Pada saat itulah Bu Eti yang sudah mengenakan kimononya lagi menghampiri kami. Dia berdiri di pinggir meja makan sambil memegang sepasang toket anaknya. Bahkan kemudian ia menyelomoti pentil toket Marsha dengan gaya lesbian yang sedang mencumbu pasangan seksualnya.
Menyaksikan perbuatan Bu Eti itu, aku semakin bergairah untuk mengentot Marsha habis – habisan, sambil menggesek – gesek itilnya dengan ujung jariku.
Marsha pun mulai mendesah dan merintih, “Doooon… oooooo… oooooh… ini lebih enak daripada yang tempo hari Doooon… oooooohhhhhhh… Dooooooniiiiii… ooooooh… Ibuuuuuuu… ini luar biasa enaknyaaaaa… Doooooooonnnnn… entot terus Doooon… ooooh… aaaah… aaaaaah…
Cukup lama aku mengentot Marsha sambil berdiri di dekat meja makan itu. Tubuhku pun mulai dibanjiri keringat. Tubuh Marsha pun sudah mengkilap karena dibasahi keringatnya juga. Sementara Bu Eti tetap “tekun” menyelomoti pentil toket anaknya.
Kali ini aku tak mau menunda – nunda ejakulasi lagi. Karena fisikku mulai terasa letih.
Maka ketika Marsha sudah mulai berkelojotan, kupercepat entotanku. Dan ketika ia mengejang tegang, dengan liang memek berkedut – kedut, aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin. Dengan keinginan berejakulasi di dalam liang memek Marsha.
Tapi apa daya… kontolku tetap tegar dan tak mau ejakulasi. Maka aku pun mengayun kembali kontolku di dalam liang memek Marsha yang semakin licin ini.
Sampai pada suatu saat aku berkata terengah, “Sekarang aku mau ngecrot nih Sayang…”
Tiba – tiba Bu Eti bergegas menghampiriku sambil menunjuk ke mulutnya sendiri yang ternganga. Aku mengerti apa maksudnya. Bahwa aku diminta memuntahkan pejuhku di dalam mulutnya. Maka aku pun mengangguk sambil mencabut kontolku, sementara Bu Eti sudah berjongkok di depanku.
Bu Eti menangkap kontolku, lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Terasa kontolku disedot – sedot dengan kuatnya.
Dan… lendir kenikmatanku pun berlompatan di dalam mulut Bu Eti.
Crooottttt… crottttt… croooottttt… crottt… crooootttt… crettt… croooottttt…!
Dengan lahap Bu Eti menelan spermaku sampai habis. Glek… glekkk…!
Ternyata Marsha sudah duduk sambil menyaksikan perbuatan ibunya. Marsha tersenyum – senyum, lalu turun dari meja sambil memegang pergelangan tangan ibunya. “Sekarang Ibu harus tidur di kamarku ya,” ucap Marsha sambil tersenyum.
Bu Eti berdiri dan menyahut, “Nanti kamu terganggu Sha.”
“Nggak. Justru aku senang kalau tidur ditemani Ibu dan Donny. Pokoknya mulai saat ini, kalau Donny mau nginap di sini, Ibu harus tidur di kamarku,” ucap Marsha sambil menuntun tangan ibunya ke dalam kamarnya.
Aku pun mengambil baju dan celana piyamaku, mengikuti mereka ke dalam kamar Marsha.
Dalam keadaan masih telanjang, aku pun naik ke atas bed Marsha.
“Kita harus memanjakan Donny Bu… kita harus mengapit dia sampai bobo nanti,” ucap Marsha sambil merebahkan diri di sebelah kananku, sementara Bu Eti merebahkan diri di sebelah kiriku sambil melepaskan kimononya kembali.
“Bagaimana perasaan Donny sekarang?” tanya Marsha sambil mengusap – usap dada telanjangku.
“Sangat mengesankan,” sahutku, “Ini pengalaman pertama di dalam hidupku.”
Bu Eti malah memegang kontolku yang sudah lemas sambil, bertanya, “Masih kuat main lagi?”
“Masih. Dua-tiga kali lagi juga masih kuat,” sahutku sambil meraba – raba memek Bu Eti dangan tangan kiriku. Dan menggerayangi memek Marsha dengan tangan kananku.
Bu Eti bangkit. duduk di dekat panggulku, sambil mendekatkan mulutnya ke kontolku yang masih lemas ini. Lalu mengulum kontolku tanpa ragu – ragu lagi, meski Marsha berada di sebelah kananku.
Marsha pun duduk. Memperhatikan perilaku ibunya dengan serius. Mungkin dia sedang belajar bagaimana cara mengoral lelaki secara benar.
Bu Eti memang sudah tinggi jam terbangnya dalam hal mengoral lawan jenisnya. Ia menyelomoti leher dan moncong kontolku sambil mengalirkan air liurnya ke badan kontolku yang lalu dijadikan pelumas untuk mengurut – urutnya.
Tak lama kemudian, perasaan letih pun kulupakan. Karena kontolku sudah ngaceng lagi sebagai “hasil” felatio Bu Eti.
Lalu aku memegang tangan Marsha sambil berkata, “Aku mau main sama Ibu dulu, ya Sayang.”
“Iya, “Marsha mengangguk sambil tersenyum, “Nanti setelah selesai sama Ibu, main sama aku juga ya.”
“Oke,” ucapku sambil bangkit dan mencium pipi Marsha. Kemudian merayap ke atas perut Bu Eti yang sudah celentang sambil merenggangkan kedua belah pahanya.
Kemudian kuletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek Bu Eti, disusul dengan dorongan yang kuat dan… blessssss… langsung membenam seluruhnya, karena liang memeknya masih basah dan licin sekali.
Kembali aku bertamasya ke surga dunia. Mengentot Bu Eti dengan sepenuh gairahku. Sementara Marsha menyaksikan tontonan gratis ini, sambil mengelus-elus memeknya.
Bagiku, ini adalah ronde kedua. Tentu saja durasi entotanku jauh lebih lama dari yang pertama.
Rintihan – rintihan histeris Bu Eti pun berkumandang lagi di dalam kamar ini.
Sementara Marsha sujdah celentang sambil mengusap – usap memeknya.
Belasan menit kemudian, aku sudah berada di atas perut Marsha untuk menyetubuhinya lagi.
Begitulah… secara bergiliran kusetubuhi mereka, sampai lewat tengah malam.
Dan aku merasa suasana ini memang sangat menyenangkan. Sehingga aklu berjanji di dalam hati, untukk membahagiakan mereka berdua.
Sebulan kemudian…
Seperti yang sudah kuterangkan sebelumnya, kehidupanku selalu penuh dengan kejutan. Kebetulan kejutannya selalu menyenangkan.
Seperti yang terjadi pada suatu hari…
Aku bangun lebih siang dari biasanya. Karena hari ini hari Sabtu. Aku memang ingin beristirahat sepuasnya, agar keletihan bekas kesibukan di hari – hari kerja sirna.
Setelah mandi, aku membuat kopiku sendiri di coffee makerku. Seperti biasa kuset espresso double shot. Kemudian kubawa cangkir kecilku yang sudah berisi espresso tanpa gula itu ke ruang keluarga.
Bi Inah menghampiriku dan berkata sopan, “Maaf Den Boss… di luar ada tamu wanita muda sudah menunggu dari tadi. Satpam belum mengijinkannya masuk.”
Setelah meneguk kopi yang masih panas, aku berdiri dengan tanda tanya di benakku. Tamu siapa gerangan pagi – pagi sudah datang ke sini?
Seorang wanita muda berkulit putih bersih dan bertubuh tinggi montok, langsung berdiri karena aku menyapanya, “Siapa ya?”
Salah seorang satpam melangkah ke arahku. Tapi aku mengibaskan tanganku agar dia tidak mendekat.
“Ini Donny? Anak almarhum Kang Rosadi?” wanita itu balik bertanya.
“Betul, “aku mengangguk dengan perasaan heran karena dia bisa tahu nama almarhum ayah segala.
Tiba – tiba wanita itu memegang kedua tanganku, “Donny… aku Tita dari Serang. Aku ini adik kandung ayahmu Don.”
Tentu saja aku kaget setelah mendengar siapa wanita muda yang cantik itu. Spontan aku mencium tangannya sambil berkata, “Maaf… aku sudah sering dengar nama Tante. Tapi baru sekali ini berjumpa.”
Wanita itu memelukku erat – erat sambil bercucuran air mata. “Donny… Donny… aku jadi ingat almarhum ayahmu Don. Tapi ibumu masih ada kan?”
“Masih Tante… mari masuk ke dalam,” sahutku sambil memegang pergelangan Tante Tita dan menuntunnya ke dalam rumah.
Kupersilakan Tante Tita duduk di sofa ruang tamu. Aku pun duduk di samping kanannya. Sambil tetap memegang pergelangan tangannya.
“Dari siapa Tante tau alamat rumahku?”
“Dari Teh Faizah, istri Kang Zulkifli.”
“Ooo… dari Umi Faizah.”
“Iya. Dia bilang kalau mau datang ke rumah Donny harus pagi – pagi benar. Karena kalau sudah keburu berangkat ke kantor, susah ketemunya.”
“Iya Tante. Seneng aku bisa ketemu sama tanteku yang cantik ini,” sahutku sambil meremas tangan Tante Tita.
“Syukurlah kalau masih kelihatan cantik sih. Sekarang aku kan sudah gembrot gini.”
“Tante agak montok. Gak gembrot ah. Sedeng segini sih… sedeng – sedengnya seksi.”
“Hmmm… udah hafal sama perempuan seksi ya?” Tante Tita memijat hidungku, “Aku sengaja datang ke sini untuk urusan bisnis Don.”
“Bisnis apa?” tanyaku.
Tante Tita mengeluarkan sebuah map dari tasnya sambil berkata, “Aku punya beberapa bidang tanah di kota ini, yang mau dijual. Semuanya peninggalan almarhum suamiku.”
“Almarhum?! Memangnya suami Tante sudah meninggal?” tanyaku sambil membuka map plastik tebal itu.
“Iya. Almarhum meninggalkan beberapa bidang tanah yang lumayan banyak. Bertebaran di beberapa kota. Tapi aku hanya membawa SHM yang di kota ini aja. Semua sudah atas namaku. Tanah yang di kota lain akan kujual juga, kalau Donny berminat. Semuanya di Jawa Barat.”
Setelah mengamati beberapa fotocopy SHM itu aku lumayan kaget. Karena semuanya berada di lokasi strategis, luas – luas pula. Dan memang semuanya atas nama Tita Sarita.
“Almarhum suami Tante tuan tanah ya,” ucapku sambil menyimpan kembali fotocopy – fotocopy sertifikat hak milik itu ke dalam mapnya.
“Almarhum senang membeli tanah di sana – sini. Karena tanah itu walau pun dibom takkan hilang katanya,” sahut Tante Tita.
“Sebentar Tante…” ucapku sambil berdiri. Lalu melangkah ke ruanmg kerjaku yang berdampingan dengan kamarku.
Kubuka laptop dan kuamati salah satu fileku. File yang berisi harga pasaran tanah di setiap area yang ada di kota ini. Kututup laptop itu dan kubawa ke ruang tamu.
“Tadi ada tujuh lokasi ya Tante. Mau dijual berapa semua?” tanyaku langsung serius.
Tante Tita menyebutkan jumlah harga dari ketujuh bidang tanah itu.
Aku pun menghitung dengan kalkulator, disesuaikan dengan harga pasaran ketujuh bidang tanah itu. Memang setiap lokasi berbeda pasarannya dengan lokasi lain. Dan ketujuh bidang tanah yang akan dijual itu terletak di daerah termahal harga pasaran tanahnya.
Setelah menjumlahkan harga pasaran ketujuh bidang tanah itu, aku mengangguk -angguk. Karena harga yang ditawarkan oleh Tante Tita jauh lebih murah dari harga pasarannya. Hal ini membuatku bersemangat. Karena belakangan ini aku sedang mengikuti jejak usaha Papa almarhum, yakni bisnis properti.
“Serifikat aslinya tidak disimpan di bank?” tanyaku.
“Nggak. Aku gak pernah nyekolahin rumah atau pun tanah di bank Don.”
Aku tersenyum mendengar istilah “nyekolahin” itu, yang berarti menjadikan agunan untuk sejumlah pinjaman ke bank.
“Bagus. Istilah kredit harus diucapkan hutang oleh hati kita. Hutang yang berbunga pula. Ohya ada bangunan di atas tanah – tanah itu?”
“Tidak ada. Semuanya dipagar, supaya jangan ada gangguan.”
“Pakai apa tadi Tante ke sini?”
“Pakai travel. Terus disambung dengan taksi.”
“Kalau gitu aku ingin survey ke semua lokasi tanah yang mau dijual itu.”
“Boleh. Sekarang juga bisa.”
“Iya deh. Mumpung hari libur.”
Beberapa saat kemudian Tante Tita sudah berada di dalam sedan putihku yang mulai bergerak di atas jalan aspal.
“Dengan adik – adik ayah Donny, udah ketemu dengan siapa aja?” tanya Tante Tita yang duduk di samping kiriku.
“Baru dengan istrinya Oom Zulkifli dan Tante Neni. Sekarang dengan Tante Tita.”
“Berarti masih ada tiga orang lagi yang belum pernah juimpa denganmu.”
“Iya. Dengan Tante Maryani belum pernah ketemu kan?”
“Iya, belum. Tante Maryani itu adik langsung dari Tante Neni kan?”
“Iya. Oom Zulkifli almarhum, Tante Nenny, Tante Maryani dan aku itu adik kandung ayahmu yang seayah dan seibu. Tapi setelah kakekmu meninggal, ibuku alias nenekmu menikah lagi. Dan punya anak dua orang. Ika dan Hera.”
“Wah… kalau nama Ika dan Hera baru dengar sekarang Tante.”
“Carilah nanti. Donny sebagai pihak yang lebih muda, harus mendahului untuk menjumpai mereka, untuk memperkenalkan diri dan bersilaturahmi. Alamat mereka akan kukasih semua nanti.”
“Iya Tante.”
“Kudengar Donny menerima warisan yang luar biasa gedenya dari ayah angkatmu ya?”
“Kira – kira begitulah.”
“Kamu paling beruntung di antara anak – anak ayahmu. Tapi kamu juga harus tahu, bahwa ayahmu punya istri lagi. Punya anak pula dua orang. Mungkin ibumu belum tau sampai sekarang. Hanya keluarga almarhum Kang Rosadi yang tahu.”
“Ohya?! Berarti aku punya dua saudara tiri?”
“Saudara seayah, bukan saudara tiri. Nanti kukasih alamatnya juga. Tapi jangan bilang – bilang sama ibumu. Nanti dia marah sama aku dan saudara – saudaraku, karena dianggap sekongkol dengan ayahmu.”
“Iya. Aku takkan bilang apa – apa sama Bunda. Ohya Tante… kalau aku boleh tau, usia Tante Sekarang berapa?”
“Tigapuluhtiga,” sahut Tante Tita.
“Haaa?! Tante kok kelihatan muda sekali. Tadinya aku mikir usia Tante di bawah duapuluhlima.”
“Terima kasih. Terus… dalam pandanganmu aku ini bagaimana?”
“Cantik dan seksi. Kalau bukan tanteku sendiri, pasti aku akan berusaha mendapatkan Tante.”
Tante Tita tersenyum manis. Manis sekali senyum adik ayahku itu…
Tiba – tiba Tante Tita merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku sambil berkata, “Kalau Donny membeli tanah – tanahku yang ada di kota ini, aku akan ngasih bonus nanti.”
“Apa bonusnya?” tanyaku.
Di luar dugaan, Tante Tita menjawab dengan bisikan, “Bonusnya sekujur tubuhku… boleh kamu miliki kalau memang kamu suka padaku. Mumpung aku masih menjanda.”
“Asyiiiiiik… terima kasih Tante! “seruku girang, “Soal tanah, kalau semuanya sesuai dengan sertifikatnya, pasti kubeli semua. Tapi aku minta harganya diturunin sedikit.”
“Ya udah. Kuturunkan harganya sepuluh persen. Cukup bagus discount-nya kan?”
“Deal Tante. Tapi… kalau mau langsung transaksi, sertifikat aslinya harus diambil dulu. Kan kita akan transaksi di notaris.”
“Ini semua SHM aslinya kubawa Don.”
“Wow… nekad banget Tante ini. SHM aslinya dibawa. Kalau hilang di jalan gimana?”
“Makanya dalam perjalanan tas ini kupeluk terus.”
Ketujuh bidang tanah itu hanya membutuhkan survey selama dua jam. Karena letaknya berdekatan, di daerah utara semua. Dan aku merasa beruntung, karena ketujuh bidang tanah itu bisa dibangun kelak, mengingat letaknya strategis semua. Harganya pun murah, di bawah harga pasaran semua.
“Hari belum siang, baru jam sebelas. Mau langsung ke notaris sekarang?” tanyaku setelah selesai men-survey ketujuh bidang tanah itu.
“Ya kalau kamu udah siap, aku malah senang.”
“Nanti Tante nginap di rumahkuj aja semalam ya. Kan aku udah gak sabar untuk mendapatkan bonus yang Tante janjikan.”
“Jangankan semalam, mau seminggu atau sebulan juga aku mau Don. Tapi kamu harus bisa merahasiakannya ya. Jangan sampai ada keluarga kita yang tau.”
“Kalau begitu, sebulan aja Tante nginap di rumahku.”
“Iya… sekalian mau nyari celah bisnis di kota ini. Berarti… bisa tiap malam kamu tiarap di atas perutku nanti. Tapi setelah transaksi, antar aku beli pakaian dulu ya. Karena baju ganti cuma kubawa satu stel.”
“Iya Tante… hahahaaaa… bintangku lagi terang nih. Bakal dapat wanita yang seksi abissss… !””
“Kamu juga tampan sekali Don, makanya aku juga punya perasaan beda waktu berjumpa di rumahmu tadi,” ucap Tante Tita yang disusul dengan kecupan hangat di pipi kiriku. Dan berbisik, “Kalau gak tampan gini sih aku juga belum tentu mau ngasih bonus.”
“Terimakasih Tante. Ohya… Tante punya anak berapa?”
“Cuma seorang, anak cowok. Baru delapan tahun umurnya. Sebenarnya aku ingin punya anak kedua setelah anakku besar. Tapi… suamiku keburu kena serangan jantung dan meninggal di rumah sakit.”
“Nanti anak kedua dariku aja Tante.”
“Boleh… kalau aku mengandung anakmu, pasti tampan anaknya kalau cowok.”
“Kalau cewek, pasti cantik… secantik ibunya.”
“Mmmm… bagusnya sih tanahku yang di kota – kota lain beli semua olehmu Don.”
“Semuanya di dalam kota?”
“Ya, semuanya terletak di dalam kota. Lokasinya strategis semua pula. Almarhum suamiku males ngoleksi mobil. Karena mobil itu harganya makin lama makin turun. Itulah sebabnya di rumah cuma ada satu mobil tua. Makanya aku males makainya ke sini, takut mogok di jalan.”
“Tapi dalam mengoleksi tanah, almarhum sangat bersemangat ya?”
“Iya. DIa bilang kalau rumah atau tanah, pasti naik terus harganya. Gak kayak mobil, belinya semilyar… lima tahun kemudian paling juga laku duaratus juta.”
“Berarti prinsip almarhum suami Tante sama dengan prinsipku. Makanya aku gak mau beli mobil yang super mahal. Puas – puasin sama mobil murah ini aja.”
“Gila! Mobil ini sih bukan mobil murah Don. Malah biasa dipakai sama pejabat tinggi mobil begini sih.”
“Iya, tapi yang sepuluh kali lebih mahal dari mobil ini ada. Bahkan yang duapuluh kali lebih mahal juga ada.”
“Buat apa mobil mahal – mahal banget. Sekarang kan setiap kota di pulau Jawa ini gak bisa bebas dari kemacetan. Kalau sedang macet, mobil duapuluh milyar juga bisa disalip sama angkot butut.”
“Heheheee… iya Tante.”
Kebetulan kantor notaris langgananku masih buka. Sehingga aku bisa menyelesaikan transaksi dengan Tante Tita.
Dana pembayaran tanah dari rekeningku bisa langsung pindah ke rekening Tante Tita, tanpa menunggu lama – lama. Hanya sejam proses transaksi itu selesai.
“Uangnya mau dipakai apa Tante?” tanyaku pada waktu sedan putihku sudah meninggalkan kantor notaris itu.
“Aku sih ingin punya usaha di kota ini. Aku kan dilahirkan di sini. Makanya aku ingin pindah ke kampung halamanku sendiri.”
“Nanti setelah beli pakaian, Tante akan kuajak ke salah satu kegiatan bisnisku.”
“Iya Don. Sekarang aku kan gak punya suami. Jadi aku harus berjuang sendiri, terutama untuk masa depan anakku.”
“Tante sudah punya rumah di kota ini?”
“Belum. Dulu ada peninggalan ibuku… mmm… nenekmu, tapi dijual dan duitnya dibagikan secara adil padaku dan saudara – saudaraku. Nggak seberapa sih bagianku. Karena anak perempuan hanya dapat setengah bagian dari anak laki – laki. Ohya, nanti bisa cariin rumah yang akan dijual untuk tempat tinggalku?
“Tinggal di rumahku juga bisa Tante.”
“Nggak enak ah. Kan aku juga mau membawa anakku segala. Kasian selama ini dia tinggal di rumah nenek dari pihak ayahnya.”
“Mmm… kalau mau nyari rumah juga bisa. Besok akan kuantarkan Tante ke rumah yang mau dijual itu.”
“Iya, “Tante Tita mengangguk.
Sedan putihku pun berhenti di pinggir jalan yang dianggap lahan parkir. Tepat di depan FO langgananku.
Di dalam factory outlet itu Tante Tita tampak bersemangat sekali melihat beberapa jenis pakaian wanita yang disukainya. Sementara aku menghampiri kasir sambil berkata perlahan, “Nanti kalau wanita itu mau membayar, bilang aja sudah dibayar olehku. Ini ATMnya. Jangan terima duit atau pun kartu kredit dari dia.
“Siap Boss,” sahut kasir wanita yang sudah hafal padaku itu.
Tante Tita mengambil beberapa helai gaun, celana jeans, baju – baju kaus, kemudian membawanya ke kasir.
Ketika Tante Tita membuka tasnya, entah mau mengambil uang, atau ATM atau kartu kredit, kupegang pergelangan tangannya sambil berkata, “Sudah kubayar Tante.”
“Ohya?! “Tante Tita terlongng, “Kok dibayarin sih? Malu – maluin… aku ngambil banyak tuh pakaiannya, malah dibayarin.”
“Nggak apa Tante. Wajar seorang keponakan beliin pakaian untuk tantenya,” ucapku.
Tante Tita lalu berbisik di dekat telingaku, “Sttt… tapi tantenya mau ditidurin sama ponakannya ya…”
“Hahahaaaa… itu kan saling mengisi dan saling berbagi rasa Tante.”
Beberapa saat kemudian Tante Tita sudah berada di dalam sedan putihku lagi. Meluncur ke arah luar kota sebelah barat. Setelah melewati batas kota, kubelokkan ke kiri, menuju pabrik yang sudah kuserahkan untuk dipimpin oleh Imel itu.
Pabrik itu sudah berjalan dan berproduksi. Buruhnya pun lumayan banyak, sekitar limaratusan.
Tapi ketika aku tiba di salah satu pabrikku itu, Imel sudah pulang. Sehingga aku hanya diantar oleh Bu Sanah, manager produksi.
Tante Tita tampak memperhatikan ruang produksi dengan serius. Kegiatan buruh yang kebagian shift sore itu pun diperhatikannya dengan seksama.
“Sebenarnya pabrikku ada empat. Tapi yang sudah berjalan baru dua. Yang di sini dipimpin oleh saudara sepupuku. Sedangkan yang satu lagi dipimpin oleh tanteku dari pihak Bunda semua.”
“Untuk memiliki pabrik baru yang sudah lengkap segalanya, dibutuhkan biaya berapa Don?”
Aku berpikir sejenak. Lalu menyebutkan nominal dana yang dibutuhkan untuk memiliki sebuah pabrik baru seperti pabrik di barat batas kota ini.
“Wah… berarti semua tanah peninggalan almarhum suamiku harus dijual semua Don.”
“Santai aja Tante. Nanti pikirkan matang – matang dulu. Kalau mau pabriok yang sudah jadi, tinggal membeli mesin – mesinnya, aku masih punya dua lagi yang belum diaktifkan.”
“Tapi aku sih maunya duduk manis aja. Biarin yang ngurusnya orang lain.”
“Soal itu sih gampang Tante. Kalau sudah siap mau dioperasikan pabriknya, tinggal pasang iklan di media cetak dan elektronik.”
“Iklan mengenai apa?”
“Mengenai dibutuhkannya tenaga untuk direktur danb manager – manager. Memang pemilik perusahaan tidak boleh jadi dirfektur. Jadi kedudukan tante nanti sebagai komisaris utama atau presiden komisaris dan sebagainya. Soal istilah kedudukan sih bagaimana maunya kita aja.”
“Iya iya iyaaa… nanti kan Donny bisa mengatur semuanya itu.”
“Bisa Tante.”
Pada waktu mau meninggalkan pabrik, hari sudah mulai malam. Dan… Tante Tita menggandeng pinggangku erat – erat. Apakah dia takut karena hari mulai gelap, atukah dia memang sudah membayangkan bakal terjadi “sesuatu” denganku?
Entahlah. Yang jelas ketika sudah berada di dalam mobil yang mesinnya belum kuhidupkan, Tante Tita melingkarkan lengannya di leherku. Sambil berdesis, “Don… cium bibirku Don…”
Keadaan di dalam ruang parkir itu memang sudah gelap. Lagian kaca mobilku gelap semua. Maka tanpa ragu sedikit pun kupagut bibir sensual tanteku yang bertubuh montok, berkulit putih bersih, berwajah cantik dan seksi abis itu… emwuuuuaaaaah…!
“Terima kasih Sayang,” ucap Tante Tita setelah ciumanku terlepas. Disusul dengan kecupan hangatnya di pipi kliriku.
Kemudian kuhidupkan mesin mobilku, yang lalu kugerakkan ke luar lewat pintu gerbang. Dua orang satpam menghampiriku, “Selamat malam Big Boss…!” ucap mereka serempak. Yang kubalas dengan senyum dan anggukan.
Tak lama kemudian sedan putihku sudah meluncur di jalan aspal yang sudah diterangi lampu – lampu penerangan.
“Ohya Tante… aku pernah berjumpa dengan perempuan di Bangkok, bernama Sheila. Dia mengaku anak Ayah almarhum juga. Menurut keterangan dia sih, dia terlahir dari istri pertama Ayah. Sedangkan Bunda itu istri kedua. Apa betul begitu?”
“Betul Don. Aku lupa menceritakannya,” sahut Tante Tita, “Memang ayahmu itu punya istri tiga orang. Sheila itu anak dari istri pertamanya. Itu sih menikah secara sah menurut negara. Dengan ibumu juga menikah secara sah. Tapi dengan istri ketiganya, ayahmu mjenikah secara diam – diam. Cuma menikah siri.
“Jadi benar Sheila itu kakak seayahku ya.”
“Betul. Tapi seingatku, Sheila itu masih punya adik dua orang. Semuanya cewek. Satu – satunya anak cowok dari Kang Rosadi itu hanya kamu Don. Makanya aku juga heran ketika mendengar kamu malah dikasihkan kepada temannya yang orang Indonesia tapi jadi pengusaha yang sukses di Bangkok itu.”
“Terus… dari istri ketiga juga cewek dua – duanya?
“Iya, namanya Ranti dan Amel. Mereka masih remaja, karena ayahmu menikah dengan istri ketiganya itu pun setelah kamu diadopsi oleh pengusaha dari Bangkok itu. Ohya… istri ketiga ayahmu itu bernama Neneng. Tapi ingat… masalah Bu Neneng dan kedua anaknya itu jangan bilang – bilang sama bundamu ya.
“Iya Tante. Tapi aku secara pribadi akan mencari Ranti dan Amel itu, karena mereka kan adik – adik seayahku.”
“Iya. Bahkan kalau mereka mau menikah, kamu punya hak untuk menjadi wali mereka.”
“Iya, iya… sekarang kita makan malam dulu ya Tante.”
“Iya Don. Aku lapar nih. Tadi siang kan cuma makan sate ayam dengan lontong di depan kantor notaris.”
“Tenang Tante. Di restoran ini mau makan apa pun pasti ada,” ucapku sambil membelokkan mobilku ke pelataran parkir sebuah restoran.
“Wah makanan orang bule semua di sini ya?” cetus Tante Tita setelah membaca daftar menu restoran itu.
“Iya Tante. Gak apa kan?”
“Gak apa – apa. Aku malah seneng makan steak dan lamb chop. Pesan juga makanan untuk dibawa pulang ya…” ucap Tante Tita sambil melanjutkannya dengan berbisik di telingaku, “Kalau sudah begituan suka lapar kan?”
“Hihihiii… iya, iya Tante,” sahutku sambil menahan tawa. Lalu aku berbisik juga ke dekat telinganya, “Udah gakj sabar, ingin lihat Tante telanjang.”
Tante Tita mencubit perutku, “Emangnya harus telanjang di sini?!”
“Bukan di sini Tante. Bukan,” sahutku sambil menahan sakit dicubit perut.
“Sabar ya Don. Aku kan mau sebulan tinggal di rumahmu. Nanti kamu boleh melahapku sekenyangnya. Mau tiap malem juga oke,” ucap Tante Tita setengah berbisik.
Makanan pesanan kami diantarkan oleh dua orang waiters. Aku pun memesan beef burger 6 buah dan 3 spaghetti bolognese untuk dibawa pulang.
“Spaghetti-nya dua juga cukup,” ucap Tante Tita.
“Iya, yang satu untuk pembokat. Kasian kalau kita makan sesuatu sementara dia cuma bisa cengo sambil nelan ludah.”
“Oh iya, iya… ternyata kamu boss yang baik hati Don.”
Setelah selesai makan, kami kembali ke mobil sambil menjinjing kantong plastik berisi makanan untuk disantap di rumah nanti.
Ketika tiba di rumah, jam tanganku sudah menunjukkan pukul 21.30.
“Mau tidur di lantai tiga atau di kamarku?” tanyaku sambil melingkarkan lenganku di pinggang Tante Tita.
“Kalau boleh sih di kamarmu aja Don,” sahut Tante Tita sambil mengecup bibirku.
Aku mengangguk dan menggandeng lengan tanteku, masuk ke dalam kamarku yang sudah mengalami perubahan drastis sejak setahun belakangan ini. Cerita ini dipublish oleh situs Ngocoks.com
Kamarku diperlebar ke sebelah timur. Ditambah dengan ruang kerja, ruang makan pribadi, kitchen kecil, kolam renang dan taman yang lumayan luas. Bahkan ada air terjun dan gua buatan segala. Apa pun yang kuinginkan tetap memungkinkan. Karena rumah peninggalan almarhum Papa angkatku ini memiliki tanah kosong hampir 1 hektar.
Maka kini kamarku seolah rumah di dalam rumah. Karena kalau aku mau makan, misalnya, tak usah keluar dari kamarku. Bisa makan di dalam ruang makan pribadiku. Kolam renang pun bukan kolam renang biasa. Karena kalau aku ingin berenang di kolam air panas, aku bisa membuang air dinginnya. Lalu kualirkan air panas yang suhunya bisa kuatur sendiri.
“Wuiiih… rumahmu benar – benar mewah Don. Kamarmu saja luasnya sama dengan ukuran rumah biasa. Masih muda sudah punya rumah yang seperti istana ini,” ucap Tante Tita setelah berada di pinggir kolam renangku.
“Ini kan rumah peninggalan papa angkatku Tante. Aku hanya merenovasi sedikit – sedikit.”
“Liat kolam renang jadi ingin nyemplung. Tapi sudah malam begini, pasti aku menggigil kedinginan nanti.”
“Airnya bisa diganti sama air panas Tante.”
“Wah enak dong. Tapi… aku gak bawa baju renang.”
“Telanjang aja. Takkan ada yang bisa mengintip ke sini kok. Kan di sekeliling rumah ini tanahku semua. Siapa pula yang berani ganggu Tante di sini,” ucapku sambil memijat tombol di tiang samping kolam renang.
Tombol untuk membuang air kolam. Tapi supaya cepat aku hanya membuang setengahnya saja. Kemudian kualirkan air panas ke kolam renang itu. Kucoba mencelupkan tanganku ke dalam kolam renang yang airnya sudah hangat sekali itu.
“Ayo buka pakaian Tante. Airnya sudah hangat nih. Tante takkan kedinginan.”
“Donny udah gak sabar, ingin lihat aku telanjang ya?”
“Iya Tante… please…”
Tante Tita berdiri di depanku sambil melucuti pakaiannya sehelai demi sehelai. Sampai benar – benar telanjang bulat.
“O my God…! Tubuh tante mulus dan menggiurkan sekali…” ucapku sambil mendekap tubuh telanjang yang agak montok dan sangat mulus itu. Lalu kukecup bibirnya dengan sepenuh gairahku.
Tapi hanya sebentar Tante Tita membiarkan bibirnya kucium. Karena ia langsung menceburkan diri ke kolam yang airnya sudah hangat sekali itu.
Aku pun tak mau kalah. Kutanggalkan semua yang melekat di tubuhku. Lalu mencebur ke dalam kolam renang berisi air hangat itu.
Kelihatannya Tante Tita sudah sangat pandai berenang dan menyelam. Sehingga aku agak susah mengejarnya. Tapi pada suatu saat aku berhasil juga menangkap kakinya, kemudian memeluknya di dalam bagian kolam yang kedalamannya hanya 1,5 meter (bagian lain kedalamannya 2,5 meter).
Buat suhu yang meminta daftar sirsilah keluarga besar Donny :
Pak Rosadi menikah dengan Hanah (istri pertamanya), punya anak Sheila, Rita dan Mutiara. Ibunya Donny (Bu Ami) adalah istri keduanya. Punya anak Siska, Nenden, Donny dan Donna.
Dari Bu Neneng (istri ketiga) punya anak bernama Ranti dan Amel. Adik – adik Pak Rosadi: Zulkifli, Neni, Maryani dan Tita.
Ibunya Pak Rosadi setelah ditinggal mati oleh suaminya, menikah lagi dengan lelaki lain dan memperoleh anak Ika dan Hera (adik – adik seibu Pak Rosadi).