai akhirnya kurasakan liang memek Bu Eti mengejut – ngejut. Lalu kuhentikan entotanku sambil memandang Marsha dan berkata, “Marsha Sayang… permintaanmu sudah kulaksanakan…
Bu Eti terkejut, “Ada Marsha?” cetusnya sambil menoleh ke arah Marsha yang sudah melangkah menghampiri meja makan. sumber Ngocoks.com
Bu Eti sadar bahwa kontolku masih berada di dalam liang memeknya. Tapi ia lalu memegang tangan Marsha sambil berkata lirih, “Marsha Sayang… maafkan ibumu ini yaaa… ibu seolah sudah mencuri milikmu yang paling berharga darimu…”
Marsha malah mencium pipi ibunya, lalu berkata perlahan, “Ibu tidak usah minta maaf dariku, karena aku yang meminta Donny untuk menggauli Ibu… supaya semangat Ibu bangkit lagi secara normal… dan mulai saat ini, aku ijinkan Donny menggauli Ibu kapan pun Ibu dan Donny merasa membutuhkannya.”
“Sekarang giliran Marsha…” ucapku sambil mencabut kontolku dari liang memek Bu Eti.
Marsha menghampiriku. Mencium bibirku dengan mesra. Lalu berucap perlahan, “Lukaku memang sudah sembuh. Aku jadi terangsang melihat Donny menyetubuhi Ibu tadi. Tapi aku ingin di atas meja ini juga, seperti Ibu tadi.”
Bu Eti turun dari meja dan bertanya, “Luka apa Sha?”
Aku yang menjawab, “Jujur, aku baru satu kali menyetubuhi Marsha. Ternyata dia masih perawan Bu.”
“Haaa?! Masih perawan? Jadi selama ini Jaka ngapain aja sama kamu Sha?”
“Punya almarhum gak pernah bisa ngaceng sempurna Bu. Jadi selama aku jadi istrinya, hanya digesek – gesek dalam jepitan pahaku aja. Sementara keperawananku tetap utuh.”
“Kok bisa kamu bertahan dengan almarhum selama dua tahun?” tanya Bu Eti.
“Yah… mungkin jalannya harus seperti ini. Kalau aku bercerai dengan almarhum, pasti aku takkan pernah bertemu dengan Donny… dan sekarang DOnnylah yang menjamin masa depanku… dan masa depan Ibu juga,” ucap Marsha sambil melepaskan kimononya. Kemudian naik ke atas meja makan. Dan menelentang di situ, dengan bokong berada di pinggiran meja, sementara kedua kakinya terjuntai ke lantai.
Bu Eti menggantikan tempat Marsha. Dia duduk di sofa bekas Marsha tadi, sambil memandang ke arah meja makan.
Aku sudah duduk di kursi, di antara kedua belah paha Marsha yang direntangkan. Dengan penuh gairah kuciumi memek Marsha yang bersih dari jembut ini.
Memang setelah diamati, memek Marsha pun berjengger, tapi hanya muncul sedikit jenggernya. Menurut para pakar, tidak semua memek gadis itu berjengger. Tapi banyak juga yang berjengger, meski masih perawan. Mujngkmin hal itu tergantung keturunan dari sananya. Buktinya memek Bunda dan Donna tidak berjengger, meski sudah tidak perawan lagi.
Dan sambil duduk di kursi makan, aku mulai menjilati memek Marsha. Seperti yang kulakukan kepada Bu Eti, aku pun melakukannya kepada putrinya. Menggesek – gesek kelentit Marsha dengan ujung jariku, sementara lidahku melahap bagian dalam yang berwarna pink itu.
Tentu saja kualirkan air liurku sebanyak mungkin, karena liang memek Marsha baru dipakai satu kali waktu keperawanannya kuambil. Pasti masih super sempit. Tidak bisa disamakan dengan liang memek ibunya.
Setelah celah memeknya kuanggap cukup basah, aku pun berdiri sambil meletakkan moncong kontolku di mulut vagina Marsha.
Lalu kudorong kontolku sekuat mungkin. Hmmm… kali ini tidak sesulit yang pertama tempo hari. Kepala penisku mulai melesak masuk ke arah yang tepat. Kudorong lagi sekuatnya… masuk lagi lebih dalam… kudorong lagi kuat – kuat… membenam lagi kontolku hampir separohnya.
Maka mulailah aku mengayun kontolku perlahan – lahan sambil menyentuhkan ujung jariku ke kelentitnya yang tampak nyempil dan mengkilap.
Dan… ketika aku mulai mempercepat entotanku, ujung jariku pun semakin gencar menggesek – gesek kelentitnya, seperti yang kulakukan pada Bu Eti tadi.
Bersambung…