Tapi aku pura – pura tidak melihat keseksiannya itu, lalu bersikap sopan sebagaimana lazimnya seseorang yhang sedang berhadapan dengan tantenya. Kucium tangan Tante Ratih, yang dibalas dengan cipika – cipiki olehnya.
Lalu wanita 35 tahunan itu mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Langsung membawaku ke ruang makan. Karena nasi kuning dan lauk pauknya sudah terhidang di atas meja makan.
“Heheheee… aku jadi makin lapar lihat nasi kuning dan goreng ayam ini Tante,” kataku sambil duduk di salah satu kursi makan.
“Ayolah makan… gak nyangka bisa ketemu kamu lagi Don. Tante kan tau waktu kamu masih bayi, tau – tau menghilang begitu aja. Ternyata kamu diadopsi sama sahabat ayahmu ya? Dan sekarang tau – tau sudah gede dan tampan gini,” ucap Tante Ratih sambil mencolek pipiku.
“Iya Tante. Makanya aku merasa asing dengan keluarga di sini. Sama Bunda aja kebingungan awalnya. Beneran ini ibuku? Begitu yang terpikir olehku waktu baru berjumpa dengan beliau.”
“Dengan bundamu aja merasa seperti orang asing, apa lagi dengan tante dong.”
“Iya,” sahutku.
“Ayo makan nasi kuningnya, mumpung masih hangat, “Tante Ratih mendekatkan piring berisi nasi kuning, “Ini goreng ayam kampung Don. Bukan ayam broiler. Makanlah sepuasnya.”
“Tante gak nemenin?”
“Tante sih udah sarapan tadi. Masih kenyang. Ayolah makan… tante temenin ngobrol aja.”
Aku mengangguk, sambil mulai menyantap nasi kuning yang disuguhkan oleh Tante Ratih.
“Kok sepi rumahnya Tante? Pada ke mana anak – anak Tante?” tanyaku.
“Anak tante cuma seorang. Dia lagi kerja di pabrik dan tinggal di mess yang disediakan oleh pabrik itu. Yah… tante kan gak punya duit buat biayain kuliah. Makanya sedih juga sih, tamat SMA malah jadi buruh pabrik.”
“Anaknya cowok apa cewek?”
“Cewek. Makanya tante ingin minta tolong sama Donny, kalau bisa sih ajak kerja di Bangkok aja. Kan Reni juga kerja di rumah Donny ya?”
Aku tidak mau memberitahu bahwa Tante Reni sebenarnya sudah kutempatkan di Jakarta. Aku malah membahas masalah lain, “Aku kan mau menetap di sini. Ingin dekat sama Bunda dan keluarga besar Bunda di sini.”
“Lho… kamu kan masih kuliah di Bangkok?”
“Kuliahnya mau ditinggalin dulu. Nanti kuliah di sini juga gak apa – apa. Yang penting aku ingin belajar nyari duit di sini. Ohya… suami Tante ke mana?”
“Wah… sudah lama dia sih menghilang dari peredaran. Awalnya kerja di Jambi, di kebun kelapa sawit. Terus ada kabar kerja di Malaysia. Sampai sekarang gak pernah ngabarin apa – apa ke sini.”
“Sudah berapa lama dia meninggalkan rumah ini?”
“Sudah tujuh tahun. Waktu dia pergi, rumah ini masih gubuk. Ini sih dibangun dengan hasil keringat tante sendiri.”
“Wah… tujuh tahun pisah gitu apa gak renyem Tan?”
“Idiiih… renyem apanya?”
“Itunya… hihihihiiii… akhhhhhh !” aku ketawa sambil makan sampai tersedak. Buru – buru kuminum teh hangat yang disuguhkan oleh tanteku.
Di luar dugaan, Tante Ratih membisiki telingaku, “Emangnya kalau renyem, kamu mau garukin?”
Aku menoleh ke arah Tante Ratih yang duduk di sampingku. Sambil mengatur pernafasan, agar jangan tersedak lagi. Lalu kataku, “Mau banget Tante… garukin wanita seseksi Tante sih siapa juga pasti mau…”
Tante Ratih mengusap – usap celana jeansku pada bagian paha, sambil berkata perlahan, “Main sama cowok semuda kamu sih kebayang… masih seger segalanya.”
Dan gilanya… tangan Tante Ratih lalu bergerak ke ritsleting celana jeansku. Di situ tangannya meraba – raba. Sampai akhirnya memijit – mijit celana jeansku tepat pada bagian penisku…!
“Aku juga kebayang… kalau main sama wanita seseksi Tante… pasti bakal mengesankan,” kataku.
“Serius Don?” tanya Tante Ratih dnegan tangan berusaha menurunkan ritsleting celana jeansku.
Kutatap wajah cantik adik kandung Bunda itu, sambil mengangguk dan membuka gesper ikat pinggangku, lalu sekalian menurunkan ritsleting celana jeansku.
Tangan Tante Ratih pun menyelinap ke balik celana jeansku, langsung menyelinap pula ke balik celana dalamku. Dan… menyentuh batang kemaluanku yang sudah mulai ngaceng ini…!
“Aduuuh… kontolmu gede banget Don… udah ngaceng pula… !” seru Tante Ratih setengah berbisik.
“Mungkin karena Tante terlalu menggiurkan di mataku,” sahutku sambil menyelinapkan tangan kananku ke balik kimono yang terbuka dan mempertontonkan paha putih mulusnya. Lalu… pada saat Tante ratih meremas – remas batang kemaluanku yang semakin ngaceng ini, tanganku pun sudah menyelinap ke balik celana dalam Tante Ratih.
“Memeknya gundul Tan…”
“Iya… kalau jembutnya dibiarin gondrong, suka risih pada waktu keringatan.”
“Kebayang enaknya memek Tante ini…” ucapku sambil mencari – cari kelentitnya yang masih tertutup celana dalam ini.
“Turunin dulu isi perutnya. Biar jangan sembelit,” kata Tante Ratih sambil mengelus – elus moncong penisku yang juga masih tertutup celana dalam.
Namun setelah jemariku menemukan kelentitnya dan mulai menggesek – geseknya, justru Tante Ratih yang tak sabaran lagi. “Di kamar tante aja yuk, biar lebih nyaman, “ajaknya dengan nada tergesa – gesa.
“Iya…” sahutku sambil mengeluarkan tanganku dari balik celana dalam Tante Ratih. Sementara Tante Ratih pun melepaskan tangannya dari balik celana dalamku.
“Nasi kuningnya nggak dihabisin dulu?” tanya Tante Ratih sambil berdiri.
Kujawab sambil memeluknya dari belakang, “Memek Tante jauh lebih penting daripada nasi kuning,” bisikku.
Tante Ratih pun ketawa centil sambil melangkah ke pintu kamarnya. Aku pun mengikutinya dari belakang.
Setelah berada di dalam kamarnya, Tante Ratih menutupkan jendela kacanya, lalu menarik gordinnya sampai tertutup total. Sehingga kamar adik Bunda ini jadi remang – remang. Terlebih setelah pintunya ditutup dan dikuncikan, jadi lebih gelap lagi.
Lalu udara di kamar manjadi terang kembali setelah Tante Ratih menyalakan lampu.
Dan… Tante Ratih memijit hidungku sambil berkata, “Setelah gede kamu jadi tampan sekali gini Don. Kalau bukan keponakan, mau deh jadi istri kamu.”
Aku cuma tersenyum, sambil melepaskan celana jeans dan celana dalamku yang sudah turun ke paha. Tinggal baju kaus biru langit yang masih melekat di tubuhku. Sementara Tante Ratih sudah melepaskan kimono putihnya. Lalu memegang batang kemaluanku yang sudah sangat ngaceng dan siap tempur ini.
“Hihihiii… kebayang mantapnya dientot sama kontol segede dan sepanjang ini sih…” ucapnya sambil menimang – nimang dan mengelus – elus penisku.
Lalu ia melepaskan beha dan celana dalamnya, sehingga tubuh indah itu jadi telanjang bulat. Mungkin di antara adik – adik Bunda, Tante Ratih ini yang paling seksi. Karena tubuhnya serba terawat. Toketnya agak gede tapi tidak terlalu gede, sehingga bentuknya masih tampak indah, tidak turun “ngaplek” ke bawah.
Aku pun menanggalkan kaus biru langitku sebagai benda terakhir yang masih melekat di tubuhku. Sehingga aku jadi telanjang juga seperti Tante Ratih.
Seperti tak sabaran lagi, Tante Ratih menarikku ke atas ranjang besinya setelah aku telanjang. Lalu kami bergumul dengan gairah yang sama – sama hangat.
Kadang aku berada di bawah, diciumi oleh Tante Ratih dengan lahapnya. Bukan hanya bibir yang dicium dan dilumat olehnya, melainkan leherku juga dicelucup dan dijilati oleh lidahnya. Bahkan pentil dadaku yang cuma sebesar kacang hijau ini pun disedot – sedot olehnya. Terkadang aku berada di atas, menghimpit Tante Ratih sambil meremas sepasang toketnya yang memang masih lumayan kencang, pertanda rajin merawatnya.
Tadinya aku ingin menjilati memeknya yang tembem dan agak ternganga itu. Namun Tante Ratih mendahuluiku. Mengemut penisku dengan lahapnya, sambil mengurut – urut badan penisku yang tidak terkulum.
Dan setelah batang kemaluanku basah kuyup oleh air liurnya, cepat Tante ratih bertindak. Menempelkan moncong penisku di mulut memeknya, kemudian memek tembem itu turun… mendesak moncong penisku yang lalu membenam ke dalam liang sanggamanya yang hangat dan licin ini.
Tante Ratih pun menjatuhkan dadanya ke atas dadaku, dengan memek yang sudah “menelan” sekujur batang kemaluanku.
Lalu mulailah ia mengayun memeknya, up and down, membuat batang kemaluanku keluar – masuk di dalam liang memeknya yang licin tapi menjepit ini. Sementara kedua tanganku mulai beraksi. Terkadang mendekap pinggangnya erat – erat, terkadang meremas kedua buah pantatnya yang gede tapi kencang padat. Mulutku pun bisa beraksi untuk menjilasti leher jenjangnya yang mulai keringatan.
Makin lama liang memek Tante Ratih makin gencar mengocok batang kemaluanku, diiringi desah – desah nafasnya yang makin lama makin menggila.
“Doooon… aaaaa… aaaahhhh… Dooooon… aaaaah… Doooon… aaaa… Dooonnnn… aaaaaaah… Doooon… aaaaah… Doooon…”
Tante Ratih laksana singa betina yang kelaparan. Gerakan dan goyangan tubuhnya begitu agresif. Begitu pula pada saat ia sudah berada di bawah sementara aku berada di atas, tubuhnya tak pernah diam pada waktu giliran beraksi di atas perutnya.
Pinggul Tante Ratih mulai bergoyamng edan – edanan. Bergoyang ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah, memutar – mutar dan meliuk – liuk, lalu menghempas – hempas ke kasur, sehingga batang kemaluanku terasa dibsot – besot dan diremas – remas oleh liang memeknya yang licin dan “hidup” ini.
Sebagai tanggapan, kugenjot penisku habis – habisan. Bermaju – mundur di dalam jepitan liang memek yang terasa “sangat hidup” ini (karena ada semacam kedutan – kedutan kencang di dalamnya).
Maka rintihan – rintihan histeris dan erotis tanteku pun semakin menjadi – jadi dan mungkin sudah di luar kesadarannya lagi.
“Dooonnnn… oooo ooooooh… Doooon… kontolmu kok enak sekali Dooooon… entot terus Doooon… entoooot teruuuussss… iyaaaa… iyaa… entoooottttttttt Doooon… entoooootttt… edaaaaan… ini enak bangeeeeet… entotttt Dooooooon… enoooooootttt …
Keringat sudah mulai membasahi tubuhku, leher Tante Ratih dan bahkan toketnya pun mulai dibasahi keringatku.
Sementara aku semakin gencar menjilati lehernya disertai dengan gigitan – gigitan kecil. Bahkan ketiaknya pun tak luput dari jilatan dan gigitan – gigitanku, sementara tangan kiriku semakin asyik meremas – remas toketnya.
Sampailah pada suatu saat krusial dalam persetubuhan ini…
Ketika Tante Ratih sedang berkelojotan, aku pun sedang tancap gas… mengentotnya dengan gerakan yang makin lama makin cepat. Lalu… ketika Tante Ratih sedang mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat ke atas, pada saat itu kurasakan penisku seperti diremas oleh liang memeknya. Disusul dengan kejutan – kejutan kencang di liang kenikmatan tanteku ini.
Aku menggelepar di atas perut Tante Ratih. Lalu terkulai lemas di dalam dekapannya.
Amu sangat memuaskan Don,” ucap Tante Ratih ketika aku sudah menelentang di sampingnya, “Baru sekali ini tante merasakan nikmatnya digauli pria.”
Tadinya kupikir Tante ratih akan memaksaku untuk menyetubuhinya lagi, mengingat betapa agresifnya dia tadi. Tapi ternyata tidak.
Tante Ratih bahkan bertanya, “Kamu mau jadi menantu tante?”
“Haaa?! Kan kita sudah melakukannya Tante. Masa aku mau dijodohkan pula dengan anak Tante?” aku balik bertanya.
“Nggak apa – apa. Hubungan kita kan hubungan rahasia. Walau pun Donny sudah jadi menantu tante, kita kan tetap bisa melakukannya. Asal rapi aja merahasiakannya.”
Bayangan wajah Adelita mendadak muncul di dalam terawanganku. Terlebih lagi setelah aku mendapatkan sms darinya yang berbunyi, -Aku jadi gak bisa tidur Bang. Ingat Abang terus. Kapan Abang mau ke kampungku?-
Dalam keadaan masih telanjang bulat, Tante Ratih membuka pintu lemari pakaiannya. Lalu mengeluarkan sebuah buku album foto. “Imey itu cantik lho. Nih lihat foto – fotonya,” kata Tante Ratih sambil membuka album fotonya, lalu menyerahkan album itu padaku, dalam keadaan masih terbuka.
“Nah ini Imey… ini juga… ini juga… bagaimana? Cantik kan?” Tante Ratih menepuk bahuku.
“Memang cantik, Tante. Tapi apakah boleh aku menikah dengan anak Tante yang namanya… mmm Imey ini?”
“Boleh. Kawin dengan saudara sepupu tidak dilarang. Kalau tante kawin denganmu jelas dilarang.”
“Barusan kita kan kawin Tante…” sahutku sambil mencolek perut tante Ratih yang masih telanjang.
Tante Ratih tersipu, “Iya.. iya… menikah maksudnya, bukan kawin. Ohya… itu foto – foto Imey sekitar dua tahun yang lalu. Sekarang sih lebih cantik lagi. Tante mau telepon dia ya, biar bisa pulang dulu dan berjumpa denganmu.”
“Boleh juga. Dengan saudara kan harus dibanyakin silaturahmi, biar jangan mati obor. Apalagi aku dengan Imey kan belum pernah bertemu muka. Kalau ketemu di jalan, pasti saling gak kenal,” sahutku yang merasa bersemangat juga untuk dipertemukan dengan cewek yang bernama Imey itu.
Lalu Tante Ratih mengenakan pakaian dalam dan kimononya kembali. Mengambil handphonenya dan memijat nomor anaknya. Lalu :
“Hallo Mey – – – lagi kerja apa lagi istirahat di mess? – – – Ohya – – – baguslah – – – sekarang ke rumah ya – – – hmm? Nanti aja di rumah disampeinnya. Iya – – – iyaaaa.”
Kemudian Tante Ratih menyimpan kembali handphonenya di atas meja rias.
“Dia segera datang ke sini. Ayo pakai lagi semua pakaiannya. Rambutnya juga sisir, jangan berantakan gitu.”
Aku pun mengenakan semua pakaianku, menyisir rambutku dan keluar dari kamar Tante Ratih. Duduk di atas sofa ruang tamu sambil memperhatikan ke depan.
Tante Ratih pun muncul, dengan mengenakan housecoat panjang, tidak mengenakan kimono lagi.
“Imey takkan lama – lama, karena akan kebagian kerja shift kedua jam empat sore. Jadi jam dua sudah harus pulang lagi ke mess.”
“Ini kan baru jam sepuluh pagi,” sahutku.
“Iya… nanti jam dua kita bisa main lagi, setelah Imey pulang,” kata Tante Ratih sambil menghampiri sofaku dan mencium pipiku.
“Belum kenyang?”
“Belum. Hihihiiiii… “Tante Ratih ketawa centil.
Aku cuma tersenyum – senyum. Padahal yang berada di balik celana dalamku sudah celingukan lagi… hahahahaaa…!
Sejam kemudian terdengar suara motor memasuki pekarangan rumah Tante Ratih.
“Nah… itu motor Imey,” kata Tante Ratih sambil melangkah ke pintu depan dan membuka pintu itu.
“Ada siapa Mah?” tanya cewek bernama Imey itu sambil menunjuk ke arah mobilku yang terparkir di samping rumah Tante Ratih.
“Itu… ada saudara sepupumu,” sahut Tante Ratih sambil mengajak anaknya masuk ke dalam.
“Saudara sepupu?” Imey tampak heran, mungkin karena baru sekali ini berjumpa denganku.
Aku pun terpana ketika ia berdiri di depanku, karena cantiknya itu… ooo my God… dia memang cantik sekali. Kalau kubandingkan dengan Adelita, kuanggap Imey ini sama cantiknya. Kalau Adelita kuberi nilai 9, maka Imey pun layak kuberi nilai 9… Perawakannya sama, cantiknya sama, hanya bedanya mata Imey itu sipit, sehingga kalau sepintas lalu bisa disangka amoy…
“Dia ini Donny… saudara kembar Donna,” kata Tante Ratih pada waktu Imey mau menjabat tanganku.
“Owh… yang tinggal di Bangkok itu?” tanya Imey waktu berjabatan tangan denganku.
“Iya… tapi sekarang sih udah pindah ke sini,” sahutku.
“Wow, asyik dong. Bisa diajak jalan – jalan di hari libur,” kata Imey yang belum melepaskan tanganku dari genggamannya, “Jadi aku harus manggil apa sama dia Mah?”
“Umur kalian hanya beda sebulan. Makanya saling panggil nama aja. Atau kalau mau mengikuti sirsilah, Imey harfus manggil Kang sama Donny. Karena Donny itu anak kakak mamah,” sahut Tante Ratih.
“Nggak usah pakai Kang Kung King Kong deh, kita saling panggil nama aja ya,” ucapku kepada Imey.
“Iya, “Imey mengangguk sambil melepaskan tanganku dari genggamannya, “Sama Donna juga aku saling panggil nama aja.”
Lalu kami duduk di sofa yang berbeda. Imey duduk di samping ibunya, aku duduk di sofa yang berhadapan dengan mereka.
Tante Ratih berkata, “Orang tua angkat Donny sudah pada meninggal. Makanya Donny putuskan untuk tinggal bersama ibunya. Rumah Uwa Ami sekarang sudah keren banget Mey. Donny yang merombaknya. Bahkan sekarang tanah kosong di samping rumah Uwa Ami itu sedang dibangun untuk dijadikan café, yang akan dikelola oleh Donna dan ibunya.
“Wah asyik dong. Aku bisa kerja di café itu nanti?” tanya Imey sambil menatapku dengan senyum.
“Bukan cuma kerja di café, mamah malah ingin agar Donny jadi calon suamimu. Imey mau kan dijadikan calon istrinya?”
Imey menatapku tersipu – sipu, “Mamah main jodohin aja. Emangnya Donny mau sama aku?” taanyanya.
“Nah Don… gimana? Donny mau dijadikan calon suami Imey?”
Kujawab dengan tegar, “Siap Tante. Tapi untuk sementara pacaran aja dulu, karena aku harus kuliah dari awal lagi di sini. Nanti kalau sudah es – satu, baru bisa menikah. Itu pun jangan dulu ngomong apa – apa sama Bunda dan Donna. Kita diam – diam aja dulu, biar jangan bikin heboh keluarga.”
“Iya, “Tante Ratih mengangguk, “Terus gimana dengan pekerjaan Imey? Apakah dia mau dibiarkan tetap bekerja di pabrik?”
“Aku mau buka perusahaan di sini. Nanti Imey kerja di perusahaanku aja. Tapi perusahaannya belum dibentuk. Jadi… untuk sementara biar Imey kerja di pabrik dulu. Setelah perusahaanku terbentuk, dia bisa langsung pindah ke perusahaanku. Tentang gajinya jangan takut, pasti jauh lebih besar daripada di pabrik yang hanya mengandalkan UMR sebagai patokannya…
SAku memang sangat lama menyetubuhi Tante Ratih di ronde kedua ini. Maklum namanya juga ronde kedua, tentu saja durasinya lebih lama daripada ronde pertama. Tapi Tante Ratih takkan tahu bahwa di ronde kedua ini aku melakukannya dengan terawangan melayang ke mana – mana. Terutama teringat pada Adelita yang sudah berulang – ulang mengirimkan sms, berisi kerinduannya padaku yang teramat sangat.
Esok paginya, aku melarikan mobilku menuju ke arah timur, ke luar kota. Untuk mendatangi rumah Adelita yang letaknya cukup jauh dari kotaku, sekitar 120 kilometer jauhnya.
Untuk mencapai alamat rumah Adelita tidak mudah. Karena setelah melewati kilometer 100, maka 20 kilometer berikutnya harus melewati jalan yang belum diaspal. Lubang – lubang berlumpur pun harus kulewati. Tapi aku tetap bersemangat untuk berjumpa dengan Adelita yang sudah sangat kurindukan itu, sekaligus untuk memenuhi janjiku bakal mengunjungi rumahnya.
Akhirnya aku tiba di depan sebuah rumah potongan zaman kolonial Belanda, tapi tampak megah sekali. Bahkan mungkin rumah itu paling megah di antara rumah – rumah di kampung ini. Apakah ini rumah orang tua Adelita?
Tanpa ragu aku mengetuk pintu depan rumah tempo doeloe ini.
Lalu muncul seorang wanita kebule – bulean tapi mengenakan hijab dan jubah muslimah putih bersih. Wanita setengah baya yang cantik dan kebule – bulean itu menyapaku, “Mau ketemu siapa dek?”
Spontan aku bertanya, “Apakah di sini rumah Adelita?”
“Oh, iya. Apakah Adek ini bossnya Lita di Singapore yang bernama Donny itu?” tanyanya dengan sikap berubah, jadi sangat ramah.
“Betul Bu, “aku mengangguk, “Apakah Ibu ini mamanya Adelita?”
“Iya. Silakan masuk Dek,” kata wanita setengah baya itu sambil membuka pintu rumahnya semakin lebar.
Aku pun dipersilakan duduk di salah satu kursi ukiran kayu jati, yang joknya terasa menggunakan pegas. Mungkin umur kursi yang kududuki ini sudah seratus tahunan, tapi tampak sangat terawat.
Wanita berhijab yang cantik rupawan itu pun duduk di kursi yang berhadapan dengan kursiku, dibatasi oleh meja kecil yang bundar dan kakinya berukir pula.
“Lita sedang belanja ke kota. Baru saja berangkat. Apa Dek Donny bersedia menunggunya?”
“Nggak apa – apa bu. Biar saya tunggu aja sampai dia pulang.”
“Tapi masih lama lho Lita pulangnya. Biasanya kalau belanja ke kota, bisa tiga atau empat jam baru pulang.”
“O, begitu ya? Mmm… pake apa dia perginya Bu?”
“Pake angkutan umum Dek. Lita kan belum punya motor. Biasanya anak sebaya dia pada pake motor di sini.”
“Kalau Lita mau, dia bisa beli motor – motor aja sih. Tapi dia kan tinggal di Singapore selama ini. Ohya… Ibu tau ke mana tujuan Lita belanjanya?”
“Tau Dek. Dia selalu belanja di toko langganan saya.”
“Kalau begitu, Ibu bersedia ikut saya menyusul Lita, supaya dia tidak kelamaan pulangnya?”
“Mmmm… boleh deh,” sahut wanita itu sambil bangkit dari kursinya, “Dek Donny udah gak sabar lagi ingin bertemu dengan Lita ya?”
“Hehehee… iya Bu.”
“Saya sih gak usah ganti baju dulu. Yang dipakai ini juga masih bersih kan?”
“Iya Bu. Masih bersih. Pokoknya meski berhijab, Ibu tetap kelihatan cantik.”
“Masa?” wanita itu mencubit pipiku tanpa ragu.
Meski rikuh kujawab juga, “Betul Bu. Pantesan Adelita cantik. Pastui menurun dari mamanya, ya Bu.”
“Mungkin,” sahut mamanya Adelita tampak bangga.
Beberapa saat kemudian wanita berhijab yang tampak kebule – bulean itu sudah duduk di sebelah kiriku, dalam mobil yang sudah kujalankan kembali di atas jalan yang banyak lubang berlumpurnya.
“Maaf Bu, kalau boleh taju, Ibu ini asli mana? Dari Eropa atau Amerika?” tanyaku di belakang setirku. “Saya asli Lebanon Dek.”
“Ooo… kalau Lebanon sih berarti Arab juga ya Bu.”
“Iya.”
“Jadi Adelita itu berdarah campuran Indonesia – Lebanon ya.”
Pikirku, pantesan Adelita cantik sekali.
Tapi aku tidak mengatakan hal itu. Aku malah menanyakan hal lain, “Ibu kan sudah jadi WNI ya?”
“Sejak lahir saya sudah WNI. Karena saya dilahirkan di sini. Sebelum saya lahir, orang tua saya sudah jadi WNI.”
“Bagaimana ceritanya sehingga orang tua Ibu bisa tinggal di Indonesia, lalu menjadi WNI?”
“Waktu itu orang tua saya sengaja mengungsi ke Indonesia. Karena di Lebanon sedang terjadi perang besar – besaran. Lalu mereka merasa kerasan tinggal di Indonesia, kemudian mendaftar untuk menjadi WNI. Cukup lama prosesnya, sampai lebih dari sepuluh tahun, barulah mereka menerima surat kewarganegaraannya.
“Waktu masih muda, Ibu pasti cantik sekali,” ucapku nyelonong ke lain arah. Bahkan dengan pikiran ngeres pula. Membayangkan jika dia telanjang bulat seperti apa ya?
Tapi pikiran itu cepat kutepiskan, karena aku sudah berniat menikahi Adelita. Masa calon mertuaku mau dijahilin pula?
“Ya jelas cantik lah,” sahutnya, “Sekarang juga masih cantik kan?”
Aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum. Lalu mengangguk, “Iya. Saya mau jujur aja, Ibu ini cantik sekali. Kalau bukan mamanya Adelita sih pasti udah saya godain.”
“Hihihihiii… “wanita itu ketawa sambil menggenggam tangan kiriku, “Seneng sama wanita setengah baya ya?”
Aku mengangguk. Lalu spontan teringat Mama almarhumah, teringat Bunda, teringat Tante Ratih dan wanita – wanita setengah baya lain yang pernah hadir dalam kehidupanku.
Bagiku, wanita setengah baya itu punya greget tersendiri. Tidak bisa disamakan dengan cewek muda belia.
“Nanti bisa – bisa Dek Donny bakal ngintipin saya juga dong,” kata mamanya Adelita, lagi – lagi sambil menggenggam dan meremas – remas tanganku.
Aku jadi keceplosan. Sahutku, “Nggak usah nanti, sekarang juga ingin ngintip. Tapi gimana caranya? Pakaian Ibu sangat tertutup begitu…”
“Serius?” tanyanya sambil merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku.
“Sangat serius Bu,” sahutku yang dengan spontan mengecup pipi kanannya itu.
“Kalau gitu putar balik aja. Gak usah ngejar Lita. Biarkan dia belanja dengan tenang dan pulang pada waktunya.”
“Jadi…?!”
“Mumpung saya lagi ngebet sama Dik Donny, mendingan balik lagi ke rumah saya. Nanti saya bikin Dek Donny takkan bisa melupakan saya.”
Penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh wanita setengah baya yang cantik itu, aku pun memutar mobilku yang kebetulan belum jauh meninggalkan rumah wanita itu.
“Kalau boleh tau, nama asli Ibu apa?”
“Nama saya Faizah, pakai husup z jangan pakai J. Faizah itu artinya berjaya. Tapi almarhum ayah Lita suka manggil saya Zah saja.”
Aku cuma mengangguk – angguk, sambil menghafalkan namanya, Faizah… Faizah… Faizah.
Dan… waktu menyetir kembali ke rumah wanita itu, penisku mulai ngaceng seolah minta “sesuatu”.
Setibanya di rumah bergaya zaman kolonial Belanda itu, Bu Faizah langsung membawaku ke dalam. “Itu kamar Adelita…” ucapnya sambil menunjuk ke pintu di sebelah kiriku. “Dan itu kamar saya,” ucapnya sambil menunjuk pintu kamar yang berada di sebelah kanannya.
Pintu yang di sebelah kanan kami itu dibuka. Lalu Bu Faizah menarik lenganku, mengajak masuk ke dalam. Setelah aku berada di dalam kamar yang tercium harum parfum khas timur tengah, Bu Faizah menguncikan pintu itu. Pada waktu dia sedang menguncikan pintu itu, aku pun mendekapnya dari belakang sambil berbisik ke dekat telinganya, “Bu Faizah punya daya pesona yang luar biasa.
Bu Faizah memutar badannya jadi berhadapan denganku, “Dek Donny juga punya daya pesona yang luar biasa. Saya belum pernah mendekati teman Adelita, apalagi menggodanya. Tapi Dek Donny ini seolah memancarkan aura yang bisa memikat hati perempuan mana pun.”
Ucapan itu dilanjutkan dengan pagutan di bibirku, yang kusambut dengan lumatan, dibalas dengan lumatannya pula.
Ini memang aneh tapi nyata. Bahwa setiap berdekatan dengan wanita setengah baya, selalu saja nafsuku bergejolak. Apalagi dengan wanita setengah baya yang cantik dan seolah memancarkan daya pesonanya seperti Bu Faizah ini.
Lalu terdengar bisikan Bu Faizah di dekat telingaku, “Dek Donny ingin agar jubah putih ini dilepaskan ya?”
“Iya Bu… dari tadi saya membayangkan seperti apa indahnya tubuh Bu Faizah kalau jubah putih dan jilbabnya sudah dilepaskan,” sahutku jujur.
Bu Faizah mengangguk sambil tersenyum. Sambil melepaskan jilbab dari kepalanya, sehingga rambutnya yang hitam legam dan agak ikal itu terurai lepas sam\pai punggungnya. Baju jubah putih bersihnyha pun ditanggalkan
Wow… betapa indahnya tubuh perempuan yang kutaksir usianya kepala empat itu. Tubuh yang sangat putih dan mulus itu benar – benar mirip bentuk guitar Spanyol. Ke atas tegap, dengan payudara yang pasti montok di balik behanya, dengan pinggang ramping dan bokong gede yang… aaaah… tubuh yang tinggal mengenakan beha dan celana dalam serba hitam itu teramat sangat menggiurkan…
Tanpa basa basi lagi aku pun menanggalkan celana jeans dan baju kausku. Tinggal celana dalam yang kubiarkan masih melekat di tubuhku.
Aku pun berdiri di depannya, namun kedua tanganku bergerak ke punggungnya, karena ingin melepaskan kancing behanya, sekaligus ingin menyaksikan seperti apa bentuk toket gedenya itu…
Sepasang toket Bu Faizah memang gede, tapi tidak terlalu gede. Sehingga bentuknya masih membusung ke depan, tidak menggantung ke bawah.
Bu Faizah pun langsung meraihku ke atas ranjang besinya yang berkasur konvensional (kasur yang diisi kapuk biasa). Tak cuma meraih ke atas ranjangnya, dia pun langsung memagut bibirku ke dalam lumatan lahapnya, seolah kafilah dahaga yang menemukan oase, lalu minum sepuasnya. Setelah ciuman dan lumatannya terlepas, aku pun melorot turun sedikit, karena ingin mengemut pentil toketnya yang terasa menegang ini (pertanda horny-nya seorang perempuan).
Namun sambil mengemut pentil toket gedenya, tanganku pun merayap ke bawah. Berusaha menyhelinapkan tanganku ke balik celana dalamnya, karena sudah penasaran sepoerti apa bentuk kemaluan wanita berdarah Lebanon ini. Dan aku sudah menduga bahwa kemaluannya pasti berjembut tebal sekali, seperti ramburt di kepalanya yang begitu tebal dan hitamnya.
Tapi ternyata aku salah duga. Begitu tanganku berada di balik celana dalam hitamnya, aku langsung menyentuh permukaan memek yang licin plontos, alias bersih dari jembut…!
Dan ini membuatku makin bersemangat karena sudah kebayang enaknya menjilati memek timur tengah ini.
Tampaknya nafsu Bu Faizah besar sekali. Begitu jemariku menggerayangi memek plontos di balik celana dalamnya, ia buru – buru melepaskan celana dalam hitam itu. Lalu menerkamku dengan ciuman panasnya di sana – sini. Di bibirku, di leherku di dadaku, di ketiakku di perutku dan bahkan dengan sigap ia melepaskan celana dalamku.
Seperti harimau betina yang sedang naik birahi, ia genggam batang kemaluanku dengan kedua tangannya. Lalu menjilati puncaknya, lehernya dan… happpp… ia masukkan penisku ke dalam mulutnya… lalu menyelomotinya dengan lahapnya, seolah mahluk lapar menemukan makanan lezat yang sangat disukainya.
Dan gilanya, selomotan wanita timur tengah itu begitu trampilnya, sehingga aku jadi terpejam – pejam dalam nikmat yang luar biasa…!
Oooo… baru sekali ini aku menemukan wanita yang begini agresifnya, sehingga aku pun seperti ditantang untuk mengimbanginya dengan serangan yang yang lebih agresif lagi…!
Aku tak mau ejakulasi dini dalam mulut mamanya Adelita ini. Lalu kutarik penisku dari dalam mulut wanita setengah baya itu. Kini giliranku untuk “menyerang”nya. Dengan lumatan lahap di bibir sensualnya. Dengan jilatan bercampur dengan gigitan – gigitan kecil di lehernya yang jenjang dan hangat itu.
Dan desahan – desahan histerisnya mulai terdengar, “Aaaaaah… aaaaaah… Donny… aaaaah… Dooon… aaaaaahhhhh… Doooon… aaaahhhhhhhh… Dooon… aaaahhhh… aaaahhhhhhh… Dooooooonnnn… !”
Sepasang mata bundar beningnya pun merem melek… terlebih lagi ketika aku menyedot – nyedot pentil toket gedenya yang satu dan meremas toket yang satunya lagi… ia semakin gedebak – gedebuk seperti ayam jago yang sedang bertarung di arena adu ayam…!
Cepat aku melorot turun. Dan langsung berhadapan dengan memek tembemnya yang bersih dari bulu. Ia pun merenggangkan sepasang pahanya, seolah memberi keleluasaan padaku untuk melakukan apa pun pada kemaluannya yang menyiarkan harum wewangian timur tengah ini.
Lalu kujilati mulut vaginanya yang agak ternganga itu dengan lahap sekali. Ia pun mulai menggeliat – geliat sambil berdesah – desah lagi. Terlebih setelah jemariku ikut campur pada aksi cunnilingus ini, dengan mengelus – elus kelentitnya yang tampak lebih gede daripada kelentit bangsaku.
“Oooooohhhhh… ooooh… Doooooon… Dooooooon… Doooonny… Doooon… Dooooonnnn… oooohhhh… Doooooon… Doooonnnn… Doooon… oooohhhhhh… Doooooon… Doooon… Dooooon… oooohhh… !”
Berhamburan lagi desahan – desahan erotisnya itu, sementara ketika kucelupkan jari tengahku ke dalam liang memeknya, aku menganggap liang memeknya sudah siap untuk dipenetrasi.
Maka dengan sigap kuletakkan moncong penisku di mulut memeknya yang sudah basah itu, lalu kudorong sekuat tenaga… dan blessss… langsung amblas seluruhnya di dalam liang memek wanita timur tengah itu…!
Dan ia menyambutku dengan merengkuh leherku ke dalam pelukan hangatnya… disusul dengan lumatan binalnya di bibirku.
Aku pun tak mau mengulur waktu lagi. Penis ngacengku mulai mengentot liang memek wanita setengah baya itu, dengan gerakan yang langsung lancar jaya… disambut dengan gerakan pinggulnya yang mirip gelombang samudera menuju pantai. Mirip penari perut yang sedang beraksi di atas panggung.
Gila… liang memek Bu Faizah ini luar biasa enaknya. Tidak terlalu sempit, namun legit sekali. Dan liang memek wanita timur tengah ini tiada hentinya bergerak – gerak seperti gerakan pinggul penari belly dance yang tengah beraksi di panggung pertunjukan.
Ketika aku mulai massive mengentotnya, rintihan – rintihan histerisnya pun mulai berlontaran dari mulutnya, “Doooon… ooooohhhh… saya sudah terlalu lama tidak merasakan… eeee… enaknya kontol… sekalinya dapet, panjang gede gini… oooooh… Dooooon… entotlah memek saya sepuasnya Doooon …
Memeknya pun tiada hentinya bergerak – gerak laksana gelombang ombak yang tengah berkejaran menuju pantai.
Sementara mulutku mulai beraksi, untuk menjilati lehernya yang mulai berkeringat, disertai dengan gigitan – gigitan kecil. Dan wanita setengah baya itu seperti sangat menikmatinya. Terlebih lagi ketika aku menjilati dan menggigit – gigit ketiak kirinya sambil meremas -remas toket kanannya, ia tampak terlena – lena dalam arus birahi yang semakin menjadi – jadi ini.
Cukup lama semua keindahan dan kenikmatan ini terjadi.
Sampai pada suatu saat… wanita setengah baya itu bverkelojotan sambil memelukku erat -erat.
Sebenarnya aku bisa menahan diri agar jangan ejakulasi dulu. Tapi aku teringat pada Adelita, yang mungkin sebentar lagi akan datang… maka kuupayakan agar bisa mencapai puncak nikmat secara bersamaan.
Lalu… ketika ia masih berkelojotan, aku pun mempercepat entotanku. Maju mundur dan maju mundur terus dengan cepatnya.
Sehingga akhirnya kami tiba di titik puncak dari segala nikmatnya persetubuhan ini.
Dan wow… liang memek wanita timur tengah itu terasa bergerak – gerak reflex seperti gerakan pinggulnya tadi. Disusul dengan kedutan – kedutan kencang… disusul dengan bermuncratannya air mani dari moncong penisku.
Croooootttt… crooooootttt… crotcrot… crooooootttt… croooooootttt… crooootttt… croooottttttt… crottt…!
Kami sama – sama terkapar dan terkulai lemas. Dengan keringat membasahi tubuh kami.
Sesaat kemudian, kucabut penis lemasku dari liang memek Bu Faizah. Kemudian wanita setengah baya itu berkata lirih, “Sudah bertahun – tahun tidak merasakan sentuhan lelaki. Sekalinya mendapatkan, luar biasa nikmatnya. Terima kasih ya.”
Ucapan itu diikuti dengan kecupan hangatnya di bibir dan di sepasang pipiku.
Kuperhatikan tubuh mulus wanita setengah baya berwajah jelita itu sambil berkata, “Nanti setelah Adelita menjadi istri saya, pasti dia akan saya bawa ke kota saya. Ibu ikut aja ya,” kataku sambil mengusap – usap perut Bu Faizah yang masih keringatan.
“Iya. Terus pekerjaan Lita di Singapore bagaimana?” tanyanya.
“Untuk sementara ini biarkan aja dia tetap bekerja di Singapore. Karena saya butuh waktu beberapa bulan untuk mempersiapkan segalanya. Nanti Lita akan saya tempatkan di perusahaan yang baru akan dibuka sebulan lagi di kota saya.”
“Berarti beberapa hari lagi Lita akan kembali ke Singapore?”
“Iya. Dia sangat dibutuhkan di Singapore.”
“Wah… kalau Lita sudah di Singapore, sering – sering main ke sini ya. Karena saya pasti kangen terus sama Dek Donny.”
“Saya juga pasti kangen sama memek legit ini,” sahutku sambil menepuk – nepuk memek Bu Fauziah yang sedang menelentang ini. Plok… plok… plok plok…
Mamanya Adelita tersenyum manis.
“Tapi Adelita jangan sampai tau ya,” ucapnya.
“Iya,” sahutku sambil mengangguk.
Bu Fauziah turun dari ranjang besi itu. Lalu mengeluarkan dua handuk bersih dari dalam lemarinya. Yang satu diserahkan padaku, yang satu lagi dibelitkan ke badannya. Dan mengajakku ke kamar mandi yang berdampingan dengan kamarnya.
Beberapa saat kemudian aku dan Bu Faizah sudah duduk di ruang keluarga, berdampingan di atas sebuah sofa jadul tapi masih enak untuk diduduki.
Sambil menunggu Adelita datang, tiap sebentar Bu Faizah melingkarkan lengannya di leherku, lalu menciumi bibirku dengan hangatnya. Seolah gairahnya takkan pernah pudar meski sudah kusetubuhi juga.
Meski sudah mengenakan baju jubah putihnya kembali, aku pun memanfaatkan waktu luang ini dengan menyelinapkan tanganku ke jubah putih itu. Karena aku tahu kalau Bu Faizah tidak mengenakan celana dalam saat itu.
Dan sambil mengelus – elus memeknya, aku bertanya, “Bu Faizah di sini hanya tinggal berdua dengan Adelita?”
“Iya.”
“Terus kalau Adelita di Singapore, ibu sendirian aja di rumah segede ini?”
“Kalau Lita di Singapore sih ada pembantu yang nginap di sini. Sekarang kebetulan aja pembantunya sedang pulang dulu ke kampungnya.”
“Owh. Tapi di sini kelihatannya aman ya?”
“Sangat aman,” sahut Bu Faizah, “Di kampung ini tidak pernah ada pencurian. Pergaulannya pun seperti dengan saudara.”
“Ibu kerasan tinggal di sini ya?”
“Yaaahhh… mau bagaimana lagi? Rumah ini kan peninggalan ayah Adelita. Saya tidak tega meninggalkannya begitu saja. Kecuali kalau sudah ada tempat yang lebih baik, saya mau aja diajak pindah.”
Tiba – tiba Bu Faizah berkata setengah berbisik, “Itu Lita datang… !”
Aku pun buru – buru mengeluarkan tanganku dari balik jubah putih Bu Faizah. Lalu melangkah ke ruang tamu. Pendengaran Bu Faizah tajam juga. Adelita benar – benar sudah datang. Sedang melangkah di pekarangan depan sambil melihat – lihat mobilku. Cepat aku menyambutnya di ambang pintu depan.
Adelita terbelalak setelah melihatku sedang berdiri di ambang pintu depan. “Bang Donny …!” serunya sambil menghambur ke dalam pelukanku.
Saat itu hari mulai remang – remang… mulai menuju malam.
Di ruang tamu, Adelita merangkul dan menciumi bibirku dengan pelukan yang terasa erat sekali. Tanpa mempedulikan ibunya yang hadir juga di ruang tamu itu.
Lalu terdengar suara Bu Faizah, “Bawa ke dalam kamarmu, Lit. Biar puas kangen -kangenannya…!”
Adelita menoleh ke arah ibunya sambil tersenyum. Lalu menarik tanganku ke arah kamarnya. Aku pun sempat menoleh ke arah Bu Faizah tanpa sepengetahuan anaknya. Lalu mengedipkan sebelah mataku, yang disambut dengan senyum wanita setengah baya itu. Kemudian mengikuti langkah Adelita ke dalam kamarnya.
Tapi setelah berada di dalam kamarnya, Adelita tercenung. Seperti memikirkan sesuatu yang serius.
“Kamu kenapa Del? Kok tiba – tiba seperti yang mikirin sesuatu?” tanyaku sambil membelai rambutnya.
“Gak ada apa – apa. Cuma aku… sedang menstruasi Bang.”
“Ohya?! Gak apa – apa. Tujuanku datang ke sini kan bukan sekadar ingin ngentot kamu.”
“Bang… padahal kalau bisa sih deketin Umi gih…”
“Kamu manggil Umi pada ibumu?”
“Iya. Aku kasihan sama Umi Bang… udah belasan taun dia hidup menjanda… padahal kelihatannya dia masih kuat hasratnya untuk merasakan sentuhan lelaki. Soalnya aku sering mergokin dia sedang masturbasi.”
“Terus?”
“Kalau Abang gak keberatan sih dekatin dia sampai dapat itunya. Aku ingin sekali dia puas dan bahagia Bang.”
“Kamu serius Del?”
“Sangat serius Bang.”
“Emangnya kamu takkan cemburu kalau aku sampai begituan sama Umimu?”
“Nggak. Umi sudah terlalu banyak berkorban demi aku. Tapi aku tak pernah berkorban apa – apa untuknya. Karena itu wajar kalau aku membagi Abang dengannya. Abang adalah milikku yang paling berharga.”
Aku termangu mendengar kata – kata Adelita itu.
“Lagian aku juga tak mau mengecewakan Abang. Sekarang aku sedang mens. Silakan Abang salurkan ke Umi gih.”
“Kalau dia gak mau gimana?”
“Kalau gak mau sih jangan dipaksa bang. Tapi masa sih Umi menolak Abang? Abang ini tampan sekali. Masih sangat muda pula.”
“Mmmm begini aja… kamu harus pura – pura tidur karena kecapean ya. Kalau Umimu tau kamu lagi tidur, mungkin dia mau. Tapi kalau tau kamu tidak sedang tidur, mungkin juga dia takkan mau. Karena malu sama kamu mungkin.”
“Iya… iyaaa… bilangin aja aku sakit kepala karena sedang mens lalu tidur nyenyak sekali gitu.”
“Ohya… kamu sudah laporan sama umimu bahwa kamu sudah kuperawani di Singapore?”
“Iya sudah. Untungnya Umi tidak marah. Malah ingin segera mendapat kepastian dari Abang mengenai hubungan kita selanjutnya. Ya udah… buruan samperin Umi Bang. Aku mau pura- pura tidur.”
“Iya deh. Aku mau mencobanya ya… mudah – mudahan aja dia mau… ohya… kalau aku sukses, mungkin nanti aku mau tidur sama Umi semalaman ya,” kataku
“Iya silakan. Itu lebih baik. Kalau Abang tidur bersamaku, malah takut tercium bau anyir nanti, karena aku lagi mens.,” sahut Adelita sambil menarik selimutnya sampai menutupi sekujur tubuhnya dari ujung kaki sampai kepalanya.
Di dalam hati aku ketawa sendiri. Karena aku yakin akan mendapatkan Bu Faizah, bahkan sebenarnya kalau aku bisa mengentot Bu Faizah lagi, berarti aku akan menyetubuhinya untuk kedua kalinya. Tapi Adelita pasti mengira kalau aku baru mau berusaha PDKT pada uminya.
Di luar kamar Adelita aku celingukan ke sekitarku. Bu Faizah tidak kelihatan. Mungkin sedang tiduran di kamarnya, karena hari sudah mulai malam.
Perlahan kubuka pintu kamar Bu Faizah sambil mengintip ke dalam. Tampak Bu Faizah sedang berbaring membelakangi pintu, dalam kimono putihnya, tidak mengenakan baju jubah putih dan jilbab lagi.
Lalu kenapa sikut Bu Faizah itu bergerak – gerak terus? Apakah ia sedang merasakan sesuatu atau sedang… bermasturbasi?
Dengan sangat perlahan aku mengendap – endap masuk ke dalam kamar Bu Faizah. Kebetulan ia sedang rebah miring dan membelakangiku. Dan… wow… ia memang sedang bermasturbasi. Mungkin tadi, waktu aku memainkan memeknya di balik baju jubah putihnya itu, dia jadi horny lagi. Dan sekarang dia sedang bermasturbasi sambil membayangkan sedang dientot olehku?
Dengan gerakan yang cepat dan tepat, aku menerkam Bu Faizah dari belakang. Lalu dengan cepatnya ttanganku menggantikan tangan yang sedang dipakai masturbasi itu.
“Don… Donny…! “Bu Faizah memekik perlahan sambil meronta dan menepiskan tanganku yang baru saja menyentuh memek di balik kimononya.
“Kenapa Umi cantik?” ucapku sambil meendekap Pinggang Bu Faizah yang sudah duduk sambil mendelik.
“Kalau kelihatan sama Lita nanti gimana?” ucapnya setengah berbisik.
“Adelita sedang tidur nyenyak, karena kecapean habis belanja tadi,” sahutku sambil turun dari ranjang besi Bu Faizah, lalu menutupkan pintu kamarnya yang masih belum tertutup rapat, sekaligus menguncikannya. Lalku melangkah ke arah ranjang besi itu sambil melepaskan baju kausku. Di dekat ranjang besi itu kutanggalkan celana jeans dan celana dalamku juga, supaya Bu Faizah melihat bahwa batang kemaluanku ini sudah siap tempur, sudah ngaceng berat…
Memang sejak membayangkan bakal mengentot wanita timur tengah ini tadi, penisku spontan bereaksi dan ereksi.
“Beneran Lita udah bobo?” tanya Bu Faizah setengah berbisik, sambil memegangi batang kemaluanku yang sudah keras ini.
“Kalau gak percaya, silakan buktikan sendiri sana,” sahutku sambil menarik kimono wanita itu sampai terlepas dari tubuhnya.
Lalu kuterkam tubuh telanjang kitu dengan sepenuh gairah birahiku.
Bu Faizah pun menyambut terkamanku dengan gumulan agresifnya. Melumat bibirku dengan hangatgnya, meremas batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini, kemudian meletakkan moncongnya di mulut memeknya sambil berkata, “Memek saya udah basah. Langsung masukin aja kontolnya yaaa…”
Benar saja. Begitu kudorong penis ngacengku dengan sekuat tenaga, blllllesssssss… langsung amblas seluruhnya ke dalam liang memek calon mertuaku yang berdarah timur tengah ini.
Lalu aku pun mulai mengayun penisku dalam permainan surgawi yang membuatku ketagihan ini.
Bu Faizah pun memamerkan keagresifannya lagi. Menggoyang pinggulnya dengan ayunan maju mundur seperti gerakan ombak bergulung – gulung menuju pantai.
Oooo… betapa nikmatnya menyetubuhi wanita berdarah Lebanon ini…
Bu Faizah yang selanjutnya kupanggil Umi itu, memang wanita yang luar biasa dan sangat memuaskan di atas ranjang. sehingga aku berniat untuk tetap menjalin hubungan dengannya, meski sudah menikahi anaknya sekali pun.
Ketika ayunan penisku semakin kupergencar, rintihan demi rintihan Umi pun terdengar lagi, tapi dia berusaha mengecilkan “volume suara”nya. Rintihan – rintihannya seolah cuma bisikan di dekat telingaku.
“Doooon… semua ini luar biasa Doon… eeeeeh… entot terus Dooon… ooooooh… kontol Donny luar biasa enaknyaaaa… entot terusssss… entooooottttt… iyaaaaaaaa… iyaaaa… iyaaaa… iyaaaaaaaa… iyaaaaaa… oooo… oooo. oooobh Dooon enaaaak… enaaaak sekali kontolnyaaaaaaaa…
Rintihan – rintihan tertahan itu membuatku semakin bersemangat menyetubuhi Umi. Terutama karena goyang gelombang pinggulnya luar biasa enaknya.
Bahkan pada suatu saat, Umi berkelojotan lagi. “Maaa… mau lepas Dooon… barengin lagi Dooon…” ucapnya setengah berbisik.
Tapi mana mungkin aku ngecrot secepat itu. Masalahnya, ini adalah persetubuhan yang kedua bagiku. Dengan sendirinya durasi entotanku pun jadi jauh lebih lama. karena itu aku tetapo menggenjot batang kemaluanku, tanpa mempedulikan Umi yang sudah berkelojotan, kemudian mengejang tegang… dan akhirnya terkulai lemas.
Umi sudah orgasme. Tapi aku belum apa – apa. aku masih tetap menggenjot batang kemaluanku di dalam memek Umi yang sudah basah sekali ini.
Bahkan basah licinnya liang memek Umi ini membuatku semakin lancar menggenjot batang kemaluanku, tak ubahnya pebalap sepeda yang sedang menggenjot pedalnya.
Umi pun tak mau kalah. Dia semakin gila – gilaan mengayun pinggulnya dalam bentuk gelombang ombak menuju pantai. Padahal tubuhnya sudah bermandikan keringat, sementara keringat di tubuhku sendiri lebih basah lagi.
Sampai pada suatu saat terdengar lagi bisikan terengah Umi, “Dooon.. aaaa… aaaaah… ini mau lepas lagi Dooon…”
Lalu Umi berkelojotan sambil mencengkram sepasang bahuku. Pada saati itulah kuayun penisku segencar mungkin. Karena aku pun sudah berada di titik krusial. Titik menjelang tibanya puncak kenikmatanku.
Lalu… ketika sekujur tubuh Umi mengejang tegang, sementara liang memeknya terasa bergerak – gerak erotis, pada saat itu pula kubenamkan batang kemaluanku sedalam mungkin.
Lalu… berlompatanlah air mani dari moncong penisku.
Croooottttt… crot… crottt… croooottttttt… cret… crooootttttttt…!
Lalu aku pun terkulai di atas perut Umi. Sementara wanita setengah baya yang jelita itu pun terkapar lemas dengan kedua tangan direntangkan lebar – lebar.
Aku pun merebahkan diri di sampingnya. Sambil mempermainkan toketnya yang masih berbentuk indah itu.
“Ya udah… kembali ke kamar Lita gih. Takut dia bangun, nanti nyari – nyari,” kata Umi Faizah.
“Mau tidur sama Umi ah,” sahutku, “mau melukin Umi sepanjang malam.”
“Iiiih jangan, Sayang. Nanti Lita bisa ngamuk. Cepetan balik ke kamar Lita gih.”
“Nggak mau. Kan aku ke sini juga atas permintaan Lita.”
“Permintaan Lita gimana?”
Sebagai jawaban, kuceritakan semua yang telah dibicarakan oleh Adelita tadi. Bahwa Adelita merasa kasihan karena uminya tidak pernah dekat dengan lelaki mana pun setelah suaminya meninggal. Bahwa Adelita telah merasakan betapa uminya sudah banyak berkorban untuknya, tapi Adelita belum pernah berkorban apa pun untuk uminya.
“Iiii… ini serius Don?” tanya Umi Faizah sambil duduk bersila di atas kasur.
“Serius Umi,” sahutku, “Kalau Umi gak percaya, tanyakan aja sendiri ke Lita sana.”
“Nggak ah. Malu…”
“Kenapa harus malu? Persetubuhan kita yang pertama tadi, Lita memang tidak tahu. tapi yang kedua barusan, memang atas permintaan Adelita yang ingin membahagiakan Umi.”
“Tapi rencana kalian untuk menikah tetap jalan kan?”
“Tetap jalan lah. Aku gak bentrok kok sama Lita. Aku malah seneng membayangkan kalau sudah kawin sama Lita… istriku seolah dua orang. Lita dan Umi. ‘
“Iya Don… terus terang aja, hati umi ini sudah Donny miliki, sejak di dalam mobil donny tadi. jadi mulai sekarang, kapan pun Donny menginginkan umi, akan umi ladeni. Demi Donny tercinta…” ucap Umi Faizah yang dilanjutkan dengan kecup mesranya di bibirku.
Lalu… kami tertidur sambil berpelukan. Dalam keadaan sama – sama telanjang bulat, tapi ditutupi oleh selimut tebal.
Esoknya, ketika hari masih gelap menjelang subuh, aku merasa ada yang membuat kepala penisku geli – geli tapi enak. Ketika kubuka mataku, ternyata Umi Faizah yang tengah mengoral penisku. Spontan alat kejantananku ini bangkit sedikit demi sedikit, sampai akhirnya ngaceng berat…!
Rupanya Umi ingin memanfaatkan sisa waktu sebelum matahari menampakkan diri, dengan main di atas (WOT), yang kuladeni aja dengan sepenuh gairahku yang spontan bangkit ini.
Namun hanya belasan menit Umi main di atas, lalu ambruk di atas perutku. Dia sudah orgasme lagi…!
Lalu kami lanjutkan dalam posisi missionary yang suka disebut juga sebagai posisi konservatif alias MOT (man on top).
Nikmat juga mengentot Umi di hari menjelang subuh ini.
Bahkan ketika entotanku diperlambat, karena ingin mencium bibir sensual Umi Faizah, aku membisiki telinganya, “Umi… persetubuhan dengan Umi ini luar biasa enaknya. Fantastis dan sensasional.”
“Sama Don. Umi juga merasakan begitu. Bahkan waktu ayah Lita masih ada, umi belum pernah merasakan disetubuhi senikmat ini. Donny tau apa sebabnya? Karena umi melakukannya dengan cinta di hati umi.” Ucapan itu Umi lanjutkan dengan kecupan hangatnya di bibirku dan di sepasang pipiku.
Lalu ia menggoyangkan bokong gedenya kembali, sementara aku pun mulai menggencarkan kembali entotanku di hari menjelang subuh ini.
Sampai fajar menyingsing, bahkan sampai mentari muncul di ufuk timur, kami belum selesai melakukan hubungan sex yang sangat nikmat ini.
Sampai akhirnya… ketika Umi berkelojotan lagi untuk yang kesekian kalinya, aku pun menancapkan batang kemaluanku di dalam liang surgawi Umi Faizah.
Lalu terasa liang memek Umi berkejut – kejut kencang, sementara moncong penisku pun sedang menembak – nembakkan pejuhnya.
Crooottttt… crotttt… crooootttttt… crooot… croooottt… crooootttttt…!
Lalu kami terkapar sambil berciuman… dan akhirnya terkulai lemas, namun ciuman kami belum dilepaskan…!
Ketika aku masih berbaring di ranjang besi itu, sementara Umi sedang bersih – bersih di kamar mandi, terdengar pintu diketuk dari luar. Dalam keadaan telanjang aku melangkah ke pintu dan membukanya.
Yang mengetuk itu tak lain dari Adelita. “Bagaimana? Sukses?” tanyanya sambil memperhatikanku yang masih telanjang bulat.
Aku mengangguk sambil mengacungkan jempolku.
Adelita memelukku sambil berbisik, “Terima kasih ya Bang. Semoga semangat dan gairah Umi timbul kembali.”
Tak lama kemudian Umi muncul dari kamar mandi, dalam keadaan cuma dibelit handuk dari toket sampai ke pahanya.
Adelita menghambur ke dalam pelukan Umi. Lalu menciumi pipi sepasang pipi Umi. Lalu berkata, “Aku bahagia karena Umi telah bersedia meladeni pangeranku tercinta.”
“Iya,” sahut Umi salah tingkah, “Maafkan umi ya Lit. Umi memang sudah terlalu lama tidak merasakan sentuhan lelaki. Jadi… semuanya terjadilah…”
“Gak perlu minta maaf Umi. Kan aku yang meminta Bang Donny untuk melakukannya, sekaligus untuk membangkitkan semangat hidup Umi.”
Umi Faizah menciumi pipi Adelita sambil berkata, “Umi makin sayang padamju, Lit.”
Aku cuma bisa tersenyum mendengarkan percakapan mereka. Lalu berkata kepada Adelita, “Cepat mandi gih. Aku akan membawamu ke kotaku. Umi juga harus ikut.”
“Siap Bang,” sahut Adelita sambil bersikap tegak, seperti sikap bawahan kepada komandannya.
Beberapa saat kemudian, setelah sarapan pagi dengan nasi goreng buatan Adelita, aku membawa ibu dan anaknya itu di dalam mobilku menuju kotaku.
Aku memang punya peninggalan Papa di kotaku, berupa dua rumah besar. Yang satu akan kujadikan tempat tinggal Adelita dan Umi (kalau beliau bersedia). Sedangkan yang satu lagi terlalu besar untuk rumah tinggal, karena tadinya pun dipakai untuk kantor Papa almarhum. Jadi bangunan itu pun kurenovasi sedemikian rupa, sehingga cocok untuk dijadikan kantor perusahaanku kelak.
Setibanya di kotaku, Umi dan Adelita kubawa ke rumah megah yang akan dijadikan tempatg tinggalku bersama mereka kelak (kalau aku sudah menikah dengan Adelita).
Rumah itu sudah lengkap dengan perabotannya yang serba mewah. Sehingga aku tak perlu menambahkan apa – apa lagi.
“Nah di sinilah kamu akan kutempatkan nanti setelah menikah,” kataku sambil menepuk bahu Adelita.
“Luar biasa… besar dan megah sekali rumah ini Bang,” sahut Adelita sambil memegang lenganku.
“Senang dengan rumah ini?” tanyaku.
“Tentu aja senang Bang. Bermimpi pun tidak pernah kalau Abang akan menempatkanku di rumah semegah dan se, eah ini. Perabotannya pun kelihatan serba impor ya Bang.”
“Iya, “aku mengangguk. Lalu menoleh ke arah Umi, “Bagaimana? Umi juga mau tinggal di rumah ini kan?”
“Tentu aja mau Don. Ini sih seperti rumah pejabat tinggi saking megah dan besarnya. Mmm… orang tua Donny tinggal di kota ini juga kan?”
“Iya.”
‘Tapi sekarang Donny masih tinggal bersama orang tua kan?”
“Betul Umi. Tinggal Bunda yang masih ada. Kalau ayah sudah meninggal. Nanti setelah melihat kantor perusahaan yang sebulan lagi akan dibuka, Umi dan Lita akan kubawa ke rumah ibuku. Supaya Bunda kenal dengan calon mantu dan besannya.”
“Mudah – mudahan aja ibu Donny setuju untuk menjadikan adelita sebagai calon menantunya ya.”
Setelah mereka puas melihat – lihat rumah itu, baik yang di lantai dasar mau pun di lantai dua, aku membawa mereka ke bangunan yang belum selesai direnovasinya. Bangunan yang kelak akan dijadikan kantor perusahaanku.
“Umi sih kalau disuruh pindah sekarang juga ke rumah itu, mau Don,” kata Umi dalam perjalanan dari rumah menuju calon kantorku itu.
“Nanti kalau Lita sudah ke Singapore lagi, Umi bisa tinggal di rumah itu,” sahutku.
Adelita menoleh ke belakang sambil berkata, “Biar Umi bisa berbulan madu sama Bang Donny. Hihihihiii…”
“Tapi Lita ghak keberatan kan kalau Umi tinggal di rumah itu setelah Lita ke Singapore lagi.”
“Sangat boleh. Biar Umi belajar jadi mertua orang tajir,” sahut Adelita, “Lagian aku merasa kasihan kalau Umi di kampung terus.”
“Lalu kapan kamu mau pulang ke Singapore?” tanyaku.
“Lho… kan Bu Yeyen bilang Bang Donny yang menentukan kapan aku harus kembali ke Singapore.”
“Aku sih inginnya kamu bersih dulu… biar aku bisa merasakan sesuatu darimu.”
“Iya Bang. Baru keluar kemaren… biasanya sih antara sepuluh harian aku mens.”
“Ya udah. Berarti kamu boleh kembali ke Singapore duapuluh hari lagi. Oke?”
“Siap Bang.”
Tak lama kemudian kami tiba di bangunan tiga lantai yang akan kujadikan kantor perusahaanku itu. “Nah… itu kantormu nanti, kalau akte pendirian perusahaannya sudah terbit. Aku sebagai owner hanya akan menjadi komisaris. Sementara kedudukan direktur akan kuserahkan padamu Lit.”
Adelita tersentak kaget. “Aku mau dijadikan direktur?”
“Iya, “aku mengangguk, “Emangnya kenapa? Nggak mau?”
“Bukan nggak mau. Tapi kira – kira aku mampu nggak ya jadi direktur perusahaan gede gitu. Kan baru lihat bangunan untuk kantornya pun sudah kebayang bakal gedenya perusahaan Abang itu.”
“Kan aku yang bakal ngatur semuanya nanti. Walau pun kedudukanku sebagai komisaris, dalam prakteknya aku yang akan membimbing dan mendampingi kamu nati Sayang. Pokoknya nanti di Singapore beli buku – buku tentang managemen dan leadership sebanyak mungkin. Lalu pelajari buku – buku itu sampai benar – benar menguasainya.
“Iya Bang. Tapi bimbing aku nanti sampai mampu menguasainya ya.”
“Iya. Aku juga mau kuliah lagi di sini. Karena bisa malu kalau anak buahku banyak yang sudah sarjana, sementara aku belum jadi sarjana.”
Ketika mobilku sudah meninggalkan bangunan untuk kantor perusahaanku itu, tiba – tiba handphoneku berdering. Kulihat siapa yang call, ternyata dari Bunda.
“Hallo Bunda Sayang…”
“Kamu di mana Don? Kok tadi malam gak pulang. Bikin bunda cemas dan gelisah.”
“Ini Bunda… aku nginap di rumah calon istriku. Sekarang juga mau dibawa ke rumah, agar Bunda bisa berkenalan sama calon istri dan calon besan Bunda. Siapin makanan yang enak – enak ya Bun.”
“Ntar… ntar… calon istri? Kok…”
“Nanti aja jelasinnya di rumah ya Bun. Soalnya aku lagi nyetir nih.”
“Iya, iyaaa…”
Setelah hubungan seluler ditutup, aku melarikan mobilku dalam kecepatan tinggi. karena tak sabar, ingin segera mempertemukan Adelita dan Umi kepada Bunda.
Mudah -mudahan saja Bunda tidak merintangi niat baikku. Karena sebagai manusia normal, aku harus punya istri. sedangkan perempuan – perempuan yang hadir dalam kehidupanku, hampir semuanya takkan bisa kunikahi secara sah. sumber Ngocoks.com
Setelah tiba di depan rumah baru kami yang dibeli dari Pak Wondo itu, Umi dan Adelita pun turun dari mobilku. Lalu mereka mengikuti langkahku menuju ke dalam rumahku.
“Bundaaaaaaa… ini kami dataaaang… “seruku setelah berada di dalam rumah.
Bunda pun muncul dan memperhatikan Adelita yang sedang mencium tangan Bunda. “Ini calon istrimu Don? Cantik sekali,” kata Bunda sambil mengelus rambut Adelita.
Tapi ketika bertemu pandang dengan Umi, Bunda terbelalak. Umi pun terbelalak.
“Faizah …?!” seru Bunda.
“Teh Ami?!” seru Umi Faizah sambil menghambur ke dalam pelukan Bunda. Lalu mereka sama – sama menangis.
Aku dan Adelita saling pandang. Dan sama – sama tidak mengerti. Kenapa Bunda bisa tahu nama Umi dan kenapa Umi bisa tahu nama Bunda?!
Setelah Bunda dan Umi Faizah duduk berdampingan sambil menyeka air mata mereka, aku bertanya, “Bunda… ini bagaimamna ceritanya? Kok Bunda bisa kenal dengan Umi Faizah?”
“Donny… suami Faizah ini adalah adik kandung ayahmu,” sahut Bunda. Lalu Bunda menoleh ke arah Umi Faizah, “Gadis cantik itu anak dari Zulkifli?”
“Iya Teh. Saya kawin kan cuma satu kali. Sejak Kang Zul meninggal sampai sekarang, saya tidak kawin lagi.”
“Nah Donny… dengar baik – baik,” kata Bunda, “Cewek itu anak pamanmu almarhum. Namanya Zulkifli. Dan Zulkifli itu adik kandung ayahmu… satu -satunya adik lelaki almarhum ayahmu. Jadi cewek itu… eh siama namamu Nak?” tanya Bunda kepada Adelita.
“Nama saya Adelita. Panggil Lita aja Tante.”
“Lita… mmm… panggil uwa aja ya, jangan pake tante – tantean.”
“Iya… hehehee…”
“Jadi…” kata Bunda lagi, “Donny dan Lita ini saudara sepupu. Lita harus manggil Kang sama Donny, karena ayah Donny ini abang kandung ayah Lita.”
“Iya Wa,” sahut Adelita.
“Tapi aku boleh kan menikah dengan Adelita? Maksudku apakah menikah dengan saudara sepupu itu tidak dilarang oleh agama kita?”
“Boleh, boleh, “Bunda mengangguk – angguk. Membuat dadaku plong kembali.
Tapi… diam -diam ada chat dari Imey. Isinya, “Don… kapan kita ketemuan?”
Spontan kujawab*, “Sebentar ya. Aku lagi meeting. “*
Bersambung…