Aku langsung teringat pada ajaran Mama yang sering disampaikannya padaku. Bahwa untuk memuasi perempuan, jangan mengandalkan penis belaka. Tangan dan mulut pun harus beraksi pada bagian – bagian peka di tubuh perempuan. Lalu Mama memberitahu di mana saja titik – titik peka itu.
Kini semuanya akan kupraktekkan pada Bunda. Ketika entotanku mulai lancar, kujilati leher Bunda disertai gigitan -gigitan kecil, sementara tangan kiriku mulai meremas – remas toket kanannya. Dan tangan kananku menggaruk – garuk pinggang kiri Bunda.
“Donny Sayaaaang… oooooh… Doooon… ini luar biasa enaknya Dooon… enaaaak Dooon… oooooh… oooo… oooooh… Dooon… Dooon… entot terus Dooon… entooot teruuuuussssssss… entoooot… entoooooooootttttt …!”
Tiba – tiba aku teringat pada Donna. Aku takut Donna sudah bangun dan mendengar rintihan Bunda yang mulai tak terkendali itu. Maka kusumpal mulut Bunda dengan ciuman dan lumatan hangatku. Sementara penisku semakin gencar mengentot liang memek legitnya.
Demikian gencarnya penisku mengentot liang memek Bunda, sehingga menimbulkan bunyi unik yang berasal dari memek Bunda. Bunyi crak crek crak crek crak crek secara berirama.
Sementara Bunda hanya bisa berdesah – desah, karena mulutnya terus – terusan kusumpal dengan ciuman dan lumatanku.
Cukup lama aku menyetubuhi ibu kandungku yang lebih cantik daripada ibu angkatku itu. Sehingga keringatku pun mulai membasahi tubuhku, bercampur aduk dengan keringat Bunda.
Smpai pada suatu saat Bunda berbisik terengah, “Don… lepasin bareng -bareng yuk… biar nikmat…”
“Bu… Bunda su… sudah mau lepas?” tanyaku terengah pula.
“Iya Sayaaaang… ayo… lepasin bareng – bareng…” sahut Bunda sambil menggoyang pinggulnya habis – habisan. Seolah memaksa penisku agar segera ngecrot.
Aku pun memacu batang kemaluanku, mengentot liang memek Bunda habis – habisan.
Sampai akhirnya kami seperti sepasang manjusia yang sedang kerasukan. Bunda menjambak rambutku sambil mengejang tegang, sementara aku pun meremas sepasang toketnya kuat – kuat. Dan terjadilah sesuatu yang luar biasa indah dan nikmatnya ini.
Bahwa liang memek Bunda laksana seekor ular yang tengah membelit dan memilin batang kemaluanku, disusul dengan kedutan -kedutannya yang sangat terasa olehku… sementara moncong penisku pun tengah memuntahkan air maniku.
Crooootttt… crooooooottttttt… crotcrottt… croooot… crooooooootttt…!
Aku mengelojot, lalu terkulai dalam dekapan Bunda.
Kemudian terdengar bisikan Bunda, “Luar biasa nikmatnya, Sayang… belum pernah Bunda merasakan nikmatnya disetubuhi seperti sekarang ini…”
Ketika Bunda mengenakan celana dalamnya kembali, Bunda bertanya, “Di rumah orang tua angkatmu ada pegawai yang bernama Reni?”
Aku tersentak mendengar nama itu ditanyakan. “Reni yang suaminya kerja di Arab?”
“Iya, “Bunda mengangguk, “Reni itu adik bungsu bunda. Tapi asal – usulmu tak pernah dibuka padanya. Takut bikin kacau di Bangkok nantinya. Sekarang dia masih kerja di rumah peninggalan papa angkatmu?”
“Masih. Aku yang mempertahankannya. Karena dia trampil sekali dalam masak -memasaknya.”
“Iya. Dia memang jago masak sejak masih berumur belasan taun. Makanya ketika Pak Margono datang ke sini dan minta dicarikan orang yang pandai masak, bunda langsung ajukan dia. Setelah tau bahwa Reni itu adik bunda, Pak Margono minta agar masalah asal – usulmu jangan dibuka kepada Reni.”
“Selama ini aku manggil Mbak padanya. Ternyata dia itu tanteku ya.”
“Iya. Tante kontan. Karena dia itu adik kandung bunda.”
“Kalau begitu nanti jabatannya akan kunaikkan Bun. Jangan sekadar jadi juru masak doang.”
“Iya, atur – aturlah soal itu sih. Dahulu dia pernah nelepon bunda. Katanya mau bercerai dengan suaminya. Karena dia mendengar berita bahwa suaminya kawin lagi dengan TKW asal Indonesia di Arab.”
Sebenarnya aku sudah tahu soal itu. Tapi aku cuma mengangguk – angguk saja di depan Bunda. Tidak mau berkomentar sepatah kata pun.
Aku bahkan membelokkannya ke topik lain, “Mengenai tanah kosong di sebelah itu, kalau bisa sih tanyakan hari ini juga Bun. Supaya kalau aku kembali ke Bangkok, sudah ada kepastian.”
“Iya, iyaaa… sekarang kamu ikut bunda aja ke rumahnya yok. Biar kamu bisa tawar – menawar langsung dengan pemiliknya.”
“Aku sudah janjian sama Donna mau beli mobil hari ini Bunda. Bisa kan Bunda sendiri yang menanyakan dan tawar – menawar dengan pemiliknya?”
“O, kamu mau beli mobil segala? Memangnya kamu mau menetap di sini terus?”
“Belum tau juga. Tapi aku ingin agar di sini ada mobil yang bisa kupakai pada waktu aku sedang berada di sini. Kalau aku sedang berada di Bangkok sih, biarin aja dipakai sama Donna. Bahkan aku punya rencana mau buka perusahaan di sini. Tentu Donna yang akan kuangkat sebagai wakilku di perusahaan itu.
“Bagus lah. Masa depan Donna perlu kamu pikirkan Don.”
“Iya Bun. Masa saudara kembarku dibiarkan cuma jadi pelayan toko.”
Tak lama kemudian kudengar suara Donna memanggilku dari luar kamar Bunda, “Donny …!”
“Yaaa… !” sahutku sambil membuka pintu kamar Bunda.
Donna tampak sudah berdandan, mengenakan gaun oleh – olehku dari Bangkok. Gaun putih dengan garis – garis berkelok – kelok berwarna – warni nuansa biru tua dan biru muda. Hmmm… secara jujure harus kuakui, Donna itu… cantik sekali…!
“Jadi mau nyari mobil sekarang?” tanyanya.
“Jadi lah. Kamu udah siap?”
“Udah dari tadi siap. Nungguin kamu gak keluar – keluar sampai pegel.”
“Hahahaaa… kalau gitu aku mau mandi dulu yaaa…” ucapku sambil bergegas menuju kamar mandi yang letaknya di belakang itu.
Pada waktu sedang mandi, aku teringat lagi kata – kata Bunda tadi. Bahwa Reni yang biasa kupanggil Mbak itu ternyata tanteku. Dan kalau dibanding – bandingkan sekarang, setelah aku lihat bentuk ibu kandungku yang sebenarnya, memang Tante Reni itu banyak kemiripannya dengan Bunda.
Pada waktu aku sudah duduk di dalam taksi bersama Donna pun, ingatanku tentang Mbak Reni alias Tante Reni itu menggelayuti terawanganku terus.
Tapi Donna membisiki telingaku, “Tadi malam dan tadi pagi ngapain aja sama Bunda?”
Aku berusaha tenang dan menjawab, “Gak ngapa – ngapain.”
“Bo’ong, “Donna menepuk lututku, “Emangnya aku anak kecil?”
“Maksudmu?” aku pura – pura tak mengerti maksud ucapan saudara kembarku.
Donna menjawab dengan bisikan lagi, “Kamu ngentot Bunda kan?”
Aku merasa kalah oleh ucapan Donna itu. Lalu aku menghela nafas disusul dengan jawaban, “Aku hanya berusaha untuk menghentikan kebiasaan Bunda minum – minum itu. Dan menurut pengakuan Bunda, kebiasaan minum itu setelah ayah kita meninggal.”
“Memang benar, “Donna mengangguk, “Sejak ayah kita meninggal, Bunda jadi sangat kehilangan. Kerjanya cuma bermurung – murung dan mengalirkan air mata. Lalu Bunda memilih jalan salah itu. Berusaha melupakan Ayah dengan cara minum minuman beralkohol.”
“Mudah – mudahan aja aku bisa menghentikan kebiasaan yang membahayakan dirinya sendiri itu,” kataku sambil memegang tangan Donna yang terasa hangat.
Lalu Donna berbisik lagi*(takut kedengaran sopir taksi)*, “Jadi benar kan kamu sudah menyetubuhi Mama tadi malam dan tadi pagi? Jujur aja jawabnya. Aku juga ikut mendukung kok kalau kamu berusaha menghentikan kebiasaan buruk Bunda dengan cara seperti itu.”
“Iya, “aku mengangguk sambil mempererat peganganku pada tangan saudara kembarku, “Tadi malam malah dia yang memaksaku. Tapi tadi pagi… mau sama mau.”
“Mudah – mudahan Bunda bisa menghentikan kebiasaan berbahayanya dengan cara seperti itu,” kata Donna yang dilanjutkan dengan bisikan, “Terus jatahku kapan dikasihnya?”
“Kamu kan lagi M,” sahutku perlahan.
“Kemaren sore memang masih ada flex. Tapi sekarang sudah bersih.”
“Ya udah, setelah dapat mobil nanti, kita chek in ke hotel aja. Biar tenang.”
“Ohya… bossku orang kaya raya. Tapi dia gak mau beli mobil baru. Dia selalu beli mobil second yang masih bagus. Dia bilang, beli mobil baru itu rugi. Kalau dijual lagi pasti jatuh harganya, jauh lebih rendah dari harga belinya.”
“Ya udah… aku juga mau beli yang second aja. Kamu tau tempat yang jual mobil second?”
“Tau. Ada showroom yang bagus. Meski yang dijual hanya mobil – mobil second, tapi semuanya mobil terawat dan mulus.”
“Setelah dibayar, bisa langsung dibawa mobilnya kan?”
“Bisa.”
“Ya udah… kita ke showroom itu aja.”
Kemudian Donna memberitahu sopir taksi, agar mengubah arahnya menuju showroom yang Donna tahu itu.
Showroom itu memang bagus seperti Donna bilang tadi. Mobil – mobil yang dijualnya bukan mobil – mobil murah, tapi harganya sangat murah menurutku. Lalu kupilih sedan matic 2400 cc berwarna merah metalic.
“Kenapa pilih yang warna merah gitu? Masa cowok pakai mobil merah?” tegur Donna setengah berbisik.
Sambil memegang bahu Donna aku menjawab, “Mobil itu kan buatmu, Donna. Aku hanya akan minta diantar – antar kalau sedang berada di sini aja. Kalau aku sudah pulang ke Thailand, masa mobil itu harus kubawa ke sana?”
“Haaaa?!” Donna terbelalak girang, “Jadi mobil itu untukku?”
“Iyaaa Sayang… aku tak mau saudara kembarku terlalu senjang dengan keadaanku.“
Lalu Donna melakukan test drive di jalan aspal. Setengah jam kemudian sudah kembali lagi ke showroom itu. Dan aku memberikan sehelai cek dari sebuah bank internasional, yang baik di Thailand mau pun di Indonesia ada cabangnya.
Setelah clear, bahwa cek yang kuberikan itu bukan cek kosong, sedan merah metalic itu pun dijalankan oleh Donna di jalan aspal. Dan aku duduk di samping kirinya.
Aku mengajak Donna untuk makan siang di restoran yang harus dia pilih. Donna pun mengemudikan sedan itu menuju ke restoran pilihannya.
Setelah makan siang di restoran kitu, Donna mengarahkan mobilnya menuju hotel yang katanya terletak di luar kota.
“Donny… jangan marah ya… sebenarnya dari tadi malam pun aku tidak sedang menstruasi. Sejak lima hari yang lalu aku bersih dari mens. Tapi tadi malam aku harus mempertimbangkan dulu ajakanmu. Dan sekarang hatiku sudah bulat untuk menyerahkannya padamu,” kata Donna di belakang setirnya.
“Iya dong,” sahutku, “Masa orang lain dikasih, sementara aku tidak dikasih?”
“Soal itu pun harus kubikin clear. Yang membuatku tidak perawan lagi bukan cowok.”
“Haaa?! Lalu yang membuatmu tidak perawan lagi itu cewek?”
“Iya… pakai strapon. Tapi kami bukan lesbian. Hanya ingin merasakan aja sensasi bersetubuh itu seperti apa. Lalu gantian pakai strapon untuk saling memuasi.”
“Lalu dengan cowok sudah pernah juga?”
“Swear…! “Donna mengangkat dua jari kirinya, “Aku belum pernah merasakan disetubuhi cowok. Sama sekali belum pernah. Memekku dijamah tangan cowok pun belum pernah.”
“Lalu sejak kapan kamu hentikan kebiasaan pakai strapon itu dengan temanmu?”
“Itu hanya terjadi lima kali saja. Kemudian kami berpisah, karena temanku itu pindah ke Kalimantan. Sejak saat itu aku tak pernah menyentuh strapon lagi.”
Lalju kataku, “Jadi kalau aku menyetubuhi kamu di hotel nanti, berarti…”
“… Berarti untuk pertama kalinya memekku dientot oleh kontol yang sebenarnya. Untuk pertama kalinya aku disetubuhi oleh cowok, “potong Donna.
Kubelai rambut Donna sambil berkata lembut, “Aku akan ikut bertanggung jawab pada masa depanmu, Sayang.”
“Terima kasih Donny. Pantesan ada yang menjodohkan saudara kembar yang berlainan jenis kelamin ya. Aku aja sekarang merasa seperti sedang bersama kekasih tercinta. Bukan seperti sedang bersama saudara.”
“Perasaanku juga seperti itu. Soalnya hampir duapuluh tahun kita dipisahkan, sekalinya ketemu seperti bukan dengan saudara. Bahkan dengan Bunda pun seperti itu.”
“Ohya… tadi dengan Bunda kesepakatannya gimana?”
“Bunda bersedia menghentikan kebiasaan minumnya kalau aku mmenggaulinya dua hari sekali. Tapi semua ini harus dirahasiakan Donna. Jangan sampai orang luar tau.”
“Ya iyalah. Rahasia ibu kandung kita kan rahasia kita juga. Tapi kalau Bunda minta jatah dua hari sekali, berarti kamu harus stay di sini dong.”
“Bisa aja sih. Makanya tanah di sebelah rumah itu mau kubeli. Lalu nanti akan kubangun rumah yang layak. Minimal tiap kamar harus ada kamar mandinya masing – masing. Harus ada AC, kulkas, mesin cuci dan aaaah… banyak lagi yang harus dipasang di rumah baru itu nanti. Ohya… kamu tau pemborong bangunan yang tinggal di kota ini?
“Tau. Pemborong bangunan yang biasa dipakai oleh bossku.”
“Baguslah kalau begitu. Nanti kalau tanahnya sudah kubeli, tolong panggilkan pemborong itu ya.”
“Siap Boss,” sahut Donna sambil tersenyum. Sementara aku yang sejak tadi memperhatikan cara Donna menyetir mobil, hasilnya memuaskan. Cara mengemudikannya cukup halus. Sehingga aku merasa nyaman disopiri oleh saudara kembarku itu.
Tak lama kemudian sedan merah metalic itu Donna belokkan ke halaman sebuah hotel yang letaknya belasan kilometer di luar kota.
Memang nyaman posisi hotel itu. Berada di antara kebun buah – buahan dan hutan pinus, dengan pemandangan indah di sekitarnya. Hawanya pun sejuk sekali, sehingga tanpa AC pun takkan merasa kepanasan.
Tapi kamar yang kami dapatkan di lantai lima, tetap aja memakai AC. Mungkin untuk zaman sekarang ini AC sudah menjadi kebutuhan umum, di mana pun letaknya. Baik di daerah dingin apalagi di daerah panas.
Begitu masuk ke kamar di lantai lima ini, Donna langsung berdiri terpaku di belakang dinding kaca dengan view hutan pinus berbukit – bukit. Aku pun mendekap pinggangnya dari belakang. “Indah sekali pemandangannya ya,” sahutku sambil menciumi tengkuknya.
“Iya…” sahut Donna hampir tak terdengar.
Tapi lebih indah lagi perasaanku saat ini… karena sedang bersama cewek cantik yang akan segera kumiliki…”
Donna memutar badannya jadi berhadapan denganku. Lalu merengkuh leherku ke dalam pelukannya. “Kamu juga tampan sekali Don…” ucapnya, yang dilanjutkan dengan ciuman mesranya di bibirku.
“Terus perasaanmu padaku saat ini bagaimana?”
“Semalaman aku memikirkan soal itu. Sampai akhirnya aku mengambil kesimpulan tenjtang perasaanku sendiri. Aku mencintaimu Don. Cinta seorang cewek kepada cowok idamannya. Bukan seperti cinta kepada saudara.”
“Aneh ya. Perasaanku juga begitu. Tapi bagaimana dengan Bunda? Apakah kamu takkan merasa cemburu kalau kamu tau aku sedang menggauli Bunda?”
“Kalau kamu dengan perempuan lain, pasti aku cemburu. Tapi kalau dengan Bunda lain lagi masalahnya. Kita kan sama – sama menyayangi Bunda. Jadi biarlah kamu dijadikan obat baginya. Obat kerinduannya kepada Ayah sekaligus obat untuk menghentikan kebiasaan minumnya. Aku malah berharap, semoga Bunda benar – benar bisa menghentikan kebiasaan yang membahayakan dirinya sendiri itu.
Aku tidak menanggapi ucapan saudara kembarku itu. Aku bahkan mendesaknya ke pinggiran bed, sampai ia menelentang dan terhimpit olehku. Di situlah kuciumi bibirnya sepuasku. Di situlah kami saling lumat dan tukaran air liur tanpa merasa jijik sedikit pun.
Dan setelah ciuman kami terlepas, Donna mendorong dadaku sambil berkata, “Aku mau lepasin gaun dulu. Biar jangan kusut nanti.”
Kemudian ia turun dan berdiri dekat bed sambil berusaha melepaskan kancing gaun yang berada di tengkuknya. Aku punturun untuk membantu melepaskan kancing yang berada di bagian tengkuk Dona. Begitu kancing terlepas, gaun itu langsung jatuh ke lantai. Kubantu juga mengambil gaun itu dan menggantungkannya di kapstok.
Di dekat kapstok itu kulepaskan celana denim dan baju kaus hitamku. Kemudian sepatu dan kaus kaki pun kulepaskan. Setelah tinggal celana dalam yang masih melekat di badanku, kuhampiri Donna kembali, yang tinggal mengenakan bra dan celana dalam dan duduk di pinggiran bed sambil melayangkan tatapan teduh serta senyum manisnya padaku.
Aku pun memegang kancing beha yang berada di punggungnya sambil berkata, “Behanya lepasin ya. Biar tidak menutupi pandangan.”
Donna cuma tersenyum dan tidak menjawab sepatah kata pun. Setelah beha itu ditanggalkan, aku termangu menyaksikan indahnya payudara saudara kembarku itu. Tidak terlalu kecil, namun juga tidak terlalu besar. Yang membuatku terpesona adalah sepasang pentilnya itu… masih mengacung ke depan. Dan ketika tanganku menyentuh payudara berukuran sedang itu, terasa masih sangat padat dan kenyal.
Lalu kudorong dada Donna sampai celentang kembali di atas bed berkain seprai putih bersih itu. Kemudian dengan sepenuh gairah kuemut puting payudara kirinya, sementara tangan kiriku meremas payudara kanannya dengan lembut sekali, karena takut merusak payudara yang masih begini padat dan kencangnya.
Donna diam saja kuperlakukan seperti ini. Namun suhu badannya terasa mulai menghangat, sebagai pertanda sudah mulai horny. Aku pun melorot turun. Menjilati pusar perutnya sambil menurunkancelana dalamnya sedikit demi sedikit.
Setelah celana dalam itu kulepaskan, lagi – lagi aku terlongong menyaksikan betapa indahnya bentuk bagian yang di bawah perut Donna itu. Sebentuk kemaluan perempuan yang begitu putih dan mulusnya, serta jelas sekali garis – garisnya. Garis lipatan dengan kedua pangkal pahanya dan garis lurus dari atas ke bawah, yang menyembunyikan bagian dalam memeknya.
Dalam keadaan telanjang bulat seperti itu, bentuk tubuh Donna pun semakin jelas di mataku. Tinggi langsing tapi tidak kurus, sementara kulitnya putih mulus… mulus sekali, tiada noda sebesar semut pun. Dan yang paling mengagumkan, tuibuh Donna itu agak mengkilap, pertanda padatnya tubuh saudara kembarku ini.
Dan kini pandanganku terpusat ke memek tembemnya. Memek yang bibir luarnya mulai kungangakan selebar mungkin, sehingga bagian yang berwarna pink itu mulai kelihatan jelas.
Donna terdiam pasrah. Tapi begitu lidahku mendarat di bagian yang berwarna pink itu, terasa tubuhnya mengejut sedikit. Namun setelah lidahku mulai menari – nari di permukaan berwarna pink itu, Donna cuma mengelus – elus rambutku yang berada di bawah perutnya. Terkadang kudengar desahannya juga.
Namun ketika mulutku mulai terpusat di permukaan kelentitnya, Donna mulai menggeliat – geliat sambil meremas – remas rambutku. Lidahku menjilati kelentitnya yang sesekali kusedot – sedot juga. Dan Donna semakin klepek – klepek setelah jari tengah kananku mulai ikut campur. Menyelundup ke dalam celah memeknya, lalu kumaju – mundurkan seperti gerakan penis sedang mengentot liang vagina, sementara mulutku mulai mengisap – isap kelentitnya dengan agak kuat…
Dalam tempo singkat saja terasa liang memeknya mulai membasah… makin lama makin basah… sehingga akhirnya kulepaskan celana dalamku. Lalu kuletakkan moncong penisku di ambang mulut memek Donna, sambil mendorong kedua pahanya agar direnggangkan selebar mungkin.
Setelah semuanya sudah pada posisinya, termasuk posisi moncong penisku yang sudah berada di ambang mulut vagina Donna, aku pun mendorong penis ngacengku sekuat tenaga.
Tapi “tembakanku” meleset. Penisku malah membelok ke bawah, ke arah kasur. Namun aku takkan pernah menyerah dalam hal yang satu ini. Lewat “perjuangan” yang gigih, akhirnya penisku menyeruduk masuk ke dalam liang memek Dona.
Blesssssssss…!
Masuk kurang dari separohnya…!
Sungguh tak kuduga kalau memek Donna masih sangat fresh, laksana memek perawan saja*(tapi saat itu aku belum pernah merasakan memek perawan).*
Lalu aku mulai mengayun penisku perlahan – lahan, dalam jarak pendek – pendek dulu, karena penisku belum dalam benar membenamnya.
Donna menyambutku dengan dekapan erat di pinggangku, disusul dengan bisikan, “Aku semakin mencintaimu Donny Sayaaang…”
Sebagai jawaban, kukepit sepasang pipi Donna dengan sepasang telapak tanganku. Lalu kuciumi bibir dan puncak hidung mancungnya. “Perasaanku juga sama, Sayang,” sahutku yang masih perlahan menggerakkan penisku.
Namun sesaat kemudian penisku mulai lancar bermaju – mundur di dalam liang memek Donna yang sangat sempit tapi mulai licin ini.
Donna pun mulai merintih – rintih histeris tapi erotis, “Dooon… oooooh… Dooon… oooooh… ternyata kontolmu enak sekali Dooon… ooooh… ooooh… Doooon… entot terus Dooon… ini luar biasa enaknya…”
Penisku jadi seperti gerakan pompa manual. Masuk – keluar – masuk – keluar – masuk – keluar – masuuuuk – keluaaaar – dan begitu seterusnya.
Pada saat enaka – enaknya mengentot liang memek saudara kembarku ini, kata – kata ibu angkatku terngiang lagi di telingaku. Bahwa seorang lelaki harus bisa memuaskan pasangan seksualnya dengan cara apa pun. Termasuk dengan menyentuh titik – titik sensitif di tubuh perempuan.
Dan aku sudah hafal benar soal yang satu itu. Maka ketika aku sedang asyik – asyiknya mengentot memek Donna, kujilati lehernya disertai dengan gigitan – gigitan kecil. Di saat lain kuemut pentil toketnya yang satu, sementara tanganku meremas toket yang satu lagi. Bahkan pada suatu saat aku gencar menggenjot batang kemaluanku sambil menjilati ketiak Donna yang kiri, kemudian kujilati ketiak Donna yang kanan, juga disertai dengan gigitan – gigitan kecil.
Maka Donna pun tampak sangat menikmati aksiku yang “lengkap” ini.
Rintihan dan rengekan manjanya pun berkumandang lagi di kamar hotel yang terletak di lantai lima ini.
“Dooonny… oooo… ooooh Dooonny… makin lama makin enak saja rasanya Dooon… oooooh… gak mnyangka aku akan merasakan semuanya ini darimu Dooon… aku semakin cinta padamu Dooon… cintaaaaa… aku cintaaaa kamuuu… !”
Di saat lain ia mengerang dengan mata terpejam – pejam, “Dooon… entot terus Dooon… ooooh… entotanmu ini… bikin aku gila padamu Dooon… ayo cintaaaa… entot aku sepuasmu, Cintaaaaa… entooooooot terusssss cintaaaaaaa… entoooottt cintaaaaa… ooooohhhh… enoooot ciiintaaaa… entoooooootttt!
Memang diam – diam aku sudah sangat mencintai Donna. Sehingga setiap gesekan antara fisikku dengan fisik Donna, terasa sangat nikmaaaaat…!
Sementara itu keringatku sudah bercucuran. Sebagian berjatuhan di kain seprai, sebagian berjatuhan di dada, leher dan wajah Donna. Sehingga kadang – kadang Donna memejamkan matanya erat – erat, karena ada keringatku yang menetes ke matanya.
Sementara aku masih sangat asyik mengentot Donna sambil mendaratkan mulutku di lehernya, di ketiaknya dan terutama di pentil toketnya. Terkadang kusedot pentil toket Donna sekuatnya, sehingga begitu sedotanku dilepaskan, pentil toket Donna semakin mancung saja.
Namun pada suatu saat Donna berkelojotan sambil berkata terengah, “Aku… aku mau lepas Dooon…”
Spontan kusahut, “Ayo… barengin… !”
Lalu kupacu ayunan penisku seolah pelari marathon yang sudah dekat dengan garis finish. Entotanku semakin gencar, semakin kencang dan… akhirnya terasa liang memek Donna berkedut – kedut kencang. Pada saat yang sama kubenamkan penisku sedalam mungkin. Lalu kubiarkan menancap di dalam liang senggama Donna, tanpa kugerakkan lagi.
Disusul dengan berlompatannya air mani dari moncong penisku, menembak – nembak dasar liang memek saudara kembarku.
Kami sama – sama mengelojot, lalu sama – sama terdampar di pantai kepuasan.
Setewlah mencium bibir dan sepasang pipi Donna, kucabut penisku daei jepitan liang kemaluan saudara kembarku. Lalu turun dari bed.
“Mau ke mana?” tanya Donna dengan nada yang seolah takut kutinggalkan.
“Mau kencing.”
“Ikuuut… aku juga mau pipis.”
“Ayo, “aku mengangguk sambil tersenyum, “sekalian pengen lihat seperti apa bentuk memekmu pada waktu sedang kencing.”
“Aaah… kamu… !” Donna mencubit pinggangku. Lalu mengikuti langkahku ke dalam kamar mandi.
“Heheheee… aku mau kencing di kloset ini. Mana bisa kamu liat memekku qwaktu kencing?” ucap Donna sambil duduk di kloset duduk. Lalu terdengar suara air memancar dari memek saudara kembarku… werrrr …
Aku malah terkesiap. Dan teringat lagi kata – kata Bunda tadi pagi. Tentang adik bungsu Bunda yang bernama Reni itu.
Betapa tidak… aku masih ingat semuanya, tentang sosok perempuan cantik bernama Reni itu.
Tentu saja aku masih ingat semuanya. Bahwa di sore menjelang malam itu aku sedang nafsu terus. Sayangnya Papa sedang berada di Bangkok. Sehingga aku tidak bisa mengajak Mama bersetubuh. Tapi penisku ngaceng terus. Lalu otakku berputar – putar mencari jalan.
Akhirnya pilihanku jatuh kepada Mbak Reni, juru masak yang berkulit putih bersih dan berparas cantik itu.
Ketika melihat Mbak Reni sendirian di kitchen, aku memberikan lima lembar uang pecahan 1000 THB (Thailand Baht). (Saat itu kurs 1 baht sama dengan 460 rupiah. Jadi 5000 baht sama dengan Rp. 2.300.000.-).
“Buat apa uang ini Den?” tanya Mbak Reni.
“Buat Mbak. Anggap aja bonus dariku.”
“Oh… terima kasih Den.”
“Tapi nanti masuk ke kamarku, ya Mbak.”
“Mau ngapain Den?”
“Cuma mau ngajak ngobrol. Ada yang mau kubicarakan, penting sekali.”
“Iya Den.”
“Tapi jangan kelihatan orang lain ya. Masuk aja diam – diam ke dalam kamarku. Pintunya takkan kukunci.”
“Iya Den. Sekarang saya mau mandi dulu. Sehabis mandi nanti saya ke kamar Den Donny.”
“Iya, aku tunggu di kamarku ya Mbak.”
“Iya Den.”
Lalu aku masuk ke dalam kamarku dan menyiapkan uang 10.000 baht lagi, yang kumasukkan ke dalam amplop. Uang ini baru akan kuberikan kalau Mbak Reni bersedia kusetubuhi. Kalau tidak mau, ya sudah… dia hanya mendapatkan 5000 baht itu saja.
Amplop berisi uang itu kusimpan di dalam laci meja tulisku, lalu menunggu masuknya Mbak Reni yang sekarang sedang mandi dulu.
Seperti biasa, kalau sudah malam aku selalu mengenakan baju dan celana piyama. Terkadang juga suka mengenakan kimpono pria.
Sejam kemudian, pintu kamarku dibuka dari luar. Tampak Mbak Reni dalam dasternya yang berwarna hijau pucuk daun polos, masuk ke dalam kamarku. Kemudian menutupkan kembali pintu itu.
Menurutku Mbak Reni adalah pegawai yang tercantik di rumah besar ini. Makanya pilihanku jatuh padanya.
“Ada apa Den nyuruh saya ke sini?” tanya Mbak Reni setelah kusuruh duduk di sofa dekat bedku.
“Ini Mbak,” sahutku sambil menurunkan celana piyamaku dan menyembulkan penisku yang sedang ngaceng, “Kontolku ini ngaceng terus Mbak… apa Mbak bisa bantu aku supaya nggak ngaceng lagi?”
“Den…! “seru Mbak Reni perlahan, “Ti… titit Den Donny gede banget… !”
“Eeee… pertanyaanku bukan gede kecilnya kontolku. Pertanyaanku bagaimana caranya supaya kontolku ini bisa lemas lagi?”
“Ber… berarti Den Donny harus menyetubuhi saya sampai ngecrot. Kalau sudah ngecrot pasti nggak ngaceng lagi.”
“Nah maksudku juga begitu.”
“Tapi saya kan punya suami Den. Kalau Lili, Mita dan Nora masih lajang tuh.”
“Iiiih… gak mau. Makanya aku milih Mbak Reni tau gak?” tanyaku sambil duduk di samping Mbak Reni.
“Emangnya kenapa memilih saya Den?”
“Karena Mbak Reni paling cantik di antara semua perempuan yang bekerja di rumah ini.”
“Terima kasih. Tapi saya punya suami Den. Saya belum pernah selingkuh.”
“Suami Mbak Reni kerja di Arab kan?”
“Iya. Dia jadi TKI di Arab, saya jadi TKW di sini.”
“Berarti takkan ketahuan juga sama suami Mbak. Dari Arab ke Bangkok kan sangat jauh Mbak.”
Mbak Reni tertunduk membisu. Entah sedang berpikir entah akan menolak.
Maka kupegang bahu perempuan 25 tahunan itu sambil berkata, “Pokoknya kalau Mbak kabulkan permintaanku, pasti aku akan menyayangi Mbak nanti.”
Dia masih tetap membisu. Aku pun jadi tak sabaran. Maka kuselusupkan tangan kiriku ke balik daster bagian dadanya, sampai menyentuh payudaranya yang terasa kenyal dan hangat. Rupanya dia seperti Mama, kalau sudah malam tidak suka mengenakan beha. Sehingga tangan kiriku bisa lanbgsung memegang payudaranya.
Ternyata dia tidak meronta. Bahkan berkata setengah berbisik, “Jangan sampai orang – orang tau nanti, ya Den.”
“Iya dong. Aku kan nggak pernah ngomong kalau gak ada yang penting – penting amat sih,” sahutku sambil merayapkan tangan kananku ke paha Mbak Reni di balik dasternya. Merayap terus sampai ke pangkalnya, sampai menyentuh celana dalamnya. Sementara tangan kiriku mulai meremas – remas payudara di balik dasternya juga.
Tiba – tiba Mbak Reni mencium bibirku dengan hangatnya. Pada saat yang sama aku sudah menyentuh kemaluannya yang ternyata bersih dari jembut alias plontos.
Ketika aku mulai menyelundupkan jari tengahku ke dalam celah memeknya, ciuman Mbak Reni pun semakin ketat, seolah tak mau melepaskan lagi bibirku.
Kemudian terdengar bisikannya, “Den… kalau sudah dibeginiin saya suka langsung horny… ayo Den… masukin aja tititnya ke memek saya…”
Aku mengangguk sambil melepaskan kedua tanganku dari daster jurumasak cantik itu. Kemudian kukuncikan dulu pintu kamarku dan meraih pergelangan tangan Mbak Reni agar naik ke atas bed. Di situlah Mbak Reni menanggalkan dasternya tanpa kuminta. Sementara aku pun melepaskan baju dan celana piyamaku. Dia pun melepaskan celana dalamnya, sehingga kami berdua jadi sama – sama telanjang bulat.
Dengan segenap gairah muda aku merayap ke atas perut Mbak Reni. Dan ketika wajahku berada di atas wajah cantiknya, Mbak Reni merengkuh leherku ke dalam pelukannya. Lalu kupagut bibir sensualnya yang tipis merekah itu.
Dalam keadaan sama – sama telanjang bulat begini, ketika dadaku menghimpit dadanya, dengan sendirinya batang kemaluanku bertempelan dengan memek Mbak Reni. Mungkin hal inilah yang membuatnya semakin bernafsu untuk merasakan kejantananku.
Bahkan pada suatu saat ia merenggangkan kedua pahanya sambil memegangi leher penisku. Dan mencolek – colekkan moncong penisku ke mulut vaginanya yang mulai membasah. Sampai pada suatu saat, ia membisiki telingaku, “Silakan dorong tititnya Den.”
Aku pun mengikuti bisikannya. Kudorong penisku sekuatnya, sementara dua jari tangan Mbak Reni tetap mengepit batang kemaluanku. Mungkin agar arahnya tidak salah.
Lalu… perlahan – lahan penisku mulai melesak ke dalam liang memek Mbak Reni.
“Oooooh… masuk Deeen… do… dorong terus… Deeen…”
Sebenarnya tanpa dikasih instruksi pun aku sudah tahu apa yang harus kulakukan. Karena Mama sudah mengajarkan segalanya dalam soal sex.
Namun ada sesuatu yang membuatku kagum kepada Mbak Reni ini. Bahwa selain wajahnya cantik, liang memeknya ini… sempit sekali…!
Sehingga aku harus bersabar. Setelah penisku masuk lebih dari setengahnya, aku mulai mengayun tongkat kejantananku ini dengan gerakan perlahan dan pendek – pendek. Dengan hati – hati sekali, karena takut terlepas lagi dari liang sempit dan hangat ini.
Namun makin lama gerakan penisku makin lancar, karena liang memek Mbak Reni makin lama makin licin dan basah. Dengan sendirinya aku semakin enjoy mengentotnya.
Tapi pada suatu saat Mbak Reni berbisik terengah di dekat telingaku, “Nanti jangan dilepasin di dalam, ya Den.”
“Terus, harus dilepasin di mana?” tanyaku sambil menghentikan entotanku sejenak.
“Di dalam mulut saya aja. Biar saya telan sperma Den Donny semuanya.”
“Bakal ditelan semua? Gak jijik?”
“Nggak Den. Demi cinta saya kepada Den Donny.”
“Ohya?! Mbak mencintaiku?”
“Sejak awal melihat Den Donny, hati saya sudah jatuh hati. Tapi saya tau diri, tau siapa saya dan siapa Den Donny.”
Aku terharu mendengar ucapan Mbak Reni itu. Lalu kucium bibirnya, disusul dengan ucapan, “Aku pun menaruh hati kepada Mbak. Hanya saja aku tak berani memperlihatkan perasaanku di depan orang banyhak. Takut dimarahi oleh Papa dan Mama. Tapi percayalah Mbak… aku akan memnyayangi Mbak sampai kapan pun.
“Kecuali apa Den?”
“Kecuali kalau aku sudah berdiri sendiri.”
“Terima kasih Den. Mulai saat ini Den Donny akan saya anggap sebagai suami saya sendiri. Dan saya akan setia kepada Den Donny.”
“Terus, suami Mbak mau diapain?”
“Saya mendengar dari teman yang kerja di Arab dan kenal dengan suami saya. Teman saya itu kirim laporan… bahwa suami saya sudah kawin lagi dengan TKW asal Indonesia juga. Karena itu saya akan minta cerai saja. Biarlah saya menjadi milik Den Donny saja, meski sulit untuk menjadi istri Den Donny secara resmi.
“Kalau kawinnya di Indonesia, mungkin tuntutan cerainya harus diurus di Indonesia juga.”
“Iya Den. Nanti kalau saya dapat cuti, saya akan urus semuanya di Indonesia.”
Aku mengangguk perlahan. Lalu melanjutkan aksiku di atas perut Mbak Reni. Memaju -mundurkan penisku kembali, laksana gerakan pompa manual.
Mbak Reni pun mjulai merintih – rintih perlahan, setengah berbisik. “Den… ini luar biasa enaknya Deeen… saya semakin mencintai Den Donny… ooooh Deeen… genjot terus Deeen… nikmat sekali… oooooh… oooooh… oooo… ooooooohhhhhhh…”
“Memek Mbak juga… luar biasa sempitnya, kayak memek gadis aja…” sahutku tanpa menghentikan entotanku.
“Sa… saya kan belum pernah hamil dan melahirkan Den…
“Nanti hamil dariku aja ya Mbak…”
“Lalu… saya mau tinggal di mana?”
“Tenang aja. Nanti aku yang akan menanggungnya semua…”
“Iya Deeen… ooooohhhhh… kayaknya saya udah mau lepas Deeen… titit Den Donny terlalu enak sih Deeen…”
Dengan Mama, aku terbiasa untuk melepasnya bareng – bareng. Karena itu yang paling nikmat, katanya. Makanya begitu mendengar Mbak Reni sudah mau lepas, aku pun mempercepat gerakan penisku… makin lama makin cepat… sampai akhirnya kami ambruk bersama. Bahwa pada saat Mbak Reni mencapai orgasmenya, penisku pun tengah memuntahkan air maniku.
Croooot… crotcrot… croooootttt… cret… croooooottttt… crooooooootttt…!
“Kok jadinya dilepasin di dalam Den?” tanya Mbak Reni setelah menyadari bahwa aku ngecrot di dalam memeknya.
“Kan biar bisa hamil.”
Mbak Reni mencolek hidungku sambil berdesis, “Nakal… tapi biarin deh. Semoga aja saya benar – benar hamil.”
Tapi dalam kenyataannya Mbak Reni tidak hamil – hamil juga. Padahal sejak peristiwa indah itu kami sering melakukannya di hari – hari berikutnya.
Apalagi setelah Mama meninggal akibat serangan jantung, semakin leluasa pula aku melakukannya dnegan Mbak Reni. Karena Papa lebih sering berada di Singapore, sehingga aku leluasa menyekap Mbak Reni di dalam kamarku.
Dan setelah Papa meninggal ketika sedang dirawat di Bumrungrad International Hospital, juga akibat penyhakit jantung yang dideritanya, aku jadi penguasa muda di rumah megah ini. Karena surat wasiat yang disimpan di notaris Mr. Liauw sudah dibacakan. Dan semua harta benda peninggalan Papa diwariskan padaku.
Aku pun cepat mengambil kebijakan. Bahwa semua pegawai yang bekerja di rumahku, harus tetap bekerja seperti biasa. Begitu pula karyawan dan karyawati yang bekerja di perusahaan peninggalan Papa, tidak kurombak sedikit pun.
Aku pun tetap kuliah di Chulalongkorn University, dengan target harus secepatnya menyelesaikan S1-ku.
Dan ketika aku berada di rumah Bunda ini, sebenarnya kampusku sedang liburan panjang, selama sebulan.
Tiba – tiba pintu kamar mandi dibuka. Donna berdiri di ambang pintu itu sambil menegurku, “Kok lama sekali di kamar mandinya?”
Kehadiran Donna membuyarkan terawanganku tentang Mbak Reni. Ya… Mbak Reni yang ternyata adik kandung Bunda dan harus kupanggil Tante itu.
“Barusan e’e dulu,” sahutku sambil tersenyum.
“Kirain pingsan,” ucap Donna sambil mencolek hidungku.
“Kok sudah pakai gaun lagi? Udah mau pulang?” tanyaku sambil memp[erhatikan Donna yang sudah berpakaian lengkap lagi.
“Iya,” sahut Donna, “Kan kamu harus nyediain energi buat gaulin Bunda. Biar dia jangan mabok lagi.”
Mendengar ucapan Donna itu aku jadi terharu. Lalu kucium bibirnya disusul dengan bisikan, “Kamu bukan cuma cantik, tapi juga bijaksana. Kita memang harus berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan kebiasaan Bunda minum minuman keras.”
Beberapa saat kemudian, Donna sudah berada di belakang setir mobilnya lagi, keluar dari area parkir hotel itu.
“Kalau aku hamil nanti biarin aja ya Don,” kata Donna setelah mobilnya berada di atas jalan aspal.
“Iya, biarin aja,” sahutku, “Kalau perutmu mulai membesar, kan bisa kusembunyikan di tempat yang aman.”
“Aku sangat terkesan dengan semua yang telah terjadi di hotel tadi. Dan semakin yakin bahwa aku benar – benar mencintaimu Donny.”
“Sama. Aku juga mencintaimu, Beib,” sahutku sambil mengelus rambut Donna yang tergerai sebatas bahu.
“Mmmm… untuk pertama kalinya aku dipanggil Beib oleh seorang cowok, “Donna tampak tersenyum sambil mengemudikan mobilnya, “Aku juga mau panggil Honey aja ah sama kamu.”
“Atur – atur aja deh. Yang jelas kita sudah menjadi sepasang kekasih yang saling cinta mencintai.”
“Terima kasih Honey. Sekarang ini aku merasa sangat bahagiaaa…”
Sedan yang Donna kemudikan meluncur terus di atas jalan aspal.
Sampai akhirnya berhenti di depan rumah jadul itu.
Setelah kami turun dari mobil, Donna tertegun sambil memperhatikan sepasang sepatu wanita yang tergeletak di dekat pintu depan. “Ada tamu. Siapa ya?”
Setelah membuka pintu, Donna berseru, “Teh Siska !”
Donna menghambur ke dalam pelukan seorang wanita muda yang cantik, yang usianya kira – kira sebaya dengan Mbak Reni alias Tante Reni.
Wanita yang dipanggil Teh Siska itu cipika – cipiki dengan Donna. Lalu menoleh ke arahku, “Ini Donny?”
“Iya, “aku mengangguk sambil menghampiri wanita muda itu, “Ini Teh Siska?”
Terdengar suara Bunda, “Iya Don. Itu kakak sulungmu… !”
Aku pun spontan mencium tangan Teh Siska, kakak sulungku yang baru kali ini berjumpa denganku.
Teh Siska langsung memeluk dan mencium kedua pipiku. Bahkan entah disengaja atau tidak, ia mencium bibirmku juga, meski cuma sepintas…!
“Donny… Donny… setelah dewasa kamu jadi tampan gini Don !” ucap Teh Siska sambil mengepit sepasang pipiku dengan kedua telapak tangannya. Lalu menciumi dahi, hidung dan… bibirku lagi…!
Apakah di keluargaku sudah terbiasa main cipok bibir begini? Entahlah. Yang jelas, kalau tidak ada Bunda dan Donna, pasti aku sudah “menanggapinya” dengan caraku sendiri.
Tiba – tiba Donna berkata kepada Bunda, “Bun…! Lihat tuh di depan. Aku dapet hadiah mobil dari Donny, Bun.”
“Masa?! “seru Bunda dengan sorot ceria. Lalu beliau melangkah ke depan bersama Donna. Sementara Teh Siska masih mendekapku erat – erat. Bahkan ia berkata setengah berbisik, “Nanti main ke rumahku ya.”
“Iya Teh, “aku mengangguk.
Dan… Teh Siska mencium bibirku lagi. Kali ini aku berani “menanggapinya”, karena Bunda dan Donna sedang berada di luar rumah, untuk memperhatikan sedan yang kuhadiahkan untuk Donna.
Bahkan tak lama kemudian terdengar bunyi mesin sedan Donna dihidupkan dan suara itu menjauh. Mungkin Bunda ingin nyoba numpang di mobil Donna.
Maka saat itu pula aku menanggapi ciuman Teh Siska dengan lumatan, seperti sedang mencium kekasih tercinta.
Dan tampaknya Teh Siska sangat menikmati lumatanku. Dekapannya semakin erat, ciumannya pun semakin nyelepot (lengket dan seperti disedot).
Dan setelah ciuman itu terlepas, Teh Siska meraih tanganku untuk duduk berdampingan di atas sofa jadul yang sudah robek kulitnya di sana – sini.
“Kamu setelah dewasa jadi tampan sekali Don. Kalau bukan saudara, pasti aku jatuh cinta padamu.”
“Teh Siska juga cantik sekali. Dan aku tidak merasa berdekatan dengan saudara, karena baru sekali ini akju melihat Teteh.”
“Terus kamu merasa sedang berdekatan dengan siapa?”
“Hihihi… gak taju juga. Mungkin merasa sedang berdekatan dengan seorang kekasih. Apalagi barusan kita kan ciuman bibir segala.”
“Begitu ya? Mmm… nanti malam ke rumahku ya. Ini alamatnya,” kata Teh Siska sambil mengeluarkan secarik kertas dari tas kecilnya. Lalu menulis alamat rumahnya.
Setelah menyerahkan kertas bertuliskan alamat rumahnya, Teh Siska berkata, “Kalau mau ke rumahku, jangan sama Donna. Pakai taksi aja.”
“Ya,” sahutku sambil memasukkan kertas itu ke dalam dompetku. “Suami Teh Siska kok gak diajak ke sini?”
“Aku gak punya suami Don. Udah bercerai dua tahun yang lalu.”
“Ohya? Punya anak berapa?”
“Cuma seorang. Tapi dibawa oleh mantan suamiku.”
“Berarti Teteh kesepian dong.”
“Iyaaa… makanya nanti malam ke rumahku ya.”
“Mau disuguhin apa?”
“Apa juga yang kamu mau, disuguhin deh. Kamu mau disuguhin apa?”
Aku menjawabnya dnegan bisikan, “Pengen disuguhin yang di bawah perut Teteh.”
Tadinya kupikir bisikanku akan membuat Teh Siska terkejut. Tapi ternyata tidak. Dia malah meremas tanganku sambil menjawab, “Iya… nanti aku kasih. Sampai kamu puas.”
Mendengar jawaban itu aku jadi sangat bersemangat. Lalu kulingkarkan lenganku di leher Teh Siska. Dan kupagut bibir tipis merekahnya ke dalam ciuman dan lumatanku. Teh Siska pun menyambutnya dengan lumatan pula. Bahkan ia lebih lahap melumat bibir dan menyedot lidahku…!
Lalu kami tukaran nomor hape. Dan tak lama kemudian Bunda dan Donna sudah pulang lagi.
“Sedan Donna nyaman sekali ditumpanginya. Serasa diam di tempat saking halusnya,” kata Bunda.
Teh Siska pun keluar dari rumah, untuk melihat sedan Donna yang kata Bunda nyaman sekali itu.
“Memang sedan mahal itu sih. Beruntung kamu punya saudara yang baik hati,” kata Teh Skiska sambil menepuk bahu Donna.
Kemudian Teh Siska pamitan pulang.
Malamnya, aku bilang kepada Bunda bahwa ada teman dari Thailand yang sedang berada di kota ini. Dan aku akan menjumpainya di hotel tempat dia menginap.
“Mau nginap?” tanya Bunda.
“Nggak tau, lihat situasinya aja nanti.”
“Kenapa gak minta dianter aja sama Donna?”
“Nggak usahlah. Soalnya kasian Donna kalau kemalaman pulangnya nanti. Apalagi kalau harus menginap.”
Donna pun mendengarkan pembicaraanku dengan Bunda.
Donna bertanya, “Temannya cewek apa cowok?”
Sahutku, “Cowok lah. Aku gak punya teman cewek di Thailand. Takut cewek hasil transgender. Hihihihiii…”
“Beneran gak mau dianter sama aku?” tanya Donna.
“Nggak usah. Kalau melihat kita bawa mobil, nanti temanku bisa seenaknya minta diantar ke sana ke sini.”
“Iya juga ya. Lagian kalau kalian ngobrol, pasti aku cuma cengo. Apalagi kalau pakai bahasa Thai. Bisa mati kutu aku dengarnya.”
Dalam taksi menuju alamat rumah Teh Siska, aku teringat lagi kepada Mbak Reni alias Tante Reni. Karena itu aku meneleponnya. Lalu terdengar suara wanita muda yang sudah seperti istriku itu :
“Hallo… !”
“Pasti bingung ya?! Ini Donny Mbak.”
“Den Donny?! Oh… pantesan nomornya plus enamdua. Nomor Indonesia ya.”
“Iya Mbak. Gimana sehat – sehat aja?”
“Sehat. Den Donny juga sehat?”
“Sehat Cinta. Tapi seharusnya aku memanggil Tante kepada Mbak.”
“Emangnya saya sudah setua itu sampai harus dipanggil tante segala?”
“Kenal nggak sama wanita bernama Ami yang suaminya bernama Rosadi dan sudah meninggal?”
“Itu kan nama kakak saya Den.”
“Aku ini anak Bu Ami dan almarhum Pak Rosadi. Berarti Mbak ini tanteku kan?”
“Haaa?!”
“Kalau nggak percaya, silakan aja telepon ibuku nanti. Jadi mulai saat ini gak usah manggil aku Den lagi. Panggil namaku aja Tante.”
“Tapi… Pak Margono almarhum dan istrinya almarhumah itu…”
“Ternyata mereka orang tua angkatku Tante. Mereka memang bersahabat dengan Ayah almarhum. Makanya ketika Pak Margono membutuhkan jurumasak, kan ibuku yang mengajukannya kepada almarhum kan?”
“Iya betul itu. Betul sekali.”
“Bunda sengaja merahasiakan asal – usulku kepada Tante. Karena Pak Margono memang melarangnya buka rahasia. Rahasia bahwa sebenarnya aku ini anak Rosadi dan Ami. Bahwa aku ini anak kakak kandung Tante Reni. Sekarang setelah Papa dan Mama tiada, barulah semuanya kini terbuka. Bahkan di dalam surat wasiatnya, Papa mempersilakanku mencari orang tua kandjungku.
“Iya… iya… tapi… hubungan kita gimana seterusnya?”
“Tenang aja Tante. Liburanku hanya sebulan. Setelah berada di Bangkok lagi, nanti kita atur semuanya. Pokoknya Tante Reni harus tetap menjadi milikku.”
“Iya Do… Donny… aku… aku cinta kamu… di dunia ini hanya Donny yang kucintai, Sayang.”
“Jaga diri baik – baik selama aku masih di Indonesia, ya Sayaaaang…”
“Donny juga… jaga diri baik – baik yaaa. Aku terlalu mencintaimu Dooon… Ohya… nanti kutelepon ibumu ya.”
“Silakan. Biar Tante yakin bahwa aku ini keponakan Tante.”
“Hihihiii… jadi malu. Ternyata selama ini aku mencintai keponakanku sendiri. Sudah sangat jauh pula langkah kita…”
“Gak usah mikir ke sana. Yang jelas sejak awal aku berjumpa denganmu, aku sudah terpesona melihat kecantikanmu. Sampai kapan pun aku akan tetap menyayangi Tante Reni.”
Tak lama kemudian taksi yang kutumpangi sudah tiba di depan rumah Teh Siska. Rumah yang bergaya masa kini. Rumah bergaya minimalis yang cukup cantik dan artistik penataan pekarangan depannya.
Tanpa kuketuk pun pintu depan itu langsung dibuka setelah aku berada di teras depan.
Teh Siska yang malam itu mengenakan daster dari bahan wetlook biru tua polos dan ketat, membuat aku semakin menyadari bahwa kakak sulungku itu berperawakan tinggi montok dan berkulit putih bersih seperti kulit Bunda.
“Ayo masuk Don, “sambut Teh Siska sambil memegang pergelangan tanganku dan menuntunku ke dalam rumahnya. Setelah aku berada di ruang tamu, Teh Siska menguncikan pintu depan. Lalu menutupkan semua tirai yang ada di ruang tamu itu.
“Aku bangga punya adik setampan kamu,” ucap Teh Siska ketika aku sudah duduk berdampingan dengannya di atas sofa putih yang lumayan mewah kelihatannya.
“Aku juga bangga punya kakak secantik Teteh. Tapi kita baru berjumpa sekarang setelah sekian lamanya dipisahkan. Sejak masih bayi aku sudah bersama orang tua angkat. Sehingga begitu berjumpa dengan Teh Siska yang sexy abis ini, aku merasa seolah berjumpa dengan orang asing tapi sangat menggiurkan…
“Sama aku juga begitu. Kalau ketemu di jalan sih pasti aku takkan mengenali siapa dirimu. Mungkin aku cuma bisa menelan air liur karena melihat anak muda yang segini tampannya. Dan…” sumber Ngocoks.com
Teh Siska tidak bisa melanjutkan kata – katanya, karena aku sudah memagut bibirnya, lalu mencium dan melumat bibir sensual tipis merekah itu. Teh Siska pun menyambut ciuman dan lumatanku dengan pelukan hangatnya di leherku. Sementara telapak tangan kananku mulai kuletakkan di lututnya. Lalu kuselundupkan ke balik dasternya menuju paha hangatnya yang terasa licin dan hangat.
Kancing – kancing daster yang Teh Siska kenakan berderet di bagian depannya. Pada waktu aku sedang, melumat bibirnya ini, Teh Siska melepaskan kancing – kancing dastern pada bagian dadanya, sehingga payudaranya yang tak berbeha itu mulai nongol. Mulutku pun pindah sasaran. Dari bibir ke pentil toketnya yang nyembul darei belahan daster bagian dadanya.
Sementara tangan kananku sudah berada di pangkal paha kakak sulungku. Lalu kutemukan kenyataan yang sangat menyenangkan. Bahwa ternyata Teh Siska tidak mengenakan celana dalam dan bra di balik dasternya itu. Mungkin semuanya itu sudah disiapkan untuk menyambut kedatangan “Sang Pangeran” dari negeri antah berantah…
Dan jari tangan kananku yang sangat beruntung kini, langsung menyentuh kemaluan kakak sulungku yang ternyata celahnya sudah agak basah dan licin ini. Di situlah jemariku mulai bermain, mencolek – colek dan menyodok -nyodok. Sementara mulutku tetap asyik menyedot – nyedot dan menjilati pentil toketnya yang sudah menegang ini.
Tubuh Teh Siskia pun menghangat. Pertanda sudah horny. Aku pun sama. Penisku yang masih tersembunyi di balik celana demnim dan celana dalamku, sudah sangat ngaceng. Seolah menuntut agar segera dijebloskan ke dalam liang memek yang sedang kupermainkan ini.
Tiba – tiba kulepaskan emutanku dari pentil toket Teh Siska, tangan kananku pun kukeluarkan dari balik dasternya. Kemudian aku bersila di lantai, di antara kedua kaki Teh Siska yang sejak tadi direnggangkan jaraknya. Tampaknya Teh Siska mengerti apa yang akan kulakukan. Ia menyingkapkan dasternya sampai ke perutnya, sehingga aku bisa menyaksikan betapa tembem dan menggiurkannya kemaluan kakak sulungku ini.
Tanpa basa – basi lagi kuserudukkan mulutku ke memek Teh Siska, lalu kujilati mulut vaginanya yang sudah ternganga itu, karena kedua pahanya sudah direntangkan lebar – lebar.
“Ooooh… Dooooon… sudah lama sekali aku tidak merasakan semuanya ini… aku memang membutuhkan sentuhan lelaki Dooon… jilatin itilnya sekalian Doon… biar cepat basah… iyaaaa… itilnya itu jilatin teruuus Dooonny…”
Tapi sesaat kemudian Teh Siska menjauhkan kepalaku dari memeknya, sambil berkata, “Di kamarku aja yuk, biar aman dan nyaman.”
Aku menurut saja, mengikuti langkah Teh Siska ke dalam kamarnya. Keadaan di dalam kamar Teh Siska cukup nyaman. Bed dan perabotan lainnya serba up to date. Mungkin Teh Siska punya penghasilan yang cukup besar sehingga bisa membeli segalanya yang serba kekinian.
Bersambung…