Setelah batang kemaluanku dicabut dari liang memek Teh Nenden: “Nanti kasih alamatmu di Bangkok ya Don. Siapa tau pesiar ke sana, sekaligus ketemuan denganmu.”
“Iya Teh,” sahutku sambil turun dari bed. Lalu melangkah ke pintu dan membuka kuncinya. sekaligus membuka pintunya.
“Kok cepet banget? Udahan?” tanya Teh Siska di ambang pintu kamarnya.
“Udah. Kan harus mengimbangi orgasmenya Teh Nenden,” sahutku setengah berbisik. Sementara Teh Nenden masih terkapar di atas bed, dalam keadaan masih telanjang bulat.
Teh Siska berbisik di dekat telingaku, “Sttt… masih kuat ngentot aku?”
Aku tidak menjawab.
“Aaaah… anak muda yang baru duapuluh tahunan sih pasti bisa. Iya nggak?”
Aku mengangguk sambil meraih pergelangan tangan Teh Siska ke dalam kamarnya.
Tentu saja aku masih mampu menyetubuhi Teh Siska. Karena kebetulan sudah tiga hari aku tidak menyetubuhi siapa – siapa. Karena Bunda sedang mens, Donna pun sedang demam flu.
Ketika Teh Siska naik ke atas bednya, Teh Nenden masih tengkurap dalam keadaan telanjang bulat. Mungkin Teh Nenden dalam keadaan tepar sehabis orgasme tadi. Sehingga dia tidak melihat bahwa Teh Siska yang montok itu sudah menelanjangi diri kemudian memegang batang kemaluanku tanpa banyak bicara lagi.
Tampaknya Teh Siska sudah benar – benar kangen padaku, karena sejak langkah pertamaku bersamanya tempo hari, baru sekarang aku mengunjungi rumahnya lagi. Kekangenannya itu dicurahkan dengan mengoral penisku yang masih lemas ini. memang tidak perlu lama – lama mengoral penisku yang masih full strong ini.
Hanya beberapa menit Teh Siska mainkan mulutnya, penisku pun mulai ngaceng lagi. “Hmm… kamu memang masih sangat muda. Makanya diemut sebentar juga udah ngaceng lagi,” kata Teh Siska sambil menciumi puncak penisku. Lalu menelentang di samping Teh Nenden yang masih telungkup dan tampaknya ketiduran itu.
Aku merayap ke antara kedua belah paha Teh Siska yang sudah direntangkan lebar – lebar. Lalu kuselundupkan jari tengahku ke dalam liang memeknya. ternyata sudah basah sekali. Mungkin sejak aku menyetubuhi Teh Nenden, diam – diam Teh Siska sudah bermasturbasi di luar kamarnya ini.
Maka tanpa basa – basi lagi kubenamkan penisku ke dalam liang memek Teh Siska, yang disambut dengan pelukan Teh Siska di leherku. “Permainan yang kedua biasanya lebih lama daripada permainan pertama kan?” bisik Teh Siska di dekat telingaku.
“Biasanya begitu,” sahutku.
Lalu Teh Siska berbisik lagi di dekat telingaku, “Nenden sangat membutuhkan spermamu. Jadi nanti kamu boleh ngecrot di memeknya. Yang penting puasi aku dulu seperti yang tempo hari.”
“Iya Teh,” sahutku sambil mulai mengayun penisku yang sudah sepenuhnya berada di dalam “genggaman” liang memek Teh Siska.
Tanpa peduli lagi dengan Teh Nenden yang tampaknya ketiduran itu, Teh Siska mulai merintih – rintih, “Aaaa… aaaaaa… aaaaaah… kontolmu memang luar biasa enaknya Dooon… membuatku jadi ketagihan… aaaa… aaaaaaa… aaaaahhhhh… aaaa… aaaaahhh… entot teruusss Dooon… entottttt…
Begitu bisingnya rintihan Teh Siska, sehingga Teh Nenden terbangun. Lalu duduk bersila di dekat Teh Siska, sambil memperhatikan apa yang sedang terjadi di antara aku dengan kakaknya.
Sesaat kemudian, ketika aku sedang gencar – gencarnya mengentot Teh Siska, Teh Nenden pun merebahkan diri lagi. Celentang di samping Teh Siska, sambil memegang dan meremas tanganku yang tak jauh dari tangannya.
Mungkin Teh Nenden sudah horny lagi melihat kakaknya sedang menikmati entotanku. Maka sambil mengentot Teh Siska, kusempatkan menjulurkan tanganku ke… memek Teh Nenden…!
Tidak terlalu sulit mencapai kemaluan kakak kandungku yang tinggi badannya luar biasa untuk ukuran wanita itu. Dan tampaknya Teh Nenden sangat enjoy ketika jemariku mulai menyelusup ke dalam liang memeknya, tanpa menghentikan entotanku di liang memek Teh Siska.
“Cupangin lagi leherku Dooon…” bisik Teh Siska pada suatu saat.
Kuikuti saja permintaan Teh Siska itu. Lagian apa susahnya nyupangin leher? Cuma harus menyedot – nyedotnya sekuat mungkin, sampai meninggalkan bekas merah menghitam seperti bekas kerokan.
Sambil nyhupangin leher Teh Siska, aku tetap mengentotnya dengan gencar. Sementara tangan kananku tetap menggerayangi memek Teh Nenden. Hmmm… rasanya aku seoleh sedang berada di surga dunia. Surga yang mengucurkan 1001 kenikmatan.
Teh Siska sudah menyadari kalau tangan kananku sedang menyodok – nyodok liang memek Teh Nenden. Lalu Teh Siska menarik tangan kiriku dan menempelkan di permukaan toket kanannya.
Aku pun mengerti apa yang harus kulakukan. Bahwa aku harus meremas toket kanan Teh Siska sekuat mungkin, karena memang begitu selera seksnya.
Mungkin Teh Siska sudah sangat horny sebelum kusetubuhi ini, sehingga baru belasan menit aku mengentotnya, tiba – tiba dia berkelojotan. Lalu mengejang sambil menahan nafasnya. Dan akhirnya Teh Siska menghempaskan bokongnya sambil merintih lirih, “Aaaaaah… aku sudah lepas Don…”
Entah kenapa, aku justru senang mengetahui Teh Siska sudah orgasme. karena aku kasihan kepada Teh Nenden yang tampak sudah horny lagi itu. Maka kutarik penisku dari liang memek Teh Siska, lalu secepatnya pindah ke atas perut Teh Nenden.
Dengan mudahnya aku membenamkan batang kemaluanku ke dalam liang vagina Teh Nenden, karena ia sudah orgasme tadi. Sehingga liang memeknya jadi terasa mengembang.
Dan aku bisa langsung beraksi. Mengayun batang kemaluanku yang sudah berada di dalam liang memek Teh Nenden.
Teh Nenden pun mulai merintih – rintih erotis lagi. “Don… Teh Siska benar… kontolmu ini kok luar biasa enaknya gini ya? Ayo Don… setubuhi aku sepuasmu. Mumpung kamu belum pulang ke Bangkok… iyaaaaaaa… iyaaaaaa… entot aku terus Don… entooot teruuuuusss… entooooooottttttt…
Tiba – tiba terdengar suara Teh Siska yang sedang telungkup sambil bertopang dagu di dekat bahu Teh Nenden. “Bener kan? Kontol Donny memang luar biasa enaknya kan?”
“Iiii… iya Teh… enak sekaliiii… oooooooh… belum pernah aku merasakan disetubuhi yang seenak iniiii…” sahut Teh Nenden yang sudah mulai menggoyang – goyangkan pinggulnya. Memutar – mutar… meliuk – liuk… menghempas – hempas… Semua itu ia lakukan dengan lincah sekali. Sehingga terasa benar betapa batang kemaluanku serasa dibesot – besot dan diremas – remas oleh liang memek Teh Nenden.
Tapi aku tak maju mengalah. Aku bahkan semakin gencar mengentotnya. Sambil mengemut pentil toketnya yang masih fresh itu. Terkadang menjilati lehernya. Telinganya dan bahkan ketiaknya pun tak luput dari jilatan dan gigitan – gigitan kecilku.
Cukup lama aku melakukan semuanya ini. Sehingga keringatku mulai bercucuran, bercampur aduk dengan keringat Teh Nenden yang terus – terusan merintih – rintih histeris dan erotis kedengarannya.
“Donny… aaaaaa… aaaaaaah… kontolmu enak sekali Doooon… entot terusssss… entoooot teruuuusssss… entooooot… entoooooootttt… iyaaaaaa… iyaaaaaaaa… iyaaaaaaa… entooootttttttt… entoooootttt… aaaaa… aaaaah… gak nyangka kontol adikku segede dan seenak iniiii…
Tapi beberapa saat kemudian Teh Nenden sudah klepek – klepek lagi sambil membisiki telingaku, “Aku udah mau lepas lagi Don. Barengin lagi ya. Biar jadi anak.”
Sebenarnya aku masih kuat bertahan. Tapi untuk apa diperlambat kalau memang Teh Nenden membutuhkan secepatnya?
Maka kupercepat entotanku, sambil menciumi bibir Teh Nenden. Makin lama makin cepat dan akhirnya… ketika Teh Nenden mengejang tegang lagi… aku pun menancapkan batang kemaluanku, tanpa kugerakkan lagi.
“Aaaaaaaah… “Teh Nenden melepaskan nafasnya yang barusan tertahan selama 2-3 detik. Bersamaan dengan kedat – kedut liang memeknya secara spontan. Disusul oleh tembakan – tembakan sperma dari moncong penisku. Crooootttt… crotttttt… crot… croooottttt… crot… crooootttt …
“Terima kasih ya Don. Mudah – mudahan spermamu berhasil membuahi telurku,” kata Teh Nenden sambil mengecup bibirku.
Beberapa saat kemudian aku sudah meninggalkan rumah Teh Nenden. Meninggalkan kedua kakak kandungku itu.
Sebenarnya mereka menahanku, agar aku jangan pulang dulu. Tapi aku menolak keinginan mereka, karena di rumah Bunda sedang sibuk bongkar – bongkar. Tak enak rasanya meninggalkan Bunda dan Donna yang sedang sibuk begitu.
Rumah yang kubeli dari Pak Wondo itu sudah selesai dipugar. Hanya membutuhkan lima hari untuk memugarnya, karena pemborong yang dipanggil Pak Husen itu membawa anak buahnya cukup banyak.
Rumah itu terdiri dari 3 kamar yang masing – masing ada kamar mandinya. Sudah menggunakan shower dan water heater pula. Takkan mandi pakai gayung plastik lagi. Shower dan water heater itu aku yang membelikannya. Furniture dan perabotan lainnya sudah lengkap semua. Aku juga yang membelikan semuanya itu, dari toko furniturew dan toko alat – alat electric yang kata Donna paling elit di kota ini.
Jadi, Bunda tak usah mencuci pakai tangan lagi, karena sudah disediakan mesin cuci olehku. Setiap kamar pun kupasangi AC, supaya sejuk dan selalu bersih udaranya. Dapurnya pun sudah ditata sedemikian rupa, sehingga mirip kitchen di rumah orang – orang berada. Kitchen itu kusatukan dengan ruang makan, supaya mudah menyajikan makanan yang baru dimasak.
Di ruang tamu, ruang keluarga dan di setiap kamar sudah dipasangi sofa putih semua, masing – masing 1 set. Di setiap kamar dipasangi TV LED kecil.. Sementara di ruang keluarga dipasangi TV LED layar lebar.
Banyak lagi yang telah kusediakan di rumah ini. Pokoknya sekarang rumah ini jauh lebih keren daripada rumah Teh Siska.
Di belakang rumah ini ada tanah kosong, hanya ditumbuhi rumput gajah. Kelak, kalau Bunda dan Donna kerasan tinggal di rumah ini, akan kubuat kolam renang di halaman belakang itu. Tapi itu nanti saja, kalau pembangunan di tanah kosong seluas 5000 meter persegi itu selesai.
Atas usul Bunda dan Donna, bangunan yang baru akan dimulai membangunnya itu, akan digunakan untuk membuka usaha kuliner. Kelak namanya entah café, resto atau apa pun terserah mereka. Yang jelas bangunan itu harus disesuaikan dengan tujuan penggunaannya kelak.
Yang sangat menyenangkan hatiku, adalah bahwa Bunda benar – benar menghentikan kebiasaan minum minuman kerasnya. Semoga hal itu membuatnya lebih sehat dan segar kelak.
Aku mau berbuat apa saja asalkan Bunda tidak minum minuman beralkohol lagi.
Rumah lama Bunda sebenarnya hanya terhalang oleh tanah kosong yang luasnya 5000 meter persegi itu. Seandainya tidak ada tanah kosong yang sudah mulai diratakan dan dipadatkan itu, maka rumah Bunda akan berdampingan dengan rumah yang sudah kubeli dari Pak Wondo itu.
Tanah itu sangat bagus bentuknya. Ukurannya 60 X 83.50 meter. Kebetulan yang 83,50 meter itu mukanya (yang menghadap ke jalan). Jadi bisa menyediakan lahan parkir yang lumayan nantinya.
Sepulangnya dari rumah Teh Siska, aku menuju tanah kosong yang sudah diratakan dan dibuat lubang – lubang untuk tiang – tiang beton nantinya. Sebenarnya Pak Husen menawarkan untuk membangun dengan konstruksi baja. Tapi aku menolaknya. Karena bangunan dengan konstruksi baja, menghilangkan unsur keindahannya.
“Selamat sore Boss,” ucap Pak Husen sambil menghampiriku yang baru muncul di tanah yang akan dibangun itu.
“Sore,” sahutku sambil mengangguk dan tersenyum, “Kebetulan Pak Husen datang nih. Anu Pak… bagaimana kalau bangunan kolam renang di belakang rumah yang baru direnovasi itu dibangun mulai besok?”
“Bisa,” sahut Pak Husen.
“Tapi mengganggu pembangunan di sini gak?”
“Nggak Boss. Yang bikin kolam renang kan harus ahlinya. Jadi tidak ada sangkut pautnya dengan pembangunan di sini.”
“Pembangunan kolam renang harus oleh ahlinya?”
“Iya. Kolam renang kan harus ada bagian untuk menyaring airnya, agar jangan sampai keruh. Pemasukan dan pembuangan airnya juga harus lancar, supaya air di kolam renangnya tetap bening, meski pun tersinari matahari terus.”
“Oh iya… air yang disinari matahari bisa cepat tumbuh lumut ya.”
“Iya Boss.”
“Ya udah kalau gitu, besok mulai aja bangun kolam renangnya. Gambar designnya sudah saya kasih kan?”
“Sudah Boss.”
Tiba – tiba handphoneku berdering. Kuambil dari saku celaqna jeansku. Haaa?! Dari Mr. Liauw, notaris kepercayaan Papa itu? Ada apa ya?
“Selamat sore Oom Liauw.”
“Sore juga. Dengan Boss Donny sendiri ya?”
“Betul Oom. Ada yang bisa dibantu?”
“Begini Boss… kapan mau pulang ke Bangkok?”
“Masih lama Oom. Sekitar tiga mingguan lagi. Emangnya kenapa?”
“Apa nggak bisa pulang dulu barang sehari, lalu balik lagi ke Indonesia?”
“Ada yang sangat penting?”
“Betul. Ini menyangkut asset peninggalan Pak Margono almarhum.”
“Oke, kalau begitu besok saya terbang ke Bangkok.”
“Terima kasih Boss. Hati saya tenang kalau Boss mau pulang dulu besok sih.”
Setelah hubungan seluler dengan Mr. Liauw ditutup, aku tercenung sendiri. Ada apa ya? Kenapa aku harus buru – buru pulang dulu ke Bangkok?
Mr. Liauw memang notaris sekaligus orang kepercayaan Papa almarhum. Karena Mr. Liauw itu lahir dan besar di Indonesia. Selain daripada itu, Mr. Liauw itu sangat jujur, kata almarhum Papa. Karena itu banyak rahasia perusahaan dan pribadi Papa yang dipegang oleh Mr. Liauw.
Keesokan paginya aku sudah melayang di angkasa, di dalam pesawat yang akan membawaku ke Bangkok.
Sdetibanya di rumah megah peninggalan almarhum Papa ini, Tante Reni menyambutku dengan riang sekali. Tanpa ragu lagi dia masuk ke dalam kamarku dan langsung menghambur ke dalam pelukanku.
“Apa kabar Tante?” tanyaku setelah mencium bibir tante Reni berulang – ulang.
“Hanya kangen dan kangen yang ada di dalam hatiku Den… eeeh… Don.”
“Bagaimana perasaan Tante setelah mendapat penjelasan dari Bunda bahwa aku ini benar – benar keponakan Tante?”
“Ya bikin gede hatiku, Sayang.”
“Aku juga senang sekali setelah mengetahui bahwa Mbak Reni ini sebenarnya Tante Reni. Karena Tante Reni ini adik bungsu Bunda.”
“Iya. Rasanya derajatku jadi naik… tapi bagaimana dengan hubungan kita nanti ya?”
“Tetap harus berlanjut. Tapi harus dirahasiakan kepada keluarga kita.”
“Iya.”
“Tapi… sebentar lagi akan ada notaris datang. Bisa disiapkan minuman dan snack untuk menyuguhinya?”
“Bisa bossku… keponakanku… sayangku… cintaku…!” sahut Tante Reni sambil menciumi kedua belah pipiku.
Tidak lama kemudian Mr. Liauw datang sesuai janji lewat handphone setibanya aku di bandara tadi.
Mr. Liauw kuterima di ruang kerja yang dahulu biasa dipakai sebagai ruang kerja Papa almarhum.
Begitu duduk di ruang kerja Papa, Mr. Liauw berkata, “Maaf saya mengganggu Boss, sehingga harus buru – buru pulang dari Indonesia. Soalnya saya takut menyampaikan pesan lisan kepada saya pada waktu Pak Margono masih ada. Pesan itu sangat rahasia, katanya. Tapi saya sampai lupa menyampaikan pesan itu.
“Apa isi pesannya Oom?” tanyaku tak sabaran.
“Almarhum bilang, bahwa kalau beliau sudah tiada, ada surat – surat penting di safe deposit box, yang nomor kuncinya sudah dikasih tau kepada Boss. Betul kan almarhum sudah ngasih tau nomor kunci brankas itu?”
“Iya, “aku mengangguk.
“Terus… semua surat – surat penting dalam brankas itu diwariskan kepada Boss.”
“Iya… iya… terus apa lagi pesannya?”
“Nanti kalau ada kesulitan mengurus surat – surat penting ini, Boss disuruh menghubungi orang ini di Jakarta,” kata Mr. Liauw sambil menyerahkan secarik kartu nama.
Kubaca nama yang tertera berikut alamat orang di kartu nama itu. Mrs. Tania berikut alamat lengkap rumah dan kantornya di Jakarta.
“Mungkin orang ini termasuk kepercayaan Papa juga ya Oom?” kataku sambil memasukkan kartu nama itu ke dalam dompetku.
“Pasti. Almarhum Pak Margono tidak pernah menyerahkan hal – hal penting kepada orang yang belum menjadi kepercayaannya.”
Tak lama kemudian Tante Reni datang dan meletakkan snack berikut dua gelas lemon tea di atas meja di depan sofa yang sedang diduduki oleh Mr. Liauw, sementara aku duduk di depannya, dibatasi oleh meja kecil yang 100% terbuat dari kaca tebal itu.
“Silakan diminum Oom,” kataku sambil meraih gelas yang berada di dekatku.
“Terima kasih,” sahut Mr. Liauw sambil meraih gelas lemon tea yang berada di dekatnya.
“Oom… sebenarnya saya mau pindah ke Indonesia saja,” kataku ketika Mr. Liauw sedang menikmati lemon tea dan snack yang terhidang di depannya.
“Terus kuliah Boss bagaimana nanti?”
“Kuliah di Indonesia aja. Soalnya ada beberapa alasan kuat yang membuat saya harus tinggal di Indonesia. Oom bisa kan mencarikan orang yang mampu membeli semua asset saya di Bangkok dan di Chiang Mai?”
“Mau dijual semua? Tidak sayang kah?” Mr. Liauw menatapku dengan sorot seius.
“Sayang sih sayang. Tapi uang hasil penjualannya kan bakal saya pakai usaha di Indonesia nantinya.”
“Semuanya mau dijual?”
“Iya perusahaan peninggalan Papa dan rumah rumah di Bangkok akan saya jual semua, kecuali rumah yang ini dan yang di Khao Yai, akan saya pertahankan. Takkan dijual.”
“Kalau tekadnya memang sudah bulat, nanti akan saya carikan calon buyernya.”
“Silakan. Sukur – sukur kalau Oom sudah menemukan buyernya sebelum saya pulang ke Indonesia lagi.”
“Mau berapa lama di sini sekarang?”
“Paling juga sepuluh hari lagi saya akan kembali ke Indonesia, kemudian akan tinggal di sana selama berbulan – bulan. Karena ada yang sedang saya bangun di sana.”
“Asset – asset yang di Singapore bagaimana?”
“Yang di Singapore semuanya akan saya pertahankan. Karena prospek masa depannya sangat bagus.”
Sebelum Mr. Liauw pulang, aku masih sempat berjanji akan memberitahu apa isi surat – surat penting yang tersimpan di dalam brankas itu. Soalnya aku masih capek setelah menempuh penerbangan menuju Bangkok ini. Sedangkan aku tahu di mana letak brankas itu. Di dalam bunker yang letaknya tepat di bawah tempat tidur almarhum Papa.
Tapi setelah Mr. Liauw pulang, kupaksakan juga untuk memeriksa apa isi brankas itu. Settelah berada di dalam kamar Papa, aku langsung menuju bed yang ada roda kecil di bawahnya. Ini menguntungkan, karena aku tak usah menguras tenaga uintuk mendorong bed itu, sampai pintu bunkernya tidak terhalangi lagi dan bisa dibuka (setelah nomor rahasianya kupijit – pijit).
Kemudian pintu bunker yang terbuat dari besi itu kubuka. Aku pun turun ke dalam bunker itu. Puluhan koper bertumpuk di dalam bunker itu, sementara brankasnya nyempil di sudut.
Dahulu aku memang tahu bahwa brankas itu ada isinya. Tapi hanya beberapoa buah map yang tidak menarik hatiku. Sehingga aku tak pernah bertanya kepada Papa tentang isi map – map itu apa saja. Juga koper – koper itu tak pernah kutanya apa isinya. Aku hanya berpikir, mungkin isinya cuma pakaian yang sudah tidak terpakai lagi.
Tapi sebelum membuka brankas itu aku iseng membuka salah satu koper itu.
Astagaaaa…! Koper itu penuh dengan uang dollar Amerika pecahan 100 USD!
Tanganku sampai gemetaran pada waktu menyentuh uang di dalam koper itu.
Tapi koper itu kututup dan kusimpan di tempat semula. Dengan pikiran gembira bercampur bingung. Gila… uang sebanyak itu mau diapain? Entahlah. Aku belum bisa memikirkannya.
Lalu kubuka brankas itu setelah memutar nomor rahasianya yang masih tetap kuingat. Masih seperti dahulu. Isinya cuma beberapa buah map. Maka kukeluarkan semua map itu. Dan kulihat satu persatu. Ternyata isinya sertifikat – sertifikat rumah di Indonesia semua. 2 rumah di Jakarta, 3 rumah di Bandung, 2 rumah di Jogja, 1 rumah di Semarang dan 5 rumah berikut sebuah perusahaan yang masih berjalan di Surabaya, 1 villa di Puncak dan 1 villa di Batu Malang.
Yang mengharukan adalah surat dari Papa yang kutemukan dari brankas itu. Isinya.
Donny Anakku Sayang,
Waktu kamu membaca surat ini, mungkin papa sudah tiada, menyusul Mama di alam abadi.
_
Perlu kamu ketahui, bahwa baik papa mau pun Mama sudah tidak punya sanak saudara lagi. Sehingga papa putuskan untuk mewariskan semua harta benda papa kepadamu, anakku.
Di dalam surat wasiat yang papa titipkan ke notaris Liauw, sudah papa jelaskan bahwa sebenarnya kamu bukan anak kandung papa dan Mama Tapi kami menyayangimu lebih dari kepada anak kandung kami sendiri.
Karena itu papa tidak ingin melihatmu sengsara setelah papa tinggalkan. Karena itu, semua uang dollar yang ada di dalam 47 buah koper itu pun papa wariskan kepadamu. Semoga kamu bisa memanfaatkannya sebaik mungkin. Kalau bisa, kembangkanlah uang itu dengan cara yang terbaik bagimu kelak.
Papa ingin agar semua harta benda yang diwariskan padamu itu digunakan untuk kebaikan dan masa depanmu. Jadilah orang yang lebih sukses daripada papa, ya anakku.
_
Margono
Setelah membaca surat dari Papa almarhum, air mataku tak tertahankan lagi, mengucur dengan derasnya. Semuanya terbayang lagi di mataku. Termasuk skandalku dengan Mama, yang seakan membuatku jadi oposisi Papa.
Lalu aku bergumam di dalam bunker itu. “Pesan Papa akan kulaksanakan sebaik – baiknya. Semoga Papa dan Mama beristirahat dengan tenang di alam kekal sana.”
Setelah menutupkan brankas dan mengambil semua map berisi surat – surat penting itu, aku pun naik ke atas lagi. Kututup dan kukuncikan kembali pintu bunker. Kemudian kudorong bed yang dahulu biasa dipakai tidur oleh Papa almarhum. Kemudian meletakkan map – map itu di ruang kerja. Dan masuk ke dalam kamarku.
Tak lama kemudian pintu kamarku diketuk dari luar.
Kujawab, “Masuk aja, gak dikunci.”
Ternyata Tante Reni yang membuka pintu dan bedrdiri di ambangnya. “Makan siang sudah disiapkan di ruang makan, Sayang.”
“Iya Tante. Aku memang lapar nih,” sahutku sambil mengganti pakaianku dengan baju dan celana piyama.
Di ruang makan, sikap Tante Reni masih seperti dulu. Berdiri di belakang kursiku, untuk menyiapkan sesuatu yang kurang bagiku.
“Tante duduk aja, jangan seperti dulu lagi,” ucapku sambil menarik kursi yang di samping kursiku, “Sekalian temani aku makan ya.”
Sambil tersenyum Tante Reni duduk juga di kursi itu.
Tapi Tante Reni tetap menyeduk nasi untuk piringku, lalu meletakkan piring berisi nasi itu di depanku.
“Itu sayur lodeh ya?”
“Iya. Mau?”
“Mau,” sahutku.
Tante Reni pun menyeduk sayur lodeh itu ke dalam mangkok kecil. Lalu medletakkan mangkok itu di dekat piringku. Lalu aku minta goreng ikan laut dan sambal. Tante Reni pun meladeniku lagi.
“Gak enak diladeni sama tanteku sendiri,” kataku sambil menepuk pantat Tante Reni.
“Kan Donny sudah kuanggap sebagai suamiku sendiri. Wajar kalau istri meladeni suami kan?”
“Surat perceraian dengan suami Tante sudah datang?” tanyaku sambil mulai makan.
“Sudah. baru datang kemaren,” sahut Tante Reni sambil mulai makan juga, menemaniku.
“Orang – orang yang kerja di sini sudah tau kalau Tante ini tanteku?”
“Belum. Nanti Donny aja yang jelasinnya.”
“Orang Indonesia yang bekerja di sini tinggal berapa orang?”
“Masih lengkap seperti dulu. Selain aku, ada Lili… Mita… Nora… Wati dan Ica. Laki – lakinya Taufik dan Banu. Itu saja.”
Setelah selesai makan, aku berkata kepada Tante Reni, “Bisa panggil pegawai yang perempuan saja, tapi semuanya harus hadir di sini.”
“Iya… sebentar ya… mau ta kumpulin dulu.”
Kemudian semua “karyawati” dikumpulkan di ruang makan. Mereka berdiri sambil menundukkan kepala semua. Kusebutkan bahwa sebenarnya Tante Reni itu adik bungsu ibu kandungku. Kusebutkan juga bahwa rumah ini akan dijual (padahal tidak akan kujual sampai kapan pun). Namun mereka semua bisa memilih, apakah mau kupindahkan ke Khao Yai yang udaranya sejuk itu, tidak seperti Bangkok yang panasnya melebihi Jakarta, atau mau dipindahkan ke Surabaya, atau mau resign saja.
Ternyata mereka memilih dipindahkan ke Surabaya saja, karena mereka lebih suka tinggal di tanah air, dengan gaji tetap sama dengan gaji di Bangkok.
Sementara Tante Reni kuputuskan untuk tinggal di Jakarta, agar tidak terlalu jauh dariku.
Setelah semua pegawai wanita dibubarkan, kupanggil pegawai – pegawai pria yang hanya dua orang itu. Semua pegawai di rumah peninggalan Papa ini berasal dari Indonesia, termasuk yang prianya.
Taufik dan Banu, demikian nama kedua pegawai pria itu, kuberitahu bahwa mereka ditugaskan untuk menjaga dan membersihkan rumah peninggalan Papa ini, sementara pegawai wanita akan dipindahkan ke Indonesia semua. Karena tidak efisien lagi kalau mereka tetap dipekerjakan di rumah ini, yang tiada kegiatan seperti waktu masih ada Papa dan Mama dahulu.
Kedua pegawai pria itu pun tidak membantah. Dan menyatakan siap setia kepadaku sebagai satu – satunya ahli waris Papa dalam surat wasiat yang ditinggalkannya.
Kemudian kedua pegawai pria itu kupersilakan kembali ke tempatnya masing – masing.
Tinggallah aku dan Tante Reni yang masih berada di ruang makan itu.
Kemudian kuajak Tante Reni ikut ke kamarku.
“Kangen sama aku nggak?” tanyaku setelah berada di dalam kamarku.
“Banget kangennya,” sahut Tante Reni yang saat itu hanya mengenakan gaun batik Thailand yang terbuat dari kain goyang dan tipis.
“Tapi Tante besok harus terbang ke Jakarta dan menetap di sana secara permanen.”
“Iya, “Tante Reni mengangguk, “Kalau Donny mau pindah ke Indonesia, aku juga takkan kuat pisah terlalu lama dengan Donny.”
“Sekarang masih ikut KB?” tanyaku sambil menarik tangan Tante Reni dan mendudukkannya di pangkuanku.
“Masih, “Tante Reni mengangguk di pangkuanku, “Kan surat cerainya juga baru diterima kemaren. Nanti aja setelah berada di Indoinesia, baru dilepas spiralnya. Gak apa – apa kan?”
“Iya. Bagaimana baiknya aja,” sahutku sambil merayapkan tanganku ke balik gaun batik Thailandnya. Begitu tanganku berada di pangkal pahanya, aku langsung menyelinapkan tanganku ke balik celana dalamnya. Dan langsung menjamah kemaluannya yang sudah sangat kurindukan.
“Di Indonesia sudah ketemu dengan kakak – kakakku?” tanya Tante Reni tanpa mempedulikan tanganku yang sedang mengelus – elus memeknya.
“Baru ketemu dengan Tante Ratih doang. Kalau dengan saudara – saudara kandungku sih sudah ketemu semua. Teh Siska, Teh Nenden dan Donna, saudara kembarku.”
“Dengan saudara yang seayah beda ibu sudah ketemu?”
“Haaa?! Memangnya almarhum Ayah punya istri berapa?”
“Istrinya dua orang. Dan bunda Donny istri kedua.”
“Owh… gitu ya? Berarti aku punya saudara seayah berlainan ibu dong.”
“Punya, tiga orang. Cewek semua. Umurnya di atas Siska dan Nenden. Namanya sudah pada lupa, karena aku baru ketemu satu kali dengan mereka.”
“Baru tau sekarang kalau Ayah punya istri lain selain Bunda.”
“Aku tau istri tuanya Kang Rosadi ketika mau minta uang jajan padanya. Karena Ayah Donny sangat pemurah, bahkan tergolong royal. Sehingga sampai tua pun dia tidak kaya – kaya, karena royalnya itu…”
“Tapi aku harus ketemu dengan mereka. Karena mereka itu kakak – kakakku.”
“Iya. Kakak seayah. Bahkan Donny punya hak wali kepada mereka. Oooo… ooooh… Dooon… kalau memekku sudah dipegang – pegang gini… aku jadi horny nih…”
Tante Reni terasa sekali sangat mencintaiku. Setelah menelanjangi dirinya, dengan hati – hati ia menanggalkan baju dan celana piyamaku. Sehingga aku langsung telanjang bulat, karena sengaja aku tidak mengenakan celana dalam saat itu, supaya “instant”. Dan kekangenannya ditumpahkan dengan meraihku ke atas bed, lalu mendorong dadaku agar celentang. Mulutnya pun langsung menyergap peniskuyang sudah dipegangnya dengan segenap kehangatannya.
Begitu trampilnya Tante Reni mengoral penisku, mengulum dan menggelutkan lidahnya di moncong dan leher penisku, sementara tangannya pun aktif mengurut – urut batang kemaluanku yang tidak terkulum olehnya, dibantu oleh air liur yang dialirkan dari mulutnya.
Lalu Tante Reni berlutut, dengan kedua lutut berada di kanan kiri, dengan kemaluan yang berada di atas penis ngacengku. Sambil memegang penisku, Tante Reni menurunkan memeknya perlahan – lahan. Dan perlahan – lahan pula penisku menyeruak ke dalam liang memek tanteku. Masih susah juga masuknya. Tapi Tante Reni memaksakan memeknya untuk “menelan” batang kemaluanku.
Tante Reni pun menjatuhkan dadanya ke atas dadaku. Yang kusambut dengan pelukan di lehernya, ditanggapi dengan ciuman mesranya di bibirku. Lalu Tante Reni sendiri yang mengayun memeknya, seolah dia yang sedang mengentotku. Karena memang demikian kenyataannya. bahwa aku hanya mendiamkan penisku, tapi bisa keluar masuk di dalam cengkraman liang memek tanteku yang aduhai itu.
Memang kalau dipikir – pikir memek perempuan – perempuan yang berasal dari keluarga Bunda ini hampir sama rasanya. Hanya kesannya yang berlainan.
Seperti memek Tante Reni ini, terasa mirip – mirip memek Teh Nenden. Sempit dan legit tapi cepat terlicinkan oleh lendir libidonya sendiri.
Lebih dari seperempat jam Tante Reni menyetubuhiku dalam posisi WOT ini. Sampai akhirnya ia keletihan sendiri, lalu menggulingkan badannya sambil mendekap pinggangku, jadi celentang, sementara penisku masih tetap berada di dalam liang memeknya.
Kini giliranku untuk beraksi. Mengayun penisku dengan gencarnya, karena liang memek Tante Reni sudah basah. Mungkin barusan dia sudah orgasme tapi tidak mau memberitahu padaku karena malu, mungkin.
Sebenarnya aku juga sudah sangat kangen pada Tante Reni yang sebelumnya selalu kupanggil Mbak karena belum tahu bahwa dia itu adik bungsu Bunda. Tante Reni yang tadinya begitu mengabdi padaku. Dan sekarang pun tetap menganggapku sebagai kekasih tercintanya.
Itulah sebabnya aku habis – habisan mengentotnya sambil mengemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya. Membuat Tante Reni semakin bersemamngat menggoyang pinggulnya ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah. Meliuk – liuk dan menghempas – hempas. Bahkan ketika aku menyedot – nyedot lehernya kuat – kuat, sehingga meninggalkan bekas merah kebiruan, dia tidak caomplain sepatah kata pun.
Rintihan demi rintihannya pun mulai berlontaran tanpa terkendali lagi.
“Don… oooooh… Dooooon… aku cinta padamu Doooon… aku tak mau berpisah lagi dengan, mu Sayaaaang… aku sudah telanjur mencintaimu Dooonny… ooooh… Donny… entot terus Dooon… entooooooot… dentooooot… iyaaaaaa… iyaaaaaaa… iyaaaaaaaa… Doooon… kontolmu bikin aku gilaaaaaaaaa…
Kamarku memang kedap suara sejak dahulu. Karena aku serinbg menyetelkan musik keras – keras dan tak mau ditegur oleh Papa almarhum. Karena itu aku tak kuatir dengan rintihan – rintihan Tante Reni yang makin lama makin menjadi – jadi.
Namun pada suatu saat dia merintih terengah, “Barengin Doon… aku mau lepas Don… ayo barengin Dooon…”
Aku mencoba mengikuti keinginan Tante Reni, meski masih asyik dan ingin berlama – lama mengentotnya.
Lalu kupercepat entotanku agar aku lebih cepat ejakulasi seperti yang diinginkannya. Berhasil… Ketik Tante Reni klapak – klepek lalu mengejang tegang, kutancapkan penisku sedalam mungkin di dalam liang sanggama Tante Reni. Pada saat itu pula liang sanggama Tante Reni terasa seperti memilin – milin batang kemaluanku, lalu terasa mengejut – ngejut kencang…
Kami sama – sama terkapar lemas. Disusul dengan ciuman mesra Tante Reni. Dan ucapan lirihnya, “Kemaren aku kuatir sekali… takut Donny akan menghindariku setelah tau aku ini adik bundamu.”
“Aku tidak sejahat itu Tante,” sahutku sambil mencabut batang kemaluanku dari liang memek tanteku.
Kemudian kami mandi bareng. Membuat terawanganku melayang – layang ke masa laluku. Masa ketika Mama masih hidup. Yang selalu memanjakanku pada waktu memandikanku. Bahkan akhirnya kewanitaan Mama pun diserahkan padaku.
Aaaah… aku sedih sekali kalau ingat smeuanya itu. Karena tak kusangka kalau ibu angkat yang sangat menyayangiku itu akan cepat pergi untuk selama – lamanya.
“Tante besok ke Jakarta ya,” kataku ketika Tante Reni sedang menyabuniku.
“Apa pun yang Donny minta, akan kulaksanakan,” sahut Tante Reni, “Tapi apa yang harus kulakukan di Jakarta nanti?”
“Papa mewariskan dua buah rumah di Jakarta. Nanti akan kuberikan alamat – alamatnya. Yang satu di daerah Kebayoran Baru, yang satu lagi di daerah Menteng. Untuk itu, Tante harus menemui yang dikuasakan oleh Papa untuk mengurus dan menjaga rumah – rumah itu. Bilang aja Tante diutus oleh anak tunggal Pak Margono.
“Jadi tugasku apa?” tanya Tante Reni.
“Tante pilih di antara kedua rumah itu, mana yang lebih nyaman untuk Tante tinggali. Maka kelak rumah itu adalah tempat tinggal Tante. Dan aku memang akan pindah ke Indonesia,” ucapku yang mulai gantian menyabuni tubuh seksi tanteku, “Jadi kita akan tetap sering berjumpa setelah Tante tinggal di Jakarta nanti.
“Iya, iya… mmm… Donny akan tinggal di rumah yang kupilih itu juga?”
“Aku akan tinggal di rumah Bunda. Karena ingin memantau Bunda terus. Takut beliau jadi peminum lagi. Tapi usahaku akan dipusatkan di Jakarta nantinya. Jadi kita tetap akan sering ketemuan.”
“Bunda masih suka minum?”
“Pada waktu aku baru datang, masih. Tapi setelah kubujuk – bujuk, lalu berhenti. Sekarang Donna yang kusuruh mengawasi Bunda terus.”
“Rumah bundamu itu harusnya direnovasi Don.”
“Rumah itu sudah ditinggalkan. Sekarang Bunda tinggal di rumah Pak Wondo, yang punya tanah kosong di samping rumah Bunda itu. Tanah kosongnya pun sudah kubeli dan mulai dibangun.”
“Owh… syukurlah. Kasian Teh Ami itu… setelah ditinggal suami malah tenggelam dalam minuman keras. Sehingga rumah tuanya tidak terurus.”
“Tante manggil Teh Ami ya sama Bunda?”
“Iya.”
Pada saat itu tangan bersabun cairku sudah tiba di kemaluan Tante Reni. Dengan nakal aku menyabuninya, sambil memasukkan jemariku ke dalam liang memek tanteku. Dan… diam – diam penisku mulai menegang lagi perlahan – lahan tapi pasti.
Maka pada suatu saat kudesakkan Tante Reni ke dinding kamar mandi, lalu kusabuni lagi memeknya agar licin liangnya. Lalu kuletakkan moncong penisku di permukaan vaginanya. Tante Reni pun membantu memegangi leher penisku, agar arahnya tepat.
Lalu… bleeesssssssss… batang kemaluanku membenam lagi ke dalam liang memek tanteku.
“Udah kangen ya ngentot sambil berdiri gini?” ucap Tante Reni sambil mendekap pinggangku erat – erat.
“Iya… ngentot sambil berdiri gini suka mendatangkan sensasi yang lebih indah,” sahutku sambil mulai mengayun penisku.
Lagi – lagi kunikmati gesekan – gesekan syur antara batang kemaluanku dengan dinding liang sanggama Tante Reni.
Tapi belasan menit kemudian bokong Tante Reni kuangkat… lalu kubawa ke dalam kamarku dan kulanjutkan mengentotnya di atas bed.
Semua ini kulakukan agar aku terkesan sedang merayakan semacam farewell party*(pesta perpisahan)*. Karena besok pagi ia harus terbang ke Indonesia.
Dan esok paginya, ketika hari masih gelap menjelang subuh, Tante Reni berangkat menuju bandara, dengan menggunakan taksi. Tentu saja setelah aku membekali uang yang cukup banyak. Cukup untuk hidup di Jakarta selama berbulan – bulan.
Empat jam setelah Tante Reni berangkat, aku menelepon bank internasional yang cabangnya ada di Indonesia. Bank yang sudah puluhan tahun digunakan oleh almarhum Papa. Aku meminta jasa security bank itu untuk mengangkut koper – koper berisi USdollar yang tersimpan di bunker itu, karena merasa lebih aman dan praktis untuk menyimpannya di bank.
Pegawai bank pun ikut bersama petugas security dan menghitung jumlah uang di setiap koper itu. Kemudian semua uang dollar itu dimasukkan ke dalam mobil security yang cukup luas boxnya. Sampai tengah hari barulah tugas mereka selesai.
Sejam kemudian datang telepon dari bank, yang menerangkan bahwa semua uang US dollar itu sudah masuk ke dalam rekening pribadiku. Jumlahnya sangat banyak. Kalau dirupiahkan lebih dari 2T.
Aku pun merasa lega, karena merasa sudah mengamankan uang peninggalan Papa itu. Di dalam kamar Papa aku menatap lukisan foto Papa yang masih tetap tergantung di dinding kamar almarhum. Di depan foto itu aku bergumam, “Papa… uang peninggalan Papa sudah diamankan. Supaya aku bisa berbisnis di tanah air kita nanti.
Tiba – tiba handphoneku berdering. Ketika kulihat layar hapeku, ternyata dari Mr. Liauw. Maka tanpa diminta pun aku melaporkan penemuanku di dalam brankas itu, yang isinya sertifikat – sertifikat beberapa rumah di Indonesia. Tapi 47 koper yang berisi dollar itu tidak kulaporkan.
“Baguslah kalau begitu. Nanti silakan Boss urus segala sesuatunya dengan Mrs. Tania di Jakarta. Tapi sekarang ini saya mau melaporkan masalah lain. Nanti sore akan datang seorang calon buyer yang akan menjadi calon pembeli segala asset Boss di Bangkok dan di Choiang Mai itu. Namanya Mrs. Sheila. Dia istri seorang pengusaha besar dari kota Khon Kaen.
“O begitu? Oom mau mendampingi dia nanti sore?” tanyaku.
“Tidak. Kebetulan saya ada masalah klien yang harus diurus sore ini. Jadi silakan saja berhubungan langsung dengan Mrs. Sheila nanti. Kan nanti juga perjanjian jual belinya akan diurus oleh saya juga. Kebetulan Mrs. Sheila itu sudah lama menjadi klien saya juga,” sahut Mr. Liauw di hapeku.
“Dia akan datang ke rumah saya kan?”
“Betul. Makanya dia memilih di luar jam kerja. Kalau negosiasinya di rumah kan bisa dilakukan secara familiar.”
“Oke deh. Saya tunggu kedatangannya. Terima kasih Oom Liauw.”
“Sama – sama. Semoga negosiasinya lancar ya.”
Setelah hubungan seluler dengan Mr. Liauw ditutup, aku jadi teringat pada Tante Reni yang sudah berangkat sejak tadi subuh. Ada perasaan cemas juga di hatiku, sehingga kuambil lagi handphoneku dan kupijat nomor handphone Tante Reni.
“Hallo?”
“Tante sudah mendarat di SoekarnoHatta kan?”
“Sudah. Ini malah sudah tiba di kantor Mrs. Tania.”
“Kalau belum bisa masuk ke dalam salah satu rumah, nginep di hotel aja dulu.”
“Kayaknya gak usah Don. Ibu Tania itu kelihatannya sangat baik dan ramah. Sebentar lagi beliau mau mengantarkanku ke rumah – rumah yang sesuai dengan fofocopy sertifikatnya.”
“Sambil bawa – bawa tas pakaian kan?”
“Iyalah. Gak apa – apa. Tas pakaiannya kecil kok. Aku kan nggak bawa banyak pakaian. Nanti beli aja di Jakarta. Dollar pemberian Donny kan sangat banyak.”
“Iya Tante. Jaga diri baik – baik ya.”
“Iya Don. Juga Donny… jaga diri baik – baik ya Sayang.”
Setelah menutup hubungan selulerku dengan Tante Reni, aku menyetelkan musik instrumental di dalam ruang kerja yang dahulu dijadikan ruang kerja Papa. Volumenya perlahan sekali, asal terdengar di telingaku saja.
Sorenya, tamu itu benar – benar datang. Tadinya kupikir calon buyer itu sudah tua, karena mendengar suaminya sudah meninggal seperti Mr. Liauw di telepon tadi.
Tapi ternyata yang mengaku bernama Sheila itu seorang perempuan muda. Paling juga usianya baru 30an.
“Saya kira ownernya sudah tua, ternyata malah jauh lebih muda daripada saya ya?” ucap Mrs. Sheila wsktu baru duduk di sofa ruang tamu.
“Saya juga nyangka calon buyernya sudah tua. Karena Mr. Liauw bilang calon buyernya sudah tiga tahun ditinggal meninggal oleh suaminya. Ternyata Ibu Sheila masih sangat muda. Paling juga baru duapuluhlimaan ya Bu?”
“Hush… umur saya sudah tigapuluhsatu Dek. Mmm… gak apa – apa kan panggil Adek sama Anda?”
“Gak apa – apa. Manggil nama langsung juga gak apa – apa Bu.”
“Sepertinya lebih menyenangkan kalau dipanggil Teteh atau Kak atau Mbak gitu. Biar jangan terlalu formal ngobrolnya.”
“Ibu aslinya dari Indonesia sebelah mana?”
“Saya orang Jabar Dek.”
“Kalau gitu saya panggil Teteh aja ya. Kebetulan saya juga orang Jabar. Cuma sejak bayi sampai dewasa di Bangkok ini. Baru satu kali pulang ke Indonesia, malah gak tau jalan. Untung ada saudara kembar saya yang jadi penunjuknya.”
“Punya saudara klembar segala? Lucu dong kalau jalan barengan.”
“Saudara kembar saya cewqek Bu eh Teh. Kalau jalan barengan malah disangka sama pacar.”
“Hihihiiii… saudara kembarnya pasti cantik ya. Soalnya Dek Donny juga tampan gitu.”
“Iyualah kalau cowok gak mungkin dibilang cantik. Malah Teteh yang cantik di mata saya.”
“Ohya?! Terima kasih, “perempuan yang kupanggil Teh Sheila itu tersenyum manis. Manis sekali. Membuatku salah tingkah, soalnya sikap permpuan 31 tahun itu seolah mengundangku. Tapi kutindas pikiran ngeresku, karena kali ini tamuku adalah tamu bisnis. Bukan tamu pribadi.
Untungnya dia mulai menyadari maksud kedatangannya ke rumahku ini. “Kemaren, begitu mendengar kabar dari Mr. Liauw, konsultan saya langsung mengobservasi asset – asset Dek Donny di Bangkok dan di Chiang Mai, termasuk dua perusahaan yang ada di kedua kota itu. Jadi… mau dibuka dalam harga berapa Dek?
Aku tercenung sejenak. Lalu kujawab harga keseluruhan asset yang mau dijual itu.
Sebenarnya harga itu masih bisa ditawar. Dan aku menunggu berapa dia mau menawarnya. Kalau rasional, akau kulepas semua asset yang sudah ditawarkan itu.
Tapi Teh Sheila malah bertanya soal lain, “Dek Donny sudah punya istri?”
“Belum Teh. Masih kuliah sih.”
Tiba – tiba Teh Sheila berdiri dan menjabat tanganku, “Oke… saya akan beli sesuai dengan harga yang Dek Donny minta tadi. Tapi ada syaratnya.”
“Apa syaratnya Teh?” tanyaku rikuh, karena tanganku masih digenggamnya. Bahkan ujung telunjukknya mengorek – ngorek telapak tanganku, membuatku geli.
“Dek Donny harus jadi pacar rahasia saya. Oke?”
Aku terkejut. Karena tak menyangka kalau wanita tinggi langsing berwajah cantik itu ingin jadi pacar gelapku…!
“Syarat yang sangat menyenangkan. Tapi seminggu lagi juga saya mau pulang ke Indoinesia Teh.”
“Gak apa – apa. Saya juga lebih sering tinggal di Indonesia,” sahut wanita muda bernama Sheila itu sambil memasukkan tangan ke dalam tas yang dibawanya. Lalu dia mengeluarkan tiga ikat US dollar pecahan 100 USD dari dalam tasnya. Lalu menyerahkan ketiga ikat uang dollar Amerika itu padaku, “Ini sebagai tanda jadi saja.
Kuterima uang 30.000 USD itu dengan perasaan seolah bermimpi. Uang yang kalau kurupiahkan lebih dari 400 juta rupiah itu, bukan uang sedikit. Tapi dia hanya menganggapnya sebagai tanda jadi atau tanda keseriusan. Bahwa wanita muda itu langsung menyetujui harga yang kuajukan, tanpa menawar lagi. Syaratnya…
Yang jelas aku menulis tanda terima di sehelai kwitansi. Karena yang diberikannya bukan uang sedikit. Kemudian kuserahkan kwitansi itu padanya.
Wanita muda itu memasukkan tanda terima dariku ke dalam tasnya. Lalu menghampiriku dan berbisik di dekat telingaku, “Terus… bisa sekarang langsung kencan?”
“Boleh,” sahutku sambil mengangguk.
“Mau di hotel atau di villa?”
“Di sini juga bisa,” sahutku sambil menunjuk ke pintu kamarku yang tepat berada di samping ruang tamu itu, “Security lebih terjamin.”
Mata bening indah Teh Sheila seolah memancarkan sinar kebahagiannya. Lalu ia berdiri sambil berkata perlahan, “Oke.”
Aku pun melangkah dan membuka pintu kamarku sambil bergaya ala bellboy di hotel – hotel berbintang lima, “Silakan masuk Madame…”
Kemudian ia masuk ke dalam kamarku yang lebih mewah daripada kamar hotel five star. Sejak Papa meninggal aku memang mengupgrade kamarku sedemikian rupa, sampai benar – benar layak untuk kamar seorang eksekutif muda.
Begitu masuk ke dalam kamarku, yang pintunya sudah kututup dan kukuncikan, Teh Sheila menghampiriku, sehingga harum parfum mahalnya tersiar ke penciumanku. Ia melingkarkan lengannya di leherku sambil bergumam perlahan, “Sejak suami saya meninggal, baru kali ini saya mderasa benar – benar terpesona oleh daya tarik seorang lelaki muda.
Lalu dengan hangatnya ia mencium bibirku, yang kusambut dengan lumatan hangat pula.
Akutidak mau hypokrit*(munafik).*
Sejak melihatnya pertama kali tadi, aku sudah merasa tertarik dan tergiur oleh kecantikan dan keseksian wanita muda bernama Sheila ini. Tapi tadi aku merasa akan bernegosiasi tentang asset – asset yang akan kujual. Dengan kata lain, aku sedang berbisnis. Dan masalah bisnis tak boleh dicampur adukkan dengan masalah pribadi, begitu salah satu wejangan Papa almarhum.
Maka aku pun laksana “pucuk dicinta ulam tiba”. Aku pun bisa “sambil menyelam minum air”.
Dan aku tahu benar apa yang harus kulakukan dalam suasana seperti ini. Kulepaskan kancing – kancing yang berderet di bagian depan gaunnya yang gemerlapan itu. Sementara Teh Sheila cuma menatapku dengan senyum manisnya yang kian memancing. Lalu ia sendiri yang menanggalkan gaun gemerlapan itu. Dan menggantungkannya di kapstok.
Dalam keadaan tinggal mengenakan bra dan CD, gila… begitu putih dan mulusnya tubuh wanita muda bernama Sheila itu… mengingatkanku kepada Teh Nenden yang kulitnya seputih kulit Teh Sheila ini. Tapi soal postur, Teh Sheila tidak setinggi Teh Nenden.
“Serius ingin jadi pacar saya?” tanyaku sambil memegang kedua pergelangan tangan wanita muda itu.
“Setiap pelaku bisnis harus selalu serius dalam melontarkan setiap ucapannya,” sahut Teh Sheila sambil berjongkok, untuk melepaskan kancing logam dan ritsleting celana denimku. Lalu menurunkan celanaku sampai terlepas dari sepasang kakiku. Kemeja tangan pendekku pun dia yang melepaskannya.
“Body yang atletis… perut yang sixpack… sexy sekali,” ucapnya sambil mengusap – usap dadaku, lalu menepuk – nepuk perutku perlahan.
“Saya merasa seperti tengah bermimpi,” ucapku pada saat tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhku. Sementara wanita itu sudah melepaskan behanya, sehingga keadaannya jadi sama denganku. Sama – sama tinggal mengenakan celana dalam.
“Kenapa? Karena saya yang cantik dan seksi ini menembak duluan?” tanya wanita muda itu sambil meraihku ke atas bed.
“Lebih dari itu. Teteh seolah bidadari yang turun dari langit untuk menaburkan bunga – bunga surgawi di alam birahi saya…” sahutku bernada gombal.
Tapi Teh Sheila justru tersenyum, sambil melingkarkan lengannya di leherku. Dan menyahut, “Ternyata Dek Donny puitis juga ya… membuat hati saya semakin runtuh di kaki pesona Dek Donny…”
Ucapan itu disusul dengan pagutannya di bibirku, yang kusambut dengan lumatan sepenuh gairahku. Sebenarnya hatiku juga sudah runtuh dalam pesonanya, tapi aku tak mau mengatakannya secara lisan.
Dan ketika kami masih saling lumat, tanganku sudah menyelundup ke balik celana dalamnya. Dan menemukan sebentuk kemaluan yang bersih dari rambut… menemukan celah yang mulai membasah, menghangat dan licin…!
Aku memang tak menyangka akan mengalami peristiwa indah ini. Dan tongkat kejantananku langsung ngaceng berat. Tapi aku harus menahan diri, jangan langsung penetrasi. Karena aku ingin mengulur keindahan ini sejauh mungkin.
Mulai dengan menciumi lehernya yang harum dan hangat, dilanjutkan dengan mencelucupi puting payudaranya yang tegang, sementara tanganku mulai meremas payudara satunya lagi… payudara yang terawat sehingga masih sangat kencang. Tubuh wanita itu pun semakin hangat saja rasanya.
Lalu aku melorot turun… menjilati pusar perutnya sambil menurunkan celana dalamnya yang tipis transparan… dan tampaklah sebentuk vagina yang begitu indah di mataku. Vagina yang sudah agak menganga, seolah menantang mulutku agar menggasaknya…!
Sementara wanita jelita bertubuh tinggi langsing tapi padat ini merenggangkan jarak di antara kedua belah pahanya, seolah mengerti apa yang akan kulakukan.
Dan aku mulai melakukannya. Menjilati memek yang sudah kungangakan ini. Menjilati bagian dalam memek berwarna pink ini, sementara ujung jari tangan kiriku mengelus – elus kelentitnya yang dengan mudah kutemukan.
Wanita kaya raya yang jelita itu mulai menggeliat – geliat sambil meremas -remas sepasang bahuku, meremas – remas kain seprai dan meremas – remas rambutku. Hal itu justru membuatku semakin bergairah untuk menggencarkan jilatan dan elusanku di kelentitnya.
Sehingga dalam tempo singkat saja memek Teh Sheila sudah basah kuyup oleh air liurku.
Lalu terdengar suara wanita itu yang mulai memperlihatkan jati dirinya, “Cukup Deeek… masukkan aja penisnya…”
Tanpa banyak bicara lagi aku berlutut sambil melepaskan celana dalamku. Lalu memegang batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini dan mengarahkan moncongnya ke permukaan mulut vagina wanita muda itu.
“Wow…! Penis Dek Donny sepanjang dan segede gitu?!” seru Teh Sheila yang baru melihat bentuk senjata pusakaku ini.
Aku cuma tersenyum dan mengangguk. Lalu mendorong penisku sekuat tenaga.
Leeephhh… hanya masuk kepalanya saja. Kudorong lagi… hanya masuk sampai leher penisku.
“Gila… udah dijilatin sampai basah juga masih seret gini masuknya Dek…” ucap Teh Sheila sambil merentangkan sepasang pahanya semakin lebar, mungkin agar penisku bisa masuk dengan lancar.
“Liang memek Teteh sempit sekali, kayak yang belum pernah melahirkan,” sahutku setelah berhasil membenamkan penisku hampir separohnya.
“Me… memang belum pernah melahirkan… almarhum suami saya kan sudah tua… sudah gak ada benihnya lagi…”
Aku tidak menanggapinya lagi, karena aku sudah mulai mengayun penisku, perlahan – lahan tapi pasti… bahwa makin lama penisku makin dalam masuknya pada waktu kudorong.
Akhirnya aku bisa mengayun penisku dengan lancar, karena liang memek Teh Sheila sudah beradaptasi dengan ukuran batang kemaluanku, dibantu pula dengan lendir libidonya yang semakin banyak membasahi dinding liang memeknya.
Entotanku yang mulai lancar ini mulai diiringi rintihan – rintihan histeris dan erotis Teh Sheila. “Deeeek… oooo… ooooh… Deeeek… ba… baru sekali ini saya merasakan penis segede dan sepanjang punya Dek Donny… ooo… ooooh… ini… lu… luar biasa enaknya Deeeek… oooooh Deeeeek…
Suara rintihan itu perlahan sekali. Mungkin dia takut kalau suaranya terdengar ke luar.
Karena itu aku menghentikan entotanku sejenak sambil berkata, “Lontarkan saja rintihan erotis TGeteh sekuatnya… jangan takut, kamar ini kedap suara. Walau pun Teteh menjerit – jerit, takkan terdengar ke luar… !’
Kemudian kulanjutkan entotanku yang semakin lama semakin massive ini.
Teh Sheila pun mulai menggoyang – goyangkan pinggulnya dengan gerakan yang erotis dan syur. Sementara rintihan – rintihan erotisnya pun semakin keras dan menjadi – jadi. Suaranya tidak ditahan – tahan seperti tadi lagi.
“Ayo entot teruuus Deeeeek… eeentoooot teruuuuussssss… ini luar biasa enaknyaaaa… enaknyaaaaaaaa… entoooootttt… entoooootttttttt… iyaaaaaaaa… iyaaaaaaaa… entooot teruuuusssssssss… entoooootttt… iyaaaa… iyaaaaaa… ooo… oooooohhhhhhhh… enaknyaaaaaaa…
Rintihan dan desahan nafas teh Sheila membuatku semakin bergairah untuk mengentotnya habis – habisan. Sementara mulutku pun mulai beraksi. Mulai menjilati leher jenjangnya disertai dengan gigitan – gigitan kecil… membuat sepasang mata bundar bening itu merem melek.
Entah kenapa, kali ini aku menyetubuhi perempuan dengan tekad ingin membuatnya puas… puas sekali. karena mengingat dia sudah sekian lamanya menjanda. Selain daripada itu, mungkin di lain waktu aku membutuhkan dirinya sebagai relasi bisnisku.
Maka ketika ia mulai kelojotan pada saat aku sedang menjilati ketiaknya yang harum, aku pun menggencarkan entotanku dengan satu tujuan: Ingin berejakulasi bersamaan dengan detik – detik orgasmenya.
Ternyata aku berhasil mencapai titik puncak itu secara bersamaan.
Kami jadi seperti sepasang manusia yang sedang kerasukan. Mulut Teh Sheila ternganga pada saat sekujur tubuhnya mengejang tegang, sambil mencengkram bsepasang bahuku kuat – kuat seakan ingin meremukkan tulang – tulang bahuku. Aku pun menancapkan penisku sedalam mungkin, sambil meremas sepasang toket yang sangat terawat dan masih sangat kencang ini.
Lalu… moncong penisku menembak – nembakkan pejuhku di dalam liang memek Teh Sheila. Crooot… crot… croooooooottttttt… croooooooootttt… crotcrottt… croootttttt… crooootttt…!
Tekadku dari tadi, adalah ingin menciptakan kepuasan yang sepuas – puasnya bagi wanita muda bernama Sheila dan kusebut Teh Sheila itu. Karena itu aku berusaha untuk membangkitkan gairahku sendiri. dibantu dengan oral sex yang dilakukan Teh Sheila terhadap penisku.
Lalu terjadilah hubungan sex yang kedua bersama calon buyer asset – assetku yang di Bangkok dan di Chiang Mai itu. Tentu di dalam ronde kedua durasinya jauh lebih lama. Sehingga kami sama – sama bersimbah keringat.
Lalu kami capai titik puncak secara bersamaan lagi, ketika Teh Sheila mencapai orgasme yang kelima, sementara aku berejakulasi untuk kedua kalinya.
“Nanti kita sama – sama pikirkan sematang mungkin Teh. Sekarang kita kan belum tau sifat masing – masing.”
“Saya juga tidak mau terburu – buru. Tapi saya ini wanita Dek. Wanita itu sifatnya menerima, bukan memilih. Tapi saya ingin mengurangi keraguan Dek Donny terhadap saya. Karena itu seandainya Dek Donny mau menikahi saya secara sah, saya siap.”
“Iya,” sahutku, “kalau menjadi pacar rahasia Teteh, saya siap. Tapi kalau untuk menikah secara sah, kita harus pertimbangkan dulu sematang mungkin.”
“Oke… sekarang kita mandi bareng yuk, “ajak Teh Sheila sambil duduk di pinggiran bedku. “Ayo… pengen nyabunin memek Teteh.. hehehee…”
“Saya juga pengen nyabunin kontol Adek… hihihihiii…” sahutnya sambil menepuk – nepuk penisku yang sudah terkulai lemas ini.
Lalu kami masuk ke dalam kamar mandi, dalam keadaan sama – sama telanjang bulat. Di dalam kamar mandiku inilah kami saling sabun menyabuni. Dia menyabuni sekujur tubuhku baik bagian punggung mau pun bagian depanku. Aku pun menyabuni sekujur tubuh Teh Sheila baik bagian depan mau pun bagian belakangnya.
Dan… pada saat menyabuni bagian belakang tubuh wanita itulah aku melihat sesuatu yang sejak tadi tidak kelihatan, karena tertutup oleh rambutnya. Dan kini rambutnya digulubng dan diikat ke atas, seperti sanggul. Sehingga aku bisa melihat tatoo kecil di belikat kanannya. Ya, cuma tatoo kecil berbentuk tulisan dan sdetangkai bunga mawar merah.
Setelah melihat tatoo kecil itu aku bertanya dari belakang Teh Sheila, “Nama lengkap Teteh, Sheila Ros? Ros kan berarti bunga mawar.”
“Ros itu singkatan dari nama ayah saya Dek.”
“Coba saya tebak… nama ayah Teteh Rosando… Rosihan… Ros…”
“… Rosadi !” potong Teh Sheila ketika aku belum selesai menebak – nebak.
“Rosadi?” tanyaku agak kaget. Tapi kekagetanku kutindas dengan pikiran… aaah… orang bernama Rosadi kan banyak. Bukan hanya ayahku belaka…!
Lalu kami menyelesaikan mandi kami.
Aku pun tidak terlalu memikirkan masalah nama ayah Teh Sheila itu lagi.
Tapi setelah sama – sama mengenakan pakaian kembali, aku teringat beberapa foto almarhum ayahku yang dikirim dari handphone Donna. Lalu kukeluarkan handphone dari saku celana denimku.
Iseng kubuka foto – foto ayahku itu. Dan kuperlihatkan kepada Teh Sheila sambil bertanya, “Apakah Teteh kenal dengan orang di foto ini?”
Teh Sheila menatap foto di layar handphoneku sambil menyipitkan matanya.
“Lho… ini seperti foto ayah saya Dek… “gumamnya.
“Coba buka foto – foto lainnya. Kan banyak tuh foto bapak itu,” sahutku.
Teh Sheila mengikuti saranku. Membuka foto – foto Ayah almarhum yang cukup banyak kudapatkan dari handphone Donna.
“Dek Donny…! Ini foto – foto ayah saya…! Dari mana Dek Donny dapatkan foto – foto almarhum ayah saya ini?”
GIliran aku yang kaget. Benar – benar kaget. Tapi aku berusaha menjawab pertanyaan Teh Sheila itu, “Saya anak Pak Rosadi dari istri keduanya, Teh.”
“Iya saya tau, almarhum Ayah memang punya istri muda yang bernama Bu Ami.”
“Betul. Bu Ami itu ibu kandung saya Teh… !”
Teh Sheila terbelalak sambil memekik, “O my Gooood…! Jadi kalau begitu Dek Donny ini adek saya yang seayah berlainan ibu. Begitu kan?”
“Teh Sheila adalah kakak seayahku. Hmmm… dunia ini terkadang kecil sekali ya Teh?” ucapku sambil meremas tangan Teh Sheila.
“Iya. Kita ini kakak – beradik seayah berlainan ibu, berasal dari Jabar kok baru dipertemukan sekarang di negara yang jauh dari negara kita ya? Memang dunia ini terkadang terasa kecil Dek.”
“Kalau Teteh menikah lagi, saya malah punya hak sebagai walinya kan?”
“Ya iyalah. Karena kalau dilengkapkan, nama kita sama – sama Bin Rosadi. Dek Donny Bin Rosadi, saya Binti Rosadi. Jadi Dek Donny punya hak wali atas diri saya.” sumber Ngocoks.com
“Iya. Berarti kita memang tidak bisa menikah Teh.”
“Iya. Tapi sudah kepalangan basah gini, saya ingin hubungan kita tetap dilanjutkan sampai kapan pun, tapi jangan sampai diketahui keluarga kita.”
“Iya Teh. Sebenarnya saya juga sudah merasakan getaran cinta di hati saya. Tapi sekarang sudah jelas kalau kita takkan bisa menikah secara sah.”
“Gak apa – apa. Tapi saya mohon, Dek Donny jangan putuskan hubungan kita ini, ya Dek. Soalnya saya sudah telanjur mencintai Dek Donny. Meski ternyata kita ini kakak beradik seayah, saya akan tetap mencintai Dek Donny…”
“Iya Teh. Saya juga sudah telanjur mencintai Teteh. Saya juga ingin melanjutkan hubungan ini sampai kapan pun.”
“Terimakasih Dek. Hmm… pantesan begitu berjumpa dengan Dek Donny tadi, hati saya bergetar lain dari biasanya. Padahal mungkin getaran batin dari hubungam sedarah kita…” ucap Teh Sheila dengan mata berlinang – linang.
“Terus masalah asset – asset yang mau dibeli oleh Teteh itu masih tetap akan diselesaikan besok di kantor Mr. Liauw?”
“Ooo… soal itu sih tetap jalan. Besok transaksinya di kantor Mr. Liauw. Atau kalau ingin lebih akurat lagi, transaksinya di bank saja, karena nominalnya sangat besar, jadi harus lewat RTGS.
“(RTGS = Real Time Gross Settlement / transfer berulang – ulang dalam sehari)
“Iya. Yang penting Mr. Liauw harus hadir, sebagai saksi utama dalam transaksi besok. Soalnya dia notaris kepercayaan almarhum Papa.”
Teh Sheila bertanya, kenapa ada Papa dan ada Ayah? Siapa yang dimaksud Papa olehku itu. Maka kuterangkanlah semuanya.
Bahwa aku sejak bayi diadopsi oleh Pak Margono dan istrinya, yang lalu kusebut Papa dan Mama. Kujelaskan juga seluk beluk kehidupanku di Bangkok yang sangat disayang dan dimanjakan oleh kedua orang tua angkatku itu.
Bersambung…