Aku pun bertekad untuk mengupgrade Bunda, agar tinggal di rumah yang layak, perabotannya pun harus serba layak. Bukan sekadar kekinian belaka. Bahkan aku bisa mendatangkan furniture yang serba Made In Thailand nanti dengan mudahnya.
Begitu tiba di dalam mkamarnya, Teh Siska langsung melepaskan dasternya, sehingga tiada sehelai benang pun menutupi tubuhnya kini. Kemudian ia menelentang di atas bed berkain seprai putih bersih itu. Membuatku terlongong, karena tubuh montok berpinggang ramping itu sangat menggiurkan…!
Aku pun melepaskan celana jeans dan baju kausku. Hanya celana dalam yang masih kubiarkan melekat di tempatnya. Lalu naik ke atas bed.
“Kenapa celana dalamnya tidak dilepaskan sekalian?” tanya Teh Siska sambil menurunkan celana dalamku, sampai terlepas dari kedua kakiku.
Dan… Teh Siska memegang kedua belah pipinya sambil berseru, “O my God! Kontolmu gede banget Don…!”
Kepalangan penisku sudah tersembul dan memang sudah ngaceng sejak di ruang tamu tadi, dengan sikap manja seorang adik ke kakaknya, kuangsurkan penisku dan kucolek – colekkan moncongnya ke pipi Teh Siska.
Tapi Teh Siska tidak marah. Ia bahkan tersenyum sambil menangkap penisku. Lalu moncongnya diciumi crupppp… crupppp… crupppph…!
Tak cuma diciumi. Teh Siska bahkan menjilati moncong dan leher penisku. Lalu happpphhh… dikulumnya penisku dengan lahapnya. Kemudian diselomotinya seperti anak kecil sedang menyelomoti permen loli atau es lilin. Sementara bagian yang tidak terkulum diurut – urut oleh tangannya, dilicinkan oleh air liurnya yang mengalir ke badan penisku …
Lama juga Teh Siska menyelomorti penisku, sampai akhirnya ia melepaskannya dari mulutnya sambil berkata, “Gila… sampai terasa sesak di mulutku juga… ayo masukin aja ke memekku Don …”
Kemudian Teh Siska menelentang dengan kedua kaki mengangkang, sambil mengusap – usap memek botak licinnya, dengan senyum yang sangat mengundang.
Dengan sepenuh gairah aku pun merayap ke atas perutnya sambil memegangi penis ngacengku, yang moncongnya kuletakkan tepat di mulut memek yang menganga dan berwarna pink itu.
Dengan sekali dorong sekuatnya, penisku mulai melesak masuk ke dalam memek tembem itu… blessssss…!
Teh Siska pun meraih kedua bahuku sehingga dadaku terhempas ke sepasang toket gedenya. “Kamu satu – satunya adikku yang cowok. Ternyata kontolmu segini gedenya… beruntung istrimu kelak… bisa dientot sama kontol yang sangat gede dan panjang gini. Beruntung juga aku ngajak kamu ke sini tadi… ayo mainkan kontolmu Don…
Aku pun mulai mengayun penisku di dalam liang memek Teh Siska yang sudah basah licin dan hangat ini. Maklum tadi sudah kujilati dan kualiri air liurku.
Dalam tempo singkat entotanku mulai lancar, diiringi desahan dan rintihan kakak sulung yang baru tadi sore kukenal wajahnya ini. “Doooon… oooo… oooooooh dooon… gilaaaaa… sekalinya dapet kontol segini panjang gedenya… enak banget Dooon… yang luar biasa, panjangnya kontolmu ini, sampai terus – terusan mentok di dasar liang memekku…
Naaaaah… naaaaah… ini nikmat sekali Dooon… entot sampai ke dasarnya terussss Dooon… naaaaah… naaaaah… ooooo… oooooh… nikmat sekali Donny… entooooottttt sampai ke dasarnya lagi… naaaah… oooooooh… luar biasa enaknya Dooon… ooooh… entot terus Dooon… entoooot terusss…
Aku memang merasakannya juga. Bahwa moncong penisku selalu menyundul dasar liang memek Teh Siska pada saat sedang kudorong. Dan hal itu rupanya membuat kakak sulungku keenakan.
Dan saking enaknya, tak lama kemudian Teh Siska klepek – klepek seperti mau orgasme. Tapi aku masih asyik – asyiknya mengayun batang kemaluanku.
Lagian waktu aku menyetrubuhi kakak sulungku ini, merupakan persetubuhan yang ketiga buatku. Tadi pagi menyetubuhi Bunda, tadi siang menyetubuhi Donna dan kini menyetubuhi Teh Siska. Maka dengan sendirinya durasi ngentotku jadi lebih lama dari biasanya.
Teh Siska memang mulai berkelojotan… lalu mengejang tegang sambil menahan nafasnya. Dan… “Aaaaaaaaahhhhh… aku udah lepas Dooon…”
Teh Siska mengelojot lagi, lalu terhempas lemas.
Aku sudah sering merasakan hal yang seperti ini, baik dengan Mama mau pun dengan Tante Reni. Karena itu kudiamkan dulu penisku di dalam liang memek Teh Siska, sambil memperhatikan aura kecantikan kakak sulungku ini. Memang Teh Siska tidak kalah cantik dari Donna. Bentuk tubuhnya pun berbeda dengan tubuh Donna.
Mereka punya kelebihan masing – masing yang sulit mengatakannya. Barangkali kalu kuambil kesimpulan, Donna itu laksana princess yang cantik jelita, sementara Teh Siska itu sexy habis. Dan aku sangat tergiur oleh keseksian kakak sulungku ini.
Lalu kenapa Teh Siska bisa bercerai dengan suaminya? Entahlah.
Yang jelas, setelah Teh Siska tampak bergairah lagi, aku pun mengayun batang kemaluanku kembali. Liang memek Teh Siska jadi terasa becek, pasti karena baru mengalami orgasme. Tapi aku justru suka mengentot memek yang baru orgasme begini. Karena aku merasa tak punya beban, karena pasangan seksualku sudah mencapai kepuasannya.
Karena liang memek TGeh Siska sudah becek, dengan sendirinya batang kemaluanku sangat lancar mengentotnya. Moncong penisku pun terus – terusan ”menabrak” dasar liang memek Teh Siska.
Dan… bokong gede itu pun mulai bergoyang – goyang erotis, mungkin untuk mengimbangi genjotan penisku yang mulai gencar dan keras ini. Aku pun tak mau kalah. Ketika sedang asyik – asyiknya mengentot liang memek Teh Siska yang mulai terasa sempit lagi ini (tidak becek lagi), aku pun mulai menyedot – nyedot dan menjilati pentil toket gedenya.
Oooo… betapa nikmartnya menyetubuhi kakak sulungku yang tinggi montok ini…!
Terlebih setelah merasakan nikmatnya goyanjgan bokong gede Teh Siska, yang membuat penisku terbawa meliuk – liuk dan menghempas – hempas. Yang membuat penisku laksana dibesot – besot dan diremas – remas oleh liang memek kakak sulungku ini.
Tak salah kalau orang menyebut hubungan sex itu laksana surga dunia indah dan nikmatnya.
Prtarungan penisku dengan liang memek Teh Siska makin lama makin seru. Bokong gedenya sudah digoyang meliuk – liuk, memutar – mutar dan menghempas – hempas dengan lincahnya, namun penisku masih sangat tangguh menghadapinya. Bahkan untuk kedua kalinya Teh Siska mengelojot dan mengejang lagi, lalu terdengar desahannya, “Aaaaaaaahhhhh…
Ucapan itu dilanjutkan dengan ciuman hangatnya di bibirku. Mungkin sebagai tanda terimakasihnya karena telah kubuat puas batinnya.
Namun aku masih belum apa – apa. Kuayun lagi penisku yang masih sangat tangguh ini, setelah melihat Teh Siska sudah pulih lagi semangatnya.
“Tukar posisi yuk,” ucapnya pada suatu saat.
“Boleh. Mau posisi gimana?”
“Doggy aja,” sahut Teh Siska sambil tersenyum.
Kuikuti saja apa yang diinginkannya. Ketika dia sudah merangkak sambil menunggingkan bokong gedenya tinggi – tinggi, aku pun berlutut sambil mengarahkan penisku ke arah memeknya yang tampak sepenuhnya dari arah belakang ini. Lalu kudorong dan masuk dengan mudahnya ke dalam liang memek Teh Siska yang sudah becek lagi untuk kedua kalinya ini.
Iseng – iseng kutampar buah pantatnya yang kanan dan yang kiri, plak… plaaakkk! Lalu berkomentar, “Bokong Teteh gede banget. Jadi pengen gigit saking gemesnya.”
Teh Siska menyahut, “Gigit aja kalau bisa sih, hihihi…”
“Nggak ah. Nggak tega nyakitin kakak kandungku sendiri.”
“Tapi kalau ditampar – tampar kayak barusan boleh juga tuh Don. Aku seneng kok dientot sambil ditamparin pantat sampai merah sekali… sampai seperti bekas kerokan… ayo cobain sekarang… entot sambil tamparin pantatku sampai merah kebiru – biruan… ayooo… mau direndem terus kontolmu?”
Aku tersenyum sambil mulai mengayun batang kemaluanku, bermaju – mundur di dalam liang memek Teh Siska yang becek ini. Lalu sambil berlutut dan mengentotnya ini, aku mengikuti permintaan kakakku barusan. Bahwa aku harus menampar – nampar buah pantatnya sampai merah kebiru – biruan seperti bekas kerokan.
Maka mulailah aku mengentotnya sambil menampar – nampar sepasang buah pantatnya… plaaaak… plaaaaaak… plaaaaak… plaaaaaaak…!
Rasanya aku sudah cukup kuat menampar – nampar buah pantat Teh Siska yang gede dan padat kencang ini. Tapi ternyata Teh Siska complain, “Kurang kuat Don… jangan ragu gitu… anggap aja kamu sedang menempelengin musuhmu… !”
Mendengar protes kakak sulungku itu aku pun mulai mengemplangi sepasang buah pantat Teh Siska dengan sekuat tenaga.
“Nah gitu… tamparin terus sekuat tenaga Dooon… enak tuh…”
Aku heran, karena baru sekali ini menyetubuhi perempuan yang ingin sambil ditempelengin pantatnya begini. Tapi aku pernah membaca di sebuah majalah internasional, tentang wanita yang senang disakiti pada waktu disetubuhi. Ada yang ingin dientot sambil dicupang lehernya, ada yang ingin diremas toketnya sekuat tenaga dan banyak lagi.
Apakah Teh Siska juga tergolong perempuan yang seperti itu? Entahlah. Sang Waktu yang akan menjawabnya nanti.
Yang jelas bunyi – bunyi unik berkumandang di dalam kamar Teh Siska ini. Bunyi crak crek seperti bunyi telor sedang dikocok datang dari penisku yang sedang menggenjot liang memek beceknya Teh Siska, bercampur dengan bunyi plak – plok yang datang dari tamparan – tamparanku di sepasang buah pantat kakak sulungku itu.
Crakkkk… crekkkk… crakkkk… crekkkk… crakkkk… crekkk…!
Plaaaak… plooooookkkkk… plaaaaaak… plokkkkkk… plaaaaakkkkk… plooookkkkk…!
Namun makin lama lendir di dalam liang memek Teh Siska mulai berkurang, sehingga tidak terdengar bunyi crak – crek lagi. Sementara telapak tanganku pun mulai terasa panas akibat menempelengi buah pantat Teh Siska terus – menerus. Namun hasilnya sudah kelihatan. Sepasang buah pantat Teh Siska sudah merah kebiru – biruan seperti yang diinginkannya.
Aku lalu teringat kepada Mbak Reni alias Tante Reni, yang suka ingin kelentitnya dielus – elus oleh jariku pada waktu disetubuhi dalam posisi doggy seperti ini. Maka kedua tanganku pun seolah mendekap bokong Teh Siska, namun sebenarnya tanganku sedang berusaha mencapai memek kakakku. Dan akhir kutemukan kelentit yang akan kuelus – elus sambil ditekan agar lebih terasa.
Ya… jari tangan kananku dan jari tangan kiriku seolah berebut untuk mengelus – elus kelentit Teh Siska.
Lalu… Teh Siska mulai merengek – rengek keenakan, “Duuududuuuuuh… Dooon… ini enak sekali Dooon… elus terus itilku Dooon… enak Dooon… enaaaaak… elus terus itilku… itilkuuu… iiiitiiiiiillll… itilnya elus teruuuuusssss… itilnyaaaa… itilnyaaaaaa… !”
Keringatku sudah bercucuran. Namun aku tetap giat mengentot liang memek Teh Siska sambil mengelus – elus kelentitnya.
Tiba – tiba Teh Siska memekik perlahan, “Oooo… oooooooh Doooon… !“Lalu ia ambruk ke atas kasur, sehingga batang kemaluanku terlepas dari liang memeknya.
“Kenapa? Orgasme lagi Teh?” tanyaku heran.
“Iya,” sahut Teh Siska sambil menelentang kembali, “Permainanmu luar biasa enaknya sih… bikin aku orgasme berkali – kali. Baru sekali ini aku mengalami orgasme sampai tiga kali, sementara kamu belum ngecrot juga.”
“Baguslah… aku kan ingin membuat Teteh puas,” kataku sambil merayap ke atas perutnya lagi.
“Iya, terima kasih Donny Sayaaang… emwuaaaaaah…” ucap Teh Siska yang dilanjutkan dengan kecupan hangatnya di bibirku, “Gak nyangka adikku setampan dan sejantan ini. Kamu memang luar biasa perkasanya Don.”
Sebagai jawaban, kudorong penisku yang moncongnya sudah menempel di ambang mulut vagina Teh Siska. Blesssss… melesak amblas sampai ke dasar liang memek Teh Siska yang sudah becek lagi ini.
Kali ini aku ingin secepatnya ejakulasi, kalau bisa. Karena kasihan kepada Teh Siska yang kelihatan mulai kepayahan.
Tapi dugaanku meleset. Karena aku mulai mengentotnya lagi sambil menjilati lehernya disertai dengan gigitan – gigitan kecil, Teh Siska mendekap pinggangku erat – erat sambil berkata, “Cupangin leherku Don… cupangin yang banyaaaak…”
Aku sudah punya pengalaman di Bangkok. Pengalaman nyupangin leher Tante Reni seperti yang diinginkannya.
Maka sambil mengentot liang memek beceknya Teh Siska dengan gencar, kusedot lehernya kuat – kuat, berulang – ulang di satu titik, sampai meninggalkan bekas merah kehitaman sebesar uang koin. Kemudian pindah lagi ke titik lain, mencupangnya lagi dan begitu seterusnya. Sampai meninggalkan totol – totol merah kehitaman beberapa titik di leher Teh Siska.
Dan setiap kali aku sedang mencupangi lehernya, Teh Siska memejamkan matanya erat – erat, namun dengan senyum manis di lehernya. Seolah sedang menghayati suatu kenikmatan yang tiada taranya.
Sementara itu liang memek Teh Siska tidak becek lagi. Mulai sempit menjepit lagi. Dan terdengar suaranya terengah, “Terusin cupangin lagi lehernya Dooon… aku senang sekali dicupangin leher dan tetekku.”
“Lehernya sudah lebih dari enam cupangan Teh,” sahutku sambil menghentikan entotanku, “Besok Teteh harus membelitkan selendang di leher, kalau tidak mau kelihatan lehernya banyak bekas cupangan.”
“Sekarang pindah ke tetekku… cupangin juga. Kalau sedang mencupangi tetek kananku, tetek kiriku harus diremas sekuatnya… biar rasanya lebih mantap, “pintanya.
Aku memang gemas menyaksikan gedenya toket kakak sulungku yang menggiurkan itu. Ingin meremasnya sekuatku. Namun takut menyakitinya.
Tapi kali ini dia sendiri yang memintaku untuk meremas toket yang satu pada waktu sedang mencupangi toket yang satu lagi.
Maka kulakukan juga apa yang dimintanya itu. Diawali dengan meremas toket kanannya sekuiat mungkin, waktu aku sedang mencupangi toket kirinya. Kemudian kuremas juga toket kirinya sekuat tenaga, pada waktu aku sedang mencupangi toket kanannya. Begitu terus yang kulakukan sambil mengentot liang memeknya yang sudah legit kembali ini.
Dan Teh Siska semakin terpejam – pejam dengan bibir tersenyum – senyum.
Setelah cukup banyak totol – totol merah kehitaman di sepasang toket gede Teh Siska, aku pun menghentikan aksi mencupangi toketnya itu.
Namun masih ada lagi permintaannya: “Sekarang remaslah kedua tetekku sekuat tenagamu, Sayang…”
Aku terheran – heran. Karena kebiasaan menyakiti diri sendiri itu tidak pernah kudapatkan pada perempuan lain. Bunda juga tidak seperti itu. Tapi anak sulung Bunda ini lain dari yang lain.
Namun kulakukan juga permintaannya. Kjuremas – remas sepasang toketnya sekuat tenaga. Sampai ia terpejam – pejam lagi seperti tadi.
“Oooooh… enak sekali Sayang… enaaaak… “rengeknya sambil mendekap pinggangku erat – erat. Sementara sekujur tubuhnya sudah dibanjiri keringat. Seperti tubuhku juga, yang sudah dibanjiri keringat.
Dan pada suatu saat… aku tiba pada titik krusial. Sepertinya sudah mau berejakulasi. Tapi sengaja kuhentikan entotanku. Hanya meremas – remas toket Teh Siska yang kulakukan.
Dan akhirnya Teh Siska merengek, “Dooon… entot lagi… entoooot… aku mau lepas lagi Dooon…”
Inilah detik – detik yang kuinginkan. Detik – detik membarengkan ejakulasiku dengan orgasmenya Teh Siska.
Maka kuayun lagi penisku yang sudah di ambang kegawatan ini. Sementara Teh Siska sudah mengejang tegang, sambil menjambak – jambak rambutku.
Lalu kubenamkan batang kemaluanku sedalam mungkin, sampai mentok di dasar liang memek kakak sulungku. Kubiarkan penisku menancap dan mendorong dasar liang sanggama Teh Siska.
Pada saat itulah kurasakan gerakan liang memek Teh Siska dengan jelas. Gerakan yang seperti spiral membelit dan meremas penisku… diiringi dengan kedutan – kedutan kencang… bersamaan dengan mengejut – ngejutnya penisku yang sedang memuntahkan air mani.
Crooot… crot… croooooooootttttttt… crotcrot… crooootttt… crooooooootttt…!
Disusul dengan erangan Teh Siska, “Oooooohhhh… nikmatnya orgasmeku… ditemani oleh semprotan air manimu Doooon… nikmat sekaliiii…”
Lalu ia menciumi bibirku dengan lahapnya. Sementara aku masih terkulai lemas di atas perutnya.
Setelah mencabut batang kemaluanku dari liang memek Teh Siska, aku menggulingkan tubuhku, menelentang di samping kakak sulungku. “Teteh ikut program KB?” tanyaku.
“Nggak. Kalau janda ikut KB, berarti ada tujuan gak bener,” sahutnya sambil mengusap – usap dadaku.
“Nanti kalau hamil gimana?”
“Biar aja. Anakku kan dibawa oleh mantan suamiku. Jadi aku ingin hamil lagi.”
“Tapi kita kan gak bisa menikah secara sah, karena kita ini saudara kandung.”
“Memangnya siapa yang ngajak kamu nikah? Biar aja anak kita lahir tanpa perkawinan kita. Yang penting kamu harus ikut menyayangi anak kita nanti ya.”
“Soal itu sih pasti,” sahutku dalam perasaan bingung. Karena belum terbayang apa yang mesti kulakukan kalau Teh Siska mengandung benih dariku.
Tapi biarlah. What ever will be, will be. Apa yang akan terjadi, terjadilah.
Lalu aku tertidur dalam pelukan Teh Siska… dalam keadaan sama – sama telanjang bulat.
Esok paginya aku terbangun agak kesiangan. Sementara Teh Siska sudah tidak di sisiku lagi. Namun terdengar bunyi minyak mendidih. Mungkin Teh Siska sedang memasak sesuatu untuk makan pagi. Aku pun turun dari bed dan melangkah ke kamar mandi pribadi kakak sulungku. Kamar mandi yang sudah ditata serba kekinian.
Kemudian aku mandi sebersih mungkin.
Tak lama kemudian, aku sudah mengenakan pakaianku dan menyisir rambutku. Lalu aku keluar dari kamar Teh Siska, menuju datangnya bunyi minyak mendidih itu.
Ternyata Teh Siska memangf sedang masak di dapurnya yang sudah ditata secara modern pula. Rumah kakak sulungku ini samngat jauh berbeda dengan rumah Bunda. Membuatku tekadku semakin kuat. Untuk meng – upgrade rumah Bunda secara layak.
“Lagi masak apa Teh?” tanyaku sambil mendekap pinggang Teh Siska dari belakang. Saat itu Teh Siska mengenakan kimono sutera putih bersih.
“Lagi bikin nasi kuning. Ini goreng ayam untuk lauknya. Di Thailand ada nasi kuning?“
“Ada. Nasi kuning di Thailand disebut Khao Mok Gai. Di rumah orang tua angkatku juga sering bikin nasi kuning Indonesia.”
“Apa bedanya nasi kuning Thailand dengan nasi kuning Indonesia?”
“Hampir sama saja. Cuma bedanya kalau nasi kuning Indonesia cukup ramai lauk pauknya, sedangkan nasi kuning Thailand hanya mengandalkan ayam goreng dan kuah sup.”
“Pakai kuah sup segala?”
“Iya. Kalau kita beli nasi kuning di sana, pasti penjualnya nanya… Au nam sup? Artinya mau pakai kuah sup? Kalau tidak suka, kita jawab… Mai au nam sup kha. Artinya, tidak pakai kuah sup.”
“Begitu ya. Tapi di Indonesia juga ada nasi kuning Manado yang berbeda lauk pauknya kalau dibandingkan dengan nasi kuning di pulau Jawa. Nasi kuning Manado menggunakan ikan laut yang diiris kecil – kecil dan ditumis sebagai lauknya.”
“Iya. Kuliner di negara kita memang sangat beraneka ragam,” sahutku sambil menoleh ke arah lain. Ternyata Teh Siska sudah memasak sambal goreng tempe, dadar telur yang sudah diiris tipis – tipis dan sebagainya. Selera makanku pun jadi bangkit.
Pada waktu sedang makan nasi kuning buatan Teh Siska, aku berkata, “Bekas cupangan di leher dan toket Teteh banyak banget.”
“Biarin aja. Biar begitu melihat bayanganku di cermin, aku pasti ingat kamu,” sahut Teh Siska.
“Paling lama juga dalam tiga hari bekas cupangnya hilang. Berarti tiga hari lagi Teteh takkan ingat aku lagi ya?”
“Gak gitulah. Kamu akan mendapat tempat istimewa di seumur hidupku. Lagian kamu kan adikku. Hubungan kakak dengan adik kandung takkan pernah bisa putus. Meski pun aku punya suami lagi, hubungan kita harus tetap berjalan… tapi kalau aku sudah bersuami, hubungan kita harus secara rahasia aja,” sahut Teh Siska, “Ohya…
“Iya. Nanti sebelum pulang ke Bangkok, pasti aku akan mengunjungi rumahnya. Teh Nenden itu adik Teh Siska kan?”
“Iya. Aku kan anak sulung. Mana ada si sulung punya kakak?”
“Kata Bunda, suami Teh Nenden itu seorang dokter ya?”
“Iya. Suaminya dokter spesialis bedah yang sukses dan terkenal. Tapi usianya sudah tua. Tigapuluh tahun lebih tua dari Nenden.”
“Memangnya usia Teh Nenden sekarang berapa tahun?”
“Nenden usianya dua tahun lebih muda dariku. Jadi sekarang usianya duapuluhtiga tahun,” sahut Teh Siska.
“Berarti usia suaminya limapuluhtiga?”
“Ya, segitulah kira – kira.”
“Teh Nenden sudah punya anak?”
“Belum. Padahal dia sudah tiga tahun menjadi istri dokter itu.”
“Berarti dia kawin waktu usianya seumuran aku dan Donna sekarang?”
“Iya. Waktu Nenden kawin dengan dokter itu, usianya baru duapuluh tahun. Suaminya sudah limapuluh tahun.”
“Mungkin waktu menikah dengan Teh Nenden, dokter itu duda ya?”
“Iya. Sebelum kawin dengan Nenden, dokter itu sudah duda beranak cewek dua orang. Istri dokter itu sudah meninggal sebelum berjumpa dengan Nenden.”
“Jadi sekarang Teh Nenden punya anak tiri dua orang ya.”
“Iya. Tapi kedua anak tirinya sudah pada punya suami, jadi gak ada yang tinggal di rumah Nenden.”
Tiba – tiba handphoneku berdering. Cepat kukeluarkan hapeku dari saku celanaku.
“Sttt… dari Bunda… !” kataku sambil meletakkan telunjuk di depan mulutku.
Teh Siska mengangguk – angguk. Dia sudah tahu kalau aku mengaku akan menjumpai temanku yang datang dari Thailand. Bukan mau menginap di rumah Teh Siska.
“Hallo Bunda…”
“Don… pemilik tanah itu sudah setuju pada tawaran Bunda. Jadi harganya diturunkan seratus juta. Dia nanya, kapan mau transaksinya?”
“Oke Bunda. Sekarang juga aku pulang. Transaksinya di notaris aja.”
“Iya. Bunda tunggu ya.”
“Iya Bun.”
Setelah hubungan seluler dengan Bunda ditutup, teh Siska bertanya, “Mau transaksi apa pakai notaris segala?”
“Mau beli tanah kosong yang di samping rumah Bunda itu.”
“Wow…! Kalau gak salah tanah di samping rumah Bunda itu setengah hektar luasnya ya.”
‘Iya. Aku mau pulang dulu ya Teh,” kataku sambil berdiri.
Teh Siska pun berdiri dan memeluk leherku. “Selama masih liburan di kota ini, kamu harus sering ke sini ya Don,” ucap Teh Siska seperti berat melepaskanku.
“Iya Teh… aku pasti kangen terus sama Teteh,”
“Kangen sama aku apa sama memekku?”
“Kangen sama dua – duanya. Heheheee…”
Teh Siska mencium bibirku berulang – ulang. Lalu mengantarkanku hingga ke pintu pagarnya. Sampai aku mendapatkan taksi yang melewati jalan di depan rumah kakak sulungku itu.
Setelah berada di dalam taksi, aku masih sempat melambaikan tangan ke arah Teh Siska. Ia pun tampak melambaikan tangan juga, dengan wajah yang kelihatan sedih. Seolah tak ingin ditinggalkan olehku.
Namun di dalam hati aku berjanji akan sering mengunjungi rumah Teh Siska secara rahasia. Tanpa diketahui oleh Bunda dan Donna.
Setibanya di rumah Bunda, mataku mencari – cari mobil Donna. Tapi tidak ada.
Bunda pun muncul di ruang tengah yang tampak sudah dibereskan, tidak berantakan seperti kemaren.
“Donna ke mana Bun?” tanyaku.
“Ke tempat kerjanya, tapi mau resign seperti yang kamu anjurkan. Bukan mau kerja,” sahut Bunda sambil memegang tanganku, “Selain itu, Donna juga mau menemui pemborong yang akan membangun di tanah kosong itu.
“Oh iya. Berarti Donna sangat mendengarkan pesanku.”
“Donna kelihatan bahagia sekali setelah dibelikan mobil olehmu Don.”
“Iya Bun. Nanti kalau tanah itu sedang dibangun, biar Donna kujadikan pengawas aja. Setiap membutuhkan uang untuk pemborong itu, akan kutransfer lewat rekening tabungan Donna aja. Tapi sebelum pulang ke Bangkok pasti aku titip uang juga sama Donna, untuk biaya pembangunan di tanah itu.”
“Iya… bunda senang sekali karena kedatanganmu membawa angin segar bagi bunda dan Donna.”
“Tapi Bunda masih minum – minum?”
“Nggak Sayang. Bunda berusaha mengikuti saranmu. Lihat aja keadaan di dalam kamar bunda. Botol – botol minuman beralkohol sudah tidak ada satu pun.”
“Syukurlah Bunda. Senang aku mendengarnya. Kan aku ingin agar Bunda tetap sehat dan seksi…” ucapku sambil mencium bibir Bunda.
“Iya… iya… mmm… temanmu sudah pulang ke Thailand?”
“Belum. Dia ingin bareng sama aku pulangnya nanti.”
“Dia teman kuliahmu?”
“Iya. Jadi dia ingin menghabiskan masa liburannya di Indonesia. Lalu kembali ke Bangkok bareng sama aku,” kataku berbohong. Sengaja aku menciptakan kebohongan itu, agar kalau aku pergi ke rumah Teh Siska nanti, alasannya akan menemui teman dari Thailand itu.
“Sekarang mau ke rumah pemilik tanah itu?” tanyaku.
“Iya, mumpung belum siang benar. Supaya kantor notarisnya belum tutup.”
“Don…” kata Bunda sambil memegang tanganku, “Nanti pulang dari notaris, ajak bunda ke hotel ya.”
“Mau ngapain? Bunda udah kangen ya?”
“Iya, “Bunda mengangguk sambil tersenyum, “Tapi Bunda ingin melakukannya di tempat yang tenang dan nyaman.”
“Iya deh,” sahutku. Untung tadi pagi aku tidak menyetubuhi Teh Siska lagi. Kalau aku menyetubuhinya, pasti aku akan kepayahan membangunkan tongkat kejantananku hari ini.
Tak lama kemudian aku dan Bunda berjalan kaki menuju rumah pemilik tanah kosong itu. Ternyata rumahnya tidak jauh dari tanah yang mau dijual itu.
Pemilik tanah itu masih muda, sekitar 30 tahunan, mengenalkan namanya sebagai Wondo. Dia bahkan menawarkan rumahnya juga yang berdampingan dengan tanah kosong itu, agar dibeli olehku, karena dia mau pindah ke kampung halamannya di Madiun.
Aku pun tertarik, karena rumah itu sudah bergaya kekinian, seperti rumah Teh Siska. Lalu kutanya berapa harganya. Ternyata rumah itu ditawarkan dengan harga yang sangat murah menurutku. Tapi aku berusaha menawarnya dulu. Setelah bernegosiasi yang agak alot, akhirnya dia menyetujui tawaranku.
Bunda hanya ikut dengar saja, tidak berkomentar sepatah kata pun. Dan tampak senang setelah mendengar bahwa aku dan pemilik tanah itu sudah deal untuk membeli tanah kosong dan rumahnya yang lumayan besar dan berbentuk minimalis itu.
Kemudian kami berangkat menuju notaris. Aku dan Bunda menggunakan taksi, sementara Pak Wondo menggunakan motornya.
Kebetulan di notaris sedang tidak ada klien, sehingga dengan cepat transaksi kami diurus oleh sang Notaris.
Untuk membayar nominal yang sudah kami sepakati, kuberikan selembar cek dari sebuah bank internasional, yang baik di Bangkok mau pun di kota ini ada cabangnya. Lalu notaris itu meminta klarifikasi dari bank yang bersangkutan dulu.
Setelah clear, transaksi pun dianggap selesai. Notaris itu memberikan akte jual beli kepadaku, yang langsung kuserahkan kepada Bunda. Akte jual beli itu pun atas nama Bunda semua. Aku memang ingin Bunda besar hatinya. Maka setelah tanah itu dibangun, aku akan menyerahkan segalanya kepada Bunda.
Sertifikat tanah dan rumah itu kuserahkan kepada notaris, agar dia mengurus balik namanya ke kantor BPN.
Kemudian aku berjabatan tangan dengan Pak Wondo, sebagai tanda sudah selesainya transaksi itu. Pak Wondo hanya minta waktu seminggu untuk beres – beres barangnya yang akan diangkut ke Madiun. Kebetulan kalau seminggu lagi aku pun masih berada di Indonesia, jadi bisa membenahi rumah yang kubeli dari Pak Wondo itu, kemudian kubelikan furniture dan perabotan selengkapnya, lalu Bunda akan kuminta pindah ke rumah itu, karena rumah jadul Bunda akan kurobohkan untuk dibangun yang benar – benar baru.
Hmmm… sudah sejauh itu rencanaku…!
Setelah keluar dari kantor notaris itu, aku searching dulu di google lewat handphoneku. Searching hotel di kota ini. Pada saat itu belum ada system booking lewat internet. Jadi aku hanya searching nama dan alamat hotelnya saja. Lalu kupilih sebuah hotel bintang lima, yang akan kusampaikan kepada sopir taksi nanti.
Setelah mendapatkan taksi, kuperlihatkan nama dan alamat hotel itu dari handphoneku. Sopir taksi itu pun mengangguk, lalu menjalankan taksinya. Membawaku bersama Bunda ke hotel seperti yang Bunda inginkan.
Waktu berada di dalam taksi itulah aku jadi teringat cerita legenda Sangkuriang yang pernah kubaca dari kumpulan cerita rakyat Indonesia. Aku masih ingat benar bahwa Sangkuriang yang sudah terlalu lama meninggalkan ibunya, begitu berjumpa lagi dengan ibunya sudah lupa bahwa Dayang Sumbi itu ibu kandungnya.
Mereka saling jatuh cinta. Tapi ketika membelai rambut Sangkuriang, Dayang Sumbi melihat bekas luka di kepala Sangkalalana. Sehingga Dayang Sumbi teringat pada anaknya yang pernah dilempar oleh “cukil” (semacam senduk) nasi dan mengakibatkan luka dan berdarah – darah di kepalanya. Lalu Dayang Sumbi bertanya siapa sebenarnya nama asli Sangkalalana itu.
Akhirnya Sangkalalana mengakui bahwa namanya adalah Sangkuriang. Tapi sejak diusir oleh ibunya karena telah membunuh si Tumang, anjing yang dibawa berburu yang sebenarnya ayah Sangkuriang, maka Sangkuriang pun membuang nama aslinya dan mengganti jadi Sangkalalana.
Dayang Sumbi kager dan bicara terus terang bahwa Sangkuriang itu anak kandungnya. Tapi Sangkuriang tidak percaya, karena kalau masih ada pastilah ibunya sudah sangat tua. Sedangkan Dayang Sumbi masih kelihatan muda dan sangat cantik.
Akhirnya Dayang Sumbi menyatakan bersedia menjadi istri Sangkuriang asalkan bisa mewujudkan permintaannya, asalkan bisa mewujudkan danau dalam semalam dan sebuah perahu untuk mengarungi danau itu.
Konon Sangkuriang meminta bantuan para siluman untuk mewujudkan permintaan ibunya itu.
Malam itu Dayang Sumbi terkaget – kaget ketika menyaksikan danau itu sudah hampir selesai. Maka dicarinya akal. Lalu Dayang Sumbi meminta bantuan kepada teman teman sekampungnya untuk memukul lesung beramai – ramai. Ayam – ayam jantan pun kaget mendengar suara lesung dipukul – pukul itu. Lalu semua ayam jantan di kampung itu pada berkokok.
Dayang Sumbi menghampiri Sangkuriang sambil bedrseru, “Sangkuriang! Kamu gagal memenuhi permintaanku. Dengarlah suara ayam – ayam berkokok itu. Pertanda hari sudah hampir pagi! Bukankah kamu sudah berjanji akan mewujudkan permintaanku sebelum fajar menyingsing?”
Sangkuriang kaget dan berusaha untuk menangkap ibunya. Tapi Dayang Sumbi menghilang dan konon menjelma jadi Gunung Putri. Sementara Sangkuriang geram sekali atas kegagalannya sendiri. Maka perahu yang sudah disiapkan oleh para siluman itu pun ditendangnya sampai jatuh menelungkup. Maka perahu besar itu pun menelungkup dan menjelma jadi Gunung Tangkuban Perahu
(Tangkuban = telungkup).
Aku teringat cerita rakyat Priangan itu karena aku merasa bisa mengalahkan Sangkuriang yang gagal mendapatkan ibu kandungnya. Karena aku sudah berhasil mendapatkan ibu kandungku…!
Apakah kemenanganku ini sebagai suatu keberhasilan atau suatu kejahanaman?
Entahlah. Yang jelas di kamar hotel bintang lima ini kuperhatikan Bunda yang memang cantik sekali. Terlebih lagi setelah telanjang bulat di depan mataku. Dalam khayalanku, Bunda seolah bidadari yang turun dari langit, khusus untuk menyenangkan dan membahagiakan hatiku.
Aku malah sering berpikir bahwa mungkin saja aku ini reinkarnasi dari Sangkuriang, yang gagal di masa lalu, kemudian harus berhasil di masa kini. Hahahaaa… itu hanya khayalanku semata.
Dan yang jelas, kini aku ingin mewujudkan kebahagiaan Bunda yang merasa sangat kehilangan setelah Ayah meninggal. Ingin mewujudkan kenikmatan dan keupasan untuk diriku sendiri pula.
Tapi lain Teh Siska lain Bunda. Meski Teh Siska itu sama – sama anak kandung Bunda, namun Bunda tidak mau diperlakukan keras olehku. Terbukti pada waktu aku bergumul dengan Bunda dalam keadaan sama – sama telanjang bulat, kucoba meremas toket Bunda agak keras. ternyata Bunda langsung merintih, “Duuuuh…
“Heheheheee… gemes sih sama toket Bunda yang tetap mulus walau pun sudah melahirkan empat anak,” sahutku.
“Mungkin karena Bunda sering senam dahulu. Sejak jadi peminum Bunda gak pernah senam lagi.”
“Bunda Sayang… kalau Bunda menghentikan minum minuman keras, Bunda akan jadi lebih sehat. Tubuh Bunda pun pasti lebih berisi, takkan ada yang kendor lagi. Pokoknya kalau Bunda menyetop kebiasaan minum itu, pasti Bunda bakal semakin seksi.”
Lalu kami bergumul di atas bed hotel five star itu. Terkadang aku di atas, terkadang Bunda yang di atas. Sampai pada suatu saat, batang kemaluanku sudah membenam ke dalam liang memek Bunda kandungku.
Bunda pun menyambutku dengan dekapan erat di pinggangku, sambil berkata, “Kamu memang seolah paket lengkap. Wajahmu tampan, bentuk tubuhmu seksi, kontolmu pun gede dan panjang banget. Kalau sudah punya istri, pasti istrimu merem – melek terus olehmu.”
“Aku takkan mau kawin dulu ah. Aku ingin membahagiakan hati Bunda dulu.”
Bunda pun mencium bibirku. Pada saat aku mulai mengayun penisku, Bunda menyambutku dengan goyang pinggulnya yang sangat erotis. Meliuk – liuk, memutar – mutar dan menghempas – hempas. Membuat batang kemaluanku terombang – ambing mengikuti gerakan memek Bundaku tercinta …
Tidak terlalu berlebihan kalau aku mengatakan bahwa Bunda seolah bidadari yang diturunkan dari langit, untuk mengucurkan kenikmatan bagiku. Bidadari yang harus kuperlakukan secara halus dan lemah lembut.
Itulah sebabnya aku pun sengaja melambatkan ayunan penisku di dalam jepitan liang kemaluan Bunda yang luar biasa enaknya ini. Terlebih setelah mendengar bisikannya, bahwa ia ingin menghayati gerakan demi gerakan batang kemaluanku dan ingin meresapi nikmatnya gesekan penisku dengan liang sanggamanya.
Setelah gerakan maju mundurnya penisku dilambatkan, Bunda kelihatan sangat menikmatinya. Terlebih setelah mulutku beraksi untuk menjilati lehernya disertai dengan gigitan – gigitan kecil… Bunda mulai merintih – rintih histeris, “Dooon… oooooh… terima kasih Dooon… bunda seperti dilahirkan kembali untuk menikmati keindahan ini…
Dan ketika kedua lengan Bunda terjulur ke atas, aku pun menjilati ketiaknya yang harum parfum oleh – olehku dari Bangkok. Dengan lahap aku menjilati ketiak Bunda yang sebelah kanan mau pun yang sebelah kiri. Dan Bunda semakin menggeliat – geliat. Mungkin karena merasakan geli – geli enak dari dua arah.
Aku pun mulai tahu bahwa Bunda lebih menyukai posisi missionary atau MOT (man on top) daripada posisi lainnya. Karena posisi MOT ini bisa saling peluk. bisa saling cum dan sebagainya. Perutnya pun bisa bertempelan dengan perutku, demikian juga toketnya bisa bertempelan dengan dadaku. Sementara aku pun bisa mengentotnya sambil ngemut pentil toketnya, sambil menjilati leher dan ketiaknya, bisa pula menjilati telinganya.
Dan ketika aku sudah lama mengentot liang memek Bunda yang terasa legit menjepit, Bunda pun mulai merintih – rintih histeris sebagai indikator dari kenikmatan yang tengah dirasakannya.
“Dooon… kamu seolah titisan ayahmu… yang datang pas bunda membutuhkannya… kamu tak cuma mendatangkan kepuasan, tapi juga kebahagiaan Dooon… ooooh… setiap gesekan kontolmu dengan memek bunda ini… ooooh… nikmat sekali sayang… nikmat yang mengalir dari ujung kaki sampai ubun – ubun di kepala bunda…
Rintihan Bunda itu diiringi oleh dengus – dengus nafasku di atas wajah cantiknya yang mulai keringatan. Diiringi cintaku sebagai anak kandungnya sekaligus lelaki yang mencintainya… dengan segenap jiwa ragaku…!
Bunda pun seperti ingin menciptakan hal – hal yang membuatku nikmat. Tak sekadar menggoyang – goyangkan pinggulnya, yang membuat penisku serasa dibesot – besot dan dipilin – pilin oleh dinding liang memek legitnya. Tapi juga melakukan hal seperti yang kulakukan padanya. Menjilati leherku yang sudah keringatan, menjilati ketiakku yang bebulu lebat dan melumat bibirku dengan hangatnya.
Tubuh kami pun mulai bermandikan keringat, sebagai indikator hubungan sex yang sempurna. Karena orang bilang, hubungan sex tanpa keringat, perlu dipertanyakan di mana letak kesalahan dan kekurangannya.
Sampai akhirnya Bunda berbisik terengah, “Donny… bunda udah hampir lepas… barengin yuk lepasinnya… biar lebih nikmat dan mengesankan… ooooh… Dooon… !”
Mama almarhumah telah banyak melatihku tentang bagaimana cara untuk memuaskan wanita menjelang orgasmenya. Maka aku pun mempercepat entotanku. Maju mundur maju mundur maju mundur maju mundur maju mundur… sampai akhirnya kutancapkan penisku sedalam mungkin, sampai mentok di dasar liang memek Bunda…
Tanpa digerakkan lagi. Padsa saat itulah kurasakan sesuatu yang luar biasa nikmatnya. Bahwa liang memek bunda seolah meremas – remas penisku, dibarengi dengan kedutan – kedutan erotisnya. Ditingkah dengan kejutan – kejutan batang kemaluanku yang tengah memuntahkan air maniku… crottt… croooottttt …
Tubuhku mengejut – ngejut di atas perut Bunda yang tengah mengejang… lalu kami saling rfemas… saling lumat di puncak kenikmatan yang sedang kami alami ini… ooo… indahnya surga dunia ini…!
Lalu kami sama – sama terkulai lemas. Dengan mata sama – sama terpejam, seolah sama -sama menghayati nikmat dan kepuasan yang baru saja kami alami.
Kemudian kami tertidur sekitar dua jam, sambil berpelukan dalam keadaan sama – sama telanjang.
Aku terbangunkan oleh dering handphoneku, yang ternyata call dari Donna. Lalu :
“Hallo Donna… ada apa?”
“Lagi di mana Don?”
“Lagi ngurus transaksi tanah dan rumah Pak Wondo itu.”
“Ohya?! Rumahnya dibeli juga?”
“Iya. Pak Wondo mau pindah ke kampung halamannya sendiri. Dalam seminggu pun rumahnya bisa kita tempati.”
“Wooow… rumahnya bagus tuh.”
“Iya, tapi harus diberesin dan dicat dulu, supaya kelihatan seperti rumah baru.”
“Aku sudah resign dari toko itu Don. Pemborong yang kamu inginkan juga bakal datang besok pagi, sekalian dengan arsiteknya.”
“Bagus itu. Jadi nanti selama tanah kosong itu sedang dibangun, kamu harus jadi pengawasnya.”
“Siap Boss. Eeeeh… ada tamu Don. Udah dulu ya.”
“Iya.”
Setelah hubungan seluler ditutup, aku turun dari bed. Untuk mandi dan keramas sebersih mungkin. Bunda malah sudah duluan mandi dan mengenakan gaunnya kembali.
Ketika kami pulang, tampak seorang wanita setengah baya sedang duduk di ruang depan, ditemani oleh Donna yang sudah datang duluan.
“Siapa itu Bun? Teh Nenden?” tanyaku kepada Bunda yang melangkah di depanku.
“Iiih… bukan…! Itu sih adik bunda, namanya Ratih. Ayo salaman sama tantemu itu Don.”
Aku mengangguk, lalu mencium tangan wanita yang kata Bunda bernama Ratih itu.
“Jadi Donny sudah sebesar dan setampan ini Teh?” tanya wanita setengah baya itu sambil menoleh kepada Bunda. Sementara kedua tanganku masih dipegang oleh wanita bernama ratih dan kata Bunda adalah adiknya itu.
“Iya… baru tiga hari dia ada di sini,” sahut Bunda
Lalu wanita cantik itu menatapku dengan tatapan bersorot terharu. Dan ia memelukku. Menciumi pipi kanan dan pipi kiriku. Donny… Donny… Kamu sangat mirip ayahmu Don,” ucapnya dengan mata berlinang – linang air mata, “aku jadi ingat pada waktu dibawa ke Bangkok, kamu masih bayi, masih menyusu kepada bundamu.
“Duapuluh tahun, Tante. Sudah dewasa kan?”
“Iya. Aku bersukur masih punya umur buat lihat kamu lagi, Don.”
“Iya Tante. Aku juga senang bisa bertemu dengan keluarga dekat begini.”
Setelah sama – sama duduk bersama Tante Ratih, Bunda dan Donna, aku bertanya kepada Bunda, “Bun… sebenarnya saudara kandung Bunda itu berapa orang?”
Banyak Don,” sahut Bunda, “kakak bunda ada dua, laki – laki semua. Namanya Jaka dan Sambas. Tapi mereka jauh – jauh. Kang Jaka di Kalimantan, Kang Sambas di Papua. Kemudian adik bunda perempuan semua. Ratih ini, lalu Dina… Santi dan Reni yang di Bangkok itu.”
“Owh banyak juga saudara kandung Bunda ya?”
“Saudara kandung ayahmu juga banyak, tapi tidak sebanyak saudara kandung Bunda,” kata Bunda, “Ayahmu itu anak sulung. Punya adik laki – laki seorang, Zulkifli namanya. Kemudian adik perempuannya tiga orang, namanya Neni, Tita dan Yani.”
“Jadi Bunda punya enam orang saudara dan Ayah… mmm… punya empat saudara ya.”
“Iya, bunda tujuh bersaudara, kalau ayah lima bersaudara.”
“Saudara Bunda jauh – jauh rumahnya?” tanyaku.
“Hanya yang laki – laki pada jauh di seberang lautan. Yang perempuan sih dekat -dekat.
Di luar kota juga hanya belasan kilometer dari sini. Nanti akan Bunda kumpulkan adik – adik bunda di sini, setelah rumah Pak Wondo itu kita tempati. Tapi kalau kakak – kakak bunda sih sulit diajak ngumpul, karena rumah mereka di seberang lautan semua.”
Aku cuma mengangguk – angguk kecil.
Kemudian kami terpecah menjadi dua bagian. Bunda ngobrol dengan Tante Ratih di ruang tamu, sementara aku ngobrol dengan Donna di ruang makan.
“Nanti anter aku ke toko buku ya,” kataku.
“Mau nyari buku apa?”
“Mau nyari majalah tentang design bangunan rumah. Untuk semacam referensi aja. Untuk renovasi rumah Pak Wondo dan bangunan di tanah kosong itu.”
“Kalau majalah yang begituan sih mendingan beli di pasar loak. Banyak penjual buku dan majalah bekas di sana.”
“Boleh. Ke pasar loak iya, ke toko buku juga iya.”
“Memangnya tanah kosong itu mau dibuat apa?”
“Belum punya rencana yang pasti. Aku sih ingin membangun sesuatu yang bisa dijadikan tempat usaha Bunda dan kamu. Jadi nanti kamu dan Bunda harus sama – sama punya penghasilan tetap dari bangunan itu.”
“Tapi kalau buka usaha kan harus ada modalnya.”
“Iya. Nanti aku yang modalin. Asal serius aja kamunya.”
“Sip deh kalau gitu sih.”
Tiba – tiba Donna berbisik di dekat tleingaku, “Tadi kamu abis maen ya sama Bunda?”
“Kok kamu bisa punya sangkaan gitu?”
“Kelihatan Bunda pucat gitu… berarti abis orga.”
Akhirnya aku mengangguk, “Memang betul.”
Donna berbisik lagi, “Padahal aku lagi kepengen banget. Kepengen orgasme… tapi kontolmu pasti udah kecapean ya?”
“Nanti kujilatin aja sampai orga. Mau?”
“Mau banget. Makanya sekarang aja kita pergi nyari majalah itu yuk.”
“Mau maennya di mana? Sabar aja deh. Nanti malam kujilatin sampai orga.”
“Di hotel yang tempo hari lagi aja.”
Aku tercenung sesaat. Tadi aku baru pakai hotel untuk menggauli Bunda. Masa sekarang harus cek in ke hotel lagi?
Tapi demi saudara kembarku tercinta, biarlah kululuskan saja keinginan Donna itu.
Dan aku tertawa sendiri, karena dalam beberapa hari ini hidupku seolah hanya untuk sex, sex dan sex terus.
Tapi usiaku baru duapuluh tahun. Mumpung masih muda. Apa salahnya kalau aku beraksi dari atas perut yang satu ke atas perut lainnya tiap hari?
Pada waktu pamitan kepada Tante Ratih dan Bunda, Tante Ratih berkata, “Minta nomor hapemu Don. SIapa tau nanti ada perlu sama kamu.”
Lalu kuberikan dua nomor hapeku. Nomor seluler di Indonesia dan di Thailand.
“Yang diawali dengan plus enamenam, berarti nomorku yang di Bangkok, Tante,” kataku setelah tukaran nomor hape dengan Tante Ratih.
“Kapan pulang lagi ke Bangkok?” tanya Tante Ratih.
“Sekitar tiga mingguan lagi. Soalnya sebelum liburanku habis, aku harus sudah ada di Bangkok lagi.”
“Maen dong ke rumahku… mumpung Donny masih di sini,”
Seminggu kemudian …
Pak Wondo menepati janjinya. Tepat seminggu kemudian rumahnya sudah dikosongkan. Ia pun pamitan padaku dan pada Bunda, karena hari itu ia akan berangkat ke Madiun, sebagai pilihan untuk dijadikan tempat tinggalnya.
Langkah yang ditempuh oleh Pak Wondo itu seolah menjadi inspirasi bagiku. Bahwa kemungkinan besar aku pun harus mengikuti langkahnya. Bahwa rumah – rumah dan perusahaan di Bangkok harus dijual semua. Hanya rumah dan perusahaan yang di Singapore akan kupertahankan, karena setelah kuanalisa sepintas lalu, prospek bisnis yang di Singapore sangat bagus.
Pemborong yang sudah siap untuk memborong bangunan di lahan kosong dan pembenahan dan pengecatan ulang rumah yang kubeli dari Pak Wondo itu pun segera bekerja. Mendahulukan pembenahan dan memperbaiki kerusakan – kerusakan rumah dari Pak Wondo itu. Kemudian mengecat ulang, sampai tampak seperti rumah baru.
Pada saat sedang sibuk itulah aku menerima sms dari Teh Siska (pada waktu itu WA belum populer di negaraku ini). Isi sms dari Teh Siska itu begini :
– Donny ke rumah sekarang ya. Penting banget. Sendirian aja, jangan sama Donna-.
Kubalas dengan sms lagi, singkat saja, -Oke Tetehku Sayang-.
Aku lalu pamitan kepada Bunda, dengan alasan yang sama seperti tempo hari: Mau menemui temanku yang dari Thailand…!
Lalu kucegat taksi yang lewat di depan rumah Bunda.
Aku sudah menghafal jalan menuju rumah Teh Siska itu, sehingga tak mungkin salah arah.
Setibanya di depan rumah Teh Siska, kulihat ada sedan putih diparkir di pekarangan rumah itu. Mobil siapa ya?
Pintu depan pun dibuka oleh Teh Siska yang hanya mengenakan kimono hitam saat itu. Sangat kontras warnanya dengan kulit Teh Siska yang putih bersih.
Yang membuatku tertegun adalah hadirnya seorang wanita yang tampak masih sangat muda, lebih muda daripada Teh Siska, dengan tinggi badan yang lebih tinggi daripada tinggi badanku (tinggi badanku 175cm).
Teh Siska memegang pinggang wanita cantik bertubuh tinggi sekali itu sambil berkata, “Nah… ini kakakmu juga Don… belum pernah kenalan ya?”.
Aku menatap wanita muda itu sambil bertanya, “Ini Teh Nenden?”
“Iya… aku Nenden Don,” sahut wanita itu sambil merangkul leherku dan menciumi pipi kanan – kiriku, “Kita ini saudara kandung tapi baru sekarang kenalan ya?”
“Iya,” sahutku, “Teh Nenden tinggi sekali… memang tingginya berapa Teh?”
“Seratusdelapanpuluh sentimeter,” sahut Teh Nenden sambil tersenyum.
“Wow, cocok buat jadi pemain basket,” sahutku.
Teh Siska nimbrung, “Waktu masih di SMA, Nenden memang pemain basket Don.”
Lalu pikiran ngeresku timbul: Kalau dapet perempuan tinggi begini, pasti “medan”nya ljuas banget. Kalau orang pendek sih sejengkal dari pusar perut, langsung menyentuh memek. Kalau yang tinggi begini, bisa dua jengkal baru ketemu memek. Hahahahaaaaa…!
Setelah Teh Siska duduk berdampingan dengan Teh Nenden di satu sofa, sementara aku duduk di sofa yang berhadapan dengan mereka, Teh Siska berkata, “Makanya aku minta Donny segera datang, karena adik tersayangku ini mau minta tolong padamu Don.”
“Minta tolong apa Teh?” tanyaku sambil menatap wajah cantik Teh Nenden.
Teh Siska yang menjawab, “Minta tolong dihamilin sama Donny.”
“Ohya?! “aku tersenyum sambil menatap; wajah Teh Nenden lagi.
Teh Nenden tersipu malu. Tapi dia mengangguk perlahan sambil berkata, “Teh Siska memang benar Don. Bisa kan Don? Kebetulan aku sekarang sedang masa subur.”
Aku berpikir sejenak. Lalu berkata, “Boleh. Tapki Teh Siska jangan nonton dulu. Biar aku dan Teh Nenden melakukannya dengan tenang dan nyaman.”
“Oke… kalian boleh melakukannya dengan tenang dan nyaman. Ayo masuk aja ke kamarku… udah diberesin dan dibersihin kok kamarnya. Sudah disemprot pewangi ruangan juga. Biar kalian romantis melakukannya. Semoga Donny benar – benar bisa membuat Nenden hamil ya.”
“Sip dah !” sahutku sambil mengacungkan jempolku, lalu berdiri dan mengikuti langkah Teh Nenden ke dalam kamar Teh Siska.
“Kunciin aja pintu kamarnya… !” seru Teh Siska.
“Iyaaa…” sahut Teh Nenden yang lalu benar – benar menguncikan pintu kamar Teh Siska setelah aku dan Teh Nenden berada di dalam kamar yang terawat rapi dan bersih itu.
Begitu berada di dalam kamar, kudekap pinggang Teh Nenden yang lebih tinggi 5 centimeter dariku itu. “Kalau ketemu di jalan, pasti kita gak saling kenal ya Teh.”
“Iya,” sahut Teh Nenden yang pada saat itu mengenakan gaun panjang berwarna biru langit yang hampir menyentuh lantai saking panjangnya. Kepalanya pun ditutup oleh selendang putih. “Kalau ketemu di jalan sebelum dikenalkan gini, pasti aku cuma menelan ludah, karena bertemu dengan cowok yang tampan gini.
“Waktu aku baru lahir, Teh Nenden juga masih kecil sekali kan?”
“Waktu kamu lahir, aku baru berumur tiga tahun. Mana ingat kejadian waktu usia segitu?”
“Untungnya Teh Nenden cantik. Tinggi badannya international size pula,” kataku sambil mempererat dekapanku dari belakang kakak langsungku itu.
“Kata Teh Siska senjatamu juga international size.”
“Teh Siska ngomong gitu?”
“Iya. Makanya aku juga jadi penasaran… sekalian pengen hamil,” sahut Teh Nenden sambil melepaskan kerudung putih tipisnya. Lalu memutar badannya, jadi berhadapan denganku. Sambil agak membungkuk Teh Nenden merapatkan hidungnya ke hidungku. Tersiar hawa harum dari mulutnya, yang lalu merapatkan bibirnya ke bibirku.
“Selama ini aku merasa sebagai orang paling tinggi di antara orang – orang yang kukenal. Tapi setelah bersama dengan Teteh, aku merasa pendek.”
“Suamiku lebih pendek lagi. Tinggi badannya cuma seratusenampuluh. Kamu sih lumayan tinggi Don,” sahut Teh Nenden sambil duduk di pinggiran bed, sambil melepaskan kancing gaun yang berderet di bagian depannya satu persatu. Kemudian ia melepaskan gaun itu, sehingga tubuh putih mulusnya mulai kelihatan.
Teh Nenden melebihi saudara – saudaraku yang lain. Kulitnya lebih putih daripada Donna dan Teh Siska. Tinggi badannya pun lebih tinggi daripada Donna dan Teh Siska. Bahkan wajahnya pun sedikit lebih cantik daripada Donna dan Teh Siska.
“Buka dong pakaianmu. Masa mau buang – buang waktu? Kita kan berada di kamar Teh Siska,” kata Teh Nenden yang tinggal mengenakan bra dan celana dalam.
Tanpa membantah, kutanggalkan baju kaus dan celana denim serba hitam ini. Sementara Teh Nenden sudah melepaskan behanya, sehingga sepasang payudaranya yang tampak masih fresh itu, seolah menantangku untuk meremasnya.
Dalam keadaan sama – sama tinggal mengenakan celana dalam, aku pun melompat ke atas bed dan menghimpit sepasang toket fresh-nya dengan dadaku.
Sebenarnya aku sedang “mengukur” badan Teh Nenden dengan badanku sendiri, apakah pada saat menyetubuhinya nanti takkan ada kesenjangan ukuran badan?
Tapi ternyata hanya kaki Teh Nenden yang lebih panjang dari kakiku. Dalam keadaan berhimpitan begini, ukuran Teh Nenden sama saja dengan perempuan – perempuan lain. Dari pinggul ke atas tidak ada perbedaan dengan badanku.
Karena itu aku mulai merasa nyaman. Dan mulai menggeluti bibir sensualnya dengan bibirku.
Kemudian Teh Nenden duduk sambil memegangi celana dalamku sambil berkata, “Penasaran ingin lihat bentuk kontolmu yang kata Teh Siska international size itu.”
Kubiarkan saja Teh Nenden menarik memelorotkan celana dalamku sampai terlepas dari kakiku. Dan ia terbelalak sambil memegang batang kemaluanku yang memang sudah ngaceng berat ini (maklum Bunda sudah tiga hari menstruasi, sementara Donna sedang kurang sehat).
“O my God !” seru Teh Nenden sambil mengepit batang kemaluanku dengan kedua telapak tangannya yang terasa halus dan hangat, “Ini kontol manusia apa kontol kuda sih?! Hihihihi… kebayang kalau sudah dimasukin ke dalam memekku… !”
“Buka juga dong celana dalam Teteh, biar aku tau seperti apa memek Teteh itu,” ucapku sambil menunjuk ke arah celana dalam Teh Nenden.
Teh Nenden menciumi “topi baja” penisku, lalu menanggalkan celana dalamnya sambil tersenyum – senyum sendiri.
Begitu celana dalamnya terlepas, Teh Nenden langsung menelentang sambil mengusap – usap memeknya yang sangat bersih dari jembut, bahkan tampak mengkilap saking licinnya.
Spontan aku menelungkup dengan wajah berada tepat di atas kemaluan kakak kandungku. “Wah… memek tembem dan bersih begini sih pasti enak ngejilatinnya Teh.”
“Memang harus dijilatin dulu sebelum dimasukin kontol segede gitu sih. Kalau gak dijilatin dulu pasti sakit waktu penetrasinya,” sahut Teh Nenden sambil merentangkan kedua belah paha putih mulusnya.
“Ini diapain memeknya sampai licin begini Teh? Diwaxing?” tanyaku sambil mengusap – usap memek Teh Nenden.
“Pakai obat perontok rambut. Diwaxing sih kapok. Pedih sekali. Lagian diwaxing sih bisa tumbuh lagi jembutnya, hanya lebih lama tumbuhnya lagi, karena dicabut dengan akar – akarnya.”
Begitu tembemnya memek Teh Nenden ini, sehingga bibir luarnya tersembunyi oleh ketembemannya. Karena itu kungangakan memek kakak langsungku itu, karena ingin tahu seperti apa “dalemannya”.
Setelah memek Teh Nenden kungangakan dengan kedua tanganku… hmmm… bagian dalamnya benar – benar berwarna pink, karena kulit Teh Nenden memang putih sekali, kayak cewek bule.
“Ayo jilatin Don. Jangan dipelototin doang… !” ucap Teh Nenden sambil membelai rambutku yang sudah berada di bawah perutnya.
Sebenarnya aku sedang menilai – nilai betapa sempurnanya Teh Nenden ini (sempurna untuk ukuran manusia biasa). Tubuh yang tinggi semampai, kulit yang putih bersih, wajah yang cantik dan memek yang tembem bersih ini… aaaah… seandainya kelak aku punya istri sesempurna Teh Nenden ini…!
Namun terawanganku dikejutkan oleh “perintah” kakak kandungku itu. Maka dengan sangat bergairah kujilati bagian dalam memeknya yang berwarna pink itu. Begitu lahap aku menjilatinya, sehingga aku tak mau menyisakan semua bagian yang terjangkau oleh lidahku. Demikian pula kelentitnya, mulai kujilati secara massive.
Bahkan aku menggunakan ujung jari tangan kiriku untuk mengelus – elus kelentit Teh Nenden, sementara jari tangan kanan kuselundupkan ke dalam liang memek Teh Nenden yang terasa kecil sekali ini.
Sampai pada suatu saat Teh Nenden berkata terengah, “Cukup Don… uidah basah sekali nih… masukin aja kontolmu.”
“Instruksi” seperti itulah yang kutunggu. Karena air liurku memang sudah membasahi liang memek Teh Nenden, bercampur dengan lendir libidonya sendiri. Maka setelah mendengar perintah itu, aku langsung merayap ke atas perut Teh Nenden sambil meletakkan moncong penisku di mulut vagina kakak kandungku.
Sepasang paha Teh Nenden pun direntangkan lebar – lebar, seolah mengucapkan selamat datang pada alat kejantananku untuk memasuki gerbang surgawinya.
Dan… aku pun mendorong batang kemaluanku sekuat tenaga. Berhasil…! Melesak sedikit demi sedikit sampai lebih dari separohnya.
“Oooooohhh… terasa sekali gedenya punyamu Dooon… “rintih Teh Nenden dengan mata menatapku sambil meringis.
“Soalnya lubang memek Teteh sempit sekali… sampai kayak memek perawan gini saking sempitnya…” sahutku sambil mulai mengayun batang kemaluanku perlahan – lahan dulu. Setelah terasa agak lancar, barulah kugenjot penisku dalam kecepatan normal.
Teh Nenden pun merengkuh leherku ke dalam pelukannya. Lalu menciumi sepasang pipiku, berlanjut mencium bibirku dengan hangatnya. Penisku pun mulai lancar mengentot liang memeknya yang sempit menjepit tapi sudah licin dan hangat ini.
Mulutku pun menemani aksi penisku, dengan mengemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya. Hal ini kulakukan dengan lembut. Tapi Teh Nenden tampak menikmatinya.
Rintihan – rintihan erotisnya mulai terdengar. Rintihan yang dilontarkan perlahan, mungkin karena takut terdengar oleh Teh Siska di luar kamar sana. “Donny… edaaaan… kontolmu enak banget Dooon… entotanmu serasa mengalir dari ujung kaki sampai ke kepalaku Dooon… iyaaaaa Doooon… entot terus Dooon…
Rintihan itu seolah bisak, karena perlahan sekali. Namun pinggul Teh Nenden mulai bergoyang – goyang erotis sekali. Meliuk – liuk dan menghempas – hempas seolah membentuk angka 8. Sehinggga penisku serasa dibesot – besot dan diremas – remas oleh liang memek sempit menjepitnya. Ini membuatku edan eling.
Maka aku pun melawannya. Dengan mempergencar entotanku. Membuat batang kemaluanku makin cepat bermaju – mundur di dalam jepitan liang sempit yang licin dan hangat itu. sumber Ngocoks.com
Rintihan – rintihan erotis Teh Nenden pun semakin menjadi – jadi. Tapi suaranya tetap perlahan – lahan, setengah berbisik. “Doon… enak sekali Dooon… oooooh… aku bakal ketagihan dientot ssama kamu Doooon… ayo entot terus Dooon… entot terusssssss… entotttt… entooootttttttt…
Entooooottttttt… entoooottttttttt… entooooottttt… entot terussss… Doooon… kontolmu enak Dooon… kontooool… kontooool enak… ooooh… Dooonnnnn. jangan brenti – brenti Dooon… entooot teruuuuusssssssss… entooooot… entotttttttt… iyaaaaaaa… iyaaaa… enaaaak Dooooon…
Cukup lama semua ini terjadi. Mulutku pun pindah sasaran. Menjilati leher Teh Nenden yang sudah keringatan, disertai dengan gigitan – gigitan kecil… membuat Teh Nenden terpejam – pejam sambil memegang sepasang bahuku disertai dengan remasan – remasan lembut. Bahkan sepasang ketiaknya pun tak lepas dari jilatan dan gigitan -gigitan kecilku.
Kelihatannya Teh Nenden sangat enjoy dengan aksiku yang “lengkap” kini.
Sehingga pada suatu saat Teh Nenden berbisik terengah di dekat telingaku, “Don… aku sudah mau lepas. Bisa dibarengin nggak?”
Mengingat Teh Nenden membutuhkan spermaku, spontan permintaannya itu kuiyakan.
Lalu kuintensifkan entotanku, sementara Teh Nenden mulai menggeliat – geliat erotis. Bahkan lalu mengelojot – ngelojot seperti sedang sekarat. Aku pun semakin cepat mengentotnya, dengan harapan ingin secepatnya ejakulasi.
Dan akhirnya aku berhasil mencapai tujuan utama itu. Ketika Teh Nenden mengejang tegang, aku pun sedang menancapkan batang kemaluanku sedalam mungkin, tanpa menggerakkannya lagi.
Lalu sekujur liang kemaluan Teh Nenden bergerak – gerak erotis, seperti spiral yang tengah membelit batang kemaluanku, disusul dengan kedutan – kedutan kencang yang terasa nikmat sekali. Pada saat itu pula moncong penisku memuntah – muntahkan sperma yang sedang dibutuhkan oleh Teh Nenden.
Crrroottttt… crooooooootttt… crooooooottttt… crotcrot… crooootttt…!
Aku berkelojot di atas perut kakakku. Lalu terkulai lemas, seperti kakakku yang juga terkapar lemas di bawah himpitanku.
“Terima kasih Don… mudah – mudahan benihmu bisa membuahi telurku ya,” ucap Teh Nenden lirih.
“Erima kasih juga telah diberi kesempatan menikmati memek Teteh yang luar biasa enaknya,” sahutku disusul dengan kecupan mesra di bibir sensualnya.
Keringat pun semakin membanjir di tubuh kami …
Bersambung…