Setelah tragedi gempa bumi yang membuat liburan keluarga Langga kacau, mereka berhasil tiba di rumah dengan selamat. Meskipun harus menunggu bantuan agak lama, tetapi berkat Nathan, masalah mereka dapat ditangani dengan baik.
Begitu sampai rumah, Langga memerintahkan anak-anak untuk istirahat seharian agar memulihkan tenaga. Terlebih Jenny akan kembali bersekolah, begitu juga Sean yang mendapat kabar dirinya dapat melanjutkan aktivitas belajarnya di sekolah.
“Papa,” panggil Jenny seraya memasuki kamar Langga membawa serta bonekanya. “Papa udah tidur?”
Mendengar suara sang putri, Langga yang mulanya masih berkutat dengan laptop memilih mengakhiri segala aktivitasnya. “Belum, Dek. Kenapa?”
“Aku mau tidur sama Papa, boleh? Dari tadi nggak bisa tidur terus,” terang Jenny.
“Sini, masuk.”
Pelan-pelan suara sandal berbulu Jenny memasuki kamar Langga. Gadis berpiyama pink itu merebahkan diri di ranjang, disusul sang ayah. Langga sedikit terkejut karena Jenny langsung masuk dalam pelukannya. Pegangan tangan gadis itu pada punggung Langga mengerat.
“Kenapa, hmm?” Langga membubuhkan kecupan singkat pada ujung kepala sang putri. “Masih takut?”
Suara Jenny teredam di dada sang ayah. “Aku kangen tidur sama Papa.”
Akibat percekcokan yang berakhir dengan keputusan cerai antara Langga dan Jessica, Jenny seperti kehilangan waktunya bersama sang ayah. Gadis itu dipaksa mengerti untuk ikut tinggal bersama Jessica dan meninggalkan Langga.
“Papa juga kangen tidur sama kamu. Udah lama ya, kapan terakhir kita tidur kayak gini?” Langga berusaha mengendalikan emosinya.
Jenny terdiam, saking lamanya, dia sendiri juga sudah lupa. “Apa cuma aku yang pengen kita tidur lagi bertiga sama Mama, Pa? Dulu kan, aku sering tidur di sini sama Mama Papa.”
“Jen—”
Putri Langga itu menggeleng kecil. “Aku baik-baik aja kok. Pas Papa Mama bilang mau pisah aku juga udah coba buat baik-baik aja. Tapi… tapi kadang aku kangen kita yang kayak gini. Jujur, aku pengen liat Mama sama Papa bareng terus.”
Pengakuan Jenny tidak pernah dia dengar sedari dulu. Langga pikir, Jenny baik-baik saja karena memang dia dan Jessica sepakat berpisah dengan baik-baik. Saat mengumumkan perihal perceraian ini, Jenny tidak mengatakan apapun. Itulah sebabnya selama ini Langga tidak mengetahui isi hati putrinya.
“Maafin Mama sama Papa, ya. Kamu maunya kita gimana, Dek?” Lelaki itu mencoba melihat wajah sang putri, namun Jenny selalu menyembunyikan wajahnya.
“Nggak gimana-gimana. Itu kan keputusan kalian, aku nggak boleh ikut campur,” kata gadis itu. “Aku juga minta maaf gara-gara ribut terus sama Sean.”
“Abang, Dek. Panggilnya abang dong,” koreksi Langga.
“Pokoknya walaupun aku sering ribut sama dia, aku tetep pengen kita terus sama-sama sampai…” Tangan kecil Jenny terangkat ke udara. “Selamanya?”
Hati Langga seperti teriris mendengar keinginan Jenny. Jika Langga berpikir kalau dirinya sudah mengabulkan setiap keinginan putrinya selama ini, maka jawabannya salah. Dia tidak bisa mengabulkan hal yang paling Jenny inginkan.
Seolah belum menemukan jawaban, Langga tetap diam. Sampai Jenny terlelap tidur, Langga masih merenungi segala keputusan yang dia buat. Perihal perceraiannya dengan Jessica, Langga harus meyakinkan istrinya itu sekali lagi. Setidaknya dia harus mencoba, bukan?
Sesaat, Langga mengamati wajah putrinya. Dia mengusap wajah itu, namun justru suhu tubuh Jenny yang meningkat membuatnya sedikit panik. Langga kembali memeriksa suhu tubuh Jenny guna memastikan anaknya itu demam atau tidak. Ngocoks.com
“Dek, bangun dulu. Kamu demam.” Tangan Langga menepuk pipi lembut putrinya. “Jenny, bangun dulu. Papa panggilin Mama sekarang, ya?”
Saat Langga akan beranjak, tangan Jenny menahan jari telunjuknya. Tangan mungil itu menggenggam telunjuk Langga begitu erat. Seperti ketika Langga bertemu malaikat kecilnya itu pertama kali. Saat dunia Langga tambah berwarna setelah hadirnya Jenny ke dunia. Dia ingin menjadi pribadi yang baik untuk anak-anaknya.
•••
Jessica menghela napas. Seharusnya dia turut mengantar Jenny ke sekolah. Namun, karena kondisi anak bungsunya yang demam, dia hanya bisa mengantar Sean. Sebenarnya anak lelakinya itu menolak diantar, tapi Jessica tetap bersikukuh. Entahlah, dia merasa cemas, takut jika Sean akan mendapat masalah dihari pertamanya setelah bebas dari penjara.
Seusai mengantar Sean, Jessica bergegas pulang ke rumah. Hari ini dia absen mengunjungi mall demi bisa merawat putri kecilnya. Dia pun masuk ke dalam kamar Langga tanpa mengetuk pintu. Langga tadi sempat pamit pergi ke Airlangga Oleh-oleh—salah satu bisnis cendera mata yang dikelolanya.
Jessica kembali melabuhkan tangannya ke dahi Jenny. Masih panas. Padahal saat ini Jenny sudah di infus. Dokter keluarga Hianggio juga sudah memeriksanya tadi. Sebenarnya dokter itu bilang Jenny hanya kelelahan dan butuh istirahat lebih. Namun, Jessica tetap saja khawatir.
Dia memilih merebahkan diri di samping sang putri. Meskipun merasa tak nyaman karena ranjang itu dulunya pernah dia tiduri bersama Langga, Jessica tetap ingin memberi anaknya pelukan hangat. Berharap dengan itu, demam Jenny bisa turun.
“Jangan sakit, Jen. Mama sedih kalau kamu sakit,” bisik Jessica.
Lama kelamaan, dia malah tertidur saat asyik mengelus-elus rambut putrinya. Jessica terbangun pukul 12 siang. Saat berbalik hendak turun ranjang, dia malah dikejutkan dengan sang suami yang kini duduk di tepi tempat tidur.
“Astaga!” Jessica berseru tertahan. Dia melirik Jenny yang untungnya tidak terbangun. “Kamu ngapain, sih?”
Langga yang awalnya melamun, beralih menatap istrinya. Dia bahkan melupakan tubuhnya yang kini masih bertelanjang dada. Baru ketika Jessica menatap ke perutnya, Langga tersadar bahwa dia belum memakai baju.
“Ah, maaf.” Buru-buru Langga mengambil baju di lemari. “Tadi aku habis mandi.”
Tahu bahwa sang putri masih terlelap di kamarnya, Langga mandi dua kali. Tujuannya agar dia tak menyebarkan virus pada sang putri. Langga tidak berlebihan. Dari dulu dia selalu begitu. Jessica ingat, Langga selalu melarang Jenny memeluknya sampai dia selesai mandi.
“Demam Jenny udah turun.” Langga kembali ke hadapan Jessica. “Kamu belum makan, ya?”
“Lidahku nggak enak buat makan. Kamu duluan aja.”
Langga menghela napas. Namun, setelahnya dia tersenyum tipis. “Kamu nggak pernah berubah.” Dia menangkup pipi istrinya. “Jenny udah sembuh. Habis bangun nanti kita suruh dia makan bubur. Sekarang mumpung belum bangun, ayo kita makan dulu. Jangan terlalu cemas, Sayang.”
Mata Jessica sedikit membulat. Pipinya perlahan menghangat. Dia buru-buru melepaskan tangan Langga dari pipinya. “Ya-oke.” Dia pura-pura membenahi rambut. “Kamu-kamu turun dulu. Aku mau cuci muka sebentar.”
Senyum tipis Langga bertambah lebar. Jarang sekali dia menyaksikan Jessica yang gugup seperti ini. Hanya saat mereka pacaran dan awal-awal menikah saja. Ah, Langga jadi merindukan saat-saat itu.
“Kalo lima menit nggak turun, aku gendong paksa kamu!” ancamnya pura-pura. Jessica lantas merotasikan bola matanya sembari mendorong Langga keluar kamar.
“Sanaa!”
•••
Perasaan Jessica sedikit lega. Jenny sudah memakan bubur serta obatnya. Infusnya pun sudah dilepas. Keadaannya jauh lebih baik. Hanya saja, Jenny mengeluh masih lemas.
“Anggurnya enak nggak?” tanya Jessica.
Jenny hanya mengangguk. Mulutnya penuh dengan buah berwarna hijau itu. “Papa yang beliin loh, Dek.”
“Masa?”
“Iya.” Kembali Jessica mengangsurkan anggur kepada pasien imutnya. “Bilang apa sama Papa?”
“Makasih, Pa.”
Langga hanya tersenyum. Kini dia sedang mengurus beberapa pekerjaannya melalui laptop. Padahal Jessica sudah memintanya untuk bekerja di ruang kerjanya saja, tetapi pria berkaos itu memilih mengerjakan setiap tugasnya di kamar. Demi bisa mengawasi sang anak.
“Permisi, Bu, Pak?” Seorang asisten rumah tangga mengetuk pintu.
“Masuk!”
“Bu, maaf ganggu. Itu Abang Sean udah pulang. Tapi mukanya luka-luka. Kayaknya habis kena pukul.”
Jessica berdiri. “Habis kena pukul?” Dia menghampiri sang ART. “Gimana bisa, Bu?”
“Nggak tau, Bu. Sekarang Abang udah di kamar. Waktu mau diobatin, dianya nggak mau keluar,” adu wanita baya itu. Dia teramat menyayangi Sean karena sejak pertama kali lahir, wanita itulah yang menjadi pengasuhnya.
“Ya, Tuhan.” Jessica berbalik menatap Langga yang sama cemasnya. “Kamu tolong jagain Jenny. Aku mau liat Sean dulu.”
Langga mengangguk. “Iya. Nanti aku nyusul juga.”
Setelahnya, Jessica mengambil alih nampan obat dan meminta asisten rumah tangganya untuk kembali ke dapur. Biar dia saja yang membujuk Sean. Dia pun mengetuk pintu kamar anak sulungnya.
“Mama tau kamu habis berantem. Ayo buka pintunya dulu, Bang.”
Tak ada jawaban. Terpaksa Jessica pun menggunakan kunci cadangan sebagai langkah terakhir. Begitu pintu terbuka, pandangan Jessica langsung jatuh pada ranjang. Sean tengah berbaring di sana seraya menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Jessica lantas segera menyibak selimut berwarna hitam itu.
“Abang!” Jessica berkacak pinggang. Dia kemudian memijat pelipisnya ketika melihat wajah anaknya babak belur. “Bangun, ayo!”
Sean mengalah. Dengan muka pasrah, dia pun bangkit dari tidurnya. “Mama ngapain, sih?”
“Kamu berantem?” Jessica tak acuh dengan pertanyaan Sean. “Hei, jawab.”
Sean tak mengatakan apapun, tapi wajah jengkelnya mengutarakan segalanya. Jessica menahan kesal. Padahal Sean baru saja kena kasus, tapi sekarang dia malah membuat masalah baru.
“Guru kamu tau?”
“Hmm.” Sean mengambil sebuah surat dari nakas di sampingnya. “Buat Mama.”
Jessica menghela napas. Ternyata itu surat pemanggilan wali murid. “Kamu tuh. Kenapa sih harus tonjok-tonjokan gini?”
Sean kembali menutup mulutnya. Jessica kemudian membolak balik wajah sang anak untuk memeriksa seberapa parah lukanya. “Banyak banget lebamnya, Bang. Astaga. Mama harus ngomong apa sama Papa kamu?”
“Paling cuma kena skors, Ma. Udah lah.” Sean mengangkat bahunya cuek. Lantas karena sikapnya ini, Jessica segera memukul bahunya. Tidak keras, tapi cukup untuk membuat Sean mengaduh.
“Kamu mah! Pokoknya Mama nggak mau tau. Kamu nggak boleh berantem kayak gini lagi.” Dia kembali berkacak pinggang. “Kamu baru masuk sekolah setelah kejadian itu, Bang. Harusnya kamu jaga sikap, dong!”
“Iya-iya.”
Jessica khusyuk mengoleskan salep pada lebam-lebam anaknya. Sesekali dia kembali mengomeli Sean. “Jenny baru aja sembuh. Kamu malah bikin luka baru.”
“Mereka yang mulai duluan, Ma.”
“Kenapa kamu ladenin? Emang mereka ngomong apa? Tentang kasus kamu?”
“Ada lah. Mama nggak perlu tau.”
“Besok Mama bisa tanya sama guru kamu.”
Sean berdecih. Dia kemudian mengalihkan topik pembicaraan. “Adek… udah sembuh, Ma?”
“Udah turun demamnya. Sekarang masih di kamarnya Papa. Kamu mau jenguk?”
“Cih, nggak mau.” Sean melipat tangannya.
Senyum Jessica sedikit terbit melihat sikap gengsi anak lelakinya. Dia pun mengacak-acak rambut Sean gemas. “Dasar gengsian!”
Bersambung…