Memang Tante Sin cantik. Tubuhnya pun nyaris sempurna. Tinggi tegap, dengan dada membusung (mungkin karena toketnya tergolong large), bokongnya pun gede. Tapi pinggangnya kecil, mungkin karena rajin merawat badannya dengan olahraga dan minum obat khusus untuk memelihara keindahan tubuhnya. Dan yang jelas, kulitnya putih sekali, maklum dia wanita Indo – Belgia.
Kalau Tante Sin dibanding – bandingkan dengan Gayatri, mungkin Gayatri menang cantik dan jauh lebih muda. Tapi soal bentuk tubuh dan putihnya kulit, Tante Sin menang.
Lalu kami duduk di ruang keluarga lagi. Tante Sin pun duduk merapat di sebelah kiriku lagi. harum parfumnya berkesiweran di penciumanku. Membuatku bingung campur takut. Takut kalah salah jalan, lalu mengakibatkan rusaknya hubunganku dengan Gayatri. Masalahnya, mencari cewek secantik Gayatri itu susah sekali.
Memang aku tahu bahwa sejak aku sering bertamu ke rumah Tante Sin ini, aku sering melihat tatapan dan senyuman yang “menjurus” padaku. Tapi biasanya aku suka pura – pura tidak melihat apa – apa. Karena aku mendatangi rumah ini untuk Gayatri. Bukan untuk yang lain – lain.
“Donny serius sama Gayatri?” tanya wanita Indo – Belgia itu pada suatu saat.
“Sangat serius Tante.”
“Syukurlah. Gayatri itu sama sekali belum pernah pacaran lho.”
“Iya, dia bilang juga begitu.”
“Terus… sudah ngapain aja sama dia?”
“Ngapain gimana Tante?”
“Maksudnya, apakah hubungan kalian sudah melewati batas nggak?”
“Owh… gak pernah Tante. Paling juga sekadar kissing aja.”
“Baguslah. Tapi tante yakin, Donny terpaksa harus menindas perasaan ke sana kan?”
“Maksud Tante?”
“Kalau Donny cowok normal, pasti membayangkan nikmatnya ML sama Gayatri kan?”
“Aku normal tante. Tapi aku selalu mengusir pikiran sejauh itu.”
“Tapi kamu pasti tersiksa dengan menindas desir nafsumu kan?”
“Yaaa… begitulah Tante. Tapi demi kesucian cinta kami, aku fine – fine aja tuh.”
“Tante punya jalan agar kamu lebih fine lagi.”
“Maksud Tante?”
“Kalau kamu pacaran sama Gayatri, lalu nafsumu bergejolak… salurkan aja sama tante. Jadi misalnya kamu apel sama Gayatri malam hari, besoknya kalau Gayatri sedang kuliah, kamu datang aja ke sini. Biar tante redakan nafsu birahimu.”
“Hihihiii… solusinya kok aneh Tante?”
“Apanya yang aneh? Kamu tentu butuh penyaluran. Sementara tante juga sudah bertahun – tahun tidak disentuh lelaki. Kalau kamu bukan cowok munafik, kamu harus mengakui bahwa saat ini kita saling membutuhkan toh?”
“Tapi aku taku Tante…”
“Takut apa?”
“Takut hubunganku dengan Gayatri jadi rusak nanti.”
“Permainannya harus rapi dong. Kita mesti pandai merahasiakannya, jangan sampai Gayatri tau,” kata Tante Sin sambil memegang ritsleting celana jeansku.
“Hihihiii… Tante…! Mau ngapain?” ucapku sambil berusaha menepiskan tangan Tante Sin. Tapi tangan wanita itu bersikeras ingin menurunkan ritsleting celana jeansku.
Maka akhirnya aku cuma terdiam. Bahkan dengan perasaan ingin tahu, apa yang diinginkan oleh Tante Sin itu sebenarnya.
Aku jadi serba salah ketika batang kemaluanku disentuh dan digenggam oleh tangan wanita 35 tahunan itu (kata Gayatri). Dan Tante Sin berseru tertahan, “Wooow… penismu luar biasa gede dan panjangnya Dooon…! Tante jadi langsung horny niii…”
Tak cuma menggenggamnya. Tante Sin pun menurunkan celana jeans sekaligus dengan celana dalamku. Sehingga batang kemaluanku yang baru menegang ini terbuka penuh di mata adik mamanya Gayatri itu.
Sungguh, dalam keadaan seperti ini, aku benar – benar tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Karena pada dasarnya aku tak mau menyakiti hati siapa pun. Apalagi menyakiti hati Tante Sin yang sudah lama memperlihatkan rasa sukanya padaku, meski belum pernah diucapkan secara lisan. Masalah utamanya, Tante Sin itu pengganti mamanya Gayatri yang berada di Bangkok.
Tapi… apa yang Tante Sin lakukan selanjutnya? Ia merangkak di atas sofa, dengan mulut “menangkap” penisku…!
Ya… ia mengulum dan menyelomoti penisku dengan binalnya, membuatku terhenyak, “Tante…!”
Sebagai jawaban, Tante Sin yang sedang menungging di sebelah kanannku, menarik tangan kananku ke arah bokongnya, sementara tangan satunya lagi dipakai untuk menyingkapkan daster putihnya, sehingga aku langsung bisa menyaksikan bahwa Tante Sin tidak mengenakan celana dalam. Sementara tanganku langsung ditempelkan di belahan pantat gedenya…
Spontan aku lupa segalanya, karena telapak tanganku sedang menempel di antara anus dengan kemaluan Tante Sin.
Tentu aku tahu apa yang harus kulakukan kalau tanganku sudah memegang kemaluan yang bersih dari jembut begini. Kuelus – elus kewmaluan yang terasa masih segar ini. Belum lembek, karena usia Tante Sin baru 35 tahunan. Sementara Tante Sin semakin giat menyelomoti penisku sambil mengalirkan air liurnya ke badan penisku yang tidak terkulum olehnya.
Aku benar – benar sudah lupa segalanya. Karena selomotan Tante Sin begitu cermat dan trampilnya, sehingga dalam tempo singkat saja batgang kemaluanku sudah ngaceng berat. Sementara tanganku semakin asyik memainkan kemaluan Tante Sin yang belum kelihatan di depan mataku, karena memainkannya dari atas bokong gedenya.
Beberapa saat kemudian Tante Sin melepaskan selomotannya. Lalu melepaskan cela na jeans dan celana dalamku, lalu melepaskan dasternya sendiri. Jadi langsung telanjang bulat, karena ternyata di balik daster putih itu tidak ada beha mau pun celana dalam.
Dalam keadaan telanjang bulat itulah Tante Sin duduk di sofa sambil mengangkangkan kedua belah paha putih mulusnya.
Dan aku semakin lupa daratan. Setelah menanggalkan baju kausku, sebagai satu – satunya benda yang masih melekat di tubuhku, aku duduk di atas karpet, di antara sepasang paha Tante Sin yang dipentang lebar – lebar itu. Biarlah… aku cuma berharap semoga tidak terjadi apa – apa dalam hubunganku dengan Gayatri kelak.
Kini giliranku untuk mengoral kemaluan Tante Sin yang setelah diamati dari dekat, betapa indah dan menggiurkannya. Tanpa berpikir panjang lebar lagi kungangakan dan kujilati kemaluan wanita Indo – Belgia yang tembem dan masih kelihatan rapat itu.
“Oooooh… Doooonny… akhirnya impianku mulai jadi kenyataan…! Lakukanlah apa pun yang ingin kamu lakukan, Sayang, “desis Tante Sin sambil mengusap – usap rambutku yang berada di bawah perutnya.
Aku pun semakin bersemangat untuk menjilati memeknya secara habis – habisan. Tante Sin pun merebahkan diri dengan bokong berada di pinggiran sofa. Sehingga memeknya jadi maju ke depan, memudahkanku untuk menjilatinya.
Dan aku tak cuma menjilati memek wanita 35 tahunan itu. Jemariku pun ikut bermain, untuk mengelus – elus kelentitnya, sementara jari tangan satunya lagi kuselundupkan ke dalam liang memeknya lalu digerak – gerakkan di situ.
Karuan saja Tante Sin jadi mendesah – desah sambil meremas – remas rambutku. Bahkan pada suatu saat ia berkata lirih, “Sudah Don… masukin aja penismu Sayang… tante udah ingin merasakan nikmatnya dientot oleh penis panjang gede itu.”
Tanpa banyak cing – cong lagi, sambil berdiri membungkuk kuletakkan kepala penisku di ambang mulut vagina Tante Sin yang putih dan sudah kemerahan itu.
Lalu kudesakkan penis ngacengku sekuat tenaga… uuuuughhhhh… melesak separohnya blessss …!
Tante Sin ternganga, “Ooooooooohhhhhhh… penismu gede banget Don… ini terasa sekali bedanya…”
Aku tidak menyahut, karena mulai asyik mengayun penisku, bermaju mundur di dalam liang memek Tante Sin.
Lalu kenapa gairahku jadi begini menggebu – gebunya? Mungkin karena pengalaman pertamaku dalam masalah seksual, adalah dengan Mama almarhumah. Ibu angkat yang dahulu kukira ibu kandungku itu telah memberiku kenikmatan demi kenikmatan. Untuk yang pertama kalinya aku merasakan nikmatnya liang kewanitaan seorang perempuan, adalah dengan Mama.
Kali ini pun aku merasakan itu. Bahwa menyetubuhi wanita yang usianya jauh lebih tua dariku itu adalah luar biasa nikmatnya.
Tapi pada suatu saat Tante Sin berkata, “Don… pindah ke kamar tante aja yuk…”
“Ayo…”
“Tapi kalau bisa jangan dicabut kontolnya Don. Tante ingin kontolmu tetap berada di dalam memekku. Tapi tante ingin pindah ke kamar. Gimana?”
“Iya,” kataku sambil menarik kedua tangan Tante Sin. Dan meletakkannya di tengkukku. Lalu kuangkat bokong gede wanita itu sambil berdiri tegak. Sambil memeluk pinggang Tante Sin, aku melangkah menuju kamarnya yang telah ditunjukkan tadi.
Lalu kurebahkan dia dengan hati – hati, karena dia ingin agar penisku jangan sampai terlepas dari liang memeknya. Setelah Tante Sin celentang di atas bed, kami bergerak sedikit demi sedikit, menuju bagian tengah bed luas itu.
Dalam posisi klasik (missionary) ini, aku mulai mengayun penisku kembali. Tante Sin pun menyambutku dengan rengkuhan hangat di leherku, kemudian ia menciumi bibirku disusul dengan ucapan lirihnya, “Sejak pertama melihatmu, tante sudah jatuh hati Don. Karena kamu ini tampan sekali. Akhirnya impianku jadi kenyataan sekarang…
“Iya Tante,” sahutku sambil menghentikan entotanku sejenak, “Aku akan menggauli Tante kapan pun Tante mau. Tapi aku mohon, agar hubunganku dengan Gayatri tetap utuh.”
“Soal itu sih dijamin Don. Kalau sedang ada dia, kita harus jauh – jauh aja. Jangan memperlihatkan bahwa kita punya hubungan. Ayo entot lagi…!”
Aku mulai mengayun batang kemaluanku lagi perlahan, sambil berkata terengah, “Tante… uuuugggh… memek Tante ini… enak sekali… masih sempit sekali… legit pula… oooooohhhh…”
“Tante kan belum pernah melahirkan Don. Tentu aja masihb sempit. Tapi… kontolmu juga sangat enak Donny… tante pasti bakal ketagihan nanti…”
“Gampang soal itu sih… uuuuuggggh… nanti kita bisa ketemuan di tempat lain. Jangan di sini. Takut kepergok sama Gayatri… oooooohhhh… Tante… oooooh… memek Tante ini luar biasa enaknyaaaaa…”
Lalu tiada kata – kata lagi yang terlontar dari mulut kami. Hanya desahan nafas dan rengekan erotis Tante Sin yang terdengar, berbaur dengan dengus – dengus nafasku sendiri.
Lama hal ini terjadi. Sementara aku mulai melengkapi aksiku. Karena aku pernah membaca topik tentang kejantanan seorang lelaki. Bahwa lelaki jantan itu antara lain harus pandai memuasi pasangan seksualnya.
Itulah sebabnya aku mulai menjilati leher jenjang Tante Sin, disertai gigitan – gigitan kecil, sementara batang kemaluanku semakin gencar mengentot liang memeknya.
Sehingga Tante Sin mulai merintih – rintih histeris yang terdengar sangat erotis di telingaku.
“Donny… oooooohhhhh… ini adalah persetubuhan yang paling nikmat dalam hidup tante… oooooh… ooooo… oooooohhhhh… tante sayang kamu Doooon… sayang sekaliiii… oooooohhhhh… entot terusss Dooon… entoooot teruuuuussss… entooooottttt… entooootttt …
Aku semakin bergairah setelah mendengar erangan dan rintihan histeris Tante Sin itu. Aksiku bukan hanya mengentot liang memeknya, tapi juga mulutku “membantu” di sisi lain. Setelah puas menjilati dan mengigit – gigit leher jenjangnya, mulutku berpindah sasaran. Untuk mengemut puting payudara kirinya, sementara tangan kiriku digunakan untuk meremas – remas payudara kanannya.
Semakin merintih – rintih lagi Tante Sin dibuatnya.
“Ooooo… ooooh… Doooon… Dooon… tante sudah runtuh di kakimu, sayaaaang… tante yakin, ini adalah cintaaaaa… tante cinta kamu Doooon… aaaaaah… entot terussss… entoootttt… iyaaaaa… iyaaaaa… cintaaaaa… tante cinta Donny…”
Ketika tangan Tante Sin terjulur ke atas kepalanya, kulihat ketiak kirinya terbuka. Maka dengan sigap kujilati ketiak yang bersih dan harum parfum itu, sementara tangan kiriku memainkan puting payudara kanannya.
Tante Sin pun semakin klepek – klepek disertai erangan – erangan erotisnya, “Doooon… oooo… oooooh Dooooon… ini luar biasa enaknya Doooon… ta… tapi tante udah mau orgasme Dooon… mau lepasssssss… !”
Tante Sin berkelojotan, lalu mengejang tegang… dengan perut sedikit terangkat ke atas… aku pun menancapkan batang kemaluanku, tanpa menggerakkannya lagi. Karena ingin menikmati indahnya liang kewanitaan Tante Sin pada waktu orgasme.
Ya… aku merasakannya. Liang memek Tante Sin terasa mengejut – ngejut, lalu bergerak seperti ular sanca membelit mangsanya.
Pada saat itu tante Sin terpejam sambil menahan nafasnya.
Lalu… nafasnya dihembuskan “Aaaaaaaaaahhhhh…”
Aku yang masih mendiamkan batang kemaluanku, membiarkan Tante Sin mencium dan melumat bibirku. Disusul dengan bisikannya, “Terima kasih Sayang…”
“Sama – sama Tante,” sahutku sambil mengecup sepasang pipinya, “Nanti kalau aku mau ejakulasi, lepasin di mana?”
“Di dalam aja, biar nikmat merasakan semburan air manimu Sayang.”
“Tante ikut kabe?”
“Nggak.”
“Nanti kalau hamil gimana?”
“Biarin aja. Malah tante pengen sekali hamil, mumpung umur tante baru tigapuluhlima. Kalau sudah lewat empatpuluh sih mungkin susah hamil.”
“Nanti kalau Gayatri tau gimana?”
“Tenang aja Don. Tante tau bagaimana cara menyembunyikannya nanti. Ohya… Donny belum ngecrot kan?”
“Belum Tante.”
“Ayo lanjutin lagi. Tante udah pulih lagi nih.”
“Iya Tante,” sahutku sambil mengayun batang kemaluanku kembali.
Penismu panjang sekali Don. Sampai terasa mentok – mentok di dasar liang memek tante.”
“Terus kenapa? Sakit?” tanyaku sambil memperlambat entotanku.
Tante Sin merangkul leherku sambil berkata setengah berbisik, “Iiiih… justru enak sekali Sayaaang…” Ucapan itu disusul dengan ciumannya yang seolah lengket di bibirku.
Aku pun menggencarkan entotanku kembali. Karena liang kewanitaan Tante Sin terasa jadi agak becek, sehingga gerakan batang kemaluanku jadi lancar. Lancar sekali.
Setelah ciuman Tante Sin terlepas, terasa memeknya bergerak – gerak, mengikuti gerakan pinggulnya. Tapi gerakannya hanya membuat memek Tante Sin mendongak dan menunduk. Ini effektif sekali, membuat kelentitnya bergesekan dengan batang kemaluanku terus menerus.
Aku yang sudah mulai tahu di mana titik – titik peka di tubuh tantenya Gayatri itu, lalu melengkapi entotanku dengan jilatan lahap di lehernya yang sudfah keringatan dan memancarkan aroma keringat bercampur harumnya parfum mahal yang dipakainya. Aroma yang justru sangat merangsangku untuk menjilati lebih lahap lagi.
Sementara tanganku pun mulai meremas – remas toket kanannya yang masih lumayan kencang, meski tidak sekencang payudara Gayatri.
Tante Sin pun mulai merintih – rintih histeris lagi, “Dooon… oooo… oooooohhh… Dooon… Doooon… tante cinta dan sayang sekali sama kamu Doooon… tante belum pernah merasakan cinta yang sedahsyat ini pada lelaki lain Dooon… cintaaaa… bener – bener cintaaa… ayo entot terus Sayaaaaaang…
Mendengar rintihan Tante Sin yang makin lama makin keras dan histeris itu, aku pun semakin bersemangat untuk “menggedor – gedor” dasar liang memeknya yang terus – terusan disundul oleh puncak batang kemaluanku.
Sehingga akhirnya Tante Sin berkelojotan lagi. Lalu ia mengejang dengan perut agak terangkat ke atas… pertanda sedang mengalami orgasme.
Tapi aku tak mempedulikannya. Karena aku pun sedang nikmat – nikmatnya merasakan licin dan legitnya liang memek wanoita Indo – Belgia ini. Bahkan mulutku semakin merajalela menyedot – nyedot pentil toketnya, menjilati ketiaknya dan membuat keringatnya tertelan terus olehku, tanpa rasa jijik sedikit pun.
Aku memang sudah tahu trik untuk memperpanjang durasi entotanku. Bahwa ketika aku sedang menyetubuhi pasangan seksualku, pikiranku sengaja ditujukan ke arah sesuatu yang memusingkanku. Ke masalah bisnis yang belum selesai, misalnya. Sehingga dengan sendirinya nikmatnya pergesekan batang kemaluanku dengan dinding liang kewanitaan Tante Sin terlupakan.
Hasilnya selalu saja bagus. Bahwa setelah sekian lamanya aku mengentot liang memeknya, Tante Sin sudah tiga kali orgasme. Tapi aku masih terlalu tangguh untuk diruntuhkan olehnya.
Sementara keringatku sudah mulai membanjir juga. Bercampur aduk dengan keringat Tante Sin. Tanpa kupedulikan.
Bahkan kini giliran Tante Sin yang menjilati leherku, membuat semuanya semakin nikmat dan semakin nikmat saja rasanya.
Karena merasa sudah sangat lelah, akhirnya aku putuskan untuk menuju puncak kenikmatanku sendiri. “Aaa… aku su… sudah ma… mau ngecrot Tante…” ucapku terengah.
Tante Sin spontan menyahut, “Iya Sayang… tante juga sudah mau lepas lagi… ayo barengin Cintaaaaa…”
Lalu kami seperti sepasang manusia yang sedang kerasukan. Tante Sin menjambak rambutku seolah ingin mencabut sampai ke akar – akarnya, sementara aku meremas sepasang payudaranya sekuatnya… dan batang kemaluanku pun kutancapkan sedalam mungkin, sampai terasa mentok di dasar liang memek Tante Sin.
Pada saat itulah terjadi sesuatu yang indah… indah sekali. Bahwa ketika liang memek Tante Sin berkedut – kedut kencang, penisku pun mengejut – ngejut sambil menembak – nembakkan air maniku di dasar liang memek Tante Sin… crooooottttttt… croootttttttt… crooootttttt… crooottttt…
Lalu kami sama – sama terkapar dan akhirnya terkulai lunglai di pantai kepuasan yang indah dan sangat mengesankan.
Setelah batang kemaluanku terlepas dari liang vagina tante Sin, terdengar ia bertanya, “Kamu pakai obat kuat apa Sayang?”
Kujawab dengan senyum, “Tidak memakai obat apa pun. Manusia semuda aku belum saatnya mengenal obat – obatan Tante.”
“Kamu luar biasa Sayang. Aku sampai tak bisa menghitung lagi berapa kali merasakan orgasme tadi. Mungkin itu yang disebut multi orgasme. Terima kasih Don. Kamu sudah memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi tante,” ucapnya, disusul dengan ciuman hangatnya di bibirku.
Aku pun turun dari bed, melangkah ke arah kamar mandi. Untuk kencing dan membersihkan batang kemaluanku. Tante Sin pun mengikutiku dari belakang. Di dalam kamar mandi ia menunjuk ke lemari kaca yang berisi handuk – handuk dan beberapa helai kimono putih yang terlipat rapi. “Itu handuk baru semua. Kimononya juga baru – baru.
“Iya Tante. Terima kasih.”
Akhirnya aku jadi sekalian mandi di bawah pancaran air hangat shower. Tante Sin mandi juga bersamaku. Bahkan dengan telaten ia menyabuni tubuhku, membuatku teringat kepaada Mama almarhumah, yang dahulu rajin memandikanku sejak kecil sampai dewasa. Entah kenapa aku jadi teringat mama pada saat sedang mandi ini.
Karena aku sudah merasakan betapa besar kasih sayang Mama kepadaku, laksana kasih sayang seorang ibu kepada anak kandungnya. Dan semasa Mama masih hidup, aku tak menyangka bahwa beliau itu ibu angkatku. Bergitu juga Papa, kusangka ayah kandungku. Tapi ternyata mereka oranbg tua angkat yang demikian baiknya kepadaku.
Setelah mandi dan mengeringkan tubuh dengan handuk, kukenakan salah satu kimono yang kuambil dari lemari kaca itu.
Sekeluarnya dari kamar aku langsung menuju meja rias, untuk menyisir rambutku yang acak – acakan, bekas dijambak – jambak oleh Tante Sin tadi.
Pada saat menyisir rambut di depan cermin meja rias, pandanganku tertumbuk ke foto yang berbingkai ukiran Jepara di atas cermin rias Tante Sin. Foto Tante Sin berdampingan dengan seorang lelaki tua.
Aku tertegun. Karena lelaki di foto itu adalah… Papa almarhum…! Ya… aku yakin benar itu foto Papa, terlebih setelah memperhatikan dahinya yang ada dua buah tahi lalatnya… itu pasti Papa…!
“Itu foto Tante dengan siapa?” tanyaku sambil menunjuk ke arah foto itu dan berusaha untuk menenangkan diriku sendiri yang mendadak jadi galau tak karuan ini.
“Itu suami tante. Tapi tante hanya jadi istri mudanya. Nikahnya pun hanya nikah siri.”
“Siapa namanya Tante?”
“Namanya Margono. Dia seorang konglomerat yang sukses di Thailand. Meski tante hanya dinikahi secara siri, dia sangat baik pada tante.”
Aku terdiam setelah mendengar nama Papa disebut oleh Tante Sin. Jadi rupanya Papa punya istri muda di Indonesia. Pantasan Papa sering menghilang dari Bangkok, dengan alasan sedang mengurus perusahaannya yang di Singapura. Mungkin pada saat itu Papa sedang asyhik – asyikan dengan Tante Sin di Indonesia.
Pantaslah Tante Sin kelihatan tajir, punya rumah semegah ini, punya sedan sport segala. Bahkan mungkin banyak harta Papa yang dialirkan ke tangan wanita Indo – Belgia ini.
Tapi aku berusaha menenangkan dkiri. Dan berusaha menilai semuanya itu dengan sebijak mungkin, sambil berusaha untuk tetap positive thinking.
Mungkin Papa ingin punya anak yang tidak didapatkannya dari Mama. Namun ternyata dari Tante Sin pun tidak didapatkannya.
“Ayah Gayatri bisa berada di Bangkok pun berkat kebaikan almarhum suamiku itu Don. Ayah Gayatri diberikan modal untuk usaha di Bangkok. Dan sekarang keadaannya jadi lumayan baik lah,” kata Tante Sin lagi.
Aku jadi teringat Gandhi. Dia tak pernah bercerita tentang masalah itu. Mungkin semua itu dirahasiakan oleh ayah Gandhi yang sekaligus ayah Gayatri, karena ibu Gayatri adalah kakak istri muda Papa yang dirahasiakan (mekanya Papa hanya berani nikah siri dengan Tante Sin).
Aku memang bersahabat dengan Gandhi sejak kecil. Tapi Gandhi tak pernah tahu nama Papa. Aku puntak tahu nama ayah Gandhi.
Hmmm… aku jadi merasa bersalah kepada Papa, karena telah mengambil kehormatan mantan istri mudanya ini. Tapi kenapa aku harus merasa bersalah? Bukankah kistri resmi Papa yang biasa kupanggil Mama pun sudah sering kugauli?
Aku berusaha untuk tutup mulut dahulu. Belum mau mengungkap bahwa aku ini anak Pak Margono yang ada di foto itu. Tapi aku setengah memaksa Tante Sin “jalan – jalan” untuk mencari udara segar di luar, meski hari sudah malam (sedangkan malam lebih banyak co2-nya daripada oksigennya). Tapi sebenarnya aku ingin mengajak Tante Sin ke rumah peninggalan almarhum Papa itu.
“Lho kok berhenti di rumah ini?” tanya Tante Sin setelah mobilku dihentikan di depan rumah peninggalan Papa itu. Seorang satpam pun muncul dan segera membuka pintu menuju garasi, sekaligus membuka pintu garasinya. Aku pun langsung memasukkan mobilku ke dalam garasi.
“Don… apa gak salah nih? Rumah ini dahulu tempat tinggal almarhum suami tante…”
“Justru aku sengaja mengajak Tante ke sini, supaya semuanya menjadi jelas,” sahutku sambil menuntun Tante Sin ke ruang keluarga. Lalu kutunjuk lukisan besar Papa dan Mama itu sambil berkata, “Mereka adalah Papa dan Mamaku, Tante.”
“Haaa?! “Tante Sin terkejut dan menatapku dengan sorot seperti tidak percaya pada pengakuanku, “Tapi menurut pengakuannya, Pak Margono itu tidak punya anak dari istri pertamanya. Lalu almarhum berusaha mendapatkannya dari tante. Tapi gagal juga. Bagaimana mungkin Donny bisa mengaku sebagai anaknya?
“Aku anak angkatnya Tante. Tapi aku juga baru tahu bahwa aku ini anak angkatnya, justru setelah Papa meninggal. Tapi aku tetap merasakan mereka seperti ayah dan ibu kandungku. Karena telah merawatku sejak bayi sampai dewasa dengamn penuh kasih sayang. Bahkan almarhum Papa meninggalkan surat wasiat di notarisnya, yang menyatakan bahwa aku adalah yang berhak memiliki seluruh harta peninggalannya.
“Iya…” kata Tante Sin sambil memelukku dari belakang, “tante juga akan menganggapmu sebagai reinkarnasi Pak Margono, Sayang.”
Kemudian kuajak Tante Sin ke ruang tamu, di mana ada sebuah foto besar yang digantungkan di dinding ruang tamu. Foto Papa yang sendirian.
Lalu aku menatap foto itu sambil berkata seolah – oleh sedang berhadapan dengan Papa, “Papa… aku merasa seperti dibimbing oleh roh Papa untuk berjumpa dengan Tante Sin ini, untuk menyayangi dan melindunginya. Baik… aku akan melindungi dan menyayangi istri mudamu ini, Papa. Semoga arwah Papa tenang di alam kekal.
Dan… diam – diam air mataku mengalir ke pipiku. Tante Sin juga tahu, lalu mengambil kertas tissue dari tas kecilnya untuk menyeka airmataku.
Sambil mendekap pinggangku, Tante Sin berkata lembut, “Mungkin benar. Arwah papamu ingin agar tante dilindungi dan disayangi oleh anak tercintanya.”
Aku cuma tersenyum getir. Karena teringat lagi segala kebaikan Papa dan Mama, yang memperlakukanku sebagai anak kandung mereka. Bahkan aku diperlakukan sebagai ahli waris tunggal, sebagai penerus kerajaan bisnisnya di Thailand dan di Singapura. Bahkan terakhir aku mendapatkan berita lagi dari Mr. Liauw, bahwa bisnis almarhum Papa masih banyak yang baru ketahuan olehnya, antara lain di Hongkong dan di Nederland.
Tadinya aku ingin mengajak Tante Sin tidur di rumah peninggalan Papa itu. Tapi Tante Sin tidak mau. Karena suasana di rumah itu malah membuatnya sedih, katanya. Maka akhirnya kami pulang ke rumah Tante Sin lagi.
Setibanya di rumah Tante Sin, foto Papa dan Tante Sin di atas cermin meja rias itu pun diturunkan. Lalu Tante Sin menyimpannya di laci lemari pakaian sambil berkata, “Tante menganggap kamu sebagai reinkarnasi almarhum suami tante. Karena itu tante akan mulai move on sejak malam ini. Dan akan menganggapmu sebagai pengganti Pak Margono.
Kemudian kami tertidur sambil berpelukan.
Setelah mengetahui bahwa aku ini anak angkat Papa dan Mama, gairah Tante Sin tidak memudar. Bahkan semakin menggebu – gebu, karena yakin bahwa aku diarahkan oleh arwah Papa untuk melindungi dan menyayanginya.
Maka hari – hari berada di rumah Tante Sin, adalah hari – hari yang selalu dihangatkan oleh gairah seksual kami berdua. Tiada hari tanpa hubungan seks, sampai saatnya Gayatri pulang.
Gayatri tidak pulang sendirian. Ia bersama lelaki yang sebaya dengan Papa almarhum dan wanita yang kutaksir berusia empatpuluh tahunan. Mereka adalah Pak Gunadi dan istrinya, ayah dan ibu kandung Gayatri…!
Berita dari Gayatri cukup menyenangkan. Karena ternyata budenya yang sakit keras itu sudah sembuh kembali. Kedua orang tua Gayatri pun datang ke Semarang, untuk ikut mengurus perawatan bude Gayatri, sampai akhirnya sembuh kembali.
Kemudian kedua orang tua Gayatri itu fokus padaku.
“Nak Donny ini teman karib Gandhi kan?” tanya Pak Gunadi.
“Iya Oom,” sahutku sopan.
Tiba – tiba Tante Sin nyeletuk, “Donny ini anak tunggal almarhum Pak Margono, Mas.”
“Haaa?! “Pak Gunadi tampak kaget, “Tapi setahu kami, almarhum Pak Margono tidak punya anak.”
Tante Sin yang menjawab, “Dia anak angkat yang diadopsi sejak masih bayi. Dan setelah Pak margono meninggal, notarisnya menyerahkan surat wasiat, bahwa Donny ini satu – satunya pihak yang berhak untuk memiliki selurfuh harta Pak Margono.”
Sikap ayah Gayatri langsung berubah jadi mencair. Bahkan seperti berhadapan dengan atasannya, “Gandhi tidak pernah cerita kalau Nak Donny ini anak Pak Margono.”
“Almarhum Papa kan sibuk terus Oom. Makanya Gandhi tidak pernah bertemu dengan Papa. Saya pun baru sekali ini berjumpa dengan Oom.”
“Berarti Nak Donny ini sekarang jadi boss saya ya.”
“Jangan ngomong gitu Oom. Perusahaan – perusahaan di Thailand sudah dijualin. Hanya perusahaan properti yang masih tetap dipertahankan.”
“Justru perusahaan saya bergerak di bidang properti, Nak Donny. Jadi mulai saat ini saya harus manggil Big Boss dong sama Nak Donny.”
“Wah… jangan bikin saya nggak enak ah. Saya kan pacar Gayatri. Masa Oom manggil boss sama pacar anak Oom.”
“Iya, soal itu sih saya sudah dengar dari Gayatri. Kalau saya sih terserah Gayatri sendiri yang akan menjalaninya. Orang tua kan tinggal merestui saja apa pun yang akan dilakukan oleh anaknya.”
“Terimakasih Oom.”
Setelah ngobrol banyak dengan Pak Gunadi dan istrinya, Gayatri mengajakku ke atas, ke dalam kamarnya.
Ini untuk pertama kalinya aku masuk ke dalam kamar Gayatri. Begitu berada di dalam kamarnya, Gayatri memeluk dan menciumiku disusul dengan ucapan, “Berapa hari aku gak ketemu sama Abang, kangennya setengah mati.”
“Sama… aku juga. Tapi gak enak ada orang tuamu di bawah, kalau mau kangen – kangenan mending ke rumahku aja sekalian yuk,” sahutku.
“Ke rumah ibu Bang Donny?”
“Bukan, ke rumahku sendiri. Biar tenang kita berduaan aja. Kamu masih capek gak?”
“Nggak lah Bang. Naik pesawat kan cuma sejam tadi.”
Beberapa saat kemudian Gayatri sudah berada di dalam mobilku, menuju ke rumah peninggalan Papa itu.
“Bang… kalau Papa angkat Abang itu almarhum suami Tante Sin, berarti Abang ini anak tiri Tante Sin ya?”
“Iya. Dunia ini jadi terasa kecil bagiku. Ternyata kamu juga anak Pak Gunadi, yang dibawa ke Bangkok oleh almarhum Papa. Tapi aku baru ketemu papamu tadi.”
“Selama aku di Semarang, Abang tidur di kamar Tante Sin?”
Aku terhenyak. Pertanyaan yang Gayatri lontarkan itu tentu ada dasarnya. Sehingga aku tidak berani menjawabnya.
“Kalau Abang tidur di kamar Tante Sin, aku malah senang Bang. Apalagi kalau terjadi sesuatu dengan Tante Sin yang sudah lama tidak mendapatkan sentuhan lelaki, aku lebih senang lagi. Karena Tante Sin itu sangat menyayangiku sejak kecil sampai umurku delapanbelas tahun begini. Aku ingin membalas kebaikannya dengan apa pun caranya.
“Aku gak ngerti ke mana tujuan kata – katamu itu Tri,” sahutku pura – pura dungu.
“Aku sengaja meminta Abang tinggal di rumah Tante Sin selama aku di Semarang, memang ada maksudnya Bang. Supaya Tante Sin ditemani oleh cowok setampan Abang. Bahkan kalau terjadi sesuatu yang jauh, justru itu yang kuharapkan.”
“Terjadi sesuatu itu apa?” tanyaku masih berpura – pura bodoh.
“Abang menyetubuhi Tante Sin. Itu yang kuharapkan.”
“Kamu ini cewek cuckold atau gimana sih? Memangnya kamu gak cemburu kalau aku sampai menyetubuhi tantemu?”
“Kalau sama cewek lain, aku pasti cemburu. Tapi kalau dengan Tante Sin, aku benar – benar ikhlas Bang. Bahkan aku merasa bahagia sekali kalau bisa membahagiakan Tante Sin dengan cara apa pun. Karena aku terlalu banyak berhutang budi padanya Bang.”
Pembicaraan itu terputus, karena aku sudah tiba di rumah peninggalan almarhum Papa itu.
Seperti biasa, dua orang satpam membuka pintu menuju ke teras depan dan pintu menuju ke arah garasi.
Aku langsung memasukkan mobilku ke dalam garasi.
“Wow… tadinya kuanggap rumah Tante Sin paling megah. Tapi ternyata rumah Abang ini jauh lebih megah lagi,” ucap Gayatri setelah turun dari mobilku.
“Ini salah satu rumah peninggalan Papa angkatku,” sahutku sambil menggandeng pinggang Gayatri menuju ruang keluarga.
“Kapan – kapan aku ingin ketemu juga sama ibu kandung Bang Donny.”
“Iya. Nanti kuajak kamu ke rumah Bunda. Tapi dia sibuk ngurus café bersama saudara kembarku.”
“Haaa?! Bang Donny punya saudara kembar?” tanya Gayatri yang memang belum pernah dikasih tahu bahwa aku punya saudara kembar.
“Iya. Saudara kembarku cewek, namanya Donna.”
“Hihihi… lucu… namanya deket banget. Donny dan Donna. Tapi anak kembar memang suka begitu ya. Namanya suka berdekatan juga,” kata Gayatri sambil duduk di sofa ruang keluarga. Sambil memandang ke arah lukisan besar itu. Lukisan Papa dan Mama itu.
“Itu foto Papa dan Mama angkatg Abang ya?”
“Iya. Sama dengan foto yang ada di kamar Tante Sin kan?” ucapku keceplosan. Mengatakan foto di dalam kamar Tante Sin, sama saja dengan mengakui bahwa aku pernah berada di dalam kamar wanita Indo – Belgia itu.
“Jadi Abang sudah tau seluk beluk kamar Tante Sin kan?”
“Iya… kamu gak marah kan?”
“Nggak. Asalkan Abang bicara sejujur mungkin, sedikit pun aku takkan marah. Tapi kalau Abang membohongiku, pasti aku akan marah.”
Aku terdiam dan tak tahu lagi apa yang harus kukatakan.
“Abang sudah menggauli Tante Sin kan?” tanya Gayatri sambil memegang tanganku. Mengingatkanku waktu dia meremas – remas tanganku di gedung bioskop itu..
“Kalau kamu berjanji takkan marah, aku akan membuka semuanya.”
“Iya, iyaaaa… aku janji takkan marah, asal Abang bicara sejujur mungkin.”
Meski ragu, kubuka juga rahasia itu, “Mmmm… Tante Sin memang mendesak… ingin kugauli. Sehingga aku merasa kasihan juga padanya. Jadi… akhirnya kugauli juga tantemu itu Sayang.”
Di luar dugaanku, Gayatri bahkan mencium pipiku disusul dengan ucapan, “TGerima kasih Bang. Memang itu yang kuinginkan, makanya aku meminta Abang temani Tante Sin sampai aku pulang dari Semarang.”
“Jadi kamu gak marah?”
“Tidak. Aku malah seneng mendengarnya.”
“Aaah… bohong. Pasti kamu marah, tapi disimpan saja kemarahannya di dalam hati.”
“Nggak Bang. Aku nggak marah. Makanya aku minta Abang menemani Tante Sin selama aku di Semarang, karena aku menginginkan hal itu. Tapi aku tidak berani mengatakannya kepada Abang di WA saat itu.”
“Tapi aku gak yakin kalau kamu gak marah,” kataku, “Mungkin kamu sengaja menjebakku di rjumah Tante Sin. Menjebak untuk menguji kesetiaanku padamu.”
“Gak Bang. Aku sama sekali tidak berniat menjebak Abang segala. Kalau Abang masih tidak percaya, ambillah keperawananku sekarang juga. Supaya Abang yakin bahwa aku memang mengharapkan Tante Sin digauli Bang.”
“Memangnya kamu sudah kepengen ngerasain enaknya disetubuhi?” tanyaku sambil melingkarkan lengan kiriku di pinggang Gayatri yang duduk di sebelah kiriku.
Gayatri menatapku. Lalu mengangguk sambil tersenyum malu – malu. Dan berkata perlahan, “Aku sih sekalian ingin membuktikan aja pada Abang. Bahwa aku serius pada Abang, tapi tidak main – main dalam masalah Tante Sin itu.”
“Terus, kalau kamu hamil nanti gimana?”
“Kalau bisa sih jangan hamil dulu Bang. Tapi kalau memang harus hamil, ya hamil aja. Asalkan Abang cepat – cepat menikahiku.”
“Kita masih terlalu muda untuk menikah Sayang. Bisa deh gak hamil. Aku menyimpan pil anti hamil. Ayo ke kamarku,” ajakku sambil berdiri dan menarik pergelangan tangan Gayatri, yang saat itu mengenakan celana beludru biru tua dengan blouse putih. Sengaja aku mengajaknya ke kamar, karena pakaian Gayatri itu, pasti menyulitkan kalau tidak dilepaskan dulu.
Sebenarnya aku agak kurang tega mengambil keperawanan Gayatri. Karena meski bentuk fisik dan tampang Gayatri kebule – bulean, namun sikap dan perilakunya begitu anggun dan penyabar. Namun karena dia sendiri ingin menyerahkan keperawanannya, aku jadi laksana seekor kucing. Kalau sudah diiming – imingi seekor ikan, pastilah kutangkap.
“Biar jangan ribet, mending lepasin dulu celana panjang dan blousenya,” kataku setelah berada di dalam kamar utama rumah megah ini.
Aku memang ingin menciptakan kesan, bahwa kuambil keperawanan Gayatri atas kehendaknya sendiri. Karena itu biarlah dia menelanjangi dirinya sendiri.
Namun dengan tenang Gayatri melepaskan celana beludru biru tua dan blouse putihnya, kemudian djuduk di solfa kamar utama ini.
Aku pun menanggalkan busanaku sehelai demi sehelai, tinggal celana dalam yang kubiarkan melekat di tubuhku.
Lalu duduk di samping Gayatri yang tinggal mengenakan beha dan celana dalam itu.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” bisikku sambil melepaskan kancing kait beha yang terletak di punggungnya.
“Hihihihi… degdegan Bang…” sahutnya sambil melepaskan beha yang kancingnya sudah kulepaskan. Kecil toket Gayatri itu. Jangan
Dsibandingkan dnegan toket Tante Sin yang gede gitu.
Tapi aku senang – senang saja. Karena Gayatri lebih cantik daripada Tante Sin. Itulah sebabnya kalau aku membanding – bandingkan Gayatri dengan Tante Sin, soal kecantikan wajah dan putihnya kulit, Gayatri menang. Tapi kalau soal body, Tante Sin menang.
Tapi tak usahlah mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan mereka. Bukankah baik Tante Sin mau pun Gayatri akan tetap menjadi milikku?
Ketika aku memegang toketnya, Gayatri berkata tersipu, “Kecil ya Bang toketku. Gak kayak toket Tante Sin.”
“Biarin aja. Aku jatuh cinta padamu bukan karena memandang toket,” sahutku, “Lagian toket kecil begini ada keuntungannya.”
“Apa keuntungannya?” tanya Gayatri.
“Biasanya toket kecil begini, sampai tua pun tetap awet. Tidak terjuntai ke bawah. Lagian toket kecil begini enak megangnya. Bisa tergenggam dengan satu tgangan begini,” sahutku sambil menggenggam toket kirinya, sementara tangan kananku mulai menyelinap ke balik celana dalamnya.
Inilah pertama kalinya aku menyentuh kemaluan Gayatri. Yang membuat wajah cantiknya mulai kemerahan. “Harus dilepasin ya Bang celana dalamnya?” tanyanya terdengar lugu.
“Iya… itu lebih baik,” jawabku dengan senang hati. Karena sudah ingin melihat seperti apa bentuk kemaluan pacar tercintaku itu.
Tanpa memandang ke arahku, Gayatri melepaskan celana dalamnya. Sehingga aku dibuat ternganga setelah menyaksikan indahnya bentuk kemaluan kekasihku itu. Kemaluan yang tembem dan bersih dari rambut. Mulut vaginanya terkatup rapat, sehingga yang tampak seperti garis lurus dari atas ke bawah.
Dan aku ingin menikmatinya seleluasa mungkin. Karena itu kuangkat dan kubopong tubuh Gayatri, lalu kuletakkan di atas bed dengan hati – hati.
“Kemaluanmu indah sekali Sayang,” ucapku sambil menelungkup di antara kedua paha putih mulus Gayatri, sambil mengusap – usap permukaan memek tembem yang tampak rapat dan belum kelihatan bagian dalamnya itu.
Ketika wajahku berada di atas kemaluan Gayatri sambil mengangakan mulut vaginanya, ia hanya mengelus – elus rambutku yang berada di bawah perutnya. Sementara aku sedang tepukau menyaksikan bagian dalam vaginanya yang berwarna pink itu.
Tentu saja aku langsung menjilati bagian dalam vagina gayatri yang berwarna pink itu.
Gayatri seperti kaget pada awalnya. Tapi lalu menyadari apa yang sedang kulakukan. Lalu ia cuma terdiam sambil meremas – remas kain seprai.
Ketika aku mulai gencar menjilati kemaluannya, Gayatri mulai berdesah – desah sambil mengusap – usap rambutku. Terlebih setelah aku menemukan kelentitnya dan lalu menjilatinya disertai dengan isapan – isapan kuat, Gayatri pun mulai menggeliat – geliat sambil merintih – rintih erotis. “Baaaang… aaaaaaaah…
Baaaang… aaaaah… be… begini rasanya ya… rasanya memek dijilati… Baaaang… aaaaaaah… baaaang… aku memang sudah menjadi milikmu Baaang… lakukanlah apa yang Abang mau… karena Abang sudah memilikiku seutuhnya Baaaang… aaaaaa… aaaaaah… Baaaang… aku sangat mencintaimu Baaaang…
Bahkan ketika aku semakin intensif menjilati dan menyedot – nyedot kelentitnya, Gayatri mulai merengak manja, “Adudududuuuuuhhhh… Baaaang… rasanya memekku mau ambrolllll…”
Kuhentikan jilatanku sejenak, “Itu pertanda mau orgasme Sayang. Lepasin saja semuanya, supaya liang memekmu mengembang dan lancar waktu penetrasi nanti,” kataku. Lalu kulanjutkan menjilati kelentit Gayatri lagi.
“Iiii… iya Baaang… ooooo… ooooh… Abaaaaaaaang… “pekik Gayatri sambil mengelojot, lalu mengejang tegang… tegang sekali…!
Tampak Gayatri menahan nafas. Dan mulut vaginanya terasa berkedut – kedut. Aku pun menghentikan jilatanku. Dan cepat melepaskan celana dalamku, karena akan mulai melakukan penetrasi.
Kemudian aku mulai “berjuang” untuk membenamkan batang kemaluanku ke dalam liang vagina Gayatri. Memang tidak mudah. Padahal Gayatri sudah merentangkan kedua belah pahanya selebar mungkin. Dan membantuku juga memasukkan penisku ke dalam liang vaginanya, dengan memegangi batang kemaluanku berkali – kali.
Setelah hampir setengah jam aku berusaha memasukkan penisku ke dalam liang memek Gayatri yang sangat – sangat sempit itu, akhirnya aku berhasil juga membenamkannya sedikit demi sedikit, sampai masuk hampir setengahnya.
Aku pun menghempaskan dadaku ke atas dada Gayatri, yang disambut dengan rangkulannya di leherku. “Udah masuk ya Bang…” ucapnya setengah berbisik.
“Iya,” sahutku, “Sakit?”
“Sedikit. Gak apa – apa…”
Lalu aku mulai mengayun batang kemaluanku perlahan – lahan. Dengan hati – hati, karena takut lepas lagi.
“Aaaa… aaaaah… Bang… aaah… “rintih Gayatri perlahan.
“Makin sakit?” tanyaku sambil menghentikan entotan pelanku sejenak.
“Nggak. Justru… eeee… enak sekali Bang…”
“Kalau sakit sedikit tahan ya…”
“Iya Bang… lanjutin aja. Enak kok… pantesan Tante Sin minta diginiin sama Abang… ““Udah… jangan bahas Tante Sin dong Sayang,” ucapku yang disusul dengan kecupan mesraku di bibir hangatnya.
Kemudian aku mulai memaju – mundurkan penisku kembali. Terasa sekali sempitnya liang kemaluan Gayatri ini. Tapi justru nikmat sekali rasanya. Terlebih lagi setelah aku bisa mendorong penisku sampai menyentuh liang memeknya… lalu sedikit demi sedikit liang kewanitaan Gayatri mulai beradaptasi dengan ukuran batang kemaluanku…
Gayatri pun mulai merintih – rintih perlahan, “Bang… enak Bang… ooohhh… Bang… aku sudah benar – benar jadi milikmu Bang… ooooh… Baaaang… aku semakin cinta padamu Baaang… cintaaaaa… cinta sekaliiii… oooooh… makin lama makin enak Baaaang… makin enak… makin enaaaak …
“Inilah yang namanya surga dunia, Sayang…”
“Iya Bang… enak sekali Baaaang… mainkan terus penis Abang… oooooh… enaaaak Baaang… enaaaaak… “rintih Gayatri semakin menjadi – jadi, sambil mendekap pinggangku erat – erat. Terkadang disusul dengan ciuman mesranya di bibirku, lalu menatap wajahku dari jarak yang sangat dekat, lalu merapatkan pipinya ke pipiku, disusul dengan bisikan, “Sekujur tubuhku sudah menjadi milik Abang sekarang…
Kata orang – orang, menyetubuhi cewek yang kita cintai akan jauh lebih nikmat daripada menyetubuhi cewek yang cuma dijadikan penyhaluran nafsu birahi. Kini aku telah membuktikannya. Bahwa setiap sentuhanku di salah satu bagian tubuh Gayatri, seolah menggetarkan batinku… yang membuatku serasa melayang – layang di langit tinggi…
Ketika entotanku mulai gencar, aku pun melengkapinya dengan jilatan dan gigitan – gigitan kecilku di leher jenjang Gayatri yang mulai keringatan. Hal itu membuat Gayatri merem – melek. Terkadang ia menahan nafasnya sambil menggeliat, terkadang juga merintih – rintih histeris yang terdengar sangat erotis di telingaku.
“Baaang… kontol Abang ini enak sekali Baaaang… entot terus Baaaaang… entot teruuusss… entoootttt… entoooootttt… Abaaaaaang… aku cinta padamu Baaaang… aku cinta Abaaaang… cinta sekali Baaaaang… aku ingin cinta pertama ini sekaligus cinta yang terakhir juga Baaaang …
Gayatri memang sudah berkali – kali mengungkapkan hal itu. Bahwa cintanya padaku adalah cinta pertamanya. Dan ia ingin agar cinta pertamanya sekaligus menjadi cinta terakhirnya. Mungkin hal itu pula yang membuatku bertekad untuk membahagiakannya dengan caraku sendiri.
Sebenarnya aku bisa memperlambat durasi persetubuhanku dengan Gayatri. Tapi aku tak mau menyiksanya, karena dia baru sekali ini merasakan disetubuhi. Karena itu aku mulai mengamatinya, kapan dia mau orgasme. Dan pada saat itu pula aku akan mencapai puncak kenikmatanku bersama – sama orgasmenya Gayatri.
Tapi kelihatannya Gayatri masih sangat menikmati entotanku. Terlebih ketika aku mengemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas – remas toket kanannya yang tergenggam penuh oleh telapak tangan kiriku ini. Semakin menggila juga lah rintihan – rintihan histeris cewek yang punya campuran darah Belgia itu.
Namun beberapa saat kemudian Gayatri mulai berkelojotan… lalu sekujur tubuhnya mengejang tegang… nafasnya pun tertahan…!
Pada saat itulah aku mempercepat gerakan penisku, sampai akhirnya kutancapkan dengan moncong penis menyundul dasar liang memek Gayatri.
Lalu kurasakan sesuatu yang sangat indah dan nikmat itu. Bahwa liang memek Gayatri terasa berkedut – kedut kencang, tepat pada saat penisku pun sedang mengejut – ngejut sambil memuntahkan lahar lendirnya… crooooottttt… crotcrotttt… crooooootttt… croooooootttttt… crottt… crooootttt …
Kami sama – sama menggelepar, lalu sama – sama terkulai lunglai.
Ketika batang kemaluanku dicabut dari liang memek Gayatri, darah perawan yang tergenang di bawah kemaluan Gayatri menjadi saksi. Bahwa ia masih suci sebelum kusetubuhi tadi. Aku menaruh rasa hormat dan terharu dibuatnya. Bahwa di zaman now, di mana anak – anak cewek yang masih duduk di bangku SMP pun sudah banyak yang kehilangan kegadisannya, sementara Gayatri yang punya campuran darah Belgia juga itu justru masih perawan.
Namun aku segera ingat sesuatu. Aku melangkah ke lemari kecil yang tergantung di dinding, lemari obat – obatan. Kukeluarkan dua strip pil kontrasepsi dan kuserahkan pada Gayatri. “Ini obat anti hamil. Baca saja aturan pakainya,” kataku.
“Iya Bang. Terima kasih. Memang sebaiknya aku jangan hamil djulu sebelum kita resmi jadi suami istri ya Bang,” sahut Gayatri.
“Iya, sebaiknya begitu,” ucapku yang disusul dengan ciuman mesraku di bibir Gayatri.
“Bang… kain seprainya harus diganti nih… ada darahnya… !”
“Di lemari itu ada tumpukan kain seprai. Silakan aja pilih mau pakai yang mana sebagai gantinya,” kataku sambil menunjuk ke lemari jati berukir di dekat washtafel.
Lalu kami masuk ke kamar mandi untuk bersih – bersih.
Dan ternyata beberapa saat kemudian kami bergairah kembali untuk melakukan hubungan seksual ronde kedua, yang kami lakukan dalam bermacam – macam posisi. Agar Gayatri mulai faham tentang posisi – posisi seks.
Dua hari kemudian… jam delapan pagi aku sudah berada di kantorku. Kantor peninggalan Papa, yang pernah dijadikan kantor pusat perusahaannya dahulu, tapi kemudian Papa dan Mama hengkang ke Bangkok dan justru sukses besar di sana.
Sebelum kupakai, bangunan ini kurang terawat. Tapi setelah aku tempati untuk perusahaanku sendiri, bangunan ini kurenovasi sekujurnya sampai kelihatan seolah bangunan baru.
Bahkan di belakang kantorku masih ada lahan yang cukup luas. Di tanah kosong itulah kubangun gedung yang cuma 3 lantai. Di situ pulalah ruang kerjaku, di lantai pertama. Kalau dibandingkan dengan bangunan kantor lama, bangunan baru ini cuma bangunan kecil. Mungkin lebih mirip bangunan rumah biasa. Tapi bangunan ini dijaga ketat oleh bagian security, karena aku sebagai orang nomor satu di perusahaan.
Lantai kedua lebih tepat disebut sebagai rumah tinggalku juga. Karena di lantai dua ada dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu ruang keluarga dan satu ruang makan bersatu dengan kitchen.
Lantai tiga hanya merupakan satu ruangan luas, yang kujadikan sebagai meeting room. Untuk mencapai meeting room itu ada tangga dari luar, supaya peserta meeting tidak usah melewati ruang kerja dan rfuang pribadiku di lantai dua.
Di lantai tiga itulah aku akan membiasakan diri untuk melaksanakan briefing kepada para manager dan stafnya. Tapi sejauh ini aku belum pernah mengadakan briefing. Karena manager – managernya pun belum lengkap. Bahkan direktur utamanya pun belum ada. Karena sebagai owner aku tidak boleh menjadi dirut.
Pernah aku berpikir untuk merekrut Donna sebagai dirut perusahaanku. Tapi Donna sudah kelihatan enjoy mengurus café bersama Bunda. Lagian Donna terlalu muda untuk kujadikan dirut. Aku harus mencari sosok yang berusia 37 tahun ke atas untuk kujadikan dirut. Tentu saja harus sudah S2, minimal (padahal aku sendiri S1 saja belum).
Ketika aku sedang menerawang di ruang kerjaku, tiba – tiba interphone berdering, lalu terdengar suara petugas security, “Maaf Big Boss… ada tamu wanita, katanya dari Bangkok.”
“Antarkan aja ke ruang kerjaku,” sahutku dengan perasaan kaget dan bingung. Wanita dari Bangkok? Siapa? Apakah Teh Sheila? Mungkinkah dia datang tanpa memberitahu dulu padaku?
Tak lama kemudian petugas security mengantarkan seorang wanita tinggi montok, mengenakan gaun span berwarna biru ultramarine.
Maaaak… itu ibunya Gayatri yang katanya sih bernama Agatha…!
“Heheheee… Tante… kirain siapa. Dari mana Tante tau alamat kantorku ini?”
“Dari Gayatri,” sahut wanita empatpuluh tahunan yang masih tampak cantik itu.
Lalu aku mencium tangannya, disusul dengan cipika – cipiki sengan calon ibu mertuaku itu. “Sama Oom?” tanyaku.
“Nggak. Dia sudah pulang ke Bangkok tadi subuh.”
“Ohya? Kok buru – buru amat? Terus Tante sendirian aja ke sini?”
“Iya. Gayatri kan lagi kuliah. Sin lagi belanja pula. Makanya ke sini aja sendiri pake taksi.”
“Silakan duduk Tante,” kataku sambil melangkah duluan ke ruang tamu.
“Tante ada yang mau diomongin sama Donny. Tapi sifatnya sangat rahasia. Apakah bisa ngobrolnya di tempat yang tidak sibuk dengan urusan kantor?” tanya Tante Agatha sambil melirik ke arah sekretarisku yang sedang mengetik di keyboard komputer.
“Mmm… di lantai dua bisa Tante. Di situ suasananya sama aja dengan di rumah. Ayo kita ke sana.”
“Gak akan ada orang lain yang masuk ke sana?” tanyanya.
“Owh… gak akan ada yang berani Tante. Di lantai dua kan seolah rumah juga bagiku. Mari kita ke sana,” kataku sambil menunjuk ke tangga yang menuju lantai dua, “Tapi maaf nih… di sini tidak seperti di kantor yang di depan yang sudah ada lift. Di sini sih harus pakai langkah kaki Tante.”
“Nggak apa – apa. Punya kaki kan harus dipakai melangkah. Jangan terlalu dimanjakan,” sahutnya sambil melangkah duluan di depanku, menaiki tangga menuju ke lantai dua, lantai yang ditata seperti berada di dalam rumah.
Begitu masuk ke lantai dua, ibunya Agatha berseru sambil memegangi sepasang pipinya, “Wooow…! Ini sih lebih megah dan nyaman dari suiteroom di hotel – hotel five star. Kacanya pakai sunblast pula ya?”
“Iya Tante. Dari luar hanya bisa melihat gambar yang menempel di kaca itu. Tapi tidak bisa melihat ke dalam. Sedangkan kita bisa melihat ke luar dengan jelas,” sahutku.
“Nah,” kataku lagi, Mau di mana ngobrolnya? Di sini aman dan nyaman Tante. Tidak mungkin ada orang bisa masuk ke sini, karena pintu keluar sudah tgerkunci secara automatis. APa harus di dalam kamar curhatnya?”
“Haa?! Iya… mendingan juga di dalam kamar Don. Biar tante merasa tenang membiacarakan masalahnya,” sahut Tante Agatha yang tadinya mau duduk di ruang keluarga, tapi tidak jadi. Dan menghampiriku yang sedang membuka pintu kamar utama.
“Wah… wah wah… kamarnya luas begini, perabotannya serba mewah pula. Kalau tau gitu, kemaren nginap di sini aja,” kata Tante Agatha setelah berada di dalam kamar utama.
Di kamar utama itu juga ada satu set sofa putih bersih. Dan di sofa itulah kupersilakan calon mertuaku duduk. Kalau sudah jadi menantunya, pasti aku akan memanggilnya Mama seperti panggilan Gayatri kepada ibunya ini. Tapi aku tetap memanggilnya Tante karena belum resmi menjadi menantunya. Bahkan melamar secara resmi pun belum dilaksanakan.
Aku duluan duduk di sofa, Tante Agatha pun duduk di sampingku.
“Apa masalahnya Tante? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanyaku.
“Begini,” kata Tante Agatha sambil menunduk, “Sebenarnya ayah Gayatri itu sedang menemui kesulitan dalam masalah keuangan. Sehingga kalau tidak ada yang menolong, perusahaannya bakal bangkrut.”
Kemudian secara panjang lebar Tante Agatha menceritakan kesulitan – kesulitan yang tengah dihadapi oleh suaminya. Kesimpulannya, ayah Gayatri ditipu di Bangkok, sehingga harus menanggung kerugian moral mau pun material.
Aku ikut prihatin mendengar penuturan mamanya Gayatri itu.
Penuturan Tante Agatha berakhir dengan permintaan bantuannya padaku. Mau pinjam uang, untuk mengatasi kebangkrutan perusahaan suaminya.
Setelah berpikir beberapa saat, aku bertanya, “Berapa uang yang dibutuhkan untuk menolong Oom Gunadi agar perusahaannya sehat kembali?”
Tante Agatha menyebutkan jumlah uang yang dibutuhkannya dengan sikap malu – malu.
Mungkin jumlah uang yang dibutuhkan itu cukup bvesar bagi Tante Agatha dan suaminya. Tapi menurutku tidak seberapa.
Aku lalu bangkit dari sofa menuju meja tulis di sudut kamarku. Lalu kukeluarkan buku cek dan kutulisi empat helai cek yang kalau dijumlahkan nominalnya lebih besar daripada nominal yang disebutkan oleh Tante Agatha barusan.
Tante Agatha pun berdiri, tapi tidak menjauhi sofa yang tadi didudukinya, dengan sikap tampak tegang.
Lalu kuserahkan keempat helai cek itu kepada Tante Agatha sambil berkata, “Ini empat helai cek yang bisa Tante cairkan di Bangkok nanti. Sengaja tanggalnya belum ditulis, silakan tulis oleh Tante saja di Bangkok nanti. Sesuai dengan kebutuhan yang paling mendesak.”
Aku pun menyerahkan sebuah amplop untuk menyimpan keempat lembar cek itu nanti.
Tante Agatha membaca keempat lembar cek itu selembar demi selembar. Dia melotot. Dan memasukkan keempat helai cek itu ke dalam amplop yang kukasih. Meletakkan amplop itu di dalam tas kecilnya, lalu memburu dan memelukku, “Terima kasih Dooon… terima kasiiiih…” ucapan itu disusul dengan ciumannya yang bertubi – tubi di sepasang pipiku, bahkan terakhir dia mencium bibirku sambil memelukku erat – erat.
Tentu saja aku kaget dan jadi salah tingkah, karena Tante Agatha mencium bibirku sedemikian lengketnya, sehingga tanpa kusengaja aku pun memegang bokongnya yang gede dan terasa belum lembek itu.
Tak cuma itu. Karena Tante Agatha belum melepaskan ciumannya, bahkan melumat bibirku dengan hangatnya, aku pun mulai memberanikan diri meremas pantat gedenya yang masih padat kencang itu…!
Tiba – tiba Tante Agatha melepaskan ciumannya, disusul dengan sesuatu yang membuatku terbelalak. Bahwa ibunya Gayatri yang lebih cantik dan lebih seksi daripada Tante Sin itu, melepaskan gaun biru ultramarine-nya…!
Aku cuma bisa terlongong, seperti orang begok. Menyaksikan Tante Agatha yang tinggal mengenakan beha dan celana dalam
Di rumah Tante Sin kemaren, aku tidak berani menatap muka Oom Gunadi mau pun istrinya. Aku hanya berani bicara sambil menundukkan kepala, karena ingin terkesan bahwa aku ini punya sopan santun manakala berhadapan dengan orang yang lebih tua. Karena itu sedikit pun aku tak punya penilaian terhadap mamanya Gayatri ini.
Tapi kini, suasana serba memungkinkan. Aku mulai berani memperhatikan wanita 40 tahunan itu. Dan aku tahu bahwa usia 40 tahun itu tidak bisa disebut tua. Bahkan sedang – sedangnya memancarkan pesona yang seolah mengandung daya magnetis.
Tante Agatha itu tak kalah cantik daripada Gayatri. Bahkan kalau dibandingkan dengan Tante Sin, mamanya Gayatri ini menang cantik dan menang seksinya…!
Ya… Tante Agatha lebih cantik daripada Tante Sin.
Dan kini wanita setengah baya yang demikian cantik dan seksinya itu sedang berdiri di depanku, dengan hanya mengenakan behas dan celana dalam saja. Apakah aku benar – benar tidak sedang bermimpi?
Ketika aku masih berdiri bingung, Tante Agatha malah memelukku lagi. Mendaratkan ciuman lengketnya lagi. Sehingga lagi – lagi kedua tanganku seolah reflex memegang kedua buah pantat gedenya…!
“Tante memang sudah horny sejak masih berada di rumah Sin tadi. Makanya tante minta diajak ke tempat yang tidak bisa hadir orang lain, ya karenma tante ingin menikmati semuanya bersamamu Sayang,” ucap Tante Agatha setengah berbisik. Sambil membuka kancing jasku. Kemudian melepaskan jas itu dan melemparkannya ke atas sofa.
“Tante… apakah hubunganku dengan Gayatri takkan rusak nanti?” tanyaku pada saat batinku limbung. Masalahnya… aku memang pengagum wanita setengah baya. Apalagi wanita setengah bayanya secantik dan seseksi mamanya Gayatri ini.
“Donny harus merahasiakannya dong sama Gayatri. Bisa kan merahasiakannya?”
“Mmm… bisa Tante… mmmm… aku merasa seperti sedang bermimpi Tante.”
Tante Agatha malah mengepit sepasang pipiku dengan kedua telapak tangannya. Dan berkata, “Donny bukan cuma tampan, tapi punya daya pesona yang luar biasa. Maka pantaslah kalau Gayatri kasmaran padamu. Jangankan Gayatri, tante aja yang punya suami langsung kepincut begitu melihat Donny kemarin.”
Tante Agatha mengakhiri kata – katanya dengan membelakangiku. Lalu berkata, “Tolong buka kancing beha tante Don.”
Kuikuti permintaan calon mertuaku, untuk melepaskan kancing kait behanya di bagian punggungnya. Tapi begitu kancing beha itu terlepas, tangan kananku ditarik ke depan ditempelkan ke perutnya yang terasa padat kencang. Sedangkan tangen kiriku ditarik ke arah payudaranya, yang behanya sudah terlepas yang sebelah kiri.
Hmmm. aku tahu apa maksud mamanya Gayatri ini. Bahwa aku yang sedang menghadap ke punggungnya, harus menyelinapkan tanganku ke balik lingkaran elastis celana dalamnya. Kepalangan gila, kupegang toket kirinya dengan tangan kkiriku, sementara tangan kananku diselundupkan ke balik celana dalam Tante Agatha…
“Bagaimana? Tetek tante masih padat kencang kan?” tanya Tante Agatha tanpa menoleh ke arahku.
“Iiii… iya Tante. Dan… vagina Tante ini… ooooh… tembem sekali…”
“Kayak bapauw kan? Hihihihiiii…”
“Iya Tante… ihihiii…”
“Memek ini untuk calon mantu tante yang tampan rupawan dan baik hati.”
“Iii… iya Tante. Mudah – mudahan saja takkan merusak hubunganku dengan Gayatri nanti.”
“Nggak lah. Asal pandai – pandai aja kita merahasiakannya. Buka dong celananya. Tante juga tinggal pake celana dalam yang isinya lagi Donny pegang nih.”
“Iya Tante,” sahutku sambil menarik kedua tanganku dari toket dan memek calon mertuaku.
Kemudian kulepaskan celana panjangku dan kulemparkan ke atas jas dan dasiku yang bertumpuk di atas sofa. Gaun dan beha Tante Agatha pun bertumpuk di situ.
Dengan cepat otakku berputar. Mau nunggu apa lagi? Bukankah aku ini pengagum dan penggemar wanita setengah baya? Bukankah sekarang ada sasaran meski dia itu calon mertuaku?
Wajahnya cantik sekali. Tubuh putihnya pun begitu terawat, tidak kelihatan seperti yang sudah berusia 40 tahun. Dan sekali lagi, usia 40 tahun itu belum tua. Bagiku, usia di atas 50 tahun barulah bisa disebut tua.
Maka ketika sudah sama – sama tinggal mengenakan celana dalam, kugandeng pinggang mamanya Gayatri itu untuk melangkah ke arah bed. Dengan tekad, tak mau jadi lelaki pasif lagi, karena pada dasarnya aku tak pernah pasif terhadap wanita setengah baya. Apalagi yang bernilai di atas 85 seperti Tante Agatha itu…
Maka setelah berada di atas bed, kuterkam dan kugumuli wanita cantik nan penuh pesona itu. Ia pun menyambut dengan gumulan hangat. Membuatku terkadang berada di atas, di saat lain berada di bawah.
Genderang birahi sudah ditabuh. Terompet asmara pun sudah ditiup. Sampai pada suatu saat, celana dalamku ditarik olehnya. Disusul dengan pekik perlahannya, “Doooon…! Kontolmu ini… luar biasa gagahnya…!”
Lalu ia menyerangku dengan ciuman dan jilatan di leher dan puncak penisku. Membuatku terpejam – pejam dalam nikmat. Terlebih setelah ia mengulum dan menggelutkan lidah di dalam mulutnya, penisku yhang sudah ngaceng ini jadi semakin tak sabaran lagi rasanya. Tapi kubiarkan dia berbuat sekehendak hatinya.
Namun setelah puas menyelomot dan menurut – urut batang kemaluanku, dia langsung celentang sambil melepaskan celana dalamnya. “Punya tante sih jangan dijilatin ya. Soalnya punya tante sudah basah. Kalau terlalu becek, gak bisa menikmati gesekan penismu yang panjang gede itu.”
“Langsung masukin aja Tante?” tanyaku sambil mengusap – usap memek Tante Agatha yang bersih plontos itu.
“Iya Sayang… masukkanlah… tante udah horny berat nih…” sahutnya sambil merentangkan sepasang paha putih mulusnya.
Maka tanpa buang – buang waktu lagi, kuletakkan moncong penisku di ambang mulut memek Tante Agatha yang sudah ternganga kemerahan itu. Lalu kudesakkan batang kemaluanku sekuat mungkin. Dan… melesak masuk sedikit demi sedikit.
Pada saat itulah Tante Agatha menarik sepasang bahuku, sehingga dadaku terhempas ke atas sepasang toketnya yang berukuran agak montok (tapi tidak segede toket Umi Faizah dan Tante Neni). “Oooooooh… masuk Doooon… “cetus Tante Agatha dengan mata terpejam.
Setelah penisku membenam lebih dari separohnya, aku pun mulai mengayun batang kemaluanku, bermaju mundur di dalam liang memek Tante Agatha.
Tante Agatha menyambut entotanku dengan merengkuh leherku ke dalam pelukannya, disusul dengan ciuman dan lumatannya yang membuatku semakin bersemangat untuk menggencarkan entotanku.
Tapi ketika ayunan penisku bergerak cepat, Tante Agatha menepuk – nepuk pipiku sambil berkata terengah, “Pelan aja dulu Sayang. Tante ingin menghayati gesekan penismu dengan liang vaginaku… naaaaah… segitu aja… kalau perlahan – lahan terasa semakin indah…”
Kuturuti saja permintaan calon mertuaku itu. Mungkin dia senang dengan hal – hal yang beraroma romantis. Kuatur gerakan penisku sampai kecepatan normal, tidak terlalu cepat tidak pula terlalu lambat. Sementara mulutku mulai beraksi, untuk mencelucupi puting payudara kirinya, sementara tangan kiriku meremas – remas payudara kanannya.
Pinggul Tante Agatha pun mulai bergoyang seperti gelombang ombak di laut yang sedang berkejaran menuju pantai. Membuat kemaluannya terkadang menengadah, terkadang menunduk… mendongak lagi… menukik lagi. Ini adalah goyangan yang efektif. Karena clitorisnya jadi sering bergesekan dengan badan penisku.
Desahan dan rintihan Tante Agatha pun mulai berlontaran dari mjulutnya, “Aaaaaaa… aaaaaah… Doooon… sebenarnya tante… sudah… sudah lama sekali tidak digauli oleh papanya Gayatri… hampir lima tahun batin tante menderita… dan sekarang… tante mendapatgkannya dari calon mantu yang baik hati ini…
“Me… memangnya Oom im… impoten?” tanyaku terengah – engah.
“Iya Don… sudah hampir lima tahun penisnya tak bisa ereksi lagi… sejak dia menderita diabetes… aaaaah… entot terus Dooon… sekarang boleh dicepetin Sayaaaang…”
Aku tak mau membahas masalah Oom Gunadi itu lebih jauh. Dan sesuai dengan permintaan Tante Agatha, aku pun mulai menggencarkan entotanku. Sambil menjilati leher jenjangnya yang sudah mulai keringatan, disertai dengan gigitan – gigitan kecil.
“Aaaaaaaa… aaaaah… Doooon… kontolmu enak sekali Doooon… entot terus Dooon… entooot teruuuussssssss… iyaaaaa… iyaaaaa… entooooottttt… enntooottttttt… entooooooootttt… iyaaaaaaa… iyaaaa… iyaaaa… “rintih Tante Agatha yang tampak semakin menikmati aksiku.
Ketika lengannya terpentang seperti disalib, aku pun menyerudukkan mulutku ke ketiaknya. Lalu menjilati ketiak harum deodorant mahalnya.
Makin klepek – klepek juga Tante Agatha dibuatnya.
“Oooo… ooooo… oooooh Dooonny… kamu sudah pandai menyentuh setiap lekuk peka Dooon… belajar dari mana?”
“Dari buku Tante… ooooohhhh… memek Tante luar biasa enaknya Tanteeee…” sahutku mulai ngawur juga seperti dia.
Kini gencarnya entotanku disambut dengan goyangan pinggul Tante Agatha yang mulai menggila. Tak cuma seperti ombak bergulung menuju pantai, tapi memutar – mutar dan meliuk liuk. Sehingga penisku diombang – ambingkan sesuai dengan gerakan pinggul Tante Agatha. terkadang tertarik ke kanan, terkadang tertarik ka kanan, ke atas dan ke bawah.
Sementara keringat mulai membasahi tubuh kami. Tapi kami tak mempedulikan hal kecil itu. Aku semakin gencar mengentotnya, sementara goyangan pinggul Tante Agatha pun semakin menggila.
Sampai pada suatu saat, terdengar suara Tante Agatha terengah, “Dooon… tante mau lepas Dooon… barengin Dooon… biar nikmaaaat…”
“Lepasin… di dalam?” tanyaku terengah pula.
“Iyaaaaaa…” sahutnya dengan goyangan pinggulnya yang semakin menggila.
Sebenarnya aku masih bisa bertahan. Tapi aku ingin menciptakan kepuasan bagi calon mertuaku.
Maka kupercepat entotanku. Makin cepat. Makin cepat. Sementara Tante Agatha mulai berkelojotan. Lalu mengejang tegang, dengan perut agak terangkat ke atas, dengan nafas yang tertahan. Pada saat itu pula kutancapkan penisku di dalam liang memek Tante Agatha. Tanpa digerakkan lagi.
Lalu kami seperti sepasang manusia yang sedang kerasukan. Kami saling cengkram dengan kuatnya. Disusul dengan berkedut – kedutnya liang memek wanita setengah baya itu, dibalas dengan mengejut – ngejutnya batang kemaluanku… sementara moncongnya menembak – nembakkan lendir kenikmatanku. Croooottttt…
Tapi ada hal kecil yang terjadi. Bahwa ketika moncong penisku mau memuntahkan air mani, aku mendadak seperti kaget sendiri, karena aku menyadari siapa yang sedang kusetubuhi ini. Maka kutarik penkisku, sehingga “tembakan”nya di mulut vagina Tante Agatha. Maka melelehlah air maniku ke luar. Mengalir dari mulut vagina Tante Agatha.
“Hihihiiii… kamu ngasih creampie sama tante Don?!” ucap Tante Agatha sambil mencubit lenganku.
“Nggak sengaja, Tante. Maaf…” sahutku tersipu.
Kemudian Tante Agatha mengajak mandi bareng di kamar mandi yang bersatu dengan kamar utama itu.
Entah kenapa, aku jadi langsung merasa dekat dengan calon mertuaku itu. Bahkan diam – diam Tante Agatha kuanggap sebagai kekasih baruku. Bukan lagi cuma calon mertuaku. Bahkan setelah tubuh kami dibasahi oleh pancaran air hangat shower, aku menyabuni sekujur tubuh Tante Agatha dengan telaten.
Pada waktu tubuh mulusnya sedang ku kusabuni itulah Tante Agatha berkata, “Sejak tadi malam tante sudah membayangkan nikmatnya disetubuhi olehmu, Sayang. Jadi jangan pikir kalau tante mengajakmu bersetubuh karena dipinjami duit sebesar itu. Walau pun tidak dikasih cek itu, tante tetap akan mengajakmu bersetubuh.
“Uang itu bukan pinjaman Tante,” sahutku sambil menyabuni bagian depan tubuh calon mertuaku.
“Jadi?” Tante Agatha menatapku dengan sorot serius.
“Jadi tak usah dikembalikan. Mudah – mudahan aja dengan dana yang kuhibahkan itu perusahaan Oom Gunadi sehat kembali.”
“O my God! Kamu memang sangat baik Don. Terima kasih yaaa…” ucap Tante Agatha sambil memeluk dan menciumiku dengan tubuh yang sama – sama penuh dengan busa sabun.
“Tante juga sangat baik. Sehingga aku dikasih sesuatu yang sangat indah tadi.”
“Soal itu sih berarti kita memang saling membutuhkan Don. Malah yang duluan kepengen kan tante sendiri. Aaah… kapan kamu mau balik ke Bangkok lagi?”
“Aku mau stay di Indonesia Tante. Ke Bangkok hanya sekali – sekali saja, karena masih ada perusahaan dan rumah yang belum dijual.”
“Jangan dijual Don. Siapa tau nanti kamu jadi ingin tinggal di Bangkok lagi.”
“Sebenarnya ada dua perusahaan peninggalan Papa yang takkan kujual. Begitu juga rumah itu, takkan kujual. Karena sejak bayi sampai dewasa aku tinggal di rumah itu.”
“Donny punya niat untuk menikah dengan Gayatri kan?”
“Iya Tante.”
“Terus kalau sudah menikah, mau tetap tinggal di Indonesia?”
“Betul.”
“Padahal kalau Donny stay di Bangkok lagi, kita bisa sering ketemuan.”
“Kalau mau ketemuan denganku sih gampang. Tante bisa terbang sendirian ke sini. Tapi Gayatri dan Tante Sin jangan dikasih tau. Setelah kita puas barulah mereka dikasihtau. Pura – pura baru tiba di kota ini, gitu.”
“Iya. Pasti nanti tante kangen terus sama kamu Don.”
“Tante… aku mau berterus terang ya. Aku memang pengagum wanita setengah baya. karena itu aku merasa senang sekali bisa memiliki tubuh Tante.”
“Bukan hanya tubuh. Batinku juga sudah kamu miliki sejak hari ini Sayang,” ucap Tante Agatha yang disusul dengan ciuman mesra lagi di bibirku. “Tapi… haiii… kontolmu udah ngaceng lagi Dooon… !”
“Iya Tante… aku sudah kepengen lagi nih…” sahutku sambil meraba – raba memek Tante Agatha yang masih berlepotan air dan busa sabun shower.
“Nanti setelah bersetubuh, pasti keringatan lagi. Harus mandi lagi. Di sini aja ya,” ucap Tante Agatha dengan senyum sumringah. Mungkin dia senang juga melihatku sudah bernafsu lagi.
Lalu Tante Agatha melangkah ke depan washtafel. Bak washtafel itu terletak di atas meja batu. Bak lonjong washtafel berada di sebelah kiri meja batu itu. Sementara di sebelah kanan washtafel itu kosong dan lumayan panjang, untuk rebahan pun bisa. Sebenarnya bagian yang kosong itu untuk menyimpan pakaian kotor sebelum dicuci.
“Iya Tante… bisa… bisa…” kataku dengan penuh semangat.
Kebetulan tinggi meja batu itu sejajar dengan penisku, sehingga aku bisa berdiri sambil mengarahkan moncong penisku ke memek calon ibu mertuaku yang sudah menganga kemerahan itu. Tapi begitu aku merapat ke depan kemaluan Tante Agatha, kedua kaki wanita setengah baya jelita itu diletakkan di atas bahuku sambil berkata, “Ayo…
“Nama panggilan Tante apa?”
“Atha,” sahut wanita Indo – Belgia itu sambil memegang penis ngacengku, lalu mencolek- colekkan moncong penisku ke mulut vaginanya. Lalu penisku dibenamkan sedikit ke mulut vaginanya. Sehingga aku tinggal mendorongnya saja.
Dan aku memang melakukan hal itu. Mendesakkan penisku yang kepalanya sudah nyungsep di celah memek Tante Agatha.
“Ooooohhh… sudah masuk lagi Sayaaaang… “rintih Tante Agatha sambil bersandar ke dinding, sementara kedua lipatan lututnya sudah berada di atas sepasang bahuku.
Lalu… sambil berdiri aku mulai mengentotnya dengan sepenuh gairahku.
Bahkan sepasang paha Tante Agatha kudorong sampai kedua lututnya berada di atas sepasang toket wanita Indo – Belgia itu.
Tante Agatha pun mengerti apa yang kuinginkan. Sepasang tangannya menarik lipatan lututnya, agar kedua lututnya tetap beraa di sebelah sepasang toketnya, tanpa harus kudorong pahanya.
Walau pun begitu aku masih bisa memegang sepasang toket Tante Agatha yang masih enak buat diremas – remas itu.
Lebih dari setengah jam aku mengentot Tante Agatha sambil berdiri begini. Memang benar seperti yang dikatakan olehnya tadi, bahwa dalam persetubuhan yang kedua ini keringat kami membanjir lagi.
Rintihan – rintihan hoisteris Tante Agatha pun berhamburan lagi dari mulut sensualnya. “Doooonnnn… oooooh Doooon… gak nyangka tante akan mendapatkan kontol muda yang masih begini gagahnya… ereksinya pun sempurna… setelah Donny menikah dengan Gayatri nanti, tante akan tinggal bersama kalian ya Doon…
Penisku pun tetap memompa liang memek calon mertuaku yang Indo – Belgia itu. Sampai akhirnya meletus di dalam liang memek Tante Agatha, bersamaan dengan orgasmenya wanita setengah baya itu.
Pelayan sudah menghidangkan makanan di ruang makan yang bersatu dengan kitchen itu. Maka kuajak Tante Agatha untuk makan bersama.
“Nanti kalau sudah nikah, Gayatri mau diajak pindah ke sini?” tanya tante Agatha setelah duduk di kursi makan, berhadapan denganku terbatas, meja makan. sumber Ngocoks.com
“Ya dibawa ke rumahku Tante. Tapi nanti bagaimana baiknya aja. Aku juga harus mendengar apa yang diinginkan oleh Gayatri.”
Lalu kami mulai makan.
“Tante ikut program KB di Bangkok?”
“Nggak,” sahut Tante Agatha sambil tersenyum.
“Wah… kalau hamil gimana?”
“Nggak apa – apa.”
“Tapi kalau ketahuan sama Oom Gunadi, pasti beliau bakalan murka.”
“Nggak mungkin marah. Tante kan pernah minta cerai setahun yang lalu. Karena papanya Gayatri sudah bertahun – tahun tidak bisa memberikan nafkah batin lagi pada tante.”
“Terus?”
“Dia malah menangis. Minta agar tante jangan meninggalkannya. Kemudian dia mempersilakan tante berselingkuh dengan lelaki lain, sampai hamkil pun tidak apa – apa. Asalkan tante jangan minta cerai darinya.”
“Kasian…”
“Iya. Tante juga jadi kasihan sama dia. Makanya tante menguatkan diri untuk tetap hidup bersamanya. Tapi tante pun tak pernah berselingkuh di belakang dia. baru sekali ini tante berselingkuh sama calon mantu yang ternyata sangat memuaskan…”
“Terus… kalau tante hamil nanti gimana? Tante masih bisa hamil kan?”
“Tentu saja bisa. Selama belum menopause, semua perempuan masih dimungkinkan hamil. Tante kan baru empatpuluh tahun. Teman tante yang usianya empatpuluhtujuh saja masih bisa punya anak lagi kok.”
“Terus kalau Tante hamil nanti gimana?”
“Tante malah senang. Mudah – mudahan tante bisa hamil anak laki – laki darimu, biar tampan seperti ayahnya. Tante kan punya anak tiga orang, perempuan semua. Belum ada cowoknya.”
“Tiga orang? Bukannya adik perempuan Gayatri cuma seorang?”
“Kan sebelum menikah dengan papanya Gayatri, tante sudah punya anak perempuan seorang. Papanya Gayatri juga sudah punya anak seorang, ya Gandhi itu.”
“Owh… aku hanya dengar bahwa adik Gayatri bernama Galia.”
“Iya. Itu anak dari Oom Gunadi. Anak dari suami pertama tante bernama Liza. Nama lengkapnya Elizabeth.”
“Kata Gandhi, Galia itu tinggal di Bangkok. Terus Liza tinggal di Bangkok juga?”
“Nggak. Liza itu tinggal di Jakarta. Ohya, kalau bisa sih tempatkan Liza di perusahaanmu Don. Sekarang dia sudah kerja, tapi gajinya kecil sekali. Ohya… hampir saja tante lupa. Liza mau menemui tante di rumah Sin hari ini. Mungkin sekarang masih di jalan.”
“Suruh aja dia ke sini Tante. Usianya berapa tahun?”
“Duapuluhsatu.”
“Berarti pendidikannya…”
“Sudah de-tiga.”
“De-tiga dari jurusan apa?”
“Dari akademi sekretaris.”
“Mmmm… ya sudah. Kalau begitu suruh aja dia ke sini. Aku membutuhkan beberapa tenaga yang kursinya masih kosong. Maklum kantor perusahaanku ini baru dibuka dua bulan yang lalu.”
“Iya. Tante call aja Liza ya,” kata Tante Agatha sambil mengeluarkan handphone dari tas kecilnya.
“Silakan,” sahutku.
Lalu Tante Agatha menelepon anak sulungnya yang bernama Liza Elizabeth itu. Entah apa yang mereka bicarakan, karena menggunakan bahasa Belanda campur – campur bahasa Perancis.
Bersambung…