Tak lama kemudian Donna muncul diruang tamu. “Wah ada tamu… eeee Tante Faizah ya?” serunya sambil mencium tangan Umi, kemudian cipika – cipiki.
“Nah… Donna ini saudara kembarnya Donny Zah,” kata Bunda sambil menguisap – usap tangan Umi.
“Owh… sekarang saya jadi ingat semuanya. Donny ini diadopsi oleh sahabat Kang Rosadi yang pengusaha tajir dan menetap di Bangkok itu kan?” tanya Umi kepada Bunda.
“Betul. Orang tua angkat Donny itu sudah pada meninggal. Lalu harta mereka diwariskan kepada Donny semua, berdasarkan surat wasiat dari ayah angkat Donny,” sahut Bunda.
“Ohya… kamu kok bisa ketemu sama Lita ini di mana Don?” tanya Bunda.
“Di Singapore Bun. Dia kan bekerja di salah satu perusahaanku yang di Singapore. Kalau perusahaan yang di Bangkok sudah kujual semua, tinggal rumah saja yang akan tetap kupertahankan. Dan ternyata yang membeli asset – assetku di Bangkok itu anak Ayah dari istri pertamanya.”
“Wah… terkadang dunia ini terasa kecil sekali ya. Saking kecilnya, Donny bisa ketemu sama Lita kok malah di Singapore. Padahal kalian itu satu kakek dan satu nenek dari pihak ayahmu Don,” kata Bunda.
“Lalu gimana nih? Bunda setuju kalau Adelita ini kujadikan calon istriku?”
“Setuju. Setuju banget,” sahut Bunda.
“Tante Faizah aslinya dari Lebanon kan?” tanya Donna kepada Umi.
“Betul, “Umi mengangguk sambil tersenyum.
“Hebat dong Donny… punya calon istri berdarah campuran Indonesia – Lebanon,” kata Donna bernada memuji. Tapi aku tidak tahu apakah ucapan Donna itu datang dari hati tulusnya atau sebenarnya cemburu? Entahlah. Yang jelas, biar bagaimana pun Donna takkan bisa kujadikan istri.
Kemudian Bunda mempersilakan Umi dan Adelita unrtuk makan bersama di ruang makan. Aku pun ikut masuk ke ruang makan, di mana makanan sudah dihidangkan di atas meja makan.
“Kok masakan Padang semua. siapa yang masak Don?” tanyaku kepada Donna.
Donna nyengir dan menyahut, “Yang masak ya warung nasi Padang lah.”
“Ohooo… kirain kamu yang masak.”
Lalu kami makan bersama. Donna duduk di sebelah kananku, Adelita duduk di sebelah kiriku. Bunda dan Umi duduk di depan kami, terbatas meja makan.
Dua jam kemudian mobilku sudah kupacu menuju kampung Adelita kembali. Dengan hati yang tenang dan nyaman. Karena tiada rahasia lagi tentang hubunganku dengan Adelita.
Hari pun mulai malam ketika mobilku sudah memasuki pekarangan rumah Umi Faizah.
Setelah berada di dalam rumah tua yang masih kokoh dan terawat itu, Adelita berkata kepada ibunya, “Aku pengen lihat Umi main sama Bang Donny. Biar bisa belajar tentang soal yang satu itu. Biar nanti kalau udah jadi istri Bang Donny, aku bisa meladeninya dengan baik.”
“Iiiih kamu ada – ada aja Lit. Kalau ditonton sama kamu, malah umi jadi salah tingkah nanti,” sahut Umi sambil menoleh padaku dengan senyum di bibir sensualnya.
Aku pun memegang tangan Adelita sambil berkata, “Pada waktu foreplay kamu jangan masuk dulu. Tapi pintu kamarnya takkan dikunci. Nanti setelah kami benar – benar main, kamu boleh masuk, ya Sayang.”
Ucapan itu kulanjutkan dengan kecupan mesra di bibir Adelita.
“Iya deh… umi setuju,” kata Umi Faizah.
Lalu Umi masuk ke dalam kamarnya, sementara Adelita menarik tanganku ke dalam kamarnya. Di situ ia membisiki telingaku, “Bang… maafkan aku ya. Aku sudah membohongi Abang… supaya Abang dan Umi lancar melaksanakan skenarioku.”
“Maksudmu berbohong dalam soal apa nih?” tanyaku.
“Sebenarnya aku gak lagi mens.”
“Ohya?! Kalau begitu sekarang aku bisa main dong sama kamu.”
“Iya. Tapi di kamar Umi aja ya. Biar seru…” sahut Adelita sambil menggelitik pinggangku, “Ayo Abang duluan aja masuk ke kamar Umi. Aku mau ganti baju dan bersih – bersih dulu.”
Aku mengangguk, “Iya… tapi kamu jangan masuk dulu ya. Biarf Umi tidak salah tingkah dipelototin olehmu nanti.”
“Iya… iyaa…”
Lalu aku keluar dari kamar Adelita dan masuk ke dalam kamar Umi.
Kulihat Umi sedang melepas baju jubah hitam dan jilbabnya yang berwarna hitam juga. Ketika dia sudah tinggal mengenakan beha dan celana dalam, aku menyergapnya dari belakang. Dengan dekapan erat di pinggang Umi.
“Donny gak capek seharian nyetir terus tadi?” tanya Umi sambil melepaskan baju kausku.
“Nggak Umi,” sahutku, “Soalnya Umi sangat menggiurkan. Membuatku lupa segalanya,” sahutku pada saat Umi sedang menurunkan celana jeansku sampai terlepas dari kedua kakiku.
“Donny juga bukan sekadarf tampan, tapi juga seksi,” kata Umi sambil memelorotkan celana dalamku sampai terlepas dari kedua kakiku. Lalu menarik tanganku ke arah ranjang besinya.
Di atas ranjang besi itulah Umi melepaskan beha dan celana dalamnya. Kemudian menggumuliku dengan segala kehangatan dan kebinalannya.
Aku pun tak mau kalah. Kugumuli Umi dengan segenap gairah birahiku yang sudah berkobar kembali ini. Bahkan pada suatu saat, wajahku sudah berhadapan dengan kemaluan Umi yang luar biasa enaknya ini.
Ketika aku mulai menjilati memeknya dengan lahap sekali, Umi mulai menggeliat – geliat sambil meremas – remas rambutku yang berada di bawah perutnya.
“Aaaaahhhh… Dooooon… Dony pandai benar jilatin memek sih… enak sekali Doooon… “rintih Umi sambil meremas – remas rambutku terus.
Terlebih lagi setelah aku memusatkan jilatanku di kelentitnya yang agak besar itu (sebesar kacang kedelai), Umi semakin klepek – klepek dibuatnya. Dan ketika jari tengahku dijebloskan ke dalam liang memeknya, ternyata sudah basah sekali. Ini salah satu yang menyenangkan dari Umi. Memeknya cepat basah, mungkin karena birahinya gampang dibangkitkan.
“Umi mau posisi doggy?” tanyaku.
“Iya,” sahut Umi, “Ayahnya Lita dulu paling seneng posisi ini. Donny seneng nggak?”
“Aku sih semua posisi seneng. Apalagi sama Umi yang memeknya enak banget,” sahutku sambil menepuk – nepuk pantat gede wanita setengah baya itu.
Lalu… sambil berlutut kubenamkan penis ngacengku ke dalam liang memek Umi.
Terdengar nafas Umi, “Aaaaaaahhhhh…”
Lalu, sambil menumpukan kedua tanganku ke bokong gede Umi, aku pun mulai memompakan batang kemaluanku di dalam liang memek yang legit dan seolah menyedot – nyedot ini.
Pada saat itulah Adelita muncul, melangkah masuk ke dalam kamar ibunya ini. Ia mengenakan kimono yang terbuat dari bahan handuk putih polos. Tapi setelah berada di dalam kamar Umi, Adelita melepaskan kimono itu, sehingga tubuhnyha langsung telanjang bulat. Lalu Adelita naik ke atas ranjang besi ibunya sambil berkata, “Kirain masih pemanasan, ternyata sudah mulai main ya?
“Iiii… iyaaa…” sahut Umi yang sedang kuentot dalam posisi doggy ini.
“Umi,” kataku, “Adelita berbohong tuh. Ternyata dia gak lagi mens…! Dia cuma ingin menyenangkan Umi, lalu pura – pura lagi mens segala.”
“Oh ya udah… jadi malam ini kita senangkan Donny ya Lit.”
“Iya Umi… ini yang disebut posisi doggy ya Umi?”
“Iya Sayang. Supaya tidak membosankan, semua posisi boleh dicoba.”
Adelita cuma termangu melihat ibunya sedang kuentot ini. Sambil mengusap – usap memeknya sendiri. Mungkin Adelita terangsang juga melihat aku sedang mengentot ibunya ini.
Sesaat kemudian, Adelita bahkan berlutut di samping kananku, sambil mengusap – usap memeknya. Aku pun mengerti apa tujuannya mendekatiku dalam suasana seperti ini. maka sambil tetap mengentot Umi, tangan kananku mngelus -elus memek Adelita yang terasa hangat ini, sementara tangan kiriku bertumpu ke buah pantat gede Umi.
Ini memang menimbulkan sensasi tersendiri, karena aku sedang menikmati dua memek sekaligus. Mengentot memek Umi sambil mengelus – elus dan menyodok – nyodok memek Adelita dengan jari tengahku.
Cukup lama aku melakukan ini semua. Sementara Umi tidak membatasi suara rintihannya lagi. Dilepoaskannya rintihan – rintihan histerisnya, meski Adelita ikut mendengarkannya.
“Dooon… duuuh Doooon… kontolmu luar biasa enaknya Dooon… entot terusss Dooon… entoooooltttt… entoooooootttt… aaaaa… iyaaaaa… iyaaaa… entooottttttttt… entoooooootttt…”
Sementara memek Adelita pun sudah basah sekali, karena kusodok – sodok terus dengan jari tengahku.
Akhirnya Umi ambruk disertai pekik tertahannya, “Aaaaa… aaaahhhh… !”
Aku mengerti bahwa Umi sudah orgasme. Batang kemaluanku pun terlepas dari liang memeknya, karena Umi ambruk tengkurap di atas kasur.
Dengan sigap aku cepat berganti haluan. mendorong dada Adelita sampai celentang. Lalu kurenggangkan sepasang paha putih mulusnya, sambil meletakkan moncong penisku di mulut memek Adelita yang tampak kemerahan. Dan… kudorong penisku sekuat tenaga… blesssss… baru masuk sedikit, maklum memek Adelita baru “dipakai” lima kali waktu masih berada di Singapore tempo hari.
Kudorong lagi penis ngacengku sampai masuk setengahnya.
Dan mulailah aku mengentotnya perlahan – lahan, dalam jarak pendek – pendek dulu.
Setelah liang memek Adelita mulai beradaptasi dengan ukuran penisku, mulailah aku mengentotnya secara normal, sambil menlumat bibirnya yang ternganga terus.
Sesaat kemudian, Adelita pun mulai merintih – rintih, “Baaaaang… duuuuuh… Baaaaang… di Indonesia baru sekali ini Abang menyetubuhiku lagi, ya Bang… oooooh… ini luar biasa enaknya Baaaaang… Bang Donny… aku sangat mencintaimu Baaaaaaang… ooooooo… oooooh Baaaaang…”
Sementara Umi Faizah mulai celentang sambil mengusap – usap memek tembemnya. Seolah menantangku, bahwa Umi siap untuk dientot lagi …!
Tapi tentu saja aku harus “menyelesaikan” Adelita dulu. Kalau Adelita sudah orgasme, baru penisku bisa pindah ke memek Umi lagi.
Selanjutnya aku mulai gencar mengentot memek Adelita, sambil menjilati leher jenjangnya, disertai dengan gigitan – gigitan kecil. Di saat lain, jilatan dan gigitan kecilku pindah ke ketiak Adelita yang menyiarkan harum deodorant mahal (mungkin dibekalnya dari Singapore).
Waktu gencar – gencarnya mengentot Adelita, aku masih sempat juga menepuk – nepuk memek tembem Umi Faizah yang menelentang di samping anaknya. Terkadang kusodok – sodok juga liang memek Umi dengan dua jari tangan kananku, jari tengah dan telunjukku. Liang memek yang sudah becek itu malah lancar saja disodok – sodok dengan dua jari tanganku.
Adelita memang belum banyak mengenal sex. Sehingga belum tahu juga bagaimana caranya untuk mengulur kedatangan orgasmenya. Baru belassan menit aku menyetubuhinya, Adelita sudah berkelojotan. Lalu mengejang tegang. Dan terasalah kedutan – kedutan liang memeknya, disusul dengan membanjirnya lendir libidonya, membasahi liang memeknya yang sudah merekah laksana bunga mekar.
Ketika Adelita sudah terkapar lemah lunglai, aku segera pindah ke atas perut Umi yang masih tersenyum – senyum centil sambil mengusap – usap memek tembemnya.
Umi menyambut “kembali”nya aku dengan merentangkan sepasang pahanya lebar – lebar. Aku pun meletakkan “topi baja”ku tepat di mulut memeknya yang ternganga dan kemerahan itu. Lalu kudorong dan… bleeessssssss… melesak amblas ke dalam liang memek Umi Faizah yang masih basah licin ini.
Umi pun menyambutku dengan peljukan hangatnya di leherku. Lalu menempelkan sepasang bibir sensualnya di bibirku, disusul dengan lumatan dan isapannya yang berlangsung lama sekali. Sehingga ketika aku mulai mengentot memek aduhainya, bibirku seolah direkat oleh sepasang bibir dan lidah Umi yang tak mau melepaskannya.
Umi memperlihatkan agresifitasnya lagi. Mulai mengayun pinggulnya lagi, dalam bentuk gelombang lautan di tengah samudera, terkadang dalam bentuk ombak bergulung – gulung menuju pantai.
Goyangannya ini mirip gerakan pinggul perempuan Arab yang tengah menarikan belly dance. Karena perutnya pun bergetar – getar erotis, membuatku semakin bersemangat untuk mengentotnya habis – habisan.
Lalu… rintihan – rintihan erotisnya berlontaran lagi dari mulut Umi. “Dooon… aaaaah… Dooon… aaaaaaaahhhhh… Doooon… kontolmu memang luar biasa Doooon… luar biasa enaknyaaaaa… entottt terusssssss Dooon… entoooooooot teruuuuussssssss… entoooooootttth …
Terlebih setelah aku menjilati leher jenjangnya yang sudah keringatan dan harum parfum khas timur tengah, semakin menggila juga rintihan – rintihannya. Bahkan ketika aku berusah mencupang lehernya, Umi malah mendekap kepalaku, seolah jangan dilepas lagi cupanganku ini.
Mungkin Umi senang kalau lehernya disedot sekuat tenaga, sampai menimbulkan bekas merah kehitaman ini.
Karena Umi menghendakinya, maka aku pun tak canggung – canggung lagi untuk menyedot – nyedot lehernya sekuat mungkin, sehingga meninggalkan totol – totol merah kehitaman sebesar uang logam limaratusan. Sudah lebih dari lima totol membekas di lehernya.
Lalu aku pindah untuk mencupangi toket gedenya. Juga Umi tampak suka sekali. Sehingga bekas totol – totol merah itu bukan hanya di lehernya saja, melainkan juga di sepasang toket gedenya…!
Tampaknya Adelita sudah duduk sambil tersenyum – senyum menyaksikan perbuatanku “ngerjain” uminya.
Begitu lama aku melakukan semuanya ini. Sehingga akhirnya Umi kelojotan lagi, dengan mata terp[ejam – pejam. Lalu ia mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat… disusul dengan gerakan liang memeknya yang seolah seekor ular yang tengah membelit batang kemaluanku, disusul dengan kedutan – kedutan yang mengiringi meluapnya lendir libido, membuat liang kemaluan Umi jadi semakin becek.
Cepat aku pindah lagi ke atas perut Adelita. Mengentotnya lagi dengan gairah birahi yang belum mereda.
Dan akhirnya aku memuntahkan air maniku di dalam liang memek Adelita.
Crotttt… crooooooootttt… crooootttttttt… crotttt… croooottttttt… crotttt… crooootttt…!
Lalu kami terdampar di pantai kepuasan.
Dan akhirnya kami bertiga tertidur pulas, dalam keadaan masih telanjang semua.
Esok paginya, setelah mandi aku bersiap – siap untuk pulang ke kotaku.
Tapi Umi mencegahku, “Nanti… jangan pulang dulu. Umi mau masakin makanan khas Lebanon deh buat Donny.”
Aku mengangguk, sambil ingin tahu juga seperti apa masakan Lebanon yang sedang dimasak oleh Umi itu.
Adelita pun tampak ikut membantu uminya di dapur.
Maka sambil menunggu masakan Lebanon siap, aku rebahan di atas dipan kayu jati beralaskan tikar, di teras depan rumah Umi.
Baru saja beberapa menit aku rebahan di atas dipan kayu jati itu, tiba – tiba tampak seorang wanita tinggi montok melangkah di pekarangan depan dan menghampiriku sambil mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum…”
Aku spontan bangkit dan menyahut, “Alaikum salam.”
Lalu aku turun dari dipan kayu jati itu dan berseru ke dalam, “Lita… ada tamu nih… !”
“Yaaa…” sahut Adelita dari dalam rumah.
Lalu Adelita muncul dan berseru, “Tante Neni… !”
Adelita mencium tangan wanita tinggi montok itu, lalu cipika – cipiki.
Lalu Adelita menoleh padaku, “Bang kenalin nih, Tante Neni… adik ayahku, berarti adik ayah Abang juga.”
“Lho… ini siapa Lit?” tanya wanita yang kira – kira sebaya dengan Umi itu, sambil menunjuk padaku yang sudah berdiri di depannya.
Adelita menyahut, “Ini… anak Uwa Rosadi, Tante.”
“Ya Tuhaaaan! Kamu anak Kang Rosadi?” seru wanita yang dipanggil Tante Neni itu. Sambil mengelus – elus rambutku. Aku pun mencium tangannya, lalu membiarkan wanita itu mencium pipi kanan dan pipi kiriku.
“Siapa namamu Nak?” tanya wanita yang ternyata tanteku itu.
“Donny Tante,” sahutku.
Adelita menambahkan, “Dia anak kembar Uwa Rosadi yang diadopsi oleh pengusaha dari Bangkok itu, Tante.”
“Ooooh… iya… iyaaaa…! Saudara kembarnya yang bernama Donna itu kan?”
“Betul Tante,” sahutku dengan sikap sopan.
Tante Neni geleng – geleng kepala sambil berdecak – decak, “Cek… cek… cek…! Waktu masih bayi kamu kan diadopsi oleh sahabat ayahmu, Don. Sekarang tau – tau sudah gede gini. Masya Allooooh…”
“Umi mana?” tanya Tante Neni kepada Adelita.
“Ada. Lagi masak di dapur,” sahut Adelita, “silakan masuk ke dalam Tante.”
Tante Neni masuk ke dalam. Lalu terdengar suara Umi sedang ngobrol dengan Tante Neni di dapur. Sementara aku mengajak Adelita ke dalam kamarnya. Kukeluarkan amplop besar dari dalam tasku. Amplop yang sudah berisi segepok uang dollar Amerika pecahan 100 USD.
“Ini uang untuk dibagi dua dengan Umi nanti, ya Sayang,” kataku sambil menyerahkan amplop coklat muda berisi segepok uang dollar Amerika itu.
Adelita melihat isi amplop itu lalu berkata, “Bang… ini uangnya banyak banget?!”
“Nggak apa – apa. kamu kan pasti banyak kebutuhan selama di sini. Umi juga mungkin membutuhkanduit itu. Nanti tukarin dulu duitnya di money changer kalau mau dibelanjakan ya.”
“Ya Bang. terima kasiiih…” sahut Adelita dilanjutkan dengan ciuman mesranya di bibir dan di sepasang pipiku.
Setelah menyimpan amplop berisi uang itu, Adelita berkata, “Aku mau bantuin Umi dulu di dapur ya Bang.”
Aku mengangguk. Lalu keluar lagi dari kamar Adelita. Duduk – duduk lagi di atas dipan jati itu. Sambil memperhatikan keadaan di sekitar rumah bergaya zaman kolonial Belanda ini.
Sepi sekali suasananya. Hanya sesekali ada motor yang melintas. Tidak ada satu pun mobil yang lewat.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana kalau aku harus tinggal di kampung sesunyi dan selengang ini.
Tiba – tiba Adelita muncul di ambang pintu, “Bang mari kita makan berjamaah. “ajaknya.
Aku pun berdiri, lalu mengikuti Adelita menuju ke ruang makan.
“Ayo Don makan dulu, biar jangan jajan di jalan nanti,” kata Umi sambil menunjuk ke makanan Lebanon hasil masakannya.
“Ini apa Umi?” tanyaku ke wadah persegi panjang. Isinya seperti nasi, tapi dicampur entah dengan apa. Hanya ada taburan seledri di atasnya.
“Ini nasi pilaf. Nasi yang sudah diaduk dengan bihun,” sahutnya. “Kalau ini namanya kefta, terbuat dari daging kambing muda yang dicincang lalu diaduk dengan bumbu.” Umi menunjuk ke gumpalan daging cincang yang ditusuk oleh tusukan sate, tapi tiap tusuk hanya ada segumpal daging cincang sebesar telor bebek, yang tampaknya dimatangkan dengan arang membara seperti sate.
“Masakan Lebanon sebenarnya banyak. Tapi di sini sulit mencari bahannya. Nah… kita makan seadanya aja ya,” kata Umi.
Aku langsung mengambil daging cincang yang ditusuk oleh tusukan sate itu, sudah gak tahan ingin mencobanya. Ternyata enak sekali.
“Wah… kefta ini enak sekali Umi,” kataku sambil meletakkan sisa gigitanku di piring. Lalu mengambil nasi pilaf yang dicampur merata dengan bihun itu. Dan mulai makan bersama.
“Nanti kalau Donny menikah dengan Lita, umi akan masakin bermacam – macam masakan Lebanon. Kan teman umi yang berasal dari Lebanon banyak juga. mereka semua sudah pada jadi warganegara Indonesia,” kata Umi sambil menuangkan nasi pilaf ke piringnya.
Buatku, sebenarnya makanan yang kami santap ini termasuk amat sederhana. Makan nasi pilaf hanya dedngan satu macam teman nasinya, ya kefta ini. Soalnya aku sejak kecil dibiasakan makan dengan banyak teman nasinya, waktu aku masih tinggal di Bangkok.
Tapi untuk menyenangkan Umi, berkali – kali kukatakan enak, enak dan enak. Biar Umi merasa senang dan bahagia. Bahkan kalau tidak ada Tante Neni, mungkin aku akan berkata, enak Umi… tapi lebih enak memek Umi…! Hahahahaaaa…!
Pada waktu aku masih makan, Adelita berkata padaku, “Bang… rumah Tante Neni ini searah dengan jalan pulang Abang nanti. Bisa kan beliau numpang sama Abang?”
“Boleh,” sahutku sambil melirik ke tanteku yang berperawakan seksi abis itu.
Hmmm… apakah aku ini benar – benar berjiwa incest, sehingga aku selalu tergiur oleh famili dekatku sendiri? Enyahlah. Yang jelas pada waktu makan bersama ini, pikiranku ngeres terus. Malah bertanya – tanya di dalam hati, seperti apa ya Tante Neni yang tinggi montok itu kalau sudah telanjang bulat di depan mataku?
Padahal jelas Tante Neni itu adik kandung ayahku almarhum. Tapi mungkin karena sejak bayi sampai dewasa aku tidak pernah berjumpa dengan keluarga Bunda mau pun dengan keluarga almarhum Ayah. Sehingga begitu bertemu, aku merasa seperti berjumpa dengan orang asing.
Beberapa saat kemudian, seperti yang sudah diminta Adelita, Tante Neni sudah duduk di sebelah kiriku, dalam mobil yang sudah kuhidupkan mesnnya. Sementara Umi dan Adelita berdiri di samping kanan mobilku.
“Ati – ati di jalan ya Bang,” kata Adelita sambil memegangi pintu di sebeah kananku, yang jendelanya masih terbuka.
Umi pin berkata, “Sering – sering datang ke sini ya Don.”
Aku cuma mengangguk sambil kiss bye (cium jauh). Kemudian mobilku meninggalkan pekarangan rumah bergaya zaman kolonial Belanda itu. Umi dan Adelita melambaikan tangannya, yang kubalas dengan lambaian tangan juga. Lalu jendela kaca ditutup semua setelah menyalakan AC. Dan mobilku mulai menginjak jalanan berluibang penuh lumpur sejauh 20 kilometer.
“Namanya jodoh begitu ya Don. Dengan Lita malah pertama kalinya berjumpa malah di Singapore,” ucap Tante Neni yang saat itu mengenakan gaun hitam yang terbuat dari sutera hitam polos, dengan manik – manik di sekitar lehernya. Berbeda dengan Umi yang senantiasa memakai baju jubah dan berjilbab, Tante Neni inki tidak mengenakan hijab dan baju muslimah.
“Iya Tante,” sahutku.
“Terus kawinnya kapan?” tanyanya.
“Masih lama Tante. Masih banyak yang harus diurus. Lita juga masih dipertahankan untuk tetap bekerja di Singapore,” sahutku.
“Iya. Donny juga harus belajar dulu dong… belajar menggauli istri, supaya istrinya puas. Hihihiii…”
“Hehehee… iya Tante. Emangnya Tante mau ngajarin aku?”
“Hihihihiiii… Donny… ada – ada aja. Masa mau diajarin sama tantemu sendiri?”
“Tapi… aku mau diajarin kalau sama Tante sih. Soalnya Tante… seksi banget sih.”
“Masa sih?!” cetus Tante Neni bernada senang mendengar pujianku. Mudah – mudahan umpan pancingku mendapat hasil…!
“Serius Tante. Tadi begitu melihat Tante… wow… ada wanita seseksi itu… siapa ya? Eeeeh… ternyata Tante adik kandung Ayah.”
“Iya. Ayahmu kan punya adik empat. Yang adik langsung, ya ayah Lita itu. Kemudian dari ayah Lita ke tante. Dari tante ke Tante Tita, lalu yang bungsu Tante Yani.”
“Iya Tante,” sahutku.
Mobilku tidak bisa bergerak cepat, karena banyak lubang yang harus dihindari, kalau bisa. Kalau tidak bisa, ya hajar saja. Karena mobilku tidak bisa berlari cepat, aku jadi sempat memegang paha Tante Neni yang masih tertutup gaun sutedra hitamnya. Sambil berkata, “Ya Tante yaaa… ajarin aku please…
Tante Neni terdiam. Lalu bertanya dengan nada serius, “Mau kapan belajarnya?”
“Sekarang aja. Mumpung kita lagi sama – sama gini,” sahutku sambil memijat – mijat paha gempal yang sedang kupegang, tapi belum bisa memegang langsung, baru sebatas memegang terhalang oleh gaunnya.
“Ya udah. Nanti aja di rumah tante ya.”
“Emangnya di rumah Tante gak ada orang lain?”
“Ada. Pembantu.”
“Emangnya Tante gak punya suami?”
“Nasib tante sama dengan ibunya Lita. Suami tante sudah meninggal dua tahun yang lalu.”
“Owh. Tante punya anak?”
“Punya tiga orang. Cowok dua orang, cewek seorang. Tapi mereka pada jauh. Yang cowok ada yang di Medan, ada yang di Surabaya. Yang cewek di Jakarta.”
“Pada kerja semua?”
“Yang cowok sih iya. Pada kerja. Kalau yang cewek masih kuliah di Jakarta.”
“Terus Tannte sendirian terus di rumah?”
“Kan ada pembantu yang nginep di rumah.”
Lalu kami terdiam sejenak.
Tapi tangan Tante Neni tidak diam. Tangannya merayap ke arah ritsleting celana jeansku, sambil berkata, “Kayak gimana sih penis cowok yang harus diajarin ini.”
Meski Tante Neni baru memegang ritsleting celana jeansku, si johny langsung bereaksi. Jadi menegang dengan cepatnya. Dan ketika berhasil menyelinapkan tangannya ke balik celana dalamku, penisku sudah benar – benar ngaceng.
“Waaaaw…! “pekik Tante Neni, “Segede dan sepanjang ini kontolmu Don…! Sudah ngaceng pula… !”
“Soalnya udah ngebayangin dijeblosin ke dalam memek Tante. Hihihiiiii… jangan marah tante ya.”
“Masa sih? Emangnya tante ini seperti apa di dalam pandangan Donny?”
“Pokoknya Tante sangat menggiurkan di mataku.”
Tante Neni tampak senang mendengar ucapanku. Lalu ia menarik gaunnya ke perutnya, sisusul dengan penurunan celana dalamnya sampai di lutut. Dan menarik tangan kiriku, lalu menempelkannya di permukaan memeknya yang bersih dari jembut, sehingga terasa benar tembemnya memek Tante Neni ini. Jauh lebih tembem daripada memek Umi.
“Waaaah… Tante… nanti mau dikasihin sama aku memek Tante ini?” tanyaku sambil mengusap – usap permukaan memek Tante Neni.
“Iya. Nanti tante kasih sama Donny… sampai benar – benar puas.”
“Hahaaayyyy! Mimpi apa aku tadi malam ya? Tau – tau bakal ketiban rejeki nomplok !”
“Tapi rahasiakan ya Don. Jangan sampai Lita tau.”
“Tentu aja harus kurahasiakan Tante. Percaya deh, mulutku bukan ember bocor,” sahutku sambil tetap anteng menggerayangi memek Tante Neni, karena belum bisa tancap gas di atas jalan yang berlubang – lubang penuh lumpur ini.
Namun tak lama kemudian mobilku sudah dekat dengan jalan aspal yang mulus. Tante Neni pun tgahu itu. Lalu ia menjauhkan tanganku dari memeknya. Kemudian ditariknya celana dalamnya ke tempat semula. Tapi gaunnya masih tersingkap sampai perutnya. Sehingga paha gempal dan putih mulusnya seolah dipamerkan padaku.
Di dalam hati, aku berkata, untung tadi pagi aku gak ngentot Umi dan Adelita lagi. Sehingga aku punya power sekarang, buat ngentot tanteku yang tinggi montok ini. Bahkan mungkin aku mampu menyetubuhinya dua atau tiga set nanti. Pokoknya aku akan menyetubuhinya sepuasku, seperti yang dia katakan tadi.
Tak lama kemudian mobilku sudah menginjak jalan aspal. Sehingga aku bisa melarikan mobilku dengan kecepatan tinggi. Tapi aku tidak mau ngebut, karena takut SIM internasionalku dicabut oleh polisi.
Begitu mobilku berada di atas jalan aspal, Tante Neni berkata, “Dari sini rumah tante hanya duapuluhdua kilometer Don. Kalau jalanan sepi gini sih gak sampai setengah jam juga nyampe.”
“Iya Tante. Aku udah gak sabar nih. Pengen merasakan indahnya menggumuli Tante yang seksi abis gitu.”
“Tante juga udah horny Don. Udah kebayang digumulin sama cowok tampan dan masih sangat muda seperti Donny. Kontolnya gagah pula… ya gede ya panjang… hmmm kebayang…”
Meski sedang melarikan mobil dalam kecepatan yang lumayan tinggi, aku masih sempat menggerfakkan tangan kiriku yang nganggur (karena mobilku matic), untuk merayapi poaha Tante Neni yang dipamerkan terus itu. Terasa padat sintal paha Tante Neni ini.
Namun pada suatu saat Tante Neni menepiskan tangan kiriku, lalu menurunkan kembali gaun hitamnya, untuk menutupi sepasang kakinya yang indah dan membangkitkan nafsu birahiku itu.
“Rumah tante sudah dekat Don,” kata Tante Neni, “Setelah billboard reklame itu cuma dua rumah lagi… rumah tante yang ketiga setelah reklame susu murni itu.”
Mendengar ucpaan Tante Neni itu kupelankan kecepatan mobilku. Papan reklame itu pun sudah terlewat. Kemudian Tante Neni menyuruhku membelokkan mobil ke pekarangan rumah yang tidak terlalu besar, tapi tampak artistik bentuknya, dengan gaya yang sedang ngetrend di masa kini, gaya minimalis.
Mobilku bisa dimasukkan ke pekarangannya, lalu kuhentikan di depan pavilyun seperti yang disarankan oleh Tante Neni.
Tante Neni turun duluan, lalu membuka kunci pavilyun itu sambil melambaikan tangannya padaku.
Aku pun turun dari mobil, lalu masuk ke dalam pavilyun seperti yang diminta oleh Tante Neni.
Lalu Tante Neni berkata, “Lihat ya… itu kan ada pintu. Nah… pintu itu sebenarnya menuju ke kamar tante. Nanti tante buka pintu itu dari sana. Donny masuk aja ke kamar tante kalau pintunya sudah dibuka. Kita harus agak rahasia – rahasiaan. Takut si bibi tau, entar nafsu pula setelah melihat tante bawa cowok setampan ini.
Aku cuma mengangguk – angguk sambil tersenyum.
“Tunggu sebentar ya, tante mau masuk ke rumah dulu,” kata Tante Neni sambil melangkah ke luar lagi, ke depan mobilku. Lalu kututupkan pintu pavilyun dari dalam, sekaligus menguncikannya, sambil menunggu pintu menuju kamar Tante Neni itu dibuka.
Tak lama kemudian pintu itu dibuka oleh Tante Neni dan menyuruhku masuk ke kamarnya lewat pintu itu.
“Nanti malam tidur di sini aja ya. Biar bisa abis -abisan sama tante nanti malam,” kata Tante Neni sambil melepaskan gaunnya, lalu menggantinya dengan kimono berwarna orange.
“Boleh, “aku mengangguk.
“Nah… kalau begitu tante akan mengijinkan si bibi pulang sekarang. Karena nanti malam tante ada yang jagain… keponakan yang tampan ini,” ucapnya sambil mengecup pipiku.
Agak lama Tante Neni meninggalkanku. Sayup – sayup kudengar suara Tante Neni berbicara dengan seorang wanita. Pasti itu suara pembantunya.
Aku pun duduk di sofa berwarna coklat tua, sebagai satu – satu nya sofa yang berada di dalam kamar Tante Neni ini.
Akhirnya Tante Neni muncul dan menghampiriku, “Sekarang aman sudah. Dia sudah pulang ke kampungnya. Besok sore baru kembali lagi ke sini,” kata Tante Neni.
“Kenapa Tante seperti takut benar sama pembantu?” tanyaku.
Tante Neni menjawab, “Bukan takut. Tante hanya menghindari tersebarnya gossip mengenai diri tante. Soalnya si bibi itu paling suka nyebar gosip yang belum bisa dipastikan kebenarannya. Sedangkan tante di daerah ini terkenal sebagai wanita yang baik dan disegani.”
“Owh begitu ya. Aku juga menganggap Tante sebagai wanita baik dan… menggiurkan,” sahutku sambil berdiri dan merangkul pinggang Tante Neni ke dalam dekapanku.
Tante Neni tersenyum dengan wajah cantiknya yang dekat sekali dengan wajahku. Lalu semakin dekat, sehingga pori – pori kulit wajahnya kelihatan jelas di mataku. Dan akhirnya tiada batas lagi ketika ia memagut bibirku ke dalam ciuman dan lumatan hangatnya…!
Cukup lama Tante Neni melumat bibirku, sampai akhirnya ia menarik badanku menuju bed lebarnya. Di situlah ia melepaskan kimono, bra dan celana dalamnya. Lalu menelungkup di atas bed, seolah ingin memamerkan betapa gedenya bokong tanteku itu.
Aku pun menghampirinya, lalu menepuk – nepuh kedua buah pantatnya yang gede itu sambil berkata, “Pantat Tante gede banget.”
Yang cuma dijawab dengan ketawa centil tanteku itu. Sementara aku berpikirf, Tante Neni berbokong gede banget gitu, pasti enak kalau kuentot dengan posisi doggy…!
Tapi Tante Neni lalu menelentang di atas bed sambil mengusap – usap memek tembem itu dengan tangan kanannya dan meremas – remas toket dengan tangan kirinya, dengan senyum yang sangat menggoda.
“Tante nggak percaya kalau kamu belum pengalaman dalam soal perempuan. Bahkan mungkin kamu sudah lebih berpengalaman daripada tante, karena duitmu yang berlimpah ruah, membuatmu bisa melakukan apa saja,” kata Tante Neni ketika aku sedang melepaskan baju kaus, celana jeans dan celana dalamku.
“Pokoknya yang terpenting bisa merasakan memek tembem yang sangat indah dan menggiurkan ini,” kataku sambil menepuk – nepuk memek Tante Neni.
Tante Neni pun merentangkan kedua paha putih gempalnya, seolah memberitahu bahwa ia ingin memeknya kujilati.
Dan memang mulutku langsung menyeruduk memeknya tanpa banyak basa – basi lagi. Lalu menjilati mulut memeknya yang agak ternganga karena kedua pahanya dipentang lebar sekali. sementara jemari tangan kiriku langsung menggesek – gesek kelentitnya yang lebih kecil daripada itil Umi Faizah.
“Oooo… ooooooh… dari cara menjilati memek aja udah keliatan… kamu udah pandai mengoral memek Don… ooooohhhh… luar biasa enaknya… elus terus itil tante Don… oooooohhhh… enak sekali… Dooonny…”
Dalam tempo singkat saja liang memek Tante Neni terasa sudah basah sekali. Sehingga aku pun tak mau mengulur waktu lagi.
Aku merayap ke atas perutnya yang kempes, meski tubuhnya montok. Lalu kuletakkan moncong penisku yang lalu dipegangi pula oleh Tante Neni, untuk menempatkan pada “sasaran tembak” yang tepat.
Lalu dengan sekuat tenaga kudorong penisku… dan… blessss… terbenam amblas ke dalam liang memek yang empuk dan hangat ini…!
Tante Neni menyambutku dengan merengkuh leherku ke dalam pelukan hangatnya, sambil berkata setengah berbisik, “Kontolmu gede banget Don… pasti mantep digenjot sama kontol segede dan sepanjang ini sih. Ayo entot sepuasmu Don… mau sepuluh set juga ta ladeni. Hihihiiiii…”
Sambil mulai mengentotnya, kusahut, “Wow… ternyata memek Tante legit begini ya?”
“Legit? Emangnya dodol?!”
“Heheheee… memek Tante sih jauh lebih enak daripada dodol,” sahutku yang kulanjutkan dengan menjilati leher Tante Neni disertai dengan gigitan – gigitan kecil, sementara entotanku mulai kugencarkan.
“Kontolmu juga luar biasa enaknya Don,” ucap tante Neni, “Ooooh… Dooon… kalau begini sih tante pasti ketagihan sama kamu nanti.”
“Gampang Tante… kalau kangen sama aku tinggal call aja nanti… duuuh… memek tante ini enak banget…” ucapku terengah sambil meremas toket gedenya Tante Neni. Dan… diam – diam aku membuktikan suatu reaksi… bahwa setiap kali kusentuh ketiaknya, Tante neni mengejut – ngejut. Mungkin ketiak Tante Neni ini termasuk sangat peka baginya.
Dan aku paling suka mengeksplore bagian peka di tubuh pasangan seksualku. Maka ketika entotanku mulai gencar, kujilati ketiak kiri Tante Neni sambil meremas toket kanannya.
Benar saja. Ternyata ketiak Tante Neni merupakan bagian yang sangat peka di tubuhnya. Begitu aku menjilati ketiaknya, Tante Neni langsung menggeliat – geliat sambvil berdesah dan merintih erotis, “Ooooo… oooo… oooooohhhhh… Dooooon… oooooooh… ini luar biasa enaknya Doooon… entoooot teruuuusssss…
Tante Neni gedebak gedebuk terus sambil mencengkram sepasang bahuku kuat – kuat, seolah mau meremukkan tulang – tulangnya.
Terlebih setelah kedua tanganku sibuk meremas – remas dan mempermainkan pentil toket gedenya… bahkan terkadang kutepuk – tepuk toket yang lebih gede daripada buah pepaya itu.
Di saat lain kugigit – gigit ketiak tanteku yang memang menggiurkan ini. Terkadang juga kujilati dan kusedot – sedot ketiak yang mulai membasah dan memancarkan aroma yang merangsang nafsuku ini.
Namun pada suatu saat Tante Neni berkelojot – kelojot sambil memejamkan matanya erat – erat. Hmmm… pasti dia mau orgasme. Maka kupercepat entotanku sambil merfemas – remas toket gedenya sekuatku. Tante Neni tak peduli dengan remasanku di toketnya. Ia bahkan memekik lirih, “Dooooonnnnniiii…
Tante Neni menggelepar, lalu mengejang tegang… tegang sekali. Lalu terasa liang memeknya berkejut – kejut indah… membuatku ingin menikmatinya dengan mendiamkan batang kemaluanku tertanam di dalam liang memek yang empuk tapi legit ini.
“Aaaaaaaaaahhhhhhh… “akhirnya Tante Neni menghembuskan nafasnya yang tertahan selkama beberapa detik itu.
“Kenapa tante? Sudah orgasme ya?”
Tante Neni merangkul leherku ke dalam pelukannya. Lalu menyahut, “Iya Sayaaaang… luar biasa nikmatnya… terima kasih yaaa… “disusul dengan ciuman ketatnya di bibirku “… mwuuuuuaaaaah… !”
Aku tunggu beberapa detik, sampai muka pucat Tante Neni berdarah lagi.
Lalu aku melanjutkannya dengan entotan perlahan. Terasa liang memek Tante Neni jadi becek. Tapi itu adalah becek sehabis orgasme. Dan aku suka memek yangf bcek paska orgasme begini. Karena aku merasa telah memperoleh kemenangan, bisa membuat Tante Neni orgasme dan memeknya menjadi becek.
Tante Neni pun menyadari hal ini. Ia bertanya setengah berbisik, “Becek ya Don? Mau dikeringkan dulu memeknya biar jangan becek?”
“Iiiih… jangan Tante. Aku malah seneng ngentot memek yang sudah becek setelah orgasme gini… biarin aja…” sahutku terengah, karena sudah mulai mempercepat entotanku…
Café itu sudah mulai dibuka. Di hari grand opening saja café itu tampak ramai sekali. Bunda dan Donna jadi sibuk mengelola café itu. Dengan penuh semangat kelihatannya. Dan aku senang menyaksikan semuanya itu.
Namun ketika Bunda dan Donna sedang sibuk – sibuknya, aku teringat seseorang yang seolah terabaikan olehku. Anak Tante Ratih yang bernama Imey itu. Aku ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat yang sepi dan nyaman.
Tapi apakah aku sudah bertekad mau menikahinya?
Tidak.
Setelah dipikir – pikir, aku akan menunda segala rencana pernikahanku. Karena usiaku pun baru akan menginjak 21 tahun. Aku bisa saja menyetubuhi cewek mana pun. Tapi untuk menikah secara resmi, nanti dulu. Mungkin kalau usiaku sudah benar – benar dewasa, barulah aku akan menikah secara resmi.
Lagian kalau pun aku harus menikah nanti, aku tak mau menikah dengan cewek yang masih ada hubungan keluarga denganku. Kalau menikah dengan familiku sendiri, akan terkesan bahwa aku sudah tidak laku lagi, sehingga harus menikah dengan familiku sendiri. Baik Adelita mau pun Imey kan masih famili dekat denganku.
Kalaulah mereka ingin kecipratan hartaku, baik… akan kulimpahi mereka dengan harta. Tapi jangan ingin menikah secara sah denganku. Karena calon istriku haruslah cewek yang tiada hubungan darah denganku. Bahkan menurut teori, perkawinan antar famili dekat itu punya resiko akan melahirkan anak yang cacat.
Selain daripada itu, aku punya rencana lain yang masih kusimpan di dalam hatiku. Bahwa aku ingin agar Donna menikah duluan, barulah aku akan menikah belakangan.
Lalu bagaimana dengan Adelita?
Aku akan menempatkannya di perusahaanku dan meningkatkan taraf kehidupannya. Tapi soal menikah, harus kupikirkan dulu matang – matang.
Lalu bagaimana dengan anak Tante Ratih yang sudah “ditawarkan” untuk dijadikan istriku itu?
Inilah anehnya. Bahwa ketika aku sudah merencanakan untuk mengajak Imey jalan – jalan ke tempat yang tenhang dan romantis, tiba – tiba handphoneku berdering.
Kulihat yang call nomor yang tidak kukenal. Biasanya aku tak pernah mengangkat nomor yang tidak kukenal, karena di zaman sekarang ada saja yang diam – diam mau menipu lewat hape. Tapi kali ini kuangkat juga call itu.
“Hallo…”
“Hallo… ini Donny kan?”
“Iya. Ini dengan siapa ya?”
“Aku Gandhi Don…!”
“Gandhi Bangkok?”
“Iya.”
“Kok kamu pakai nomor Indonesia?”
“Aku memang sedang berada di kotamu Don.”
“Ohya?! Di mana? Di hotel?”
“Bukan. Aku kan punya tante di kota ini. Adikku juga tinggal di rumah tanteku ini, karena dia kuliah di kota ini.”
“Ya udah… kirimkan aja alamat lengkapnya. Aku segera meluncur ke sana.”
“Oke… !”
Lalu alamat lengkap rumah yang ditumpangi oleh Gandhi itu dismskan.
Ini benar – benar kejutan. Bahwa sahabatku dari Bangkok tiba – tiba berada di kota ini.
Gandhi memang sahabat baikku sejak kecil. Karena orang tuanya pun tinggal dan punya usaha di Bangkok. Sebagai sesama orang Indonesia, aku dan Gandhi lalu menjadi sahabat, meski kuliahnya beda universitas denganku.
Tak lama kemudian aku sudah berada di dalam mobilku yang telah menginjak jalan aspal, menuju alamat rumah yang dismskan oleh Gandhi.
Sekarang aku sudah mulai hafal jalan – jalan di kota ini, karena sering berkeliling dan menghafalkan jalan – jalannya. Memang terdengar aneh juga bahwa aku di usia yang hampir 21 tahun ini baru hafal jalan di kota kelahiranku ini. Maklum sejak bayi sampai dewasa aku tinggal di Bangkok, sehingga aku merasa asing di kota kelahiranku sendiri.
Alamat yang tercantum di sms dari Gandhi itu ternyata sebuah rumah yang cukup megah. Aku pun turun dari mobil, menghampiri seporang wanita setengah baya yang tengah menyirami pot – pot bunga di pekarangan rumahnya. Melihat dari housecoat yang dikenakannya, aku yakin wanita itu bukan pembantu. Karena bahan housecoatnya pun terlihat mahal.
Maka dengan sopan aku berkata dari belakangnya, “Selamat sore Bu.”
Wanita itu tampak agak kaget. Menoleh padaku dan menyahut, “Sore… ooooh… ini sahabat Gandhi yang dari Bangkok ya?”
“Betul Bu. Saya Donny, sahabat Gandhi di Bangkok. Tapi sekarang sudah jadi orang sini,” sahutku sambil menjabat tangan wanita separoh baya yang cantik itu.
“Iya, iya… ayo masuk Don,” ucap wanita itu ramah sambil mendahuluiku melangkah ke dalam rumah megahnya.
Di dalam rumahnya wanita itu berseru, “Gandhi…! Ini temanmu datang…!”
Terdengar sahutan Gandhi dari lantai atas, “Iya Tante… !”
Kemudian terdengar bunyi langkah dari lantai atas menuju tangga dan muncullah Gandhi, sahabat karibku. “Hahahahaaa…! Akhirnya kita ketemu lagi di sini ya?” sambutnya sambil menghambur ke dalam pelukanku. Disusul dengan tepukan – tepukan Gandhi di punggungku.
Kemudian Gandhi mengajakku duduk di ruang tamu. “Tante Sin… ini sahabat karibku yang dari Bangkok tapi kelahiran kota ini.”
Wanita yang dipanggil Tante Sin itu tersenyum dan menyahut, “Iya barusan sudah berkenalan sama tante.”
Kemudian wanita itu masuk ke dalam.
“Dalam rangka apa kamu ke Indonesia Dhi?” tanyaku setelah duduk di sofa ruang tamu.
“Nengok adikku. Sekalian ingin jalan – jalan aja di kota kelahiranmu ini.”
“Kamu kelahiran Semarang kan?”
“Iya. Tapi sama seperti kamu, sejak kecil sudah dibawa ke Bangkok. Sementara adikku tinggal di sini,” sahut Gandhi yang dilanjutkan dengan bisikan, “tanteku kan gak punya anak. Makanya dia maksa ingin merawat dan membesarkan adikku.”
“Ogitu…”
“Nah… itu adikku, baru pulang kuliah,” kata Gandhi sambil menunjuk ke luar. Di mana seorang gadis tampak berjalan di teras depan dan masuk ke dalam.
“Tri… sini… ini sahabatku yang sama – sama tinggal di Bangkok,” kata Gandhi kepada adiknya.
Gadis itu menghampiri Gandhi, lalu menoleh padaku.
Oooo… maaaak! Cantik sekali adik Gandhi itu…!
Memang seperti pepatah China, setinggi – tingginya gunung, pasti ada gunung lain yang lebih tinggi. Kalau kusinonimkan, secantik – cantiknya perempuan pasti ada yang lebih cantik lagi. Ya… tadinya aku merasa Adelita dan Imey sebagai cewek tercantik di mataku. Ternyata adik Gandhi itu… lebih cantik lagi…
Ketika ia berjabatan tangan denganku, adik Gandhi itu menyebutkan namanya, “Gayatri…”
Ooo, pantesan dipanggil Tri… rupanya nama adik Gandhi itu Gayatri.
“Nama ayahku kan Gunadi,” kata Gandhi, “karena itu anak – anaknya berawal dengan hurup G semua. Gandhi, Gayatri dan Galia.”
“Ooo, begitu ya?” sahutku sambil menoleh ke arah Gayatri, “Sudah semester berapa kuliahnya?”
“Baru semester dua Bang,” sahut gayatri dengan senyum manis. Hmm… gak nyangka Gandhi punya adik secantik dan seimut itu. Ramah dan murah senyum pula.
Lalu otakku menghitung dengan cepat. Dan mengambil kesimpulan bahwa usia Gayatri itu delapanbelas tahunan. Otakku pun cepat mengatur rencana. Bahwa seandainya Gayatri bisa kujadikan pacarku, maka Donna akan kujodohkan dengan Gandhi. Hahaha… belum apa – apa sudah punya niat “barter” segala.
Lalu kami bertiga ngobrol ke barat ke timur, sampai akhirnya Gayatri berkata kepada abangnya, “Mas Gandhi… kita nonton yuk. Ada film yang lagi ngetop tuh.”
“Boleh, “Gandhi mengangguk, “Gimana Don? Kamu mau kan nonton bioskop? Mumpung kita masih sama – sama di Indonesia.”
“Ayo…” sahutku sambil mengangguk.
“Kalau gitu, aku mau mandi dulu ya Mas,” kata Gayatri kepada Gandhi.
“Iya. Tapi mandinya jangan pake lama.”
“Nggak lah… eeeh… Tante Sin mau diajak juga?” tanya Gayatri kepada kakaknya.
“Nggak usah lah. Kita bertiga aja. Acara anak muda…”
Beberapa saat kemudian, aku dan Gandhi bersama adiknya sudah berada di dalam mobilku menuju mall yang ada gedung teaternya, yang pernah dimasuki olehku bersama Donna waktu aku baru tiba di kota ini dahulu.
Dari dalam gedung teater inilah aku merasa mulai melangkah di alam baru. Bahwa Gayatri duduk diapit oleh Gandhi di sebelah kirinya, sementara aku di sebelah kanannya. Ketika lampu sudah dipadamkan, tangan kiriku memberanikan diri memegang tangan kanan Gayatri. Mudah – mudahan saja dia tidak menepiskan peganganku.
Ternyata… Gayatri malah meremas tanganku dengan hangat dan lembut. Bahkan ketika remasan tangannya terhenti, aku menjauhkan tanganku dari tangannya. Tapi justru Gayatri yang menarik tanganku pada tempat semula, pada tangan kursi yang kami duduki. Lalu… ia meremas tanganku lagi di kegelapan gedung yang sedang memutar film ini.
Akibatnya, sedikit pun aku tak memperhatikan jalannya kisah di film yang sedang kami tonton kitu. Aku lebih memikirkan indahnya remasa tangan lembut dan hangat Gayatri ini.
Sampai film tamat, aku tidak mengerti apa yang barusan dipertunjukkan di layar putih itu. Lalu aku mengajak mereka makan malam di resto yang ada di dalam kompleks mall itu juga.
Di dalam resto itu, setiap kali aku menatap Gayatri, ia menanggapinya dengan senyum tersipu – sipu.
Dan kebetulan Gandhi mau ke toilet dulu, sehingga aku punya kesempatan untuk mengatakannya, “Tri… sudah punya pacar belum?”
“Belum, “Gayatri menggeleng.
“Kalau begitu aku mau jujur ya… aku suka kamu Tri. Mungkin terlalu cepat aku mengatakannya. Tapi aku takut keduluan sama cowok lain.”
“Jadi ceritanya love at first sight nih?” tanya Gayatri dengan senyum manisnya lagi.
“Iya,” sahutku, “Bisa dijawab sebelum Gandhi keluar dari toilet?”
Gayatri tertunduk sejenak. Lalu menyahut tenang, “Kalau untuk hubungan serius, aku mau. Tapi kalau sekadar pacar – pacaran aja sih gak mau.”
“Tentu saja aku serius Tri. Jujur… belum pernah aku seperti ini. Langsung jatuh hati pada pandangan pertama.”
“Memangnya Bang Donny belum punya pacar?” tanyanya.
“Kalau sudah punya, tentu aku takkan nembak kamu Tri.”
Gayatri tersenyum lagi. Membuat hatiku berbunga – bunga lagi.
“Oke… oke. Jadi sekarang kita jadian ya,” ucapku sambil memegang tangan Gayatri.
Adik Gandhi itu menatapku dengan senyum manis lagi. Lalu mengangguk perlahan.
Tak lama kemudian Gandhi muncul lagi, hampir bersamaan dengan datangnya para waiters yang akan menghidangkan makanan pesanan kami.
“Jadi mau berapa lama kamu tinggal di Indonesia, Dhi?” tanyaku ketika waiters tengah meletakkan makanan pesanan kami di atas meja makan.
Gandhi menjawab, “Sekarang kan hari Selasa ya. Hari Kamis juga aku akan pulang lagi ke Bangkok.”
“Sudah beli tiket pesawatnya?”
“Belum. Besok aja,” sahut Gandhi.
Lalu kukeluarkan uang dollar Amerika pecahan 100 USD dua puluh lembar. Kuberikan semuanya kepada Gandhi sambil berkata, “Ini untuk nambah – nambah beli tiket.”
“Wow… ini sih dipakai buat tiket pulang pergi juga masih banyak lebihnya Don. Thanks ya.”
“Sama – sama. Aku juga bulan dep[an mau ke Bangkok. Mau nengok rumah dan para karyawan yang ditinggalkan.”
“Ajak tuh Gayatri sekalian.”
“Kalau dia mau… boleh aja. Sudah sering ke Bangkok kan?” tanyaku kepada gayatri.
“Baru tiga kali. Aku sih ingin ke Singapore,” sahut Gayatri.
“Pulang dari Bangkok pasti aku mampir di Singapore dulu, karena ada perusahaan juga di sana,” sahutku.
“Donny sih perusahaannya di mana – mana Tri,” kata Gandhi kepada adiknya, “Di Thailand ada, di Singapore juga ada.”
“Yang di Thailand sudah dijual semua Dhi,” timpalku, “Tinggal rumah danb gallery aja yang tidak dijual.”
“Di Singapore ada berapa perusahaan?” tanya Gandhi.
“Hanya dua. Kan yang lain – lainnya sengaja kujual, untuk hijrah ke sini. Ke kota kelahiranku ini,” sahutku.
Lalu kami makan bersama.
Pada saat itu Gayatri duduk berdampingan dengan Gandhi. Sementara aku duduk di depan mereka, terbatas oleh meja restoran. Pada waktu makan itulah Gayatri berkali – kali menatapku dengan senyum manisnya yang seolah memancarkan cahaya gemilang dari sepasang bibirnya. Dan aku jadi salah tingkah, karena masih takut – takut kelihatan oleh Gandhi.
Pada waktu makan bersama itulah Gandhi berkata kepada adiknya, “Donny itu sahabat karibku di Bangkok. Tapi jangan samakan dia denganku. Dia itu pebisnis kelas internasional, sementara aku masih anak kuliahan semata.”
Aku jadi salah tingkah juga mendengar Gandhi mempromosikan diriku. Maka kataku, “Gak usah terlalu berlebihanlah menyanjung diriku Dhi.”
“Kenyataannya memang begitu kok. Hahahaaaa. Donny memang selalu merendah Tri. Dia tak pernah pamer kepada siapa pun. Tapi aku tau benar siapa dia, karena dia itu sahabat karibku.”
Gayatri hanya mengangguk – angguk sambil tersenyum.
“Gandhi… aku mau terus terang padamu ya,” kataku.
“Terus terang tentang masalah apa?”
“Mmm… aku sudah janjian sama Gayatri.”
“Ha?! Kapan jadiannya? “Gandhi terbelalak seperti kaget dan heran.
“Barusan, ketika kamu sedang di toilet.”
“Bener Tri?” Gandhi menoleh kepada adiknya.
Gayatri mengangguk sambil tersenyum..
“Syukurlah, “Gandhi mengelus – elus rambut adiknya. lalu menoleh padaku, “Kamu bisa bikin serangan kilat begitu Don?! Ditinggal ke toilet sebentar saja tau – tau sudah jadian sama adikku.”
“Memang sengaja, aku nembak Gayatri di belakangmu. Supaya Gayatri menerimaku dengan hati yang tulus. Kalau di depanmu, bisa timbul kesan dipaksa olehmu untuk menerimaku.”
“Ooo, aku gak pernah maksa adikku. Apalagi dalam masalah pribadi begitu. Aku sih berusaha demokratis saja. Kecuali kalau adikku berada di dalam bahaya, baru aku akan melindunginya.”
“Jadi kamu sudah merestui hubunganku dengan Gayatri?” tanyaku.
“Iya… aku merestui kalian berdua. Aku malah merasa bebanku jadi berkurang. Karena aku bisa menitipkan adikku padamu. Menitipkan dalam segalanya.”
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
Dua hari kemudian, aku dan Gayatri mengantarkan Gandhi ke Bandara Soetta. Dan menunggu sampai Gandhi masuk ke pintu keberangkatan internasional.
Di dalam mobilku, waktu pergi ke bandara, Gayatri duduk di belakang. Gandhi duduk di sampingku. Pada waktu meninggalkan bandara, Gayatri duduk di sampingku. Hanya berdua saja dengannya.
Inilah detik – detik yang menyenangkan bagiku. Detik – detik yang membuat batinku berbunga – bunga. Terlebih setelah berada di jalan tol, Gayatri mulai menyandarkan kepalanya ke bahu kiriku. Sehingga dunia ini seolah milik kami berdua saja.
Biasanya kalau sudah dekat dengan cewek begini, otakku langsung ngeres. Berpikir ke arah seksual. Membayangkan seperti apa cewek itu kalau sudah kutelanjangi.
Tapi kali ini tidak. Dengan duduknya Gayatri di sampingku saja, aku sudah merasa bahagia. Tanpa memikirkan masalah seks sedikit pun.
Terlebih ketika Gayatri mencium pipiku pada saat aku sedang konsen mengemudikan mobilku. Pada saat itulah kupinggirkan mobilku sampai di bahu jalan, menyalakan lampu hazard dan menghentikannya. Hanya untuk mencium bibir Gayatri untuk pertama kalinya…!
Lalu aku berkata sambil meremas tangan halus dan hangatnya, “Aku bahagia sekali Tri. Karena aku telah menemukan cewek yang kucari selama ini.”
“Sama Bang,” sahutnya perlahan, “aku juga merasa bahagia karena telah menjadi cewek Bang Donny.”
Tak lama kemudian aku pun mulai menjalankan lagi mobilku.
“Kita cari makan dulu di kota ya. Perutku lapar,” kataku.
“Hihihi… iya Bang. Aku juga lapar.”
“Gayatri mau makan apa sekarang?”
“Aku sih gak fanatik sama makanan Bang. Mau masaskan Jawa boleh, masakan Padang boleh. Chinese food juga boleh, asalkan yang halal.”
“Ohya Tri… kalau dilihat dari wajah, kulit dan postur, kamu kelihatan kebule – bulean gitu. Apakah ada turunan bule?”
“Mamaku memang campuran Indo dengan Belgia Bang.”
“Ohya? Pantesan kamu cantik sekali Tri,” kataku.
“Di mana – mana juga cewek sih cantik. Gak mungkin ganteng kan?”
“Tapi jujur aja, kamu adalah cewek tercantik di antara cewek – cewek yang pernah kukenal. Ohya… berarti Gandhi juga ada turunan Indo-Belgia? Kok Gandhi gak kelihatan unsur bulenya?”
“Mas Gandhi itu kakak seayah beda ibu Bang. Ibu Mas Gandhi meninggal beberapa saat setelah melahirkan Mas Gandhi. Kemudian Papa menikah lagi dengan mamaku. Punya anak lagi, aku dan Galia, adikku.”
“Ooo… begitu. Aku sering main dengan Gandhi di Bangkok. Tapi aku belum pernah ketemu sama papa dan mamamu Tri.”
“Nanti kalau aku ikut ke Bangkok, pasti Bang Donny ketemu dengan Papa dan Mama.”
“Kalau Tante Sin itu keluarga dari papamu atau mamamu?”
“Tante Sin itu adik kandung Mama.”
“Berarti dia Indo Belgia juga kan?”
“Iya Bang. Kasian Tante Sin itu. Tidak punya anak, makanya dia maksa agar aku tinggal bersamanya sejak kecil. “Dan aku diperlakukan dengan sangat baik olehnya. Seperti perlakuan ibu kepada anak kandungnya saja.”
“Suaminya ke mana?”
“Suaminya meninggal dunia dua tahun yang lalu. Sudah tua sih. Tapi kaya raya.”
Tak lama kemudian aku membelokkan mobilku ke pekarangan sebuah rumah makan tradisional Jawa. Untuk menyesuaikan dengan Gayatri yang ada darah Jawa dari papanya.
Kemudian kami makan siang di rumah makan itu.
Setelah selesai makan, kubawa Gayatri ke sebuah toko perhiasan yang sangat terkenal di Jakarta. Di situlah kubelikan cincin emas putih bertatahkan berlian berbentuk icon love.
Setelah ada yang ngepas di jari manis Gayatri, aku berkata, “Ini adalah tanda keseriusanku padamu, Sayang.”
Gayatri tersipu dan menyahut, “Terima kasih Bang… cincinnya mahal sekali. Lebih mahal dari harga mobil…”
“Dirimu jauh lebih mahal lagi di hatiku. Aku bahkan merasa dirimu adalah sosok yang paling berharga di dalam hatiku, Beib…”
“Aku juga sangat mencintai Bang Donny,” sahut Gayatri yang disusul dengan kecupan mesranya di bibirku. Tanpa mempedulikan bahwa saat itu kami sedang berada di dalam toko perhiasan.
Begitulah… aku menganggap hubunganku dengan Gayatri merupakan hubungan yang positif. Tanpa mengumbar nafsu birahi. Dan aku cukup bahagia dengan hanya melihat wajah cantiknya. Kemudian memegang tangan halus dan hangatnya. Disusul dengan kecupan mesra di bibir tipis merekahnya.
Mungkin inilah yang disebut cinta sejati. Cinta tanpa dikuasai nafsu sex.
Dan aku bertekad, hanya akan melakukan semuanya di malam pertama pernikahanku dengannya kelak.
Tapi benarkah aku sudah “sesuci” itu, sehingga aku seolah tak peduli lagi pada masalah sex?
Hahahaaa… tidak juga.
Setelah mengantarkan Gayatri ke rumahnya, aku langsung pulang ke rumah Bunda ketika jam tanganku sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Café sudah tutup. Bunda pun tampak baru pulang.
“Mana Donna Bun?” tanyaku.
“Sudah tidur,” sahut Bunda, “Kecapean dia. Tadi banyak sekali yang makan di café kita.”
Lalu kupeluk Bunda dari belakang sambil berbisik, “Bunda kecapean juga?”
“Ya begitulah,” sahut Bunda.
“Padahal aku kangen sama memek Bunda…” bisikku.
“Hihihi… sama dong, bunda juga kangen. Tapi Bunda mau mandi dulu ya.”
“Aku juga mau mandi. Ini baru pulang dari Jakarta Bun. Abis nganterin teman dari Bangkok ke Bandara Soetta. Mandi bareng aja ya.”
Bunda menarik pergelangan tanganku ke arah kamar mandi, “Ayolah mandi bareng sama bunda. Udah lama gak ngerasain disabunin sama kamu, Sayang.”
Di dalam kamar mandi Bunda langsung menelanjangi dirinya. Aku pun sama, melepaskan segala yang melekat di tubuhku. Lalu memeluk Bunda dari belakang, sambil berkata setengah berbisik, “Walau pun aku sudah punya istri kelak, hubungan rahasia kita harus tetap berjalan ya Bun.”
Bunda menyahut, “Iya. Kalau bunda sih jelas takkan mau kawin lai. Jadi satu – satu orang yang bisa meredakan godaan birahi bunda hanya kamu Sayang.”
Pada waktu memeluk Bunda dari belakang inilah tangan kananku mulai merayap ke bawah perut Bunda, sementara tangan kiriku naik ke arah toketnya.
“Terus rencana pernikahanmu dengan anak Oom Zulkifli itu kapan?” tanya Bunda.
“Takkan ada pernikahan dengan siapa pun yang ada hubungan famili dengan kita. Kalau sudah waktunya menikah, aku hanya mau menikah dengan cewek yang tidak ada hubungan darah dengan kita.”
“Ohya? Jadi Adelita mau dijadikan apa?”
“Jadikan simpanan aja sih boleh. Tapi nikah secara resmi aku gak mau Bun. Lagian umurku sekarang baru mau menginjak duapuluhsatu tahun. Nanti aja nikah sih sembilan atau sepuluh tahun lagi.”
“Mmm… sebenarnya bunda juga setuju kalau kamju tidak menikah dengan cewek yang ada hnubungan darah dengan kita. Kesannya seperti gak laku sama orang luar.”
“Lagian menurut para ahli, perkawinan dengan famili dekat itu tidak baik Bun. Bisa menghasilkan keturunan yang cacat.”
“Iya. Dulu bunda juga pernah baca masalah itu. Jadi, pasangan yang ada hubungan darahnya, bisa sama – sama muncul kekurangannya. Sehingga bisa menghasilkan anak yang memiliki kekurangan yang lebih dominan. Syukurlah kalau kamu sudah punya pendirian seperti itu.”
“Iya Bunda,” sahutku yang mulai asyik menyelusup – nyelusupkan jari tangan kananku ke dalam liang kewanitaan Bunda.
“Don…”
“Ya?”
“Udah lama juga kamu gak nyetubuhin bunda ya?”
“Perasaan sih seminggu yang lalu aku masih sempat ngentot Bunda.”
“Oh iya ya. Seminggu serasa tujuh bulan Don.”
“Kalau Bunda ingin kuentot tiap hari, kitanya harus diam di tempat yang terpencil dari kesibukan dong.”
“Terus yang ngurusin café siapa? Tapi gak apa – apa deh seminggu sekali juga. Yang penting bunda dapet jatah darimu secara tyeratur. Karena nafsu bunda ini gede Don.”
Lalu keran shower utama diputar. Air hangat pun memancar dari atas kepala kami. Setelah kepala dan tubuh kami basah, shower dimatikan lagi. Karena kami akan gantian menyabuni. Awalnya Bunda yang menyabuni tubuhku. Kemudian aku yang menyabuni tubuh indah ibu kandungku yang cantik itu.
Pada waktu menyabuni Bunda ini, yang paling menyenangkan adalah waktu menyabuni memeknya yang tembem dan selalu bersih dari jembut ini. Bahkan tak dapat kupungkiri, bahwa setiap kali aku sedang menyabuni memek Bunda, pastilah batang kemaluanku langsung “hidup”. Membesar dan menegang.
Biasanya Bunda kurang suka diajak bersetubuh sambil berdiri di kamar mandi. Tapi kali ini beda dari biasanya. Ketika aku masih asyik menyabuni memeknya, Bunda memegang batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini. Lalu Bunda mundur sampai punggungnya merapat ke dinding. Lalu berkata, “Ayo masukin kontolmu Don…
Bunda menarik penisku ke arah memeknya. Aku menurut saja, melingkarkan lenganku di leher Bunda, sementara Bunda sedang mengarah – arahkan moncong penisku ke mulut vaginanya.
Setelah mendapat isyarat dari Bunda, kudorong penisku sekuatnya. Dan… blesssss… langsung melesak ke dalam liang memek Bunda yang sangat licin oleh air sabun yang belum dibilas itu.
Sebelum mengayun batang kemaluanku, masih sempat aku membisiki Bunda, “Mau nyobain kontol bule nggak Bun?”
“Haaa?! Kontol bule?!”
“Iya. Aku punya teman bule dua orang. Dua – duanya ganteng Bun. Tampang mereka mirip aktor – aktor dari Hollywood deh.”
“Memang kamu sudah bosan sama Bunda, sampai mau ngajak orang bule segala buat ngentot bunda?”
“Bukan gitu Bun. Jujur, aku merasa memperlakukan Bunda secara kurang adil. Aku kan sudah cus sana cus sini, sementara Bunda hanya digauli olehku saja seorang. Coba di rumah ini aja, aku bisa ngentot dua orang. Bunda dan Donna. Sedangkan Bunda kan hanya disetubuhi olehku seorang. Gak adil kan?”
“Ah, sudahlah jangan berpikiran seperti kitu Don. Bunda sih digauli sama kamu seminggu sekali juga sudah puas.”
“Kali aja Bunda ingin mencoba dithreesome atau difoursome. Dientot sama dua orang pasti lebih puas daripada dientot oleh seorang doang Bun. Kebetulan teman – temanku yang bule itu pada seneng sama perempuan setengah baya.”
“Threesome kayak yang di film – film bokep itu?”
“Iya. Bahkan kalau Bunda mau, digangbang juga bisa.”
“Gangbang itu apa Don?”
“Diantre sama cowok lebih dari tiga orang.”
“Iiiihhh… dengernya juga merinding. Udah ah… jangan ngomong kitu lagi. Ayo entotin kontolmu… jangan direndem terus.”
Aku pun mulai mengentot Bunda sambil berdiri dan memeluk lehernya, sementara Bunda mendekap pinggangku erat – erat.
Namun gilanya, ketika aku sedang asyik – asyiknya mengentot Bunda sambil berdiri begini, aku malah membayangkan tengah mengentot Gayatri…!
Tidak! Itu bayangan yang keliru! Aku takkan mengganggu kehormatan Gayatri sebelum dia menjadi istriku yang sah. Dan itu masih lama… sampai Gayatri menggondol S1-nya baru akan menikahinya.
Sementara itu Bunda mulai meringis – ringis. Dan akhirnya berkata, “Lanjutin di atas tempat tidur aja yok. Sambil berdiri begini pegel kaki bunda, Don.”
“Tapi kita kan harus menyelesaikan mandi dulu Bun.”
“Iya,” sahut Bunda sambil memutar keran di warna merah (tanda untuk air panas).
Lalu kami sama – sama membilas tubuh kami sampai bersih dari busa sabun.
AHari demi hari pun berputar dengan cepatnya. Sampai pada suatu sore …
Sore itu aku menerima WA yang agak mengejutkan dari Gayatri. Isinya :- Bang Donny, maafkan aku ya. Aku mendadak harus berangkat ke Semarang karena kakak Papa sakit keras. Aku panik, jadi tidak sempat lagi ngasih tau dan minta ijin pada Bang Donny tercinta. Kalau ada waktu main ke rumah Bang. Kasian Tante Sin sendirian di rumah. Kalau ada teman ngobrol kan bisa hangat suasananya. Syukur – syukur kalau Bang Donny bisa nginep di rumah selama aku di Semarang. Doakan budeku sembuh ya Bang.
Aku sangat mencintaimu,
Gayatri –
Setelah mandi, aku pun berangkat ke rumah Tante Sin (yang kata Gayatri bernama Cynthia tapi lalu biasa dipanggil Sin saja oleh saudara – saudaranya).
Sebelum menuju rumah Tante Sin, aku menyempatkan dulu membeli oleh – oleh untuk tantenya Gayatri itu. Aku sudah mendengar dari Gayatri, bahwa Tante Sin hanya menyukai makanan yang asin – asin, tidak terlalu suka kue – kue yang manis. Karena itu kubelikan beberapa buah burger dan dua buah pizza. Barulah kemudian kutujukan mobilku ke arah rumah Tante Sin.
Hari sudah mulai gelap ketika mobilku berhenti tepat di depan rumah megah Tante Sin.
Pintu pagar besi pun terkunci. Untung ada bel di tiang tembok pintu besi itu. Kupijat tombol bel itu.
Tak lama kemudian pintu depan terbuka. Dan terdengar suara Tante Sin, “Siapa?”
“Donny Tante,” sahutku.
“Oooh… iya… iyaaa… sebentar yaaa…” sahut Tante Sin yang lalu muncul di pintju depan itu, kemudian melangkah ke pintu pagar sambil membawa serangkai anak kunci.
Lalu dibukanya kunci pintu pagar itu dan membukakan pintunya.
“Selamat malam Tante… sudah tidur?”
“Belum lah. Masa jam tujuh sudah tidur. Ayo masuk Don,” sahut Tante Sin yang saat itu mengenakan daster putih bersih namun kelihatan tipis sekali.
“Iya Tante. Sebentar… ada yang mau diambil dulu dari mobil,” kataku sambil balik lagi ke mobil, untuk mengeluarkan dua kantong plastik berisi beberapa burger dan dua kotak pizza. sumber Ngocoks.com
“Apa ini? Lho… kok repot – repot Don. Hihihiii… Donny tau aja tante suka makanan yang tidak manis begini. Terimakasih yaaa emwuaaaah…” ucap Tante Sin waktu kedua kantong plastik itu kuserahkan padanya, disusul dengan kecupan hangatnya di pipiku
“Kan Gayatri yang ngasih tau,” sahutku agak jengah. Karena kecupannya di pipiku barusan.
“Gayatri udah ngasih tau kalau dia ke Semarang kan?” tanya Tante Sin setelah mempersilakanku duduk di ruang tamu.
“Sudah Tante,” sahutku sambil duduk di sofa ruang tamu.
“Apa dia bilang?”
“Kakak papanya sakit keras. Aku disuruh nengokin Tante, kasian Tante sendirian di rumah, katanya.”
“Iya,” sahut Tante Sin sambil duduk di sampingku di atas sofa yang kududuki. Harum parfum pun tersiar ke penciumanku. Aneh memang… suasana di rumah ini jadi terasa lain bagiku. “Tidur aja di sini ya Don. Biar tante gak kesepian.”
“Iya Tante… Gayatri juga nyuruh aku tidur di sini sampai dia pulang dari Semarang nanti.”
“Baguslah, Gayatri selalu tau pikiran dan perasaan tante. Kalau gitu masukin aja mobilnya ke garasi Don. Biar aman.”
“Iya Tante.”
Aku sudah sering bertamu ke rumah Tante Sin ini. Tapi hanya sebatas duduk di ruang tamu bersama Gayatri. Baru sekali inilah aku masuk ke dalam garasinya. Baru pertama kali ini pula aku melihat sebuah sedan sport built up Jerman berwarna silver di dalam garasi. Ternyata selera Tante Sin tinggi juga rupanya.
Setelah memasukkan mobilku ke dalam garasi yang cukup luas itu, aku diajak duduk di ruang keluarga. “Mau minum kopi?” tanya Tante Sin.
“Boleh Tante.”
“Mau apa? Americano atau espresso?”
“Kalau boleh minta double espresso aja Tante. Wah, ada coffee maker juga rupanya.”
“Iya. Almarhum suami tante kan suka minum kopi, tapi gak mau kopi tubruk. Harus pakai coffee maker terus,” sahut Tante Sin sambil melangkah ke arah coffee maker yang terletak di sudut ruang keluarga.
Tak lama kemudian Tante Sin sudah menghampiriku lagi dengan secangkir espresso yang kuminta. “Ayo diminum… tante juga mau menikmati oleh – oleh Donny nih,” kata Tante Sin sambil mengeluarkan sebuah burger dari kantongnya. “Yang lainnya mau disimpan di kulkas, untuk dihangatkan besok pagi pakai microwave.
“Iya Tante,” sahutku sambil memperhatikan perabotan yang ada di ruang keluarga ini. Membuatku serasa diilhami, untuk memiliki rumah sendiri yang dibangun dari awal sekali, dengan bentuk minimalis seperti kebanyakan rumah masa kini di negara ini. Lalu furniture dan perabotan lainnya harus mengikuti perkembangan zaman, seperti perabotan di dalam rumah Tante Sin ini.
Setelah menghabiskan burgernya, Tante Sin memegang pergelangan tganganku sambil berkata, “Sini yuk…”
Aku pun berdiri dan mengikuti langkah Tante Sin, yang ternyata membawaku ke dalam kamarnya. Kamar yang serba cantik dan kekinian. Lalu Tante Sin menunjuk ke arah dua bed yang berdampingan di dalam kamar itu. Dan berkata sambil menunjuk ke arah salah satu bed, “Nanti Donny tidur di situ ya. Tante di bed yang satunya lagi.
“Nggak… apa – apa Tante? Maksudku… tidur sekamar de… dengan Tante?” tanyaku gagap.
“Nggak apa – apa. Gayatri juga suka tidur di situ, biar ada temen ngobrol menjelang tidur,” sahut Tante Sin dengan senyum yang beda dari biasanya. Senyum yang sangat menggoda.
Tapi aku malah takut. Takut akibatnya nanti.
Bersambung…