Kemudian Teh Sheila pun menuturkan riwayat hidupnya. Bahwa dia dinikahi oleh seorang pengusaha yang asli Thailand selatan, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Waktu menikah dengan Teh Sheila, lelaki Thailand itu berstatus duda beranak dua orang, setelah bertahun – tahun ditinggal mati oleh istrinya.
“Kira – kira suami saya almarhum nasibnya sama dengan Dek Donny. DIa diangkat anak oleh suami – istri dari Timur Tengah yang kebetulan tidak punya anak. Orang tua anbagkatnya itu kaya raya, karena punya pertambangan minyak bumi. Setelah kedua orang tua angkatnya meninggal, suamiku mendapat warisan yang cukup banyak berdasarkan surat wasiat juga.
“Tapi warisan yang cukup banyak itu dikembangkan oleh suami saya di Thailand ini, karena kampung halamannya di Thailand selatan. Ternyata almarhum sukses mengembangkan harfta warisan itu, sehingga dia tergolong taipan yang sangat disegani di negara ini, “lanjut Teh Sheila.
“Saya sendiri mendapat pesan terakhir darfi suami saya sebelum meninggal, bahwa saya harus mengembangkan usahanya di Thailand ini. Jangan mengadu untung di negara orang. Itulah sebabnya saya berminat untuk membeli asset – asset Dek Donny.”
“Ohya Dek… saya biasa dipanggil nama saja oleh adik – adik kandung saya. Dek Donny juga panggil nama saya aja langsung, gak usah pakai Teteh – Tetehan,” kata Teh Sheila lagi.
“Kalau begitu, panggil nama saya aja langfsung, gak usah pakai adek – adekan. Biar lebih dekat. Juga istilah saya, mendingan kita ganti dengan istilah aku aja ya. Biar lebih akrab.”
“Oke, “Sheila mengangguk, “Saya… eh aku setuju Don.”
“Nah… nyebut nama langsung gitu, terasa lebih dekat… lebih romantis. Kita kan sudah melakukan hubungan seperti suami – istri. Masa masih panggil Dek padaku?”
“Hihihihi… iya. Tapi Don… sekadar ngasih tgau aja, sekarang ini aku sedang berada di dalam masa subur. Aku malah berharfap hubungan yang kita lakjukan tadi bisa membuatku hamil. Gak apa – apa kan?”
“Gak apa – apa. Tapi kita gak bisa menikah secara sah. Gimana?”
“Biar aja. Aku malah mungkin takkan menikah seumur hidup, karena aku sudah menjadi milik Donny.”
Aku terharu mendengar ucapan kakak seayahku itu. Lalu kubelai rambutnya sambil berkata, “Semoga kita tetap saling mencintai sampai masa tua kita kelak ya.”
“Iya. Walau pun aku tidak bisa menikah dengan Donny, aku akan tetap mencintai dan menyayangi Donny sampai kapan pun… selama hayat masih dikandung badan.”
“Yep… artinya kita saat ini berjanji untuk tetap saling mencintai di seumur hidup kita, meski kita tak bisa menikah secara sah.”
“Iya aku berjanji untuk itu. Untuk tetap mencintai dan menyayangimu di seumur hidupku Don.”
“Aku juga berjanji untuk tetap mencintai dan menyayangimu di seumur hidupku, Sheila Sayang…”
“Ooooh… Donny… coba sebut lagi kata Sayang itu… rasanya tembus ke hatiku…”
“Sheila Sayaaaang… aku berjanji untuk tetap mencintai dan menyayangimu di seumur hidupku, Cintaaaaa…” sahutku sambil membelai rambut Sheila.
Sheila sangat terpengaruh oleh kata Sayang dan Cinta yang kulontarkan. Sheila pun menanggapinya dengan ciuman mesra di bibirku. Lalu terdengar bisikannya di dekat telingaku, “Terima kasih Sayang. Saat ini hatiku sangat bahagiaaaaa…”
Beberapa saat kemudian Sheila bertanya, “Kapan rencanamu pulang ke Indonesia?”
“Setelah transaksi kita selesai,” sahutku.
“Berarti paling lambat lusa juga sudah terbang ke Jakarta?”
“Iya… begitulah.”
“Aku ikut, boleh nggak? Aku berat berpisah denganmu Honey.”
“Di kampung halaman aku sedang sibuk membangun café yang akan dikelola oleh ibu dan saudara kembarku. Nanti kalau aku sudah punya waktu luang, aku akan menelpon Sheila, agar terbang ke Jakarta… untuk melanjutkan langkah – langkah kita, ya Sayang.”
“Begitu ya. Tapi aku kan bisa tinggal di hotel. Jadi setelah kesibukan Donny selesai, temani aku di hotel.”
“Kalau memaksakan diri di tengah kesibukan, aku takut nantinya malah sama – sama kecewa.”
Sheila tercenung. Lalu berkata lirih, “Tapi nanti setelah berada di Indonesia, harus sering – sering call aku ya Honey.”
“Iya.”
“Apalagi kalau aku hamil, pasti maunya deketan terus sama Donny nanti.”
“Kalau hamil sih aku juga pasti sering datang ke Bangkok. Di rumah ini kita kan bebas melakukan apa saja.”
“Di rumahku juga bebas melakukan apa aja. Nanti kukasih alamat lengkap rumahku yang di Bangkok ini ya.”
“Iya.”
Setelah Sheila pulang ke rumahnya, entah kenapa… ada perasaan sepi yang mencengkram batinku. Aku harus mengakui bahwa pertemuan singkat dengan kakak seayahku itu telah meninggalkan bekas yang mendalam di hatiku.
Apakah aku benar – benar telah mencintai wanita yang usianya lebih tua dariku itu? Entahlah. Yang jelas aku sendiri merasa berat untuk berjauhan dengannya.
Transaksi itu berjalan mulus. Hanya 4 jam aku dan Sheila berada di bank, disaksikan oleh Mr. Liauw, selesailah transaksi yang jumlahnya melebihi dollar dari koper – koper di dalam bunker kamar Papa itu.
Aku dan Sheila merahasiakan hubungan keluarga di antara kami berdua kepada siapa pun yang berada di Thailand ini. Sehingga Mr. Liauw meminta aku dan Sheila berjabatan tangan, tanda sudah selesainya RTGS dari perusahaan Sheila ke rekening pribadiku. Kuikuti saja saran Mr. Liauw itu, untuk berjabatan tangan dengan Sheila seolah kami bukan kakak adik.
Setelah keluar dari bank, Sheila masih sempat berbisik padaku, “Tolong carikan rumah yang tidak terlalu jauh dari rumahmu nanti ya. Kalau sudah ada, tell me by phone. Dan aku akan mentransfer dananya ke rekeningmu, Honey.”
“Oke,” sahutku sambil mengangguk. Kemudian kami berpisah di depan bank internasional itu, Sheila masuk ke dalam mobilnya yang disopiri oleh orang Thailand, sementara aku masuk ke dalam mobil peninggalan Papa yang kukemudikan sendiri.
Aku sudah merasa lega, karena uang dollar peninggalan Papa sudah masuk ke rekeningku, sementara hasil penjualan asset – asset itu pun sudah masuk ke dalam rekeningku. Sehingga boleh dibilang rekeningku gendut sekali kini.
Lalu mau kuapakan duit yang sangat banyak itu?
Entahlah. Aku belum punya rencana yang matang. Sementara bangunan untuk usaha kuliner Bunda dan Donna itu kecil sekali dibandingkan dengan besarnya dana yang tersimpan di rekening pribadiku..
Setibanya di rumah megah peninggalan Papa yang akan tetap kupertahankan itu, kukumpulkan pegawai – pegawai wanita. Kuberitah bahwa mereka tetap akan ditempatkan di ditu dulu, sambil menunggu pembangunan café di kotaku selesai. Karena mereka akan dijadikan waiters di café itu, dengan gaji tetap setara dengan gaji mereka di Bangkok.
Mereka cuma mengikuti arahanku saja.
Lalu aku mandi sebersih mungkin. Dan dua jam kemudian aku sudah berada di dalam pesawat terbang yang akan membawaku ke Singapore.
Setibanya di bandara Changi Singapore (saat itu belum ada Jewel Changi Airport), aku menggunakan taksi menuju Lavender Street dan chek in di sebuah hotel kecil langgananku. Memang hotel ini bukan hotel besar, tapi terasa nyaman. Karena kalau mau makan tinggal nyebrang jalan saja, ada food market di situ, yang makanannya murah – murah.
Sekarang aku sudah berada di level menengah ke atas, bahkan mungkin tergolong level atas, mengingat saldo di rekeningku sedemikian gendutnya. Tapi aku tak mau kelihatan orang kaya. Karena itu aku tidak mau menginap di hotel five star, karena aku tahu di Singapore ini serba mahal. Dan aku tidak mau menghambur – hamburkan uang peninggalan Papa hanya untuk sekadar kesenangan sesaat.
Di hotel kecil ini kusimpan tas pakaianku, lalu menyebrang jalan menuju food market itu. Ada penjual fishcake yang besar – besar di situ, yang paling kusukai. Cukup beli dua buah saja, perutku sudah terasa kenyang. Minumnya cuma Coffee O (istilah kopi pahit di Singapore).
Yang lucu di foodmarket ini aku sering mendengar kata “aaaa” di ujung kalimat yang diucapkannya. Misalnya kalau bertanya seperti ini, “How are you aaa?” atau “Smoking no good aaa”.
Hahahaaa… Chinese Singapore sama lucunya dengan orang India kalau ngomong bahasa Inggris, yang aksennya terdengar khas, dengan kepala digoyang – goyang pula.
Setelah menghabiskan fishcake dan kopi O, aku mencegat taksi menuju gallery peninggalan Papa, yang sekarang sudah menjadi milikku.
Setelah Papa meninggal, aku baru satu kali mendatangi gallery yang cukup besar ini. Dan kini adalah kunjungan yang kedua.
Gallery ini selalu banyak pengunjung dan pembelinya. Tapi ada sesuatu yang menarik bagiku, yang kini sudah kutemukan di antara sekian banyak pegawai gallery ini.
Yang menarik adalah sosok cewek bernama Adelita, yang usianya baru 22 tahun itu (hanya 2 tahun lebih tua dariku). Di mataku Adelita itu cantik sekaligus manis. Terutama kalau sudah tersenyum, lesung pipitnya selalu menghiasi sepasang pipinya itu. Adelita yang biasa dipanggil Adel itu orang Indonesia, karena pegawai di gallery ini orang Indonesia semua.
“Apa kabar Del?” tanyaku.
“Baik Boss,” sahutnya sambil tersenyum. Lagi – lagi lesung pipitnya tampak menghiasi sepasang pipi yang putih agak kemerahan itu (dimerahkan oleh make up).
Aku sadar bahwa Adelita seperti caper padaku pada kunjungan pertamaku sebulan yang lalu. Kini pun ia tampak seperti ingin eksis di mataku.
“Kalau Boss sudah datang ke sini, rasanya suasana gallery ini jadi seger,” ucapnya sambil tersipu.
“Lebih seger lagi kalau kamu menemaniku di hotel nanti malam,” sahutku membuatnya agak tersentak. Lalu kelihatan seperti berpikir.
“Mmm… kapan Boss pulang ke Bangkok?” ia menatapku dengan bola mata bergoyang perlahan.
“Sekarang pulangnya ke Jakarta, bukan ke Bangkok lagi,” sahutku sambil memegang tangannya yang diletakkan di atas kaca etalase.
“Duh jadi pengen mudik. Soalnya sudah dua tahun gak pernah mudik.”
“Mudik itu apa?” tanyaku.
“Pulang kampung. Hihihiiii…”
“Ooo… aku kan lahir besar di Bangkok. Makanya banyak kata – kata dalam bahasa Indonesia yang belum kukenal.”
“Iya. Mungkin di Bangkok hanya diajari bahasa baku oleh orang tua Boss ya.”
“Ya begitulah,” sahutku sambil terus – terusan memperhatikan wajah Adelita yang jauh di atas rata – rata menurutku, “Jadi sekarang ada keinginan mudik?”
“Ada sih. Tapi entah bakal dikasih ijin atau tidak sama Bu Yeyen. Lagian belum punya buat tiket pesawatnya.”
“Lho… gajimu dipakai apa aja?”
“Kan tiap bulan juga transfer ke orang tua Boss. Maklumlah, sekarang saya jadi tulang punggung keluarga,” sahutnya sambil menunduk.
Aku mengangguk – angguk lalu berkata, “Ya udah kalau kamu ingin pulang, bareng aja sama aku besok pagi. Soal ijin dari Bu Yeyen, biar aku yang akan mintakan ijinnya.”
“Siap Boss, siap…”
“Jadi nanti malam kamu ke hotelku aja ya. Ini alamatnya,” kataku sambil memberikan kartu nama hotel yang tadi kuambil dari front desk.
Adelita menjemput kartu nama itu dan membacanya sambil berkata, “Di Lavender street ya Boss? Dekat Lavender street sih. Pake taksi setengah jam juga nyampe.”
“Bisa kan langsung ke hotel itu? Biar besok pagi bisa langsung ke airport,” kataku.
“Maaf Boss… tiket pesawatnya mau dibeliin sama Boss?”
“Ya iyalah. Bu Yeyen ke mana? Kok dari tadi gak kelihatan.”
“Lagi ngecek barang yang baru datang di gudang Boss.”
“Owh, pantesan dari tadi gak kelihatan batang hidungnya.”
“Jadi… nanti saya harus ikutan nginep di hotel Boss?”
“Iya. Mau pisah kamar denganku boleh. Sekamar denganku juga gak apa – apa. Bednya ada dua kok.”
“Mmm… bagaimana baiknya menurut Boss aja.”
“Kalau menurutku sih mendingan sekamar. Biar bisa ngobrol dulu sebelum tidur.”
“Iya Boss. Tapi saya mau ngambil pakaian dulu dari wisma.”
“Oke,” sahutku, “Tapi gak usah ngomong – ngomong sama Bu Yeyen kalau kamu mau nginap di hotelku ya.”
“Siap Boss.”
Kemudian aku melangkah ke belakang, menuju gudang gallery ini.
Di dalam gudang tampak Bu Yeyen, manager gallery ini, yang tampak sedang menghitung hiasan dinding berupa ukiran – ukiran dari kayu jati.
Barang – barang yang dijual di gallery ini hampir 100% didatangkan dari Indonesia, berupa barang hasil pengrajin di tanah airku. Dan kelihatannya barang – barang hasil pengrajin Indonesia itu laku keras di gallery ini. Mayoritas pembelinya pun turis bule atau dari China dan Jepang.
Bu Yeyen tampak asyik menghitung barang – barang seni di depan matanya, sehingga tidak menyadari kehadiranku yang datang dari belakangnya.
Maka tangan nakalku pun menepuk bokong gedenya dengan sedikit remasan, “Hallo Bu Yeyen… !” sapaku.
Bu Yeyen terkejut dan menoleh ke arahku. “Eeeh… Boss… kirain siapa… hihihii… apa kabar Boss?” tanyanya dengan sikap sopan tapi centil.
“Baik – baik aja. Bagaimana perkembangan gallery ini?”
“Omzetnya meningkat terus Boss. Makanya volume impor dari Indonesia pun naik duapuluhlima persen. Maaf, gak enak ngomong di gudang gini. Mari ke ruang tamu Boss.”
Aku mengangguk, lalu mengikuti langkah Bu Yeyen menuju ruang tamu.
Sesaat kemudian aku sudah duduk di sofa ruang tamu. Bu Yeyen duduk di depanku.
Aku menepuk kulit sofa yang sedang kududuki sambil berkata, “Sini dong duduknya. Gak usah terlalu formal seperti dengan Papa almarhum. Sama aku sih santai aja.”
“Iya,” sahut Bu Yeyen sambil berdiri, lalu pindah duduknya ke sebelah kiriku.
“Bu Yeyen kelihatannya tambah seksi aja sih?” ucapku sambil memegang lututnya yang terbuka di bawah spanroknya. Saat itu Bu Yeyen mengenakan blazer dan spanrok serba abu – abu, dengan blouse putih bersih.
“Hihihihi… Boss bisa aja. Saya kan sudah tua Boss,” sahutnya tersipu, tapi tetap dengan sikap centil.
“Aaah… tua gimana? Emang usia Bu Yeyen sekarang berapa?”
“Tigapuluhlima Boss.”
“Tigapuluhlima sih belum tua Bu. Masih bisa hamil kan?”
“Ya masih Boss. Hihihiii… emangnya Boss mau hamilin saya?”
Aku agak tersentak mendengar pertanyaan frontal itu. Tapi aku punya naluri cepat tanggap. “Boleh… emangnya Bu Yeyen gak punyua suami?”
“Sejak bekerja di gallery ini, saya sudah janda Boss.”
“Ohya? Anaknya berapa orang?”
“Dua orang Boss. Tapi kedua – duanya dibawa sama mantan suami.”
“Kalau Bu Yeyen janda sih, boleh dong aku mengisi masa kesepiannya,” ucapku sambil berusaha menyelinapkan tanganku ke balik spanrok abu – abu manager gallery ini.
“Boleh banget kalau Boss sih yang menghangatkan kesepian saya,” ucapnya sambil merenggangkan pahanya, seolah mempersilakan tanganku menyelundup lebih jauh ke dalam.
Meski agak susah, karena ia mengenakan spanrok dengan belahan di sebelah kanannya, namun tanganku berhasil juga menyelinap ke balik celana dalamnya. Dan menemukan kemaluan yang berjembut tipis, tipis sekali.
Bu Yeyen terengah, lalu berbisik ke telingaku, “Mendingan di sana Boss, supaya lebih bebas, “ia menunjuk ke sebuah pintu yang aku tahu sebagai ruang istirahat Papa kalau sedang berada di Singapore. Bahkan Papa suka tidur di situ.
“Iya,” sahutku sambil mengeluarkan tanganku dari balik celana dalam Bu Yeyen. Lalu kami melangkah ke dalam kamar yang sering Papa pakai dahulu.
Setelah kami berada di dalam kamar yang kualitasnya tak kalah dengan kamar hotel five star, Bu Yeyen menutupkan pintu kembali sekaligus menguncikannya. “Gak nyangka Boss mau juga menghangati saya yang sudah lima tahun menjanda ini,” ucapnya sambil melepaskan blazer abu – abunya, lalu menggantungkannya di kapstok.
Aku pun berdiri di belakangnya sambil berbisik, “Boss yang bijaksana kan punya kewajiban untuk membantu anak buahnya yang punya masalah.”
“Sekalian sambil menyelam minum air ya Boss,” ucapnya sambil melepaskan blouse putihnya.
“Begitulah kira – kira,” sahutku sambil membantu membuka kancing beha Bu Yeyen yang terletak di punggungnya.
Beha itu pun dilepaskan oleh pemiliknya. Sementara aku masih berada di belakang wanita setengah baya itu. Tapi lewat cermin besar di depan Bu Yeyen, aku bisa melihat gedenya sepasang toket manager gallery ini. Maka dari belakang Bu Yeyen aku memeluknya, dengan kedua tangan memegang sepasang toket gedenya.
“Apa pun yang Boss mau, pasti saya kasih,” sahut Bu Yeyen sambil menurunkan spanrok dan melepaskannya. Lalu ia memutar badannya, jadi berhadapan denganku, dalam keadaan tinggal bercelana dalam saja. Wooow… memang seksi sekali manager galleryku itu. Toket yang gede, pinggang yang ramping dan bokong yang gede sekali.
Dengan telaten Bu Yeyen melepaskan kancing kemeja tangan pendekku satu persatu, kemudian melepaskan dan menggantungkannya di kapstok. Lalu ia berjongkok di depanku, sambil menurunkan ritsleting celana corduroyku sekalian melepaskannya dari kedua kakiku.
Tak cuma itu. Ia juga menurunkan celana dalamku sekalian melepaskannya dari kedua kakiku. Dan… ia terbelalak sambil memegang batang kemaluanku yang sudah mulai ngaceng ini. “Ooooh…! Punya Boss ini… luar biasa gede dan panjangnya…!” ucapnya perlahan.
Aku pun menelentang di atas bed, sambil membiarkan Bu Yeyen memegang batang kemaluanku disertai dengan remasan perlahan.
Lalu… tanpa kusuruh poun Bu Yeyen memasukkan setengah dari batang kemaluanku ke dalam mulutnya. Dan terasalah betapa binal lidahnya menggeluti penisku yang berada di dalam mulutnya. Sementara tangannya memegang batang kemaluanku yang tidak terkulum oleh mulutnya.
Permainan felatio “(wanita mengoral penis)” pun dimulai. Air liurnya dialirkan ke batang kemaluanku yang tak terkulum olehnya, lalu dijadikan pelicin untuk mengurut – urut batang kemaluanku, sementara moncong dan leher penisku digeluti oleh bibir dan lidahnya.
Tentu saja aksi Bu Yeyen itu membuat penisku semakin ngaceng… ceng ceng ceng.
Dengan tangan kanan kanan tetap memegang penisku yang sedang diselomotinya, tangan kirinya pun digunakan untuk melepaskan celana dalamnya. Dan tanpa membuang – buang waktu lagi Bu Yeyen berlutut dengab kedua lutut berada di kanan – kiri pinggulku, sementara memeknya tepat berada di atas penisku.
Lalu pinggulnya diturunkan sambil tetap memegang batang kemaluanku yang sudah diarahkan ke sasaran utamanya.
Blessssss… batang kemaluanku mulai menyeruak ke dalam liang memek berjembut tipis dan jarang itu.
Lalu pinggul Bu Yeyen mulai naik turun perlahan – lahan, sehingga penisku jadi maju – mundur di dalam liang memeknya yang terasa empuk – empuk legit ini.
Tapi sebenarnya aku kurang suka dengan posisi WOT ini, karena menurutku banyak kekurangannya. Karena itu aku hanya membiarkan Bu Yeyen beraksi belasan menit saja di atas penisku. Lalu aku mengajaknya berubah ke posisi missionary.
Bu Yeyen pun setuju. Ia langsung menelentang di atas bed, sehingga penisku terlepas dari liang memeknya.
Bu Yeyen merentangkan sepasang pahanya lebar – lebar ketika aku sudah meletakkan moncong penisku di mulut vagina wanita setengah baya itu.
Dan kudorong penisku sekuat tenaga… blesssss… melesak masuk lagi ke dalam liang memek Bu Yeyen yang berperawakan seksi habis itu.
Aku pun menjatuhkan dadaku ke atas sepasang toket gede Bu Yeyen, sambil bertanya, “Dulu Papa pernah ngentot Bu Yeyen juga?”
“Iiiih… nggak pernah Boss. Pak Margono almarhum sangat cuek orangnya. Setelah istrinya meninggal juga tetap cuek. Gak pernah bercanda atau mengganggu cewek mana pun.”
“Nggak seperti aku ya?”
“Hehehee… iya… putra Pak Margono ini memang supel sih. Nggak banyak sikap protokoler. Jadi anak buah Boss pun pada suka.”
Aku tiddak menanggapinya. karena aku mulai mengentotnya, dengan gerakan yang langsung cepat. Soalnya aku ingat bahwa sebentar lagi gallery bakal tutup. Karena itu aku berusaha untuk ejakulasi sebelum jam tutup gallery.
Bu Yeyen pun menanggapi aksiku dengan menggoyang pinggulnya, memutar – mutar, meliuk – liuk dan menghempas – hempas ke atas kasur. Sehingga penisku terasa dibesot – besot dan diremas – remas oleh dinding liang memek Bu Yeyen yang terasa bergerinjal -gerinjal ini. Hmmm… luar biasa nikmatnya…!
Aku pun mengentotnya sambil meremas – remas toket kanannya dengan tangan kiriku, sementara mulutku asyik mengemut pentil toket kirinya. Hal Ini membuat goyangan pinggul Bu Yeyen semakin menjadi – jadi.
Hampir setengah jam aku menyetubuhi manager galleryku itu. Sampai akhirnya Bu Yeyen merintih di dekat telingaku, “Boss… dudududuuuuh… saya mau lepas Bossssss.. oooohhhhh… oooo… ooooooh…”
Aku pun semakin mempercepat entotanku. Maju mundur maju mundur maju mundur maju… sampai akhirnya kubenamkan penisku sedalam mungkin, sampai mentok di dasar liang memek Bu Yeyen.
Pada saat itu pula sekujur tubuh Bu Yeyen mengejang tegang, sementara liang memeknya terasa seperti belitan ular yang seolah ingin menghancurkan penisku. Disusul dengan kedat – kedut kencang di dasar liang memeknya. Disusul dengan tembakan air maniku secara beruntun… crotttt… croooot… croooottttt…
Sebelum meninggalkan kamar yang tadinya selalu dijadikan tempat istirahat Papa itu, Bu Yeyen memelukku dari belakang, sambil berkata setengah berbisik, “Gairah saya sudah lama terpenjara dan seolah mati. Tapi sekarang saya merasakannya kembali. Boss telah menghidupkan kembali gairah saya. Terima kasih Boss.
Sebenarnya aku sedang memikirkan Adelita yang sudah kujanjikan akan kuajak terbang bersama ke negara kami. tapi aku tak mau mengecewakan Bu Yeyen, karena dia termasuk orang kubutuhkan di dalam bisnisku. Lagipula tubuh seksinya itu, mungkin akan sering kubutuhkan untuk “refreshing”.
Karena itu aku memutar badanku jadi berhadapan dengan wanita setengah baya itu. Lalu kucium bibirnya dengan lembut. “Terima kasih Bu Yeyen. Apa yang telah terjadi barusan, takkan terlupakan. Aku akan sering – sering ke Singapore untuk merasakan legitnya yang satu ini,” kataku sambil mengusap – usap memeknya yang masih belum tertutupi celana dalam.
Bu Yeyen tersenyum ceria.
Lalu kataku, “Ohya… Adelita itu akan ikut ke Indonesia, karena kampungnya tidak jauh dari kotaku. Menurut pengakuannya, sudah dua tahun dia tidak pulang kampung. Berapa lama dia mendapat izin cuti?”
“Kalau Boss yang bawa, masa cutinya terserah Boss. Memang kasian juga dia itu. Kerjanya rajin dan teliti. Saking tekunnya bekerja, sampai lupa pulang. Kapan Boss mau terbang ke Indonesia?”
“Mungkin besok, mungkin juga lusa,” sahutku.
“Iya… silakan aja Adelita diajak terbang bersama Boss. Supaya dia bisa menikmati terbang gratis. Hihihiii…”
Lalu Bu Yeyen mengenakan pakaiannya kembali, sementara aku keluar dari kamar itu, mencari Adelita di gallery. Setelah kelihatan dia masih berada di tempat semula, aku menghampirinya dan berkata perlahan, “Nanti bilang aja sama Bu Yeyen bahwa kampungmu sangat dekat dengan tempat tinggalku ya.”
“Iya Boss. Emangnya Boss sudah ngasih tau Bu Yeyen?”
“Sudah. Dan kamu dikasih izin cuti.”
“Maaf… berapa hari izin cuti saya Boss?”
“Bu Yeyen menyerahkan padaku tentang masa cutimu itu. Jadi tenang aja ya. Nanti aku yang menentukan semuanya.”
“Siap Boss.”
Kemudian kuberikan uang 50 dollar Singapore padanya sambil berkata, “Ini untuk taksi menuju hotelku nanti ya.”
“Siap Boss. Terima kasih,” sahut Adelita sambil tersenyum manis. Hmmm… manis sekali senyum Adelita itu…!
Lalu aku meninggalkan galleryku.
Sebenarnya aku ingin mengunjungi pabrik peninggalan Papa di Singapore ini. Tapi hari sudah mulai malam, sehingga kubatalkan niat itu dan pulang ke hotel dengan taksi.
Di dalam hotel, aku mandi sebersih mungkin. Sambil membayangkan apa yang sudah terjadi dengan Bu Yeyen dan apa yang akan terjadi dengan Adelita nanti. Setelah mandi kupakai baju dan celana piyamaku, tanpa mengenakan celana dalam. Lalu menunggu datangnya Adelita yang terasa lama sekali.
Sampai pada suatu saat…
Seorang bellboy mengantarkan Adelita ke kamarku. Kuberi bellboy itu tip, 3 keping uang coin pecahan 2 dollar Singapore (SD).
“Thank you,” ucap bellboy itu. Aku mengangguk sambil tersenyum. Di dalam hati aku berkata, tumben ngomong thank you bukan thank you aaa… hahahaaaaaaaa…!
Setelah bellboy itu berlalu, kututupkan kembali pintu sekaligus menguncinya. Lalu menghampiri Adelita yang sudah duduk di satu – satunya sofa dan berada di dekat jendela.
Lalu aku duduk di sebelah kanan Adelita, yang pada saat itu mengenakan celana jeans dengan baju kaus berwarna hitam. Sambil melingkarkan lengan kiriku ke pinggangnya. “Kamu punya perasaan khusus padaku ya …” ucapku perlahan.
Adelita tersipu dan menyahut dengan suara nyaris tak terdengar, “Kok Boss bisa tau?!”
“Feelingku tajam Del. Coba ngomong deh sejujurnya, apa yang kamu rasakan?”
“Saya memang punya perasaan lain pada Boss… tapi saya tau diri… tau siapa saya dan siapa Boss,” sahut Adelita sambil menundukkan kepala.
“Yang jelas dong ngomongnya. Perasaanmu padaku itu bagaimana sebenarnya?” tanyaku sambil membelai rambutnya.
“Sa… saya suka sekali sama Boss… hati saya seperti sudah bertekuk lutut di bawah daya pesona Boss. Mohon Boss jangan marah ya…”
Sebagai jawaban, kurapatkan pipiku ke pipi Adelita. Sambil berkata, “Kalau kamu membenciku, mungkin aku marah. Tapi kalau kamu suka, masa aku marah padamu?”
Lalu Adelita menatapku dengan sorot ragu, namun senyum manis berlesung pipitnya menghiasi wajah cantiknya kembali.
“Kamu pernah pacaran berapa kali selama ini?” tanyaku.
“Ah, cuma cinta monyet waktu masih di SMP dan SMA, Boss.”
“Umurmu sekarang berapa tahun?”
“Sembilanbelas Boss. Setelah lulus SMA saya kan dipekerjakan di gallery punya Boss.”
“Lalu sudah punya pengalaman dengan cowok?”
“Maaf… pengalaman apa maksudnya?”
“Pengalaman dalam soal sex?”
“Iiiih… saya sih dicium bibir juga belum pernah. Kalau dicium pipi memang pernah. Tapi kalau cowoknya minta cium bibir, selalu saya tolak.”
“Kenapa nolak cium bibir?”
“Karena kata Mamah, kalau ciuman bibir itu pasti menjalar ke mana – mana. Jadi Mamah melarang saya ciuman bibir, supaya bisa menjaga kehormatan, katanya.”
“Hebat. Berarti kamu masih perawan?”
“Masih Boss.”
“Boleh kubuktikan?”
“Silakan. Asalkan saya jangan disia – siakan sesudahnya.”
“Iya… sekarang mandi dulu gih. Aku mau ke luar dulu sebentar.”
“Iya Boss.”
“Nanti setelah mandi, ganti pakaiannya dengan gaun rumah… bawa daster nggak?”
“Bawa Boss.”
Kemudian aku keluiar dari kamar dan menuju front office sambil melambaikan tangan ke seorang bellboy.
Setelah bellboy itu mendekat, aku berkata padanya, “I need birth control tablets and massage lotions. Can you buy it at the pharmacy?”
(Saya membutuhkan tablet KB dan lotion pijat. Bisakah kamu membelinya di apotek?)
Bellboy itu mengangguk sopan sambil menyahut, “Yes, young master I can buy it. “(Ya, tuan muda saya bisa membelinya).
Kemudian kuberikan selembar uang pecahan 50 dollar Singapore.
Bellboy itu pergi ke luar hotel, sementara aku duduk di lobby sambil baca – baca koran Singapore. Sampai bellboy itu datang lagi sambil membawa kantong plastik kecil berisi pesananku. Setelah memberi tip10 dollar Singapore kepada bellboy itu, aku pun kembali lagi ke dalam kamarku.
Terdengar bunyi pancaran air dari kamar mandi. Adelita benar – benar sedang mandi. Aku pun duduk di sofa yang cuma satu (bukan 1 set) ini
(Maklum bukan hotel five star).
Yang membuatku nyaman, di sekitar hotel ini banyak makanan murah meriah. Ada food market yang berada di seberang jalan hotel, ada pula kedai nasi muslim yang sejajar dengan hotel. Dan yang jelas suasananya tidak berisik seperti di Orchard Road.
Tak lama kemudian Adelita muncul dari dalam kamar mandi, mengenakan daster satin putih yang agak pendek, sehingga sebagian paha putih mulusnya tampak di mataku.
Dengan sejujurnya aku menilai di dalam hati, bahwa Adelita adalah cewek tercantik di antara sekian banyak cewek yang pernah kukenal…!
Tapi aku tidak mengucapkannya secara lisan. Aku hanya berkata, “Nah… kalau udah mandi seger kan?”
“Iya Boss,” sahutnya sambil tersenyum.
“Ayo duduk di sini lagi,” kataku sambil menepuk kulit sofa yang kududuki. Adelita pun duduk di samping kiriku.
Lalu kulingkarkan lengan kiriku sambil mendekatkan mulutku ke bibirnya, “Kalau aku ingin mencium bibirmu boleh nggak?”
“Kalau buat Boss sih mau ngapain juga boleh, asalkan jangan menyakiti hati saya aja.”
“Kamu nyadar gak, kenapa aku mengajakmu ke sini dan memintakan izin sama Bu Yeyen segala untuk cutimu selama dua minggu?”
“Saya tidak berani menebak – nebak Boss. Takut salah tebak.”
Sambil memegang tangannya erat – erat, aku berkata, “Kalau gitu dengarin ya… aku mengajakmu ke sini dan mengajakmu terbang ke Indonesia, karena apa? Karena aku suka padamu, Del.”
“Boss… ooooh… rasanya ucapan Boss barusan masuk ke hati saya… terima kasih Boss. Saya sangat bahagia mendengarnya…” ucap Adelita sambil memegangi dadanya. “Silakan cium bibir saya Boss… karena saya juga ingin merasakan bagaimana rasanya dicium oleh sosok yang belakangan ini sudah menjadi idola saya.
Aku tersenyum dan tidak menganggap lebay pada ucapan Adel itu. Lalu kupagut bibir sensualnya ke dalam ciuman dan lumatanku, sambil melingkarkan lengan kiriku di lehernya, sementara tangan kananku memegang lututnya yang terbuka di bawah daster putihnya.
Sebenarnya ada rasa penasaran di dalam hatiku. Penasaran ingin membuktikan apakah dia benar – benar masih perawan atau tidak. Tapi aku belum pernah mendapatkan sasaran yang masih perawan. Sehingga aku jadi kebingungan sendiri tentang bagaimana cara untuk memulainya?
Aku pun takkan terlalu memaksakan diri untuk membuktikan keperawanan Adelita. Aku ingin ingin semuanya mengalir tanpa memaksakan kehendakku. Maklum, beberapa saat yang lalu aku baru saja menyetubuhi Bu Yeyen yang bodynya amat seksi itu.
Tapi tangan nakalku mulai gatal ketika aku masih melumat bibir Adelita ini. Tangan nakalku mulai memegang lututnya lalu merayap ke arah pahanya. Adelita tidak meronta sedikit pun. Bahkan mendekap pinggangku erat – erat, dengan mata terpejam.
Ketika tanganku sudah berada di balik celana dalamnya pun, dia tidak meronta atau pun menepiskan tanganku. Sepasang mata indahnya pun tetap terpejam.
Aku hanya mengusap – usap permjukaan memeknya yang bersih licin, tak terasa menyentuh bulu jembut sama sekali. Lalu melepaskan ciumanku dan berbisik, “Kalau tidak keberatan, lepaskan dastermu, Del.”
Adelita membuka kelopak matanya. Menatapkju dengan sorot pasrah. Lalu melepaskan dasternya lewat kepalanya. Sehingga bentuk tubuhnya sangat jelas di mataku. Tubuh yang tinggi semampai dengan kulit kuning langsat yang sangat mulus dan wajah jelita berlesung pipit di kedua pipinya.
Lalu… tubuh mulus yang tinggal mengenakan beha dan celana dalam serba putih itu kuangkat dan kubopong ke arah bed. Lalu kuletakkan di atas bed dengan hati – hati.
“Bolleh aku membuktikan perawan tidaknya kamu Del?” tanyaku sambil duduk di sisi Adelita yang terlentang pasrah.
“Silakan aja Boss.”
“Kamu takkan menyesal setelah tidak perawan lagi nanti?” tanyaku sambil mengusap – usap perutnya yang kempis, tidak buncit.
“Tidak. Bahkan saya akan bangga karena yang mengambil kesucian saya adalah orang yang sangat saya kagumi… ‘
“Kalau begitu aku akan membuktikannya ya. Dan itu berarti, aku akan menyetubuhimu Del. Apakah kamu sudah siap?”
‘Siap Boss. Silakan aja lakukan apa yang terbaik bagi Boss dan terbaik pula bagi saya.”
Lalu aku membuka kancing beha Adelita yang terletak di punggungnya, lalu Adelita sendiri yang melepaskan beha itu. Dilanjutkan dengan melepaskan celana dalamnya. “Hmmm… tubuhmu indah sekali Del. Setelah terbukti kamu perawan, kamu akan menjadi milikku nanti.”
‘Iya Boss… saya akan semakin bangga kalau punya kesempatan untuk menjadi milik Boss,” sahutnya bernada pasrah.
Benarkah Adelita sampai sejauh itu mengagumiku, sehingga dia akan merasa bangga kalau aku mengambil keperawanannya (kalau ia memang masih perawan)?
Entahlah. Tapi kalau ia bertanya padaku dan aku harus menjawabnya secara jujur, sesungguhnyalah aku pun akan merasa bangga seandainya Adelita menjadi milikku. Tapi aku tidak mengucapkannya. Cukup menyimpannya saja di dalam hati. bahwa kalau dia benar -benar perawan, aku akan memelihara, melindungi, memanjakan dan menata masa depannya.
Maka aku pun tak buang – buang waktu lagi. Kulepaskan baju dan celana dalamku, sehingga aku pun telanjang bulat seperti Adelita.
Adelita tampak seperti gentar menyaksikanku sudah sama – sama telanjang seperti dia. Namun aku berusaha mengusir kegentarannya dengan merayap ke atas tubuhnya, lalu menghimpitnya sambil mencium bibirnya dengan segenap kemedsraan yang kumiliki.
“Boss… saya seperti tengah bermimpi… “gumam Adelita pada saat aku sedang mengemut pentil toketnya yang masih sangat kencang, sambil membelai rambutnya dengan lembut.
Aku tahu betul bahwa dalam suasana yang krusial seperti ini, aku harus bersikap selembut mungkin padanya.
Kemudian aku melorot turun, untuk menjilati pusar perutnya… lalu melorot lagi sehingga wajahku sudah berhadapan dengan memeknya yang cuma tampak seperti garis lurus dari atas ke bawah. Karena ketembeman memeknya menutup bibir luar vaginanya itu.
Lalu kukuakkan “garis lurus” itu dengan kedua tanganku. Sehingga memeknya jadi ternganga dan bagian dalamnya yang merah muda itu pun tampak di mataku.
Lalu lidahku pun mulai beraksi. Menjilati bagian dalam yang kemerahan itu.
Adelita tersentak pada awalnya. Tapi lalu terdiam setelah aku menggencarkan jilatanku. Bahkan ia mulai menggeliat – geliat erotis, seperti ular yang terinjak kepalanya…
Bahkan ketika aku mulai grencar menjilati kelentitnya, geliat – geliat erotisnya pun mulai diiringi desah – desah nafasnya, “Aaaaaa… aaaaaaaahhhh… aaaaaa… aaaaahhhh… aaaaaa… aaaaaahhhh… aaaaaaa… aaaaaaaaahhhh…”
Sambil menjilati celah kewanitaannya, aku perhatikan benar “keadaan” di dalam kemaluannya yang sulit untuk dilihat tanp[a lampu senter. Tapi jelas terlihat bahwa liangnya itu sangat kecil. Jelas harus dibantu oleh lotion yang tadi dibelikan oleh bellboy hotel ini.
Ketika aku mengalirkan lotion ke dalam celah kemaluannya, Adelita hanya menatapku dengan sorot pasrah. “Lotion ini untuk melicinkan, supaya tidak sakit,” kataku.
Adelita cuma tersenyum dan membiarkanku membuat celah kemaluannya digenangi lotion.
Begitu pula pada waktu aku merenggangkan kedua paha mulusnya, Adelita menurut saja. Membuatku semakin nyaman untuk meletakkan moncong penisku di ambang mulut memeknya yang sudah basah oleh lotion dan air liurku.
Lalu aku mendorong batang kemaluanku… tapi meleset ke bawah. Sehingga aku harus membetulkan letak awalnya. Kudorong lagi, meleset lagi.
Kutambah lotion lagi agar memudahkan penisku membenam ke dalam liang memek yang sangat sempit itu.
Kuletakkan lagi moncong penisku di ambang mulut vagina yang sudah sangat mengkilap dan basah oleh lotion itu. Lalu kudorong lagi sekuatg tenaga… iyaaaaaaaaa… mulai masuk sedikit… kudesakkan lagi sekuatnya… makin dalam masuknya… hampir setengahnya masuk.
Aku pun menghempaskan diri ke atas perut dan dada Adelita. “Sakit?” tanyaku perlahan.
“Nggak,” sahutnya sambil melingkarkan lengannya di leherku, “Boleh cium bibir Boss?”
“Tentu aja boleh,” sahutku sambil menggerak – gerakkan penisku perlahan – lahan.
Adelita pun mencium bibirku dengan kaku awalnya. Tapi setelah aku melumat bibirnya, ia pun balas melumat bibirku. Sementara penisku makin lama makin lancar mengentot liang memek Adelita, meski liangnya terasa sempit sekali. Aku malah menilai bahwa liang memek Adelita ini paling sempit di antara liang – liang sanggama yang pernah kusetubuhi.
Adelita pun mulai memberanikan diri untuk mendekap pinggangku erat – erat. Sementara tubuhnya terkadang mengejang, terkadang mengendur.
Desahan erotisnya pun mulai berkumandang di dalam kamar hotel ini, “Bossss… aaaa… aaaaaah… Boss… aaaaaahhhhhhh… Boss… aaaaaaaaa… Bosss… Bosss… aaaaa… aaaaaah… Bosssss…”
Kupelankan dulu entotanku sambil berbisik di telinga Adelita, “Sakit nggak?”
“Ta… tadi sakit sedikit… tapi sekarang nggak sakit lagi… malah eee… enak sekali Boss… rasanya… seperti… seperti melayang – layang gini sa… saking enaknya Boss… aaaaa… aaaaaah… kita… kita ini… se… sedang bersetubuh?”
“Iya…” sahutku sambil mempercepat entotanku. Tapi aku tidak bisa “tancap gas”, karena sempitnya liang kemaluan Adelita ini.
Sementara rintihan – rintihan histeris Adelita makin menjadi – jadi, “Boooossss… ooooh… Boooosssss… oooooooh… Boooosssssss… iiiiniiiii… lu… luar biasa enaknyaaaaa Bossss… eeeenaaaak Bossss… sangat enaaaaaak… sangat enaaaak… ooooh… Bossss… Boooosssssss…
Aku pun mulai melengkapi persetubuhan ini, dengan jilatan – jilatan di lehernya yang mulai keringatan, meski AC di kamar hotel ini terasa dingin sekali. Maka kedua tangan Adelita mulai mengepak – ngepak kasur. Seolah burung yang patah sayapnya, yang ingin terbang tapi tak bisa.
Terkadang aku pun mengemut pentil toketnya, sementara tanganku meremas toket yang satunya lagi. Sepasang mata bening Adelita pun semakin merem melek dibuatnya.
Dan ketika aku menjilati ketiaknya, Adelita tampak kaget. Pasti karena tidak menduga kalau aku akan menjilati ketiaknya segala. Begitu pula pada waktu aku menjilati telinganya, Adelita tersentak, tapi lalu membiarkanku melakukan apa pun yang kuinginkan.
Cukup lama aku melakukan semuanya ini. Sehingga keringatku pun mulai berjatuhan. Sebagian berjatuhan ke kain seprai, sebagian lagi berjatuhan ke leher, ke wajah dan ke dada Adelita.
Sampai pada suatu saat, Adelita berkelojotan sambil memejamkan matanya. Pada saat itulah aku pun mempercepat ayunan penisku.
Sebenarnya aku bisa memperlama durasi ngentotku. karena persetubuhan dengan Adelita adalah persetubuhan yang kedua bagiku hari ini. Karena beberapa saat yang lalu aku sudah menyetubuhi Bu Yeyen pula di galleryku.
Tapi aku sadar bahwa Adelita jangan sampai merasa tersiksa kalau aku terlalu lama menyetubuhinya. Karena itu aku menargetkan untuk ngecrot berbarengan dengan orgasme Adelita.
Karena itu aku dengan cepatnya berkonsentrasi, tentang betapa nikmatnya liang memek yang masih sangat – sangat sempit ini. Maka ketika sekujur tubuh Adelita mengejang tegang, Aku pun menancapkan batang kemaluanku sedalam mungkin, sambil meremas sepasang toket yang masih sangat kencang ini.
Kurasakan betapa liang sanggama Adelita berkejut – kejut, berbarengan dengan meletusnya lendir mani dari moncong penisku.
Croot… crooooottttttt… crooooottttttt… crotcrot… crooooot… cret… crooooooootttt…!
Kami sama – sama terkapar dan terkulai lemas.
Namun sesaat kemudian kucabut batang kemaluanku dari liang memek Adelita. Lalu aku mengamati memek tembem yang bersih dari jembut itu. Tampak ada darah mengalir dari memeknya dan menetes – netes ke kain seprai.
Hmmm… Adelita benar – benar masih perawan sebelum kusetubuhi tadi.
Dan aku merasa terharu bercampur rasa hormat pada Adelita. Karena di zaman yang sudah edan ini, masih ada cewek yang masih perawan.
Lalu kucium bibir Adelita disusul dengan bisikan, “Kamu memang masih perawan sebelum kusetubuhi tadi, Sayang.”
Adelita menatapku dengan senyum di bibirnya. Lalu menyahut, “Merasakan ciuman di bibir saja baru sekarang saya merasakannya. Apalagi disetubuhi seperti barusan.”
“Kamu tidak menyesal karena keperawananmu sudah kuambil?” tanyaku sambil mengusap – usap pipinya yang masih keringatan.
“Kalau sama orang lain pasti menyesal. Tapi karena yang mengambilnya Boss, saya tidak menyesal sedikit pun.”
“Syukurlah. Mulai saat ini, kalau kita sedang berduaan begini, jangan manggil boss lagi padaku ya.”
“Lalu saya harus manggil apa?”
“Panggil Bang aja. Karena usiamu lebih muda setahun dariku.”
“Iya Boss, eh Bang. Tapi kalau di depan sesama pegawai di gallery, saya akan tetap memanggil Boss.”
“Ya… kalau di depan pegawai atau manager sih manggil boss juga gak apa – apa.”
“Ohya Bang… apakah persetubuhan barusan bisa membuat saya hamil?”
“Bisa hamil, bisa juuga tidak. Tapi aku sudah membelikan pil anti hamil,” kataku sambil menyerahkan pil kontrasepsi yang dibelikan oleh bellboy tadi. “Baca dulu aturan pakainya.”
“Iya Boss. Kalau bisa sih jangan hamil dulu. Supaya saya bisa tetap bekerja di gallery.”
Aku cuma tersenyum mendengarkan ucapan Adelita itu. Karena aku sudah punya rencana untuk menaikkan derajatnya, lebih tinggi daripada sekadar jadi pegawai galleryku.
“Bang… apakah saya boleh untuk tetap mencintai Abang?” tanya Adelita sambil meletakkan tangannya di atas perutku.
“Tentu saja boleh. Bahkan harus tetap mencintaiku, tetap setia padaku. Karena aku pun mencintaimu, Sayang…”
“Ooooh Bang… benarkah kata – kata Abang itu?”
“Iya Sayang,” sahutku sambil meraih kepala Adelita agar terletak di atas dadaku.
Dua hari kemudian…
Kedatanganku di rumah yang dibeli dari Pak Wondo dan sudah direnovasi ini, disambut dengan peluk cium Bunda. Terasa sekali betapa Bunda merindukanku, padahal cuma beberapa hari aku berada di luar negeri.
“Donna ke mana Bun?” tanyaku.
“Lagi ngawasin pembangunan café itu. Sejak kamu terbang ke Bangkok, dia tak pernah ke mana – mana selain mengawasi orang – orang kerja,” kata Bunda sambil menarik tanganku mengajak masuk ke dalam rumahnya, “sebentar… ada yang mau bunda omongin.”
“Mau ngomong soal apa Bun?” tanyaku sambil duduk di sofa baru yang sudah diletakkan di kamar Bunda.
Bunda duduk di samping kiriku. Memegang tanganku sambil berkata, “Ternyata Donna tau kelakuan kita, terutama pada waktu pertama kalinya kamu gauli Bunda…”
“Terus?”
“Donna tidak mendakwa bunda. Bahkan akhirnya dia mengakui bahwa kamu sering menggaulinya juga. Betul kan?”
Dengan perasaan berat akhirnya aku menjawab, “Betul Bunda. Tapi Donna sudah tidak perawan lagi sebelum kugauli juga.”
“Memang siapa yang pertama menggauli dia?”
“Katanya sih pakai strapon… itu yang membuat keperawanannya hilang.”
“Strapon? Apa itu strapon?”
Untuk menjawabnya, kujelaskan apa itu strapon. Dildo yang menggunakan ikat pinggang dan posisinya seolah tumbuh dari kemaluan perempuan. Karena biasanya yang memakai strapon itu perempuan dengan perempuan lagi.
Bunda cuma mengangguk – angguk waktu mendengarkan penjelasanku.
Setelah menerangkan masalah strapon itu, aku bertanya, “Terus selanjutnya gimana Bun?”
Bunda menyahut, “Bunda dan Donna sudah sepakat untuk memiliki kamu secara bersama dan tidak boleh saling ganggu. Jadi kalau kamu sedang berada di kamar Bunda, Donna tidak akan mengganggu. begitu pula kalau kamu sedang berada di kamar Donna, bunda takkan mengganggu. Karena itu kami putuskan kamarmu terletak di tengah, di antara kamar bunda dan kamar Donna.
“Gak apa – apa. Malah bagus kalau begitu sih. Sekali – sekali Bunda dan Donna bisa kugauli bersamaan.”
“Threesome maksudmu?”
“Iya. Itu Bunda tau. Emangnya Bunda pernah dithreesome sama dua cowok sekaligus?”
“Iiih… gak pernah. Bunda cuma baca – baca aja diu majalah wanita.”
“Threesome itu ada dua macam Bun. Ada FFM dan MMF. Kalau FFM, perempuannya dua orang, cowoknya seorang. Kalau MMF sebaliknya, cowoknya dua orang ceweknya seorang.”
Saat itu Bunda mengenakan daster kirimanku dari Thailand tempo hari. Dan Bunda duduknya mengangkang, sehingga ketika tanganku dirayapkan ke balik daster itu, aku bisa menyentuh langsung memek Bunda yang ternyata tak bercelana dalam.
“Ini dari tadi pagi gak pake celana dalam Bun?” tanyaku sambil mengelus – elusmulut memek Bunda.
“Eeeeh, barusan aja pas lagi pipis dengar suara kamu. makanya celana dalam kebasahan sama air cebok. Bunda tinggalin aja di kamar mandi.”
Aku tersenyum. Lalu berbisik ke telinga Bunda, “Udah kangen sama kontolku nggak?”
“Kangen banget Sayuang. Tapi kamu kan baru datang. pasti capek abis terbang dari Bangkok ke sini.”
“Ohya Bun… ada oleh – oleh tuh dari Singapore. Aku kan mampir ke Singapore dulu, meninjau perusahaan – perusahaan peninggalan Papa di Singapore.”
“Terus kapan kamu mau pulang ke Bangkok lagi?”
“Aku mau menetap di sini aja Bun. Perusahaan – perusahaan yang di Bangkok sudah kujual. Duitnya buat modal usaha di sini aja. Biar dekat Bunda terus,” kataku sambil menciumi pipi Bunda.
“Donny… bunda senang sekali mendengar berita itu. kalau kamu di sini, bunda takkan kesepian lagi. Lagian… hihihi… kalau bunda lagi kepengen, kamu kan bisa ngasih.”
Tak lama kemudian terdengar suara Donna di ambang pintu kamar Bjunda ini, “Dooon! Udah lama datang?”
Aku berdiri dan menyahut, “Baru sepuluh menitan.”
Dona memburuku. Memelukku dengan eratnya. Aku pun tak ragu untuk mencium bibirnya di depan Bunda. karena menurut keterangan Bunda tadi, tiada lagi rahasia di antara aku, Bunda dan Donna.
“Aku kangen banget samna kamju iiih…” ucap Donna setelah ciumanku terlepas.
“Aku juga kangen sama Bunda dan kamu,” sahutku. “Tapi sekarang anter aku beli mobil dulu. Ke showroom yang dahulu aja.”
“Haa?! Mau beli mobil lagi? Kan mobilku juga jarang dipakai,” kata Donna.
“Mobilmu ya mobilku. Tapi aku butuh mobil satu lagi. karena aku akan menetap di sini. Kuliah pun akan kumulai lagi di kota ini.”
“Asyiiik !” Donna berjingkrak – jingkrak di depanku. Membuat Bunda tersenyum – senyum.
Beberapa saat kemudian, aku sudah berada di dalam mobil Donna yang ia sendiri mengemudikannya.
“Kata Bunda, sudah tercapai konsensus di antara Bunda dengan kamu. Betul?” tanyaku setelah mobil Donna berada di atas jalan aspal.
“Soal hubunganku denganmu dan soal hubungan Bunda denganmu?” Donna balik bertanya di belakang setirnya.
“Iya. Kenapa bisa jadi semulus itu perundingannya?”
“Awalnya perdebatan, bukan perundingan. Tapi lalu tercapai kesepakatan, bahwa kamu milik Bunda sekaligus milikku juga.”
“Iya Bunda sudah ngomong soal itu. Tapi kenapa bisa jadi seperti itu kesepakatannya?”
“Tadinya nadaku seolah mendakwa Bunda. Tapi aku lalu merasa kasihan kepada Bunda yang kelihatan seperti merasa bersalah. Akhirnya aku buka kartuku sendiri, agar Bunda tidak merasa sendirian saja yang bersalah. Nah… lalu kami bisa ketawa – ketiwi dan mengatur semuanya itu.”
Aku tersenyum sendiri mendengar penuturan Donna itu. Sambil membayangkan bahwa Donna dan Bunda akan berduet seperti Teh Nenden dan Teh Siska.
“Mungkin nanti malam jatah Bunda dulu ya,” kata Donna.
“Kalau tidur, pasti di kamar Bunda. Nggak tau soal perjatahan sih. Soalnya aku masih letih Beib,” sahutku.
“Pasti masih jet lag lah. Kalau mau menetap di sini sih santai aja Don. Yang penting Bunda tuh… harus dipuasi. Supaya kebiasaan minumnya gak kambuh lagi.”
“Selama aku di luar, Bunda benar – benar sudah berhenti minum?”
“Iya. Tampaknya Bunda sudah tak mau menyentuh minuman beralkohol lagi. Sikap dan perilakunya juga berubah. Jadi periang dan suka bersenandung mengikuti musik jadul yang disetelkannya.”
“Wajahnya juga kelihatan sudah berdarah lagi. Padahal baru dua mingguan dia berhenti minum kan?”
“Iya. Bunda sudah berubah jadi wanita normal seperti dahulu lagi. Terlebih setelah menempati rumah baru yang segalanya sudah diupgrade begitu, Bunda jadi seneng bersih – bersih dan nata – nata. Ohya… kemaren Tante Santi dan Tante Dina datang tuh.”
“Ohya?! Mereka itu kakaknya Tante Reni kan?”
“Iya. Tante Reni kan adik Bunda yang paling bungsu.”
“Urut – urutannya gimana sih? Setelah Bunda, adik langsung Bunda itu siapa?”
“Urut – urutannya begini… adik langsung Bunda itu Oom Jaka yang di Kalimantan. Lalu Oom Sambas yang di Papua. Setelah itu Tante Ratih. Adik langsung Tante Ratih itu Tante Dina, kemudian Tante Santi. Bungsunya Tante Reni.”
“Kalau saudara – saudara kandung Ayah siapa aja?”
“Adik langsung Ayah itu Oom Zulkifli. Lalu Tante Neni, Tante Tita dan Tante Yani.”
“Kamu sering berjumpa dengan saudara – saudara Ayah?”
“Setelah Ayah meninggal, gak pernah berjumpa lagi dengan mereka. Tapi aku punya alamat mereka semua. Sekarang kan sudah punya mobil. Kapan – kapan kita harus menyempatkan diri bersilaturahmi ke rumah saudara – saudara Ayah ya.”
“Iya,” sahutku datar. Namun sebenarnya aku tengah menerawang ke satu sosok baru, Adelita.
Aku dan Adelita berpisah di bandara SoekarnoHatta setelah mendapatkan alamat rumah Adelita di kampungnya. Dan aku berjanji akan datang ke rumahnya seminggu kemudian.
Itu pula sebabnya aku mau membeli mobil lagi. Kali ini untuk kepentingan pribadiku sendiri.
Pilihanku jatuh pada sebuah jeep yang masih sangat mulus dan meyakinkan. Grand Cherokee 5000 cc, berwarna hijau army. Mungkin mobil ini dijual oleh pemiliknya, karena boros bbm. Maklum mobil 5000 cc. Tapi aku justru menyukainya, karena setelah test drive terasa benar tenaganya besar dan reaksinya spontan.
Konon di Amerika mobil ini biasa dipakai oleh para petani. Maklum petani di Amerika bukan seperti petani di negara kita. Tanah garapannya bisa ribuan hektar. Sehingga membutuhkan mobil yang tangguh dan bertenaga gede.
Aku merasa bahwa showroom menjual mobil second itu dengan harga yang sangat murah. Harga barunya mungkin bisa dua kali lipat harga second ini, bahkan bisa juga lebih mahal daripada itu.
Donna pun senang melihatku memilih jeep matic built up Amerika yang joint dengan pabrik mobil dari Jerman itu.
“Kamu akan kelihatan lebih macho dengan mobil keren ini,” ucap Donna setengah berbisik.
Aku menyahut perlahan, “Hmmm… mobil kan harus disesuaikan dengan jenis kelamin pemiliknya, Beib.”
Setelah membayar mobil itu dengan US dollar, aku mengajak Donna makan di restoran pilihannya.
Di restoran itu aku membuka percakapan, “Besok aku mau menghapalkan jalan di kota ini.”
“Sendirian? Awas nyasar.”
“Kan pakai GPS., Sayang. “(pada saat itu pembimbing dan petunjuk jalan baru ada GPS. Belum ada WAZE dan sebagainya).
“Oh iya yaaa. By the way, kita mau langsung pulang atau mau ke mana dulu setelah selesai makan entar?” tanya Donna.
“Langsung pulang aja. Badanku masih letih. Maunya sih dipijitin dulu sama kamu di rumah nanti,” sahutku.
Donna tersenyum dan menjawab dengan bisikan di dekat telingaku, “Mau dipijatin pake memek?”
Aku ketawa kecil sambil berkata, “Boleh juga sih…”
“Tapi nanti malam giliran Bunda dulu deh. Ohya, kalau mau langsung pulang, beliin lasagna, kesenangan Bunda. Di sini lasagnanya paling enak.”
“Iya, beliin aja.”
Lalu Donna pesan lasagna 3 porsi. Mungkin maksudnya untuk Bunda dan kami berdua nanti.
Setelah selesai makan, kami berpisah di parkiran restoran itu. Donna masuk ke sedannya sambil menjinjing kantong plastik berisi lasagna itu, sementara aku naik ke mobilku sendiri.
Setibanya di rumah, Donna menyerahkan oleh – oleh dari restoran itu kepada Bunda.
“Wow…! Banyak sekali belinya? Padahal satu cup juga cukup,” kata Bunda.
“Sengaja belinya tiga. Kalau Bunda cukup satu cup, biar aku dan Donny yang makan sisanya,” sahut Donna yang lalu melangkah ke dalam kamarnya. Tinggal aku dan Bunda yang masih berada di ruang makan.
Aku pun melangkah ke belakang kursi yang sedang diduduki oleh Bunda. Lalu mmegang sepasang bahu Bunda sambil berbisik ke telinganya, “Bunda sudah kangen sama kontolku kan?”
Bunda menoleh ke arahku, “Kangen sih kangen, tapi bunda lagi mens Sayang. Sama Donna aja dulu puas – puasin. Nanti setelah bunda bersih, baru dengan bunda lagi. Tapi ingat… Donna harus dikasih pil anti hamil. Supaya bebas dari masalah yang bisa menggemparkan keluarga besar kita nanti.”
“Mmm… sayang ya… tadinya aku justru ingin habis – habisan sama Bunda malam ini. Besok istirahat. Lusa baru mau sama Donna,” kataku sambil melangkah ke kamar tengah yang sudah menjadi kamarku. Kuambil seikat uang dolar Amerika dari dalam tas pakaianku. Aku memang mengambil belasan ikat uang dolar Amerika dari salah satu koper di dalam bunker peninggalan Papa, untuk kebutuhan sehari – hariku.
Seikat uang pecahan 100 USD itu kumasukkan ke dalam saku jaket kulitku yang belum dilepaskan. Lalu melangkah ke dalam kamar Donna.
Kulihat Donna sedang mengenakan kimononya. Kimono yang terbuat dari bahan wetlook biru ultramarine, sehingga kontras sekali dengan kulit Donna yang putih mulus.
“Pejamkan matamu. Aku mau ngasih kejutan,” kataku.
Donna menurut saja. Memejamkan matanya sambil meletakkan kedua tangannya di sepasang bahuku. Kukeluarkan seikat uang pecahan 100 USD itu dari saku jaket kulitku.
Lalu kutarik tangan kanan Donna dari bahuku, sambil membuka telapak tangannya. Dan segepok uang dolar Amerika pecahan USD 100 itu kuletakkan di telapak tangan kanan Donna sambil berkata, “Bukalah matamu sekarang…
Donna membuka matanya dan langsung menatap ke arah uang dolar yang berada di tangan kanannya. “Woooow! Dolar Amerika?!” serunya. sumber Ngocoks.com
“Iya. Itu semua sepuluhribu dolar. Tinggal hitung, kalau dirupiahkan berapa?”
“Hihihihiii… asyiiiik… tabunganku akan semakin banyak,” ucap Donna sambil mengecup pipiku. Lalu menepuk – nepuk uang hadiah dariku itu, kemudian menciuminya dan memasukkannya ke dalam laci lemari pakaiannya.
Aku cuma tersenyum melihat ucapan dan perilaku saudara kembarku itu.
“Ada kejutan lain,” kataku, “Bunda sedang mens. Jadi mempersilakanku untuk bersamamu sampai Bunda bersih.”
“Ohya?! Biasanya Bunda kalau mens bisa sampai sepuluh hari. Berarti… selama Bunda belum bersih, kamu akan ngentot aku terus kan?”
“Mungkin aku besok akan ke luar kota. Mau nyari sesuatu.”
“Sesuatu apa?”
“Kalau aku bilang sesuatu, berarti masih kurahasiakan. Ohya, kolam renang yang di belakang itu nantinya akan dinaungi oleh bangunan di atasnya Don.”
“Mau bikin bangunan apa di atas kolam renang itu?”
“Aku mau bikin semacam ruang kerja. Supaya orang – orang yang tidak terlalu penting, tak usah dipertemukan denganku. Biarlah aku konsentrasi di ruang kerjaku nanti.”
“Aku juga gak boleh masuk ke ruang kerjamu?”
“Kalau kamu dan Bunda sih lain. Kapan pun boleh menjumpaiku di ruang kerja itu.”
Ketika aku sudah menelungkup di bed dan sudah mengganti pakaianku dengan baju dan celana piyama, Donna pun masuk ke dalam ke dalam kamarku.
“Kamu beneran letih ya. Mau dipijitin?”
“Iya Don… pijatlah sebisanya. Badanku pegel – pegel gini…”
Donna menurut saja. Memijati telapak kakiku, lalu betisku dan… aku terlelap tidur.
Keesokan paginya aku baru terbangun dan menyadari bahwa tadi malam Donna memijatiku dan membuatku ketiduran. Entah karena pijatannya enak, entah karena aku sudah letih sekali.
Lalu aku pun masuk ke dalam kamar mandiku. Kamar mandi yang sudah dipasangi shower dan water heater, tidak pakai gayung plastik seperti di rumah lama Bunda yang sudah dibumi ratakan untuk mini mart itu.
Lalu aku bersiap untuk berangkat. Mencari – cari Donna tidak kelihatan.
“Donna ke mana Bun?” tanyaku.
“Biasa… lagi ngawasin yang sedang membangun café itu,” sahut Bunda.
“Dia disiplin juga ya. Selalu mengikuti perintahku.”
“Iya. Makanya kalau kamu punya perusahaan di kota ini, jadikanlah Donna sebagai tangan kananmu. dia itu rajin, setia dan jujur.”
“Iya Bun. Sedang dipikirkan dulu mau usaha apa di sini. Aku pergi dulu ya Bun.”
“Mau ke mana Don?”
“Mau ngapalin jalan di kota ini.”
“Nggak mau sarapan dulu?”
“Nggak usahlah. Nanti nyari jajanan di jalan aja.”
Aku memang ingin menghapalkan jalan di kota ini, dengan batuan GPS tentunya. Ta[I baru saja beberapa meter mobilku menginjak jalan aspal, tiba – tiba handphoneku berdering.
Ternyata dari Tante Ratih. Lalu :
“Hallo Tante… apa kabar?”
“Sehat. Donny sudah ada pulang dari Bangkok?”
“Sudah Tante.”
“Tempo hari tante ke rumahmu yang keren itu. Tapi kata bundamu sedang di Bangkok.”
“Iya sih. Tante ada perlu sama aku?”
“Iya Don. Kalau ada waktu sih main dong ke rumah tante…”
“Ini lagi di jalan. Sekarang juga mau ke rumah Tante. Tapi mau sarapan dulu, mau nyari nasi kuning dulu.”
“Nasi kuning sih di depan rumah tante juga ada yang jual. Sarapannya di sini aja Don.”
“Oke deh… kalau gitu mau langsung ke rumah Tante aja.”
“Alamatnya sudah tante kasih kan?”
“Iya. Ini sudah ada. Dari batas kota ke barat terus ya.”
“Iya. Nanti kalau pas lewat pintu kereta api belok ke kanan. Jalannya agak kecil, tapi masuk mobil kok. Truk juga bisa masuk.”
“Iya Tante.”
Berkat bantuan GPS, aku bisa mencapai rumah Tante Ratih dengan lancar. Rumah yang mungil namun ditata dengan apik dan artistik. Ada lantai tembok pula di sampingnya, untuk memarkir mobilku.
Ketika aku turun dari mobil, Tante Ratih pun muncul di pintu depan, dalam kimono putih yang terbuat dari bahan handuk. Gila… adik Bunda yang satu ini, yang montok dan putih bersih ini, tampak seksi sekali di mataku…! Montok tapi proporsional. Bukan gendut.
Bersambung…