“Meon.. ayo makan nak…. Hanifah bertanya pada Meon di depan pintu kamar Meon.
Meon yang sedang merenung di samping tempat tidurnya tampak tidak menghiraukan ibunya. Pikirannya merasa bersalah dan malu atas apa yang terjadi semalam. Hanifah sadar akan perubahan putranya.
Dia memasuki kamar Meon dan duduk di sebelah Meon. Jari-jarinya memegang erat telapak tangan
mengeong. Diremasnya lembut jemari Meon.
“Bu.. Meon merasa sangat bersalah pada ibu… meon minta maaf bu…” ucap Meon sambil matanya terus menatap kosong ke lantai.
“Meon…. Ibu harus meminta maaf. Meon tidak salah, kalau bukan ibu yang memulainya, hal ini tidak akan terjadi…” kata Hanifah.
Mereka terdiam beberapa saat. Suasana hening malam yang mulai tampak seakan memberikan ruang bagi kedua anak tersebut untuk berbincang secara privat dari hati ke hati.
Hanifah menarik tangan Meon yang dipegangnya ke paha montoknya. Jari jemari putranya diremas lembut, penuh kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.
“Mama…. Kenapa kamu melakukan itu… mmm.. apa Meon bisa tahu….?”, tanya Meon sedikit gugup.
Hanifah terdiam sejenak. Otaknya sedang mencari jawaban atas pertanyaan putranya yang terlalu sensitif. Secara tidak langsung, dia gugup untuk menjawabnya.
Tangan rapinya yang memegang tangan putranya di paha lembutnya ditarik ke arah kepalanya. Pikirannya kacau, buntu.
“Bu…kenapa bu…”, sekali lagi Meon bertanya pada Hanifah.
“Meon…susah aku ngomong…soal wanita…Nanti Meon tahu…”, ucap Hanifah singkat dan dia berdiri lalu keluar dari kamar Meon meninggalkan anaknya sendirian.
Meon bingung dengan jawaban ibunya. Pikirannya yang mentah tidak begitu memahami tujuan dari jawaban ibunya.
Dia hanya bisa menyaksikan ibunya keluar dari kamarnya meninggalkan dia sendirian dengan seribu satu pertanyaan di kepalanya. Punggung lebar ibunya menjadi bungkuk saat dia melangkah keluar.
Daging punggung ibunya yang bulat dan montok terlihat menggembung di balik kain batik compang-camping yang dikenakan ibunya. Meon meneguk harta berharga ibunya. Jantungnya berdebar kencang, perasaannya mendadak kacau.
Rasa kasihan dan sayang pada ibunya yang tadinya muncul dari lubuk hatinya tiba-tiba menyelinap dalam perasaan nafsu yang terlalu malu untuk dipikirkannya. Meon kemudian bangkit dan pergi ke dapur.
Ibunya terlihat duduk di meja makan. Mata ibunya seakan menatap kosong ke arah makan malam yang telah disiapkan di atas meja. Perlahan Meon menghampiri ibunya sambil memegang kedua bahu ibunya dengan lembut. Meon menundukkan kepalanya dan mendekatkan mulutnya ke telinga ibunya.
“Bu… Meon janji, hanya kita berdua yang tahu… Bu, jangan khawatir… Meon sayang ibu…” bisik Meon di telinga ibunya.
Hanifah merasakan hawa dingin di hatinya mendengar kata-kata lembut Meon. Jari-jari Meon yang memegang bahunya terasa sangat nyaman. Hawa panas dan nafas Meon di telinganya membuat rambut Hanifah terangkat.
Perasaan berdebar-debar merayapi dadanya seiring dengan rasa cinta yang meluap-luap pada putra bujangnya itu. Perlahan Hanifah menoleh menatap wajah Meon yang hampir dekat dengan pipinya.
Perlakuan dan sikap Meon terhadapnya seolah mengisi kekosongan batin kecil yang merindukan belaian seorang laki-laki, yakni suaminya.
Wajah mereka saling berhadapan. Meon mengukir senyuman tulus di bibirnya, begitu pula Hanifah. Pipi montok Hanifah dibelai lembut oleh Meon. Hanifah menutup matanya. Bibirnya yang lembab dan imut sedikit terbuka.
Meon yang terpesona dengan tabuhan genderang setan, tanpa sungkan membenamkan mulutnya dalam mencium bibir ibunya. Mereka berciuman, penuh cinta.
Perasaan yang semula merupakan simbol cinta antara ibu dan anak, akhirnya berubah menjadi perasaan cinta yang melambangkan seks yang saling mengisi dan membutuhkan.
Tangan Hanifah perlahan membelai rambut anak bujangannya yang saat itu sedang mencium bibirnya. Lidah Hanifah menjelajah mulut Meon yang sepertinya masih belum mahir dalam permainan manusia dewasa.
Nafas satu sama lain bergantian. Detak jantung kedua orang ini semakin cepat, seiring dengan deru gairah yang semakin bergejolak. Hanifah semakin melemah, ia terus memeluk tubuh Meon.
Meon tertunduk dan dipeluk oleh ibunya. Mulutnya masih mencium bibir ibunya. Gairah Meon kembali bangkit, apalagi saat bayangan ibunya yang sedang menghisap kemaluannya di pagi dan sore hari silih berganti di benaknya.
Meon mulai melangkah lebih berani, tangannya yang memegang bahu ibunya kini merangkak ke dada ibunya yang masih berbalut kaos. Kelembutan payudara ibunya yang tak memakai bra terasa menggairahkan.
Puting susu ibunya yang semakin keras dan menonjol di permukaan kaos diusap lembut berkali-kali, Hanifah semakin terangsang dengan perbuatan putrinya. Hal ini membuat Hanifah menyentuh dada putranya.
Tangannya kemudian turun ke pinggang putranya dan kemudian ia menangkap sesuatu yang keras dan menggembung di perban yang dikenakan putranya. Hanifah memegangi kemaluan Meon yang semakin keras dibalut kain lengket. Penis anaknya diperkosa penuh nafsu.
Perasaan nafsu yang menerpa Hanifah mendorongnya untuk mengulangi lagi apa yang telah ia lakukan sepanjang hari. Hanifah melepaskan kecupan di bibir putranya. Senyuman terukir di wajahnya, menampilkan sensualitas yang tak terselubung.
Hanifah melepas perban Meon, lalu perban yang Meon kenakan terjatuh ke lantai dan seketika memperlihatkan penisnya yang kekar dan berotot, tegak dan keras ke arah wajah ibunya. Hanifah tahu apa yang diinginkan Meon, nyatanya dia juga menginginkannya. Perlahan Hanifah membenamkan Penis keras Meon ke dalam mulutnya.
Meon mengamati tindakan ibunya tanpa menyembunyikannya. Sedikit demi sedikit penisnya terlihat tenggelam ke dalam mulut ibunya yang lucu itu. Tahi lalat di dagu ibunya menambah kecantikan sang ibu yang perlahan menghisap kemaluannya.
Hanifah semakin bersemangat menghisap kemaluan anaknya. Perasaan keibuan yang seharusnya ia curahkan pada anaknya kini hilang sama sekali. Nafsu dan kerinduan batin mendominasi pikiran dan akalnya, membuatnya kehilangan akal hingga ketahuan mempermainkan nafsunya dengan anaknya sendiri.
Hanifah benar-benar tenggelam dalam arus yang bergejolak. Penis putranya yang dihisap keluar-masuk dari mulutnya benar-benar memberikan sensasi menikmati penis pria yang selalu ia rindukan.
Setiap lekuk penis putranya dihisap dan dinikmati dengan penuh gairah. Tangan kirinya mengelus bibir dari luar kain batik. Dia merasa sangat beruntung saat itu.
Gejolak batin yang selama ini membelenggu jiwanya terasa seperti terbang terbawa angin. Dia merasa sangat dihargai. Jiwanya semakin tenang di tengah gejolak nafsu.
Meon sebaliknya sangat menikmati betapa nikmatnya merasakan kemaluannya dihisap oleh ibunya. Wajah sang ibu yang sedang menikmati kemaluannya penuh nafsu dengan mata terpejam memberikan kenikmatan yang sulit diucapkan.
Matanya tertuju pada tangan ibunya yang sedang menggosok cipap. Kain batik yang dikenakan ibunya tampak tersangkut di bawah selangkangan akibat kelakuan ibunya. Paha montok ibunya yang terlihat lembut dan menggugah selera menggugah selera Meon.
Segera Meon mengeluarkan kemaluannya dari mulut ibunya. Meon terus tertunduk mencium ibunya dan seketika itu juga ia memeluk tubuh ibunya. Hanifah membalas kelakuan Meon dengan kembali menciumnya.
Sambil mencium bibir ibunya, Meon menarik Hanifah untuk berdiri dan Hanifah terpaksa menuruti saja kemauan Meon. Mereka berdua berdiri dan berpelukan erat, dengan bibir saling berciuman mesra.
Meon mengusap selangkangan ibunya. Kain batik compang-camping yang menutupi puting susu ibunya terasa basah akibat lendir nafsu yang semakin membanjiri pori-pori kewanitaan ibunya. Meon membuka kain batik ibunya, Penis mudanya yang belum pernah memasuki kemaluan wanita manapun kikuk memulai gerakan sensualnya.
Hanifah mengetahui kelemahan yang dihadapi putranya. Sambil tersenyum, ia membuka kain batiknya dan berbalik menghadap meja makan, memperlihatkan pantat telanjangnya kepada putranya. Meon terpesona melihat punggung ibunya yang putih bulat dan sembab di depan matanya.
Punggung lebar ibunya diusap dan diremas penuh nafsu. Pukulannya kemudian semakin bernafsu, mulai dari pinggang hingga paha. Punggung langsing sang ibu benar-benar membakar nafsunya.
Hanifah meraih penis Meon yang tersangkut di belakangnya. Tanpa rasa malu, Hanifah menarik kemaluan Meon untuk mengambil posisi yang memudahkan mereka menjalankan misi selanjutnya. Penis Meon ditarik hingga tersangkut di selangkangannya.
Meon yang membiarkan saja aksi ibunya terdorong ke depan sambil memeluk bagian belakang tubuh ibunya dan penisnya terus menyelinap ke dalam celah selangkangan ibunya yang sudah terlalu licin dan memberi isyarat dengan lendir nafsu.
Hanifah membalikkan tubuhnya dan tubuhnya bergerak maju mundur mengusap kemaluan Meon di selangkangannya. Suara perkelahian dan gesekan Penis keras Meon di selangkangannya bergema di dapur.
Meon yang menikmati pengalaman seru untuk pertama kalinya sangat terangsang. Tangannya terus meraba-raba dan meremas punggung lebar ibunya yang menyentuh perutnya. Hanifah tak sabar lagi, tangannya segera meraih Penis keras Meon di lekukan selangkangannya dan mengarahkannya ke mulut lubang segala kenikmatannya.
Dia tidak peduli penis siapa yang dia pegang. Baginya, kesempatan menikmati penis pria untuk menyembuhkan sakit batinnya tidak boleh dilewatkan begitu saja.
Hanya dengan satu kali membungkuk, tubuhnya dengan mudah menerima seluruh daging keras putranya yang menyerbu terowongan pantatnya yang sudah lama haus akan tusukan penis pria. Hanifah membiarkan hangatnya Penis Meon meresap ke dalam lubuk kewanitaannya.
Statusnya sebagai ibu dari putranya telah hilang. Nafsu benar-benar merenggut kewarasannya sebagai seorang ibu, hingga ia rela menyerahkan seluruh tubuhnya. Padahal, mahkota kewanitaan yang selama ini hanya dinikmati oleh suaminya saja, dinikmati oleh putranya atas kemauan dan keinginannya sendiri.
Hanifah benar-benar berkhayal menikmati penis putranya yang besar, panjang, dan keras mencuat dari dasar lubang kenikmatannya. Dia meremas kemaluan anaknya sekuat tenaga, rasanya dia ingin meremukkannya saja di pantatnya.
Sementara itu, Meon sangat menikmati sensasi penisnya dibenamkan di lubang pantat hangat milik ibunya. Seluruh otot penisnya yang mengembang keras terasa terhimpit oleh dinding pantat ibunya yang lembut dan halus.
Rasanya penisnya seperti dihisap oleh penis ibunya. Meon lalu perlahan menusukkan penisnya hingga kepala jamurnya yang tumbuh pesat menginjak bagian bawah alat kelamin wanita yang patut dipuji sebagai seorang ibu.
Perasaan cinta Meon yang sebelumnya hanya antara seorang anak dan seorang ibu, semakin dihantui oleh nafsu yang membara. Gairah yang diciptakan ibunya mendorong Meon untuk mencintai ibunya seperti seorang kekasih; yang rela memberikan kenikmatan persetubuhan incest antara daging dan darah.
Meon tahu bahwa dia telah keluar dari lubang yang dia dorong sejak lama. Namun kini ia kembali memasuki lubang itu dengan rela, hanya cara dan permainan perasaannya saja yang berbeda.
Begitu pula dengan Hanifah yang juga berpikir dalam benaknya, bahwa penis laki-laki yang sedang dinikmati di lubang pantatnya adalah milik bayi yang keluar dari lubang yang didorong sebelumnya.
Namun kini, bayi tersebut telah tumbuh besar dan kembali ke anusnya atas desakan batinnya sendiri. Perasaan sensual Hanifah yang selama ini terpendam terasa ingin meledak di perutnya. Keringat semakin mengucur di dahi dan badannya seiring dengan nafasnya yang semakin cepat dan sempit.
Perasaan seperti ini sudah lama tidak dirasakan Hanifah. Naluri kewanitaannya semakin terstimulasi sehingga perasaan itu semakin memenuhi pikirannya. Hanifah semakin gelisah. Ngocoks.com
Penis yang semakin ganas menyodorkan kemaluannya menenggelamkan Hanifah dalam lautan nafsu. Akhirnya Hanifah menikmati puncak kenikmatan. Tubuhnya bergetar dengan otot-ototnya yang mengejang. Penis putranya yang dimasukkan ke dalam lubang pantatnya dari belakang dicubit penuh amarah.
Punggungnya semakin bungkuk sehingga penisnya semakin menyentuh pangkal penisnya. Hanifah benar-benar kehilangan akal. Beliau benar-benar berada di puncak segala nikmat yang telah dirindukan selama ini.
Meon baru saja mengamati perubahan demi perubahan pada tubuh ibunya. Ia tahu, ibunya baru saja mengalami klimaks yang terlalu nikmat. Bagian belakang kaos ibunya basah oleh keringat, begitu pula punggungnya yang terbuka. Perutnya terasa keringat ibunya membasahi punggungnya. Kemutannya yang nikmat juga terasa lebih kenyal.
“Meon… terima kasih sayang…. Aku sayang Meonn…”, ucap Hanifah sambil kembali menatap Meon yang masih berdiri gagah.
Meon hanya tersenyum. Tangannya membelai lembut daging lembut di pinggul ibunya. Lemak yang menambah montok dan besarnya punggung ibunya digosok dengan penuh kasih sayang.
Hanifah tahu Meon butuh kesenangan seperti dirinya. Hanifah melenturkan tubuhnya, sambil menekan kemaluan Meon hingga tenggelam lebih dalam dan meremukkan pangkal penisnya.
Punggungnya yang terguling bak penari dangdut di club malam membuat penis Meon semakin menikmati gesekan dengan dinding pantatnya. Meon mengerang kecil menahan gelombang kenikmatan. Hanifah tahu, Meon menikmati apa yang dilakukannya.
“Enak sayang…”, tanya Hanifah manja.
“Uhhh…. Se.. Enak mm.. makk.. ooohhh…. “, jawab Meon tergagap.
Meon semakin menekan kemaluannya ke pantat ibunya. Punggung ibunya ditatap penuh nafsu. Hanifah sekali lagi menoleh melihat Meon yang menatap punggungnya penuh nafsu.
“Mama cantik sayangku… “, tanya Hanifah menggoda putranya.
“Ohhh…ibu cantik sekali… Mmm… mmmm… Meon…. Ttt.. tak tahan…. “, erang Meon yang tidak tahan digoda ibunya.
“Nanti kalau mau lagi Meon, silakan dibuatkan…. tanya Hanifah penuh kelembutan dan godaan pada putranya yang sudah berada di ambang puncak kepuasan.
“Ohhh…. Makkkk……..”, Meon tak tahan melihat Hanifah tak henti-hentinya menggodanya.
Tubuh Hanifah yang tergeletak di pinggir meja memberikan sensasi sensualitas yang meluap-luap pada Meon. Dia benar-benar tidak menyangka dirinya akan berhubungan S3ks dengan ibunya. Punggung ibunya yang bungkuk semakin menambah nafsu Meon.
Nafsu sensual Meon semakin kritis. Dia tidak bisa bertahan lagi. Padahal ia ingin mengutarakan perasaannya kepada ibunya tentang apa yang diinginkannya, demi perasaannya yang sangat ingin menikmati kepuasan yang terlalu sulit untuk diungkapkan.
“Ooohhhhh…. Bu… Meon ingin selalu bu… Meon… ss.. steam.. bbb.. gelandangan bu… “, Meon akhirnya mengutarakan perasaannya yang ingin diungkapkannya.
“Sayang…. Meon anak ibu…. Meonnn sayang……”, Hanifah pun menikmati perasaan sensual yang menerpa Meon.
“Makkk….. Ahhhhhhhh….”, rintih Meon.
Cuurrrrr….. Cruuutttt!!! Cruttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttt…..Akhirnya sperma pemuda itu pun terlontar ke dalam rahim ibunya sendiri.
Meon menikmati betapa nikmatnya melepaskan air maninya di anus ibunya. Banyak air maninya yang keluar dari k3maluannya yang keras yang berputar di pantat ibunya dan muncrat sebanyak yang dia bisa.
Hanifah memejamkan mata menikmati hangatnya air mani putranya yang memenuhi lubang kemaluannya. Pangkal kemaluannya serasa disiram air hangat yang muncrat memenuhi seluruh rongga kewanitaannya yang seharusnya hanya diperuntukkan bagi suaminya saja.
Namun karena desakan nafsu gersang, rongga nafsu yang biasa ditaburi benih suaminya kini terisi air mani anaknya atas kemauannya sendiri. Mereka berdua lelah, namun masih dalam posisi yang sama.
Hanifah masih memejamkan mata sambil menempel di pinggir meja makan. Kain batiknya yang dilipat di pinggangnya masih memperlihatkan punggungnya yang sedang diremas erat oleh putranya yang sedang memejamkan mata menikmati sisa-sisa keindahan dan nikmatnya berhubungan intim dengan ibunya.
Penis Meon masih terbenam dalam kedalaman sensualitas ibunya, seolah terlalu sayang untuk melepaskan momen manis itu.
Perasaan cinta dan kasih sayang yang selama ini dipendam seorang ibu lenyap bersama angin malam; tergantikan oleh perasaan cinta dan kasih sayang yang seharusnya hanya dimiliki oleh seorang kekasih. Kepuasan Hanifah, dahaga batin yang mencekam sejak lama akhirnya sirna.
Kenikmatan yang dialaminya barusan tidak disesali sama sekali, malah ia sangat menghargainya. Ibarat harga martabat seorang suami, bukan lagi harga diri seorang anak.
Hanifah mengijinkannya, diseks dengan darah dagingnya sendiri, demi kepentingan batinnya. Ia tahu, dirinya bukan lagi milik suaminya saja, melainkan milik putranya sendiri yang sudah menikmati tubuhnya.
Putranya kini menjadi suaminya, yang mendambakan belaian penuh nafsu untuk dinikmati lebih dari suaminya. Atas nafsu dan cinta yang membara, Hanifah kini mencintai suami barunya… anaknya.
Bersambung…