Tiba – tiba Donna mengalihkan topik pembicaraan, “Tadi kamu memilih untuk tidur bersama Bunda. Kenapa gak milih tidur sama aku saudara kembarmu ini?”
“Soalnya sejak kecil sampai dewasa, aku selalu tidur bersama ibu angkatku di Bangkok. Makanya aku ingin merasakan tidur dalam pelukan ibu kandungku sekarang.”
“Tapi Bunda itu peminum lho.”
“Haaa? Maksudmu minum minuman beralkohol?”
“Iya, “Donna mengangguk, “Sejak Ayah meninggal, Bunda jadi peminum alkohol. Duit dari Kak Siska dan Kak Nenden habis dibelikan minuman mulu.”
“Pantesan tadi di dalam kamarnya banyak botol minuman. Kenapa kamu gak berusaha nyadarkan Bunda?“
“Wah, udah sering nyadarin Bunda. Tapi kata – kataku gak pernah digubris. Barangkali nanti kamu bisa ngasih saran sedikit – sedikit setelah dekat dengan Bunda. Soalnya alkohol itu kan berbahaya bagi Bunda sendiri.”
“Iya… nanti aku akan berusaha menyadarkannya. Tapi biasanya seorang alcoholic itu sulit disadarkan. Mungkin harus sering dibawa ke tempat yang tidak ada penjual minuman keras…”
Makanan yang kami pesan sudah dihidangkan. Lalu kami makan bersama.
“Kamu kok bisa kehilangan virginitasmu, sama siapa?” tanyaku perlahan.
“Sama pacar brengsek. Setelah mendapatkan semuanya, dia menghilang entah ke mana. Kamu sendiri di Bangkok gimana? Punya pacar?”
“Males nyari cewek di Bangkok. Hampir separohnya cewek di sana hasil transgender. Jadi kalau kurang cermat malah bisa dapetin cowok yang sudah ganti kelamin. Hihihihi…”
“Tapi kamu tentu udah punya pengalaman sama cewek kan?”
“Pengalaman apa?”
Donna menjawabnya dengan bisikan di telingaku, “Pengalaman bersetubuh dengan perempuan.”
“Pernah, tapi belum sering.”
“Sama orang sana?”
“Bukan, “aku menggeleng, “sama turis dari Indonesia.”
“Cantik?”
“Mmm… cantikan kamu. Mudaan kamu juga.”
“Ohya?!”
“Punya suami. Tapi waktu tour ke sana gak sama lakinya.”
“Owh… ceritanya main sama binor.”
“Apa itu binor?”
“Bini orang.”
“Hihihiiii… iya… “aku hampir tersedak, karena ketawa waktu makan.
Namun diam – diam aku teringat kembali segala yang pernah terjadi di Bangkok. Sesuatu yang takkan pernah kulupakan di seumur hidupku. Cerita tentang turis barusan sebenarnya cuma bullshit. Sebenarnya pengalamanku dengan perempuan bukan dengan turis.
Ya… aku masih ingat semuanya itu. Bahwa aku sejak kecil sampai besar aku sangat dimanjakan oleh Pak Margono dan istrinya, yang saat itu kusangka orang tua kandungku. Dan sejak ingat aku memanggil mereka Papa dan Mama. Sejak ingat pula aku selalu tidur bersama mereka. Terutama dengan Mama, karena Papa sering berada di Singapore, untuk mengurus perusahaannya yang ada di sana.
Mama bahkan selalu memandikanku sejak aku mulai ingat semuanya sampai sekarang. Setelah aku berusia 15 tahun, barulah aku mandi sendiri, tidak dimandikan oleh Mama lagi. Tapi kalau tidur selalu dengan Mama. Kalau Papa sedang berada di Bangkok, barulah aku tidur di kamarku sendiri.
Aku sangat dimanjakan oleh Papa dan Mama. Apa pun permintaanku pasti dikabulkan. Mungkin itulah yang menyebabkanku lambat dewasa.
Buktinya, pada saat usiaku sudah 18 tahun, ketika kampusku sedang liburan dan ketika Papa sedang berada di Singapore, aku masih minta dimandikan oleh Mama.
“Mama… pengen dimandiin sama Mama,” ucapku dengan nada manja.
“Kok tumben, udah tiga tahun bisa mandi sendiri, sekarang kok tiba – tiba mau dimandiin sama mama?” tanya Mama sambil tersenyum.
“Kangen aja sama kasih sayang Mama waktu ngemandiin aku. “ “Ya udah. Kebetulan mama juga belum mandi sore.”
Lalu aku dan Mama masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam bedroom Mama.
Sebenarnya kamar Papa dan kamar Mama itu terpisah. Karena kamar Papa ada ruang kerjanya, sementara kamar mama ada ruang rias dan lemari pakaian yang berderet di dinding. Kamar mandi Papa pun terpisah dengan kamar mandi Mama. Maklum kalau wanita suka berlama – lama di kamar mandi, jadi di kamar Papa pun disediakan kamar mandi sendiri.
Setelah berada di dalam kamar mandi Mama, aku langsung menelanjangi diriku sendiri. Sewmentara Mama pun melepaskan gaun rumah (housecoat), beha dan celana dalamnya. Ini adalah pertama kalinya Mama telanjang bulat pada waktu mau memandikanku. Mungkin karena beliau pun mau mandi juga.
Memang ada desir aneh di dada dan benakku melihat Mama dalam keadaan tewlanjang bulat begitu. Namun ternyata Mama pun tampak heran memandang ke arah penisku.
“Donny… dalam tiga tahun ini penismu jadi segede dan sepanjang ini?” ucap Mama sambil memegang penisku.
“Kan sekarang aku sudah gede Mam.”
“Sudah gede tapi masih mau disuapin dan dimandiin sama mama ya?”
“Kan aku ingin tau apakah Mama masih sayang sama aku nggak?”
Mama menciumi pipiku, lalu berkata, “Sampai kapan pun rasa sayang mama takkan pernah pudar, Sayang.”
Lalu Mama mengambil shower manual dan memancarkan air hangatnya ke tubuhku. Dan mulai menyabuniku dari kepala sampai ke kakiku. Tapi entah kenapa, ketika Mama menyabuni batang kemaluanku, begitu lama Mama menyabuninya. Sehingga diam – diam batang kemaluanku jadi ngaceng.
“Wow… dalam keadaan ngaceng gini penismu jadi lebih gede dan lebih panjang, Don,” kata Mama sambil mengocok penisku dibantu oleh air sabun.
“Iya Mam. Kata teman – teman, kalau penis sedang ngaceng gini lalu dimasukin ke dalam memek, rasanya enak sekali. Betul Mam?”
“Iya, betul. Memangnya kamu belum pernah menyetubuhi perempuan?”
“Belum, “aku menggeleng, “Kan kata Mama perempuan di Thailand ini hampir setengahnya berasal dari transgender. Lagian kata Mama juga di sini banyak sekali perempuan yang menderita HIV.”
“Iya. Apalagi di pantai Pattaya. Gudangnya HIV di Asia. Makanya harus hati – hati, jangan sembarangan main perempuan di sini.”
“Iya Mam. Main perempuan sih nanti aja kalau kebetulan kita pulang ke Indonesia.”
“Di mana pun kamu berada, jangan pernah menyentuh pelacur ya. Kalau pacaran dengan cewek baik – baik sih nggak apa – apa.”
“Iya Mama. Aku takkan sembarangan bergaul di Thailand ini. Tapi nanti Mama ajarin bagaimana cara untuk menyetubuhi perempuan ya Mam.”
“Haaa?! Mmm… ya udah, sekarang selesaikan dulu mandinya. Setelah mandi, kita malam ya Sayang.”
Setelah mandi, Mama menemaniku makan malam di ruang makan. Dua orang pembantu menghidangkan makanan di meja makan dan menunggu kami makan untuk menyediakan yang kurang.
Semua wanita yang bekerja di rumah ini berasal dari Indonesia. Karena hanya orang Indonesia yang paling mengerti apa yang diinginkan oleh aku dan kedua orang tuaku.
Pekerjaan mereka dibagi – bagi sesuai dengan bakat mereka sendiri. Ada tukang masak, tukang bersih – bersih rumah, tukang cuci pakaian, tukang merapikan taman kecil di pekarangan rumah dan sebagainya. Semuanya berasal dari tanah air kami.
Papa, Mama dan aku masih berkewarganegaraan Indonesia. Tapi kami punya izin stay permanent di Thailand dan di Singapore. Mungkin izin itu diberikan karena Papa tergolong pengusaha besar.
Setelah selesai makan malam, aku ngobrol dulu dengan Mama di ruang keluarga, sambil nonton televisi.
Setelah aku mulai menguap -nguap, Mama mengajakku tidur di kamarnya.
Di dalam kamar Mama itulah aku membicarakan hal yang belum selesai di kamar mandi tadi.
“Mam… kenapa ya waktu melihat Mama telanjang di kamar mandi tadi, kontolku jadi ngaceng?” tanyaku blak – blakan.
“Masa?! Sekarang lagi ngaceng nggak?” Mama balik bertanya.
“Nggak,” sahutku sambil memegang penisku di balik celana piyamaku.
Lalu Mama menanggalkan kimono dan celana dalamnya, jadi telanjang bulat, karena Mama biasanya tak pernah mengenakan bra kalau mau tidur. “Nah… sekarang Mama telanjang lagi… kontolmu ngaceng lagi nggak?”
“Ngaceng lagi Mam… lihat tuh…” sahutku sambil menurunkan celana piyamaku dan langsung memamerkan penisku yang langsung ngaceng setelah melihat Mama telanjang.
Mama yang masih telanjang tampak serius memperhatikan penisku yang sudah ngaceng ini. Lalu meraih tanganku ke atas bed.
“Ini normal – normal aja Don,” kata Mama mendorong dadaku agar celentang. Kemudian Mama menarik celana piyamaku sampai terlepas dari kedua kakiku.
Tangan Mama beralih ke penisku. Menggenggamnya dengan tangan kiri dan mengelus – elus moncongnya dengan tangan kanan. “Kamu sudah pernah merasakan ejakulasi nggak?”
“Mmm… pernah. Tapi waktu tidur. Waktu itu aku bermimpi yang aneh, sampai akhirnya aku terbangun dan ternyata celanaku basah Mam.”
“Waktu itu kamu mimpi apa?”
“Mimpi diajak bersetubuh sama Mama.”
“Ohya?! Serius?”
“Iya Mam.”
“Berarti kamu ngefans berat sama mama, sampai kebawa – bawa mimpi segala.”
“Ya iyalah. Di dunia ini Mamalah yang paling kucintai dan kusayangi.”
“Sering kamu mimpi bersetubuh sama mama?”
“Mmm… tiga atau empat kali gitu.”
“Lalu kamu ejakulasi terus setiap dapet mimpi seperti itu?”
“Iya Mam.”
“Kasian anak mama ini… rupanya diam – diam kamu mengagumi mama ya?”
“Iya Mam.”
“Mmm… emangnya mama ini cantik di matamu?”
“Di mataku, Mama paling cantik di dunia ini.”
Lalu Mama menghimpitku. Mencium bibirku dengan hangatnya, disusul dengan bisikan, “Di mata mama, kamu juga cowok yang paling tampan di dunia ini.”
Aku agak bingung pada mulanya. Karena ini pertama kalinya Mama mencium bibirku, dengan sikap yang lain dari biasanya pula. Tapi jujur, aku suka dengan sikap dan perilaku Mama seperti ini.
“Kamu ingin agar mimpi – mimpimu itu diwujudkan dalam kenyataan?” tanya Mama yang sudah melorot turun dan memegangi penis ngacengku lagi.
“Mau Mam… mauuu… !” sahutku spontan.
“Mimpi – mimpimu akan mama wujudkan. Tapi ingat… ini sangat rahasia ya. Orang lain jangan sampai tau. Papa juga jangan sampai tau.”
“Iya Mam. Aku janji akan merahasiakannya kepada siapa pun.”
“Sekarang kamu diam aja ya. Mama akan melakukan sesuatu untukmu. Jangan bersuara keras – keras, takut kedengaran sama orang di luar.”
“Iya Mam,” sahutku dengan suara dipelankan.
Mama pun mulai menjilati moncong dan leher penisku. Membuat nafasku tertahan – tahan karena merasakan geli – geli enak. Terlebih lagi ketika Mama mengulum penisku, sambil mengurut – urut batangnya yang tidak terkulum olehnya.
Aku pun merintih perlahan, “Mama… aaaaa… aaaaah… Mamaaa… iii… ini renak sekali Mam… ooooooooh… Mamaaa… aku sayang Mamaaa… aku makin sayang sama Mamaaa… oooooooh…”
“Mama juga sangat sayang sama kamu, makanya mama mau menyerahkan kehormatan mama padamu, saking sayangnya mama padamu,” sahut Mama sambil berjongkok di atas penisku, sementara sepasang kakinya berada di kanan kiri pinggulku.
Aku tetap celentang sambil memperhatikan semuanya. Bahwa Mama memegang penisku yang moncongnya ditempelkan ke mulut kemaluan Mama yang berjembut sangat tipis itu (sehingga bentuk kemaluannya tetap jelas di mataku).
Kemudian Mama menurunkan pinggulnya, sehingga moncong penisku mulai membenam ke dalam liang kewanitaan Mama.
Begitu jelas di mataku. Bahwa memek Mama menurun terus, sementara penisku makin dalam “tenggelam” ke dalam liang memek Mama. Srrrr… blesssssss… batang kemaluanku amblas semua ke dalam liang kemaluan Mama.
Kemudian Mama mulai menaik turunkan memeknya, sehingga batang kemaluanku digesek – gesek oleh dinding liang memek Mama yang empuk, licin dan hangat.
Aku pun mulai merintih keenakan, “Mama… ooooh… ini enak banget Maaaam…”
Sementara Mama pun memejamkan matanya sambil mendesah – desah, “Aaaaahhhh… aaaahhh… aaaaaahhh… aaaaaaahhhhhhhh… aaaaahhhhh… aaaaah… aaaaah… Dooon… mama sayang kamu Dooon… sayang kamuuuuu… Doooon… aaaaah… Dooon… mama sayang kamuuuu Dooon… Doooon… aaaaaahhhh …
Namun pada suatu saat Mama menarik jauh – jauh memeknya, sehingga penisku terlepas dari liang memeknya. Kemjudian Mama menelentang sambil berkata, “Ayo lanjutkan lagi. Masukkan kontolmu ke sini,” kata mama sambil mengusap – usap memeknya.
Aku pun mengikuti apa yang Mama suruh. Kuletakkan penisku di mulut kemaluan Mama. Dan Mama memegang leher penisku sambil meletakkan moncongnya pada arah yang tepat. Lalu mama memberi isyarat, “Ayo dorong… yang kuat…”
Aku pun mendorong penisku sekuatnya seperti yang Mama suruh. Dan… penisku membenam amblas ke dalam liang memek Mama… blesssssskkkkkkk…!
“Nah sekarang entotin kontolnya… tapi pelan – pelan dulu… jangan sampai lepas dari memek mama… ayo test dulu…” kata Mama sambil merenggangkan sepasang pahanya yang putih mulus itu.
Aku memang baru sekali ini merasakan penis dimainkan di dalam liang vagina. Tapi aku sudah sering melihat film/video dewasa. Karena itu, ketika aku “ditugaskan” untuk beraksi, hanya beberapa detik saja aku sudah mengerti apa yang harus kulakukan.
Ya, aku langsung lancar mengentot Mama. Sehingga Mama pun membisiki telingaku, “Kamu pinter Sayang… ayo entot terus memek mama… entot terusssss… jangan brenti – brenti… oooo… ooooh… Dooon… entot teruuuussssss… entoooottttt… entoooootttt… kontolmu enak sekali Dooon…
Sebenarnya aku pun sedang merasakan enaknya liang memek Mama, yang membuat penisku geli – geli enak. Tapi aku lebih suka mendengar rintihan Mama, yang tampak begitu keenakan merasakan entotan batang kemaluanku.
Mama pun mulai menjilati leherku disertai dengan gigitan – gigitan kecil. Membuatku serasa makin melayang – layang di langit tinggi… langit ketujuh yang biasa disebut langit surgawi juga.
Pada saat lain Mama minta agar aku meniru apa yang dilakukannya barusan. Dengan senang hati aku pun mulai menjilati leher Mama yang senantiasa harum parfum mahal, juga disertai dengan gigitan – gigitan kecil seperti yang Mama lakukan padaku tadi.
Namun pada suatu saat aku merasakan sesuatu yang “lain”… liang memek Mama begitu nikmatnya… bahkan terlalu nikmat bagiku, sehingga akhirnya aku menggelepar, lalu membenamkan penisku sedalam mungkin di dalam liang memek Mama.
Crooootttt… croooottttttt… crottt… croooottttt… crottt… crooootttt…!
Spermaku pun bermuncratan dari moncong penisku. Lalu aku terkulai di dalam pelukan Mama.
Setelah ejakulasi, ada perasaan bersalah di dalam hatiku. Serasa telah menganiaya Mama. Tapi bukankah tadi mama pun menikmatinya?
Ya… bahkan setelah belasan menit beristirahat, Mama menggenggam penisku. Lalu menyelomotinya lagi dengan lahap dan binalnya. Penisku yang sudah lemas pun sedikit demi sedikit menegang kembali. Dan akhirnya ngaceng total lagi…!
Pada saat berikutnya, Mama menelentang sambil berkata, “Ayo Don. Entot mama lagi. Biar kamu tambah pinter kalau sudah punya istri kelak.”
Aku tidak langsung menyetubuhi Mama, karena mulai asyik untuk mengelus – elus memeknya yang berjembut sangat tipis itu. Bahkan lalu kataku, “Aku sering nonton film dewasa yang suka menjilati kemaluan perempuannya. Ajarin aku bagaimana caranya menjilati memek ya Mam…”
“Besok aja. Jembutnya harus dicukur dulu, biar enak jilatinnya,” sahut Mama, “Sekarang masukin lagi aja kontolmu. Mama udah kepengen lagi, Sayang.”
Terpaksa kuikuti keinginan Mama. Kubenamkan lagi penis ngacengku ke dalam liang memek Mama yang aku sudah tahu “jalannya”.
Lalu mulailah aku berpush up lagi di atas perut Mama… mulailah aku merasakan nikmatnya bersetubuh yang sering dikatakan sebagai nikmatnya surga dunia ini.
Hai… kok malah ngelamun terus?” Donna menepuk bahuku, membuatku kaget dan membuyarkan terawangan masa laluku.
“Memang banyak yang sedang kupikirkan,” sahutku sambil meringis.
“Udah waktunya masuk Don. Seperempat jam lagi juga filmnya diputar.”
“Ya udah masuki aja,” sahutku sambil memanggil waiter restoran sambil memberi kode bill. Waiter itu pun menghampiri sambil membawa baki kecil beserta bon yang harus kubayar.
Beberapa saat kemudian aku dan Donna sudah berada di dalam gedung bioskop.
Kami kebagian kursi yang paling belakang. Kebetulan jajaran kursi paling belakang ini hanya kami berdua isinya. Sehingga setelah lampu gedung bioskop dimatikan, Donna bebas menempelkan pipinya ke pipiku, sambil meremas – remas tanganku. Dan bahkan ia membisiki telingaku, “Kita harus kompak terus sampai tua kelak, ya Don.
“Iya Don. Hihihihi… kalau Bunda manggil Don aja, pasti kita sama – sama nengok ya.”
“Iya. Tapi itu juga salah satu tanda bahwa kita ini kompak.”
Kujawab dengan bisikan, “Kalau kompak, boleh dong aku nyobain punyamu.”
Donna menyahut dengan bisikan juga, “Sekarang sih aku lagi mens. Nanti kalau udah bersih, aku kasih. Asalkan jangan bikin aku hamil.”
Kuremas tangan Donna sambil berbisik, “Janji ya.”
“Iya. Tapi kalau udah dikasih, ajak aku main ke Bangkok ya.”
“Iya. Soal gampang itu sih. Perusahaan warisan dari almarhum Papa angkatku bukan hanya di Bangkok. Di Singapore juga ada.”
Lalu obrolan kami terputus, karena layar putih sudah menyuguhkan ceritanya, bukan sekadar memperlihatkan deretan nama – nama pemainnya lagi.
Tadi pada waktu aku sedang menerawang di resto itu, Donna kusuruh membelikan pizza dan martabak manis pesanan Bunda. Dan Donna membelinya dua – dua. Dua pizza dan dua martabak manis. Sambil nonton, kuambil pizzanya sepotong. Untuk menghilangkan ketegangan film horror yang tengah kami tonton. Donna juga sama, mengambilnya sepotong, lalu menyantapnya.
Setelah filmnya the end, barulah kami terbebas dari ketegangan itu.
Lalu kami pun pulang dengan menggunakan taksi. Di dalam taksi pun Donna memperlihatkan sikap romantisnya padaku. Tapi karena dia sedang menstruasi, aku pun tidak melangkah terlalu jauh. Hanya membiarkan pipi kami bertempelan sambil saling remas tangan.
“Aku ingin beli mobil. Tapi susahnya aku belum hafal jalan – jalan di kota ini. Bisa – bisa malah nyasar terus. Berarti aku harus punya sopir juga,” kataku.
“Aku aja sopirnya,” sahut Donna.
“Emangnya kamu bisa nyetir?”
“Bisa. SIM juga udah punya.”
“Besok bisa antar aku nyari mobil?”
“Bisa. Kebetulan besok aku kebagian jatah libur.”
“Besok kan bukan hari Minggu, bukan pula tanggal merah. Kok bisa libur?”
“Jatah libur di tempat kerjaku digilir. Tidak selalu hari Minggu. Karena hari Minggu tokonya tetap buka. Jadi kalau minggu ini aku kebagian jatah libur hari Selasa, minggu depan bisa Rabu, bisa Kamis atau hari apa aja, tergantung jadwal libur masing – masing.”
“Resign aja deh dari tempat kerjamu.”
“Lho… terus aku mau kerja apa?”
“Kalau kamu mau, jagain aja galleryku yang di Singapore.”
“Gallery apa?”
“Gallery lukisan, patung dan berbagai hiasan dinding yang terbuat dari kayu jati diukir. Semuanya asli dari Indonesia.”
“Gajinya gede dong.”
“Pasti jauh lebih gede daripada gajimu sekarang.”
“Tapi… di Singapore hawanya panas ya?”
“Panaslah. Malah lebih panas dari Jakarta. Di Bangkok juga udaranya panas. Kalau mau yang udaranya dingin, harus di Thailand utara.”
“Kamu buka perusahaan di kota ini aja Don. Soalnya kalau aku pindah ke Singapore, kasian Bunda, gak ada temannya. Lagian aku sendiri suka gak kerasan tinggal di tempat yang panas. Badan keringatan mulu. Sehari bisa dua atau tiga kali ganti pakaian.”
“Aku memang ingin juga buka usaha di sini. Tapi harus dipikirkan dulu apa jenis usahanya.”
“Bagaimana kalau buka pabrik mainan anak – anak? Pemasarannya pasti lancar terus.”
“Usulmu boleh juga. Tapi aku ingin memproduksi sesuatu yang bisa diekspor ke Singapore dan Thailand. Supaya aku bisa jadi eksportir sekaligus importir.”
“Maksudmu eksportir sekaligus importir gimana?”
“Barang yang diekspor ke Singapore dan Thailand, importirnya perusahaanku juga di sana. Jadi nggak usah nyari lagi importir di Singapore dan Bangkok. Tapi itu baru rencana. Soalnya aku ingin melakukan survey dulu apa kira – kira yang laku dijual di Singapore dan Thailand.”
Tak lama kemudian taksi yang kami tumpangi tiba di depan rumah Bunda.
Setelah membayar taksi, Donna mengeluarkan kunci cadangan yang dibekalnya tadi. Kemudian kunci cadangan itu dipakai untuk membuka pintu depan. Kami pun masuk. Sementara Bunda tidak kelihatan. Mungkin sudah tidur. Padahal aku membawa oleh – oleh pizza dan martabak manis sesuai dengan permintaannya.
“Mungkin Mama sudah tidur. Mungkin juga sedang teler. Aku udah ngantuk berat,” ucap Donna perlahan, sambil mendekap pinggangku.
Aku cuma tersenyum mendengar kata – kata saudara kembarku itu. Tapi ia mengangsurkan bibirnya ke dekat bibirku sambil bergumam, “Cium bibirku dulu sebelum tidur.”
Aku pun melingkarkan lenganku di lehernya, lalu mencium bibirnya dengan ketat. Sementara Donna memejamkan matanya, seolah sangat menikmati ciumanku.
“Oke good night Brother,” ucap Donna setelah bibirnya kulepaskan.
“Sleep tight and have a nice dream. Good night Sista,” sahutku.
Pizza dan martabak manis kuletakkan di atas meja ruang makan, kemudian kubuka pintu kamar Bunda.
Dan… apa yang kulihat? Bunda sedang menelungkup di atas ranjang, dalam keadaan… telanjang bulat…!
Sedangkan udara di kamar sempit ini bau alkohol yang sangat menyengat di hidung.
Persis seperti dugaan Donna, bahwa Bunda sedang teler.
Cepat kulepaskan sepatu dan kaus kakiku. Kulepaskan juga celana dan baju kausku. Lalu kuganti dengan celana pendek dan kaus oblong serba putih.
“Bunda… !” panggilku perlahan sambil menggoyangkan bokongnya yang tidak tertutup apa – apa. Bahkan kemaluan Bunda pun tampak karena kaki kirinya terjuntai ke lantai, sementara kaki kanannya berada di atas kasur bertilamkan kain seprai lusuh.
Lalu… setan dari mana yang membuat penisku ini tiba – tiba menegang ini?
Entahlah. Tapi aku berusaha untuk membantu Bunda, minimal agar posisi badannya jangan “kacau” begini.
Maka kugulingkan badan Bunda sampai menelentang di tengah ranjang besi jadul itu.
Pemandangan yang kusaksikan malah lebih parah lagi. Dalam keadaan celentang, Bunda begitu menggiurkan kelihatannya. Badannya yang putih mulus, wajahnya yang lebih cantik daripada wajah Mama almarhumah membuat batinku berdesir – desir.
Tadi waktu bersama Donna, sebenarnya nafsuku sudah terpancing dan membutuhkan penyaluran. Lalu kini aku melihat Bunda dalam keadaan seperti itu pula. Sedangkan aku baru siang tadi tahu bahwa wanita cantik itu ibu kandungku.
Dalam perasaan bingung, kukunci pintu keluar, lalu melepaskan segala yang melekat di tubuhku. Biarlah… kalau Bunda menanyakan kenapa aku telanjang, akan kujawab karena dia juga telanjang.
Kemudian aku naik ke atas ranjang tua ini. Merebahkan diri di samping Bunda, sambil meletakkan tanganku di atas payudaranya. Namun sesaat kemudian tanganku merayap ke perutnya… bahkan lalu kuletakkan di atas kemaluan Bunda yang jembutnya lebat sekali itu, sambil sesekali memperhatikan reaksi Bunda.
Tiba – tiba Bunda duduk dengan mata tetap terpejam. Lalu meraba – raba lenganku, dadaku, perutku dan batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini.
“Ini Donny?” tanya Bunda dengan mata terbuka tapi pandangannya tampak kosong.
“Iya Bun… pizza dan martabaknya kuletakkan di atas meja makan,” sahutku.
“Aaah… besok aja makannya… kontolmu ini lebih penting… gede sekali ya kontolmu ini… pasti enak kalau dientotin ke memekku… hihihiii… daku udah lama gak ngerasain enaknya kontol Bang… masukin aja kontolmu ini ke memekku Bang… ayo… jangan ngulur waktu… nanti kereta apinya keburu berangkat…
Aku tahu bahwa Bunda adalah ibu kandungku. Tapi aku baru mengenalnya tadi siang. Sehingga perasaanku tidak seperti layaknya seorang anak dengan ibunya. Bunda masih terasa asing dalam perasaanku. Dan malam ini, aku hanya merasakan nafsuku menggelegak setelah tanganku ditarik, sehingga tubuh telanjangku terhempas ke atas tubuh telanjang Bunda.
Terlebih lagi setelah Bunda memegangi penisku lalu mencolek – colekkan moncongnya ke belahan kemaluannya yang dikelilingi jembut tebal itu. Membuatku agak merinding, karena sadar bahwa beliau adalah ibu kandungku. Bahkan aku mencoba menyadarkannya, “Bunda… apakah Bunda lupa bahwa aku ini anak kandung Bunda?
Tapi Bunda malah menjawab, “Ayo dorong… nanti kamu akan merasakan di dunia ini tak ada memek yang seenak memekku… dorooooong… !”
Ucapan itu disertai dengan hembusan nafasnya yang berbau alkohol menyengat. Lalu ia meraih botol gepeng yang terbuat dari stainless stell. Dan meneguk isinya. Mungkin botol gepeng yang terbuat dari logam itu senantiasa ditaroh di bawah kain seprai lusuhnya.
Aku pun tak banyak bicara lagi. Karena percuma berdebat dengan orang yang sedang mabuk begitu. Kuikuti saja perintahnya, kudorong batang kemaluanku sekuatnya. Dan membenam sedikit demi sedikit. sampai masuk separohnya.
Maka mulailah aku mengayun tongkat kejantananku pelan – pelan. Gila… sudah punya anak empat, namun liang memek Bunda ini bukan main sempit dan legitnya…!
Dan mulailah Bunda mendesah – desah dibarengi celotehan ngaconya, “Aaaaa… aaaaahhh… aaaaaa… aaaaah… kontolmu enaaak Bang… eh… kamu Donny kan… iyaaa… entot terus Dooooon… iyaaaaa… entooootttt… edaaaaan… kontolmu gede gini… nurun sama siapa sih Dooon…
Makin lama entotanku makin lancar. Dan gilanya, liang memek Bunda ini memang paling enak di antara memek – memek yang pernah kuentot. Rasanya sempit dan legit sekali… sehingga batang kemaluanku seolah diisap – isap oleh liang senggamanya…!
Sambil mengentotnya, mulut dan tanganku pun beraksi. Kuselomoti dan kuisap – isap pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya yang kenyal dan masih nyaman buat diremas – remas.
Bunda pun semakin menggeliat – geliat dengan mata merem melek. Mata yang sudah merah sekali, mungkin karena kebanyakan minum alkohol.
Bahkan pada suatu saat Bunda merintih, “Ooooooo… ooooooh… mau lepas nih… mau lepasssssss…”
Bunda seperti menahan nafas, sementara tubuhnya mengejang tegang. Tapi aku tak menghentikan entotanku. Bahkan semakin menggencarkannya.
Lalu Bunda mengelojot dan terkulai lemas. Bahkan kelihatannya seperti ketiduran.
Melihat Bunda kelihatan tepar begitu, aku pun jadi ingin secepatnya berejakulasi.
Dan belasan menit kemudian aku berhasil meraih puncak kenikmatanku. Kubenamkan penisku sedalam mungkin, tanpa kugerakkan lagi. Lalu terasa moncong penisku menyemprot – nyemprotkan sperma di dalam liang kewanitaan Bunda.
Croooootttttt… crottt… crot… croooootttttttt… crot… croooooootttt…!
Aku terkapar di atas perut Bunda. Kemudian kucabut batang kemaluanku dari liang memek Bunda. Dan merebahkan diri ke samping ibu kandungku itu.
Sementara Bunda sreperti tidak tahu lagi apa yang barusan terjadi pada dirinya. Beliau benar – benar tertidur dengan nyenyaknya.
Aku pun enggan memungut pakaianku, lalu ikutan tertidur sambil memeluk Bunda. Dalam keadaan sama – sama telanjang bulat.
Esok paginya, aku terbangun dan melihat Bunda sedang bersolek di depan meja rias jadulnya. Beliau sudah mengenakan salah satu kimono oleh – olehku dari Bangkok. Tidak telanjang lagi seperti tadi malam.
Ketika aku mengenakan celana pendek putihku, Bunda menoleh sambil berkata, “Pizza dan martabak kirimanmu tadi malam sudah bunda makan Don. Walau pun dingin tetap masih enak.”
“Iya Bun,” sahutku sambil melangkah ke belakangnya. Dan melingkarkan kedua lenganku di lehernya sambil berkata, “Maafkan aku ya Bun… tadi malam Bunda memaksaku… sehingga aku me… menyetubuhi Bunda.”
Bunda menoleh padaku. Menatapku dengan senyum seperti yang dipaksakan. Lalu menghela nafas, “Yaaahhhh… biarlah… gak apa – apa. Daripada bunda dipuasi oleh laki – laki yang cuma ingin merusak, mendingan dipuasin olehmu.”
“Bunda sama sekali tidak sadar bahwa tadi malam kita telah melakukannya…” tanyaku sambil membelai rambut Bunda yang kelimis. Mungkin karena baru dikeramas.
“Antara sadar dengan tidak,” sahut Bunda, “Terus gimana rasanya? Memek bunda enak nggak?”
“Sangat – sangat enak sekali,” sahutku sambil membungkuk dan mengecup pipi Bunda, “Cuma sayangnya mulut Bunda berbau alkohol yang sangat menyengat.”
“Sejak ayahmu meninggal, bunda merasa sangat kehilangan. Karena tiada lagi yang mencintai dan memanjakan bunda. Sejak saat itulah bunda jadi peminum Don.”
“Aku siap untuk mencintai dan memanjakan Bunda seperti cinta dan kasih sayang Ayah almarhum. Asalkan Bunda berhenti minum minuman keras,” ucapku yang disusul dengan kecupan hangat di pipinya lagi.
Bunda berdiri menghadap padaku yang masih bertelanjang dada ini. Lalu mengusap – usap pipiku sambil berkata, “Wajahmu sangat mirip ayahmu di masa mudanya, Don.”
“Masa?! Kalau begitu jadikanlah aku sebagai pengganti Ayah almarhum. Tapi Bunda harus berjanji takkan minum alkohol lagi.”
“Donny Sayang… nafsu bunda ini gede sekali. Memangnya kamu bisa menggantikan ayahmu untuk menggauli bunda dua hari sekali?”
“Berarti aku harus pindah ke sini dong.”
“Soal itu sih nanti kita pikirkan lagi sematang mungkin. Ohya… tadi kamu bilang memek bunda enak sekali. Betul?” Bunda mengajakku duduk di pinggiran ranjang jadulnya.
“Betul, “aku mengangguk jujur, “Legit sekali. Pokoknya enak deh. “.
“Kalau begitu, cobain deh sekali lagi sekarang. Bunda kan abis mandi dan keramas. Pasti gak bau alkohol lagi.”
Bunda menanggalkan kimononya. Dan ada sesuatu yang membuatku tercengang. Kemaluan Bunda itu… tidak ada jembutnya lagi…! sumber Ngocoks.com
“Dicukur habis, Bun?” tanyaku sambil mengusap – usap memek bunda yang sudah botak plontos itu.
“Iya. Biasanya pun suka dicukur. Tadi malam sih kebetulan aja udah lebih dari sebulan tidak dicukur.”
“Kalau sudah bersih begini, pasti enak jilatinnya,” ucapku.
“Memang harus dijilatin dulu, biar gak sakit waktu kontolmu dimasukkan ke sini. Kontolmu itu gede banget sih,” sahut Bunda sambil menelentang dan merfenggangkan sepasang paha putih mulusnya.
“Aku belum mandi Bun.”
“Biarin aja. Mandinya nanti aja setelah selesai ngentot bunda. Ayo jilatin dulu memek bunda Don.”
Aku pun menanggalkan kembali celana pendek putihku. Lalu menelungkup di antara sepasang paha Bunda yang direntangkan lebar – lebar. Dengan wajah berada di atas memek bunda yang sudah bersih dari jembut itu.
Kujamah memek plontos itu dan kungangakan sepasang bibir luarnya lebar – lebar, sampai kelihatan jelas bagian dalamnya yang berwarna pink itu. Di bagian yang berwarna pink itulah ujung lidahku menari – nari dengan lincahnya, membuat nafas Bunda berdesah – desah histeris dan erotis.
Terlebih setelah kutemukan kelentitnya, lalu kujilati juga disertai isapan – isapan kuat, sehingga bagian peka yang cuma sebesar kacang kedelai itu tampak menonjol dan mengeras. Pada saat menjilati kelentitnya itulah jari tengah tangan kananku sengaja kuselundupkan ke dalam celah kemaluannya. Lalu digerak – gerakkan maju mundur, laksana penis sedang mengentot.
Karuan saja Bunda semakin klepek – klepek dibuatnya, sementara liang memeknya terasa mulai basah.
Aku pun tidak menunggu instruksi lagi, karena nafsuku sudah sulit dikendalikan. Lalu aku merayap ke atas perut Bunda, sambil meletakkan moncong penisku pas di ambang mulut vagina ibuku.
Blesssssss… batang kemaluanku membenam lebih dari separohnya, disambut dengan rengkuhan Bunda di leherku, disusul dengan ciumannya di bibirku yang lalu berubah menjadi lumatan hangat. Sementara aku mulai mengayun penisku, bermaju mundur di dalam liang memek Bunda yang sangat legit tapi licin ini.
“Oooooh… Donny… sekarang bunda seratus persen sadar nih… sekarang bunda merasakan kelebihanmu ini… kontolmu memang enak sekali Don… jauh lebih enak daripada punya ayahmu… ayo puasi bunda Doooon…”
Bersambung…